1. Latar Belakang
Cirebon merupakan sebuah wilayah administratif yang menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam khususnya di tanah Jawa. Walisongo, yang dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati, secara aktif berusaha untuk mengubah cara pandang masyarakat Cirebon pada waktu itu pada arahan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Keinginan luhur tersebut kemudian secara simultan mulai mengarah pada perubahan pola dan tata cara kesultanan yang ada di Cirebon. Dengan demikian, secara tidak langsung penyebaran agama Islam berkaitan erat dengan sejarah berdirinya kesultanan Cirebon.
Dalam perjalanan menuju kekinian, kesultanan Cirebon juga tidak luput dalam peperangan melawan penjajahan Belanda maupun Jepang. Meski telah mengalami peristiwa peperangan namun hingga saat ini bukti-bukti keberadaan bangunan keraton masih tetap berdiri kokoh berikut bangunan bersejarah lainnya seperti yang dapat dilihat pada bangunan Taman Sari Gua Sunyaragi dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sebuah perjalanan sejarah dari sebuah daerah yang bernama Cirebon dapat diartikan berbeda dari tiap individu. Ketidakpahaman tentang sejarah akan membuat individu menganggap masa bodoh dan terus berfikir dan melangkah ke depan tanpa melihat apa yang telah dilakukan sebelumnya. Ia tidak menyadari bahwa keseimbangan gerak dan berfikir harus dilandasi oleh kejadian atau peristiwa sebelumnya dan dianalisa untuk kemudian diambil sebagai kerangka dalam melakukan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Cirebon menjadi salah satu contoh betapa sebuah daerah memiliki kandungan sejarah yang beragam, baik dalam hal agama, perjuangan kemerdekaan, maupun kerajaan. Sangat disayangkan apabila masyarakat terutama generasi muda melupakan sejarah Cirebon yang banyak bernilai positif bagi perkembangan jiwa kebangsaan.
Generasi muda bukan saja berperan sebagai agen penggerak sejarah, tetapi juga berupaya memberi makna terhadap peristiwa lampau. Dalam proses itu timbullah kesadaran akan waktu (thinking in time). Tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Semuanya berproses menurut alur waktu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Dalam proses diperlukan juga kreativitas, kesabaran, dan pengorbanan. Dengan kata lain, kesadaran sejarah harus juga memiliki makna kontemplatif dan inspiratif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Salah satu kegiatan yang mencoba menanamkan kesadaran historis adalah Lawatan Sejarah. Kegiatan yang bersifat edutainment ini mengajak peserta untuk menjelajahi jejak peradaban masa lampau. Menurut penggagasnya, Susanto Zuhdi (2003), Lawatan Sejarah membantu kita memahami sebuah perjalanan keindonesiaan melalui rajutan simpul-simpul perjuangan bangsa.
Selama ini pembelajaran sejarah di sekolah cenderung hanya mengutamakan sisi kognitif saja. Siswa diajarkan untuk memperkuat ingatan tentang angka-angka tahun dari suatu peristiwa. Mereka juga dibebani dengan keharusan menghapal nama-nama dan tempat-tempat yang cukup merumitkan. Akibatnya, pembelajaran sejarah menjadi “kering” dan minim daya kritis. Pelajaran sejarah yang bersifat textbook pada akhirnya membuat sejarah sebagai bidang studi yang kurang memiliki daya tarik. Mengajar sejarah seharusnya sejalan dengan guna ilmu sejarah yang meliputi kegunaan edukasi, rekreasi, dan inspirasi. Janganlah karena ketidaklengkapan metode dalam proses mengajar sejarah, lantas mata pelajaran sejarah dianggap tidak penting dan dikurangi jam belajarnya, bahkan untuk jurusan tertentu malah tidak diajarkan.
Akan tetapi, untunglah bahwa akhir-akhir ini, pemahaman sejarah yang bersifat afektif agaknya lebih diutamakan. Berbagai model pembelajaran diberikan kepada siswa. Pelajaran sejarah digairahkan kembali sebagai ilmu tentang masa lampau yang menarik. Siswa diperkenalkan dengan tempat-tempat bersejarah yang selama ini hanya diketahui melalui buku. Sejarah menjadi ilmu yang tidak hanya berurusan dengan masa lalu, tetapi juga ilmu tentang keberlanjutan dan perubahan.
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung secara rutin setiap tahunnya menyelenggarakan Lawatan Sejarah. Siswa, guru, dan pihak terkait yang pernah mengikuti Lawatan Sejarah memberikan apresiasi yang baik. Pada tahun 2014 Lawatan Sejarah dilaksanakan di Cirebon dengan lokasi kunjungan ke Makam Sunan Gunung Jati, Keraton Kanoman, Keraton Kacerbonan, Keraton Kasepuhan, Taman Sari Gua Sunyaragi, dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
2. Tujuan
- Mengenal informasi sejarah yang baru di luar text book.
- Pengalaman di lapangan dapat dipakai sebagai pengayaan variasi informasi sejarah.
- Konteks
- Kunjungan lapangan (field trips) berangkat dari teks (wacana) ke realitas di lapangan. Siswa mempelajari informasi tertulis di dalam kelas dan memahaminya dalam konteks kenyataan di lapangan.
- Isu Tambahan
- Kunjungan lapangan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan topik atau isu-isu lain yang bisa dijadikan bahan tulisan.
- Historical Mindedness
- Dengan belajar dari lapangan, siswa akan memperoleh apresiasi sejarah yang lebih intens. Siswa selain mengetahui juga dapat mengerti dan memahami tentang objek sejarah yang dipelajarinya.
- Refreshing
- Kunjungan lapangan juga berguna sebagai rekreasi.
3. Ruang Lingkup
Pelaksanaan Lawatan Sejarah pada tahun anggaran 2014 meliputi tempat-tempat bersejarah di Cirebon, yaitu ke Makam Sunan Gunung Jati, Keraton Kanoman, Keraton Kacerbonan, Keraton Kasepuhan, Taman Sari Gua Sunyaragi, dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Ditempat ini peserta akan mengunjungi, mengamati, dan menganalisa situs-situs bersejarah tersebut. Selain mengunjungi situs bersejarah, peserta juga diberi perbekalan pengetahuan tentang Narkoba mencakup pengenalan, penyalahgunaan, dan pencegahannya.
4. Obyek Lawatan
a. Makam Sunan Gunung Jati
Di Desa Astana termasuk Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari arah Cirebon ke Jakarta, terdapat dua kompleks makam, yakni makam Sunan Gunung Jati (di Gunung Sembung) dan makam Syeh Datu Kahfi (di Gunung Jati). Untuk memasuki makam Syeh Datu Kahfi tidak seberapa sulit, letaknya di sebelah timur jalan raya, tanahnya berbukit dengan banyak pepohonan yang tinggi. Dari jalan raya terdapat jalan setapak yang telah diperkuat dengan semen, dan dapat ditempuh dari dua arah yakni dari sudut barat laut dan dari tenggara. Jalan ke makam bertingkat-tigkat. Makam utama adalah makam Syeh Datu Kahfi yang dikenal sebagai guru dari Sunan Gunung Jati. Selain makam Syeh Datu Kahfi, dari makam itu masih ada jalan ke puncak bukit yang dikenal sebagai pusat bumi.
Di sebelah barat jalan raya ada jalan masuk sekitar 500 meter ke dalam, melalui jalan tersebut akan sampai ke kompleks makam Sunan Gunung Jati yang ada di bukit (gunung) Sembung. Di halaman depan terdapat dua buah bangunan yang terbuat dari kayu jati berdenah segi empat. Bangunan ini dikenal dengan nama Mande Jajar yang dihadiahkan oleh raja Pajajaran kepada Sunan Gunung Jati. Tradisi menyebutkan pembangunannya pada tahun 1401 Caka (1479 Masehi). Sebuah bangunan yang hampir sama bentuknya yang juga terbuat dari kayu jati disebut Bale Mangu Demak. Disebutkan bahwa bangunan ini dihadiahkan oleh Ratu Nyawa dari Demak, untuk penghormatan kepada suaminya yakni putra Sunan Gunung Jati yang meninggal di perjalanan dari Demak ke Cirebon, karena kapal yang ditumpanginya karam di tengah laut dan terdampar di Mundu. Tokoh ini diberi gelar Pangeran Bratakelana atau Seda Lautan (yang meninggal di laut). Bangunan ini dibangun pada tahun 1402 Caka (1480 Masehi).
Dari halaman luar kita akan memasuki sebuah pintu pertama yang berbentuk Candi Bentar, setelah memasuki pintu pertama dengan menaiki tangga terdapat pintu kedua dimana terdapat bak air di sebelahnya, yang dimaksudkan untuk mengambil air wudu/sembahyang atau untuk cuci kaki. Setelah melewati tangga kita akan berhadapan dengan ruangan yang dipergunakan oleh para pengurus makam Gunung Jati. Para pengurus makam ini berpakaian tradisi Jawa, yakni bertutup kepala iket atau blangkon dari kain batik, berkain kutung dari kain putih dan kemudian memakai kain batik.
Menurut tradisi para pengurus makam Sunan Gunung Jati ini keturunan Adipati Keling yang kapalnya karam di Cirebon, kemudian membaktikan diri kepada Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu sudah menjadi Raja Cirebon. Makam ini ada di sebuah bukit yang bernama Gunung Sembung, makam beliau berada di puncak bukit yang dalam kompleks makam letaknya pada tingkat ke-10. Pada puncak atau tingkat kesepuluh ini disebut Jinem Gusti Syarif, selain Sunan Gunung Jati juga dimakamkan Syarifah Mudain (Rara Santang yakni ibu kandung Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan Fadillah Khan atau Ki Bagus Pase. Makam ini diberi cungkup, di sisi kiri dan kanan cungkup masih ada beberapa makam misalnya di kiri cungkup (barat) ada makam Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Di depan cungkup (selatan) juga terdapat makam Panembahan Ratu, di kanan cungkup (timur) terdapat makam Sultan Sepuh I (Sultan Alamsuddin Martawijaya). Sebelum memasuki tingkat kesepuluh atau Jinem Gusti Syarif, terdapat pintu gerbang paduraksa dengan sebuah pintunya yang berukiran sangat indah, yang terbuat dari kayu jati. Pintu ini menurut tradisi disebut Pintu Bacem. Pada tingkat yang lebih bawah seperti tingkat ke sembilan, delapan dan seterusnya, pada sisi kiri dan kanan pelataran terdapat kelompok makam sultan-sultan Kasepuhan di bagian kanan (timur) dan di sebelah kiri (barat) terdapat makam-makam sultan-sultan Kanoman. Kompleks makam ini tidak dapat dimasuki (diziarahi) oleh siapa pun selain keluarga sultan Kasepuhan atau sultan Kanoman atau keluarga sultan Cirebon. Masyarakat umum hanya diperbolehkan berziarah hingga pintu ketiga yang selalu tertutup, pintu ini disebut pintu pasujudan.
b. Keraton Kanoman
Keraton Kanoman berada di jalan Winaon, Kampung Kanoman, Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk. Keraton yang berada pada dataran pantai ini tepat pada koordinat 06º43¹ 15,8" Lintang Selatan dan 108º34¹ 12,4" Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, sedangkan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Di sebelah barat keraton terdapat sekolah Taman Siswa.
Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I, pada sekitar tahun 1510 Caka (1588 Masehi). Titimangsa ini mengacu pada prasasti berupa gambar surya sangkala dan keraton sangkala yang terdapat pada pintu Pendopo Jinem menuju ruang Prabayasa berupa matahari yang berarti 1, wayang Dharma Kusuma yang berarti 5, bumi yang berarti 1 dan bintang kemangmang yang berarti 0. Jadi candra sangkala tersebut menunjukkan angka tahun 1510 Caka (1588 Masehi). Sementara sumber lain menyebutkan bahwa angka pembangunan Keraton Kanoman adalah bersamaan dengan pelantikan Pangeran Mohamad Badridin mejadi Sultan Kanoman dan bergelar Sultan Anom I yang terjadi pada tahun 1678 – 1679 Masehi.
Salah satu bangunan penting yang terdapat dalam kompleks keraton Kanoman adalah Witana. Witana berasal dari kata awit ana yang berarti bangunan tempat tinggal pertama yang didirikan ketika membentuk Dukuh Caruban. Dalam kakawin Negarakertagama bangunan witana berupa panggung kayu, dengan atap tanpa dinding, tempat persemayaman raja sementara waktu. Keraton Kanoman merupakan satu kompleks bangunan dengan denah empat persegi panjang, dari arah utara ke selatan. Menurut arsitekturnya tata ruang kompleks ini dibagi empat bagian, yakni bagian depan kompleks, halaman pertama, halaman kedua, halaman ketiga.
Bagian depan kompleks, di bagian ini terdapat bangunan Cungkup Alu, Cungkup Lesung, Pancaratna, dan Pancaniti. Cungkup Alu berupa bangunan terbuka berukuran 0,7 x 1 x 1,5 meter dan terbuat dari bahan kayu. Atap genteng didukung oleh empat tiang. Cungkup Lesung merupakan bangunan terbuka berukuran 0,7 x 1 x 1,5 meter dan terbuat dari bahan kayu. Atap genteng didukung oleh empat tiang. Bangunan Pancaratna merupakan bangunan kayu tanpa dinding yang terletak di sebelah barat pintu masuk. Bangunan ini di sebelah kanan depan kompleks yang menghadap ke utara, berbentuk bujursangkar dengan ukuran 8 x 8 meter. Lantai keramik, bangunan terbuka, hanya ada tiang-tiang yang mendukung atap sirap. Berfungsi sebagai tempat seba atau tempat para pembesar desa menghadap Demang atau Wedana atau tempat jaga bintara kerajaan. Sedangkan bangunan Pancaniti adalah bangunan kayu tanpa dinding yang terletak di sebelah timur pintu masuk, menghadap ke utara berbentuk persegi panjang dengan ukuran 8 x 10 meter. Lantai keramik, bangunan terbuka, hanya ada tiang-tiang yang mendukung atap sirap. Fungsinya sebagai tempat perwira melatih prajurit dalam perang-perangan, tempat istirahat perwira dari pelatihan perang, dan tempat pengadilan atau sebagai tempat jaga prajurit kerajaan.
- Halaman Pertama terdapat dua bangunan yaitu Balai Manguntur dan Panggung.
- Halaman Kedua terdapat dua bangunan yakni Bale Paseban dan Gerbang Seblawong.
- Halaman Ketiga, antara halaman ketiga dan halaman keempat dibatasi pagar terbuat dari bata setinggi 1,50 meter. Halaman ini terdapat bangunan seperti: Tempat lonceng, Bale Semirang, Langgar Kanoman, Paseban Singabrata, Jinem, Kaputren.
c. Keraton Kasepuhan
Lokasi Keraton Kasepuhan terletak di desa Lemahwungkuk. Jika kita mengunjungi Kasepuhan dari jalan Lemahwungkuk menuju ke selatan lurus akan berpapasan dengan alun-alun Keraton Kasepuhan. Dari alun-alun Keraton terdapat kompleks Keraton Kasepuhan yang terletak di sebelah selatan alun-alun. Keraton Kasepuhan adalah kelanjutan atau perkembangan Keraton Pakungwati Cirebon yang sudah ditempati oleh raja-raja Cirebon sebelumnya, yakni dimulai oleh Cakrabuana. Pada masa Cakrabuana, keraton Pakungwati masih belum luas dan tempat tersebut kini disebut Dalem Agung. Dalem Agung terletak di bagian timur laut kompleks Keraton Kasepuhan.
Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, keraton Pakungwati telah diperluas. Nama Pakungwati terus dipakai hingga masa pemerintahan Panembahan Ratu I, dan Panembahan Ratu II (Girilaya). Setelah itu kerajaan dibagi dua menjadi Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Keraton Kasepuhan menempati tempat di komplek bekas Keraton Pakungwati, dan sejak itu tempat ini berkembang terus ke bagian selatan. Luas Keraton Kasepuhan dengan mengambil batas tembok Keraton (kutakosod) adalah 400 x 400 meter atau 16 hektar. Daerah yang dibatasi oleh tembok Keraton tidak termasuk alun-alun dan masjid Agung Cirebon. Adapun bagian-bagian dari Keraton mulai dari depan adalah: Pancaniti, sebuah bangunan berbentuk joglo bertiang empat dan terbuka (tanpa dinding). Bangunan ini sebagai tempat jaga prajurit (pos jaga). Pancaniti ada dua buah yang merupakan bangunan kembar terletak di depan pintu masuk. Dari Pancaniti untuk memasuki Keraton terdapat pintu masuk dengan terlebih dahulu melalui parit.
Pada zaman dulu jembatan untuk masuk merupakan jembatan gantung, hal tersebut berkaitan dengan keamanan Keraton. Jembatan tersebut dikenal atau dinamai Pangrawit. Siti Inggil (lemah duwur) disebut demikian karena memang bangunan yang ada pada Siti Inggil dibuat di atas tanah yang lebih tinggi dari tempat lainnya. Dalam Siti Inggil terdapat bangunan-bangunan: Semar Kinandu, Malang Semirang, Gamelan Sekati, Tempat Duduk Sultan (Siti Inggil). Untuk masuk ke Siti Inggil terdapat dua pintu gerbang berbentuk candi bentar yang terletak di sisi utara dan sisi selatan. Pada tangga masuk candi bentar di sisi selatan di sebelah luar tangga terdapat ukiran dari bata berbentuk banteng. Ukiran banteng merupakan candrasangkala yang berbunyi Banteng Tinata Bata Kuta yang berarti kuta (satu), bata (tiga), tinata (empat), banteng (tujuh) = 1347 Caka (1425 Masehi).
Di depan bangunan Siti Inggil ada lagi sebuah bangunan yang disebut Paseban Pangada. Bangunan ini juga dipergunakan untuk tempat jaga para prajurit. Di bagian timur laut kompleks Keraton terdapat satu kelompok bangunan yang disebut Dalem Agung Pakungwati, merupakan bagian bangunan tertua, terdapat pula bekas-bekas bangunan Karangpawitan, Rara Denok. Pintu yang lazim dipakai untuk masuk ke dalam Keraton adalah pintu gledek, namun ada pintu lain yang disebut dengan pintu jam.
d. Keraton Kacerbonan
Komplek Keraton atau Puri Kacerbonan berada di Jln. Pulosaren No. 48. Bangunan Keraton berdenah empat persegi panjang. Posisinya memanjang utara-selatan, dan menghadap ke utara. Luas keseluruhan bangunan keraton sekitar 38.787 m2, terdiri dari bangunan Induk, Paseban, Langgar, Gedong Ijo, Pringgowati dan Kaputren.
Pangeran Anom membangun Keraton Kacerbonan pada tahun 1808. Keberadaan Keraton tersebut terkait dengan peristiwa suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Sultan Anom IV (Sultan Anom Muhammad Khaerudin) pada tahun 1802 M. Menurut tradisi, yang harus menggantikannya adalah anak laki-laki atau anak tertua. Sultan Anom IV memiliki anak laki-laki kembar. Pada tahun 1807 Gubernur Jenderal Daendels menetapkan bahwa keduanya mendapat gelar Sultan.
Pangeran Raja Kanoman, satu dari dua anak sultan, diangkat sebagai Sultan Kacerbonan sampai akhir hayatnya. Keturunannya melanjutkan kedudukan sultan dengan gelar pangeran saja dan tidak menjadi pegawai pemerintah kolonial. Penguasa Keraton Kacerbonan tidak memiliki wilayah kekuasaan. Sementara itu, putra Sultan Anom IV yang lain, Pangeran Abusaleh Imamudin, ditetapkan oleh Daendels sebagai Sultan Anom V. Keturunannya dapat menggunakan gelar sultan.
Pembangunan Keraton Kacerbonan tidak dilakukan sekaligus. Raja Kanoman pada tahun 1808 hanya mendirikan bangunan induk, Paseban, dan Langgar. Pangeran Daendawijaya yang bergelar Raja Madenda membangun Gedong Ijo pada tahun 1875, dan Pangeran Partaningrat Madenda III membangun Pringgowati pada masa pemerintahannya antara tahun 1915-1931.
e. Taman Sari Gua Sunyaragi
Menurut buku Purwaka Carabuna Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah nama lain dari Pangeran Arya Carbon. Gua Sunyaragi saat ini merupakan salah satu bagian dari keraton Kasepuhan. Sunyaragi berada tepat di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, dan termasuk dalam wilayah kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon denganluas sekitar 16 hektar. Di lokasi tersebut terdapat sebuah situs yang mirip candi. Konstruksi dan komposisi bangunan situs ini merupakan sebuah taman air. Oleh karena itu, masyarakat Cirebon biasa menyebut bangunan tersebut dengan nama Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebagai Tamansari Sunyaragi. Air yang keluar dari taman Sunyaragi tersebut pada zaman dahulu mengalir ke sebuah danau yang mengelilingi situs tersebut, yaitu Danau Jati. Saat ini Danau Jati sudah mengering. Lokasi persawahan dahulunya sudah digantikan oleh perumahan penduduk. Beberapa perubahan pada lokasi taman sari tersebut adalah telah dibangunnya air terjun buatan sebagai penghias, dan hiasan taman seperti Gajah, patung wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda.
Sunyaragi menurut bahasa sansekerta berasal dari kata ”sunya” yang berarti sepi dan ”ragi” yang berarti raga atau jasad. Taman ini berada di dalam kekuasaan Keraton Kasepuhan. Taman Sari Gua Sunyaragi sering berubah fungsi menurut kehendak penguasa pada zamannya. Pernah fungsi taman tersebut adalah sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya. Ada juga beberapa fungsi lainnya, namun secara garis besar Taman Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan.
Taman Sunyaragi terdiri dari 12 bagian: (1) bangsal jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit berlatih; (2) goa pengawal, tempat berkumpul para pengawal sultan; (3) kompleks Mande Kemasan (sebagian hancur); (4) gua Pandekemasang, tempat membuat senjata tajam; (5) gua Simanyang, tempat pos penjagaan; (6) gua Langse, tempat bersantai; (7) gua peteng, tempat nyepi untuk kekebalan tubuh; (8) gua Arga Jumud, tempat orang penting keraton; (9) gua Padang Ati, tempat bersemedi; (10) gua Kelanggengan, tempat bersemedi agar langgeng jabatan; (11) gua Lawa, tempat khusus kelelawar; (12) gua pawon, dapur penyimpanan makanan.
Arsitektur gua Sunyaragi merupakan hasil dari perpaduan antara gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Cina atau Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam dan gaya Eropa. Ciri arsitektur dari gaya Indonesia klasik atau Hindu terlihat pada beberapa bangunan berbentuk joglo yang dapat dilihat diantaranya pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh ular. Dilihat dari ornamen bangunan secara keseluruhan menunjukkan adanya suatu sinkretisme budaya yang kuat yang umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu.
Gaya Cina juga terlihat dari arsitektur gua sunyaragi. Hal ini dicirikan pada pada ukiran bunga seperti bentuk bunga persik, bunga matahari dan bunga teratai. Pengaruh Cina juga diperkuat, pada zaman dahulu, oleh adanya hiasan berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya. Saat ini banyak hiasan keramik-keramik yang hilang atau rusak sehingga sulit tidak diketahui corak atau motif keramik tersebut. Lokasi hiasan keramik-keramik di antaranya pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya semacam kuburan Cina. Dikatakan demikian karena fungsi bangunan tersebut bukan layaknya kuburan biasa melainkan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal Putri Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.
Gaya Islam dan timur tengah juga terlihat pada arsitektur Gua Sunyaragi. Pembangunan gaya arsitektur tersebut adalah tatkala pemimpin pada masa lalu adalah seorang Sultan yang beragama Islam. Beberapa lokasi yang mencirikan gaya keislaman tersebut adalah pada relung-relung dinding beberapa bangunan, tanda-tanda kiblat pada tiap-tiap pasholatan atau musholla, adanya beberapa pawudlon ‘tempat wudhu’ serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem. Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi juga mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam.
Pada masa penjajahan Belanda, Gua Sunyaragi tak luput dari sentuhan arsitektur bergaya kolonial atau Eropa. Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan bentuk gedung Pesanggrahan.
f.. Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan Masjid tertua di Cirebon yang dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "sang" yang bermakna keagungan, "cipta" yang berarti dibangun, dan "rasa" yang berarti digunakan. Menurut tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar lima ratus orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri.
Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tersebut. Bangunan tertinggi Keraton Kasepuhan kabarnya tidak boleh lebih tinggi dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini. Gapura depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terbuat dari susuan batu bata merah bergaya Majapahitan. Atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berbentuk limasan dan tanpa mahkota masjid pada puncak bangunannya, tidak sebagaimana masjid wali lainnya yang beratap tajug atau piramid susun berjumlah ganjil. Tiang di sebelah kanan yang disangga pelat baja adalah salah satu soko guru Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang kabarnya dibuat oleh Sunan Kali Jaga dari tatal atau serpihan kayu yang disatukan.
Bagian beranda samping Masjid Agung Sang Cipta Rasa dengan tiang-tiang kayu berukir pada bagian atasnya yang terlihat sudah sangat tua. Berbeda dengan tradisi masjid pada umumnya, azan pertama saat ibadah shalat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini menggunakan ‘Azan Pitu’, yaitu 7 orang muazin mengumandangkan adzan secara bersama. Tradisi ini konon diwariskan oleh Sunan Kalijaga, saat sang wali mengusir wabah penyakit yang dikenal dengan nama Satria Menjangan Wulung. Kayu ukir indah bertuliskan huruf-huruf Arab yang berada di bagian depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Meskipun terlihat tua dan kusam, namun ukiran kayu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini masih memancarkan keindahan seni ukirnya yang halus.
Pintu utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa lazimnya hanya dibuka pada waktu Sholat Ied dan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad. Karenanya untuk masuk ke dalam ruang utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini pengunjung harus melalui sebuah lubang kecil rendah yang berada di bagian samping kanan masjid dengan cara merunduk. Secara filosofis hal ini dimaksudkan agar pengunjung merendahkan diri ketika berada di lingkungan masjid. Secara praktis, lubang ini digunakan sebagai pintu kontrol untuk menarik derma dari para pengunjung.
Konon, dahulunya masjid ini memiliki memolo atau kemuncak atap. Namun, saat azan pitu (tujuh) salat Subuh digelar untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah ke Masjid Agung Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah. Karena cerita tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa digelar Azan Pitu. Yakni, azan yang dilakukan secara bersamaan oleh tujuh orang muazin berseragam serba putih.
sumber:
• http://thearoengbinangproject.com/masjid-agung-sang-cipta-rasa-cirebon/
• http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Sang_Cipta_Rasa