Oleh Windi Rismayanti
SMA Negeri 1 Tarogong Kidul
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masuknya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda pada abad XIX telah menimbulkan
berbagai perubahan serta kegoncangan dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Usaha
penetrasi dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda yang berimbas kepada
perubahan-perubahan tatanan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Pada hakekatnya, penetrasi ini menyebabkan kehidupan rakyat makin menderita
dan kesejahteraan hidupnya menjadi merosot. Terutama keadaan ini banyak
terdapat dalam masyarakat pedesaan, yang
mana mereka selalu diwajibkan untuk membayar pajak.
Menjelang meletusnya perang dunia I (1914), di Indonesia nampak
gejala-gejala memburuk dalam kehidupan sosialnya yang tidak lancar. Harga
kebutuhan hidup melonjak, penghasilan rakyat menurun. Kehidupan rakyat menjadi
lebih buruk dengan adanya kewajiban pajak yang besar (Sutrisno Kutoyo, 1983,
16).
Penerobosan pengaruh ke dalam masyarakat pedesaan tersebut juga akan
menimbulkan kegelisahan sehingga masyarakat pedesaan melakukan gerakan sosial
dengan caranya sendiri. Adapun gerakan sosial yang mereka lakukan sering
dilandasi oleh semangat kekeluargaan dan erat kaitannya dengan
ideologi-ideologi tradisional di alam pedesaan yang banyak disebarkan dan
diajarkan oleh pemimpin agama.
Dan dalam rangka untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang sering
muncul di lingkungan masyarakat pedesaan pada masa lampau, maka studi mengenai
gerakan sosial dalam sejarah Indonesia dirasakan makin penting. Oleh karena itu
dalam karya tulis ini penulis mencoba meneliti dan mengungkapkan gerakan sosial
yang terjadi di Jawa Barat tepatnya di kampung Cimarame pada awal abad XX,
walaupun peristiwa ini bersifat segmentasi dan tradisional, tetapi membawa
dampak yang cukup basar bagi pemerintah kolonial Belanda dan Bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan dengan mengutarakan
beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya
peristiwa di Cimareme?
2. Bagaimana peran Hasan Arif dalam peristiwa
Cimareme?
3. Bagaimana kronologis peristiwa Cimareme?
4. Bagaimana pengaruh Sarekat Islam dalam
peristiwa Cimareme?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi gerakan sosial
Cimareme.
2. Untuk mengetahui peranan Hasan Arif dalam peristiwa Cimareme.
3. Untuk mengetahui kronologis peristiwa Cimareme.
4. Untuk mengetahui korelasi antara Sarekat Islam dengan peristiwa
Cimareme.
1.4 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil metode kualitatif yang
ditunjang dengan metode wawancara, survei lapangan, kajian pustaka, dan
analisis data.
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Kerangka Teoritik
2.1.1 Konsepsi Pola
Kehidupan Tani di Pedasaan Jawa.
Masyarakat tani merupakan suatu masyarakat yang hidup di alam pedesaan,
dimana kehidupannya masih tertutup dan terbatas oleh adat atau tradisi yang
ada. Dalam pola berpikirnya,mereka menempatkan pola kekerabatan, pola
kekeluargaan, pola keseimbangan dan pola religius yang dimaksudkan untuk
menjaga agar karawanan sosial dan karawanan religius tidak merusak kehidupan
masyarakat.
Di dalam dess, kehidupan ekonomi dan sosial budaya berpusat di sekitar
keluarga inti sekalipun suatu sistem kekerabatan dua pihak yang diperluas masih
tetap memainkan fungsi-fungsi tinggalan yang penting. Sebagai suatu masyarakat
kecil, hubungan dengan sesamanya yang tertutup dan kerap kali terpencil, desa sangat berkepentingan dalam
mempertahankan keserasian internal dan kerja sama yang baik (Sutristo Kuyoto,
1983, 41).
Sebagai esensi dari pola kehidupan masyarakat petani di pedesaan Jawa, maka
petani pemilik, penyewa tanah maupun buruh tani, di dalam kehidupannya mempunyai
hubungan timbal balik dengan didasarkan sistem sosialnya. Sistem social ini
akan mencakup sistem pemerintahan desa.
Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala (lurah), yang dibantu oleh
punggawa-punggawa desa. Sesuatu yang terpisah dari kelompok pimpinan duniawi
ini adalah para petugas keagamaan (kaum) yang jabatan-jabatannya terutama
terbatas pada lingkungan keagamaan. Selain berdirinya struktur pemerintahan
juga ada para pimpinan yang berkuasa secara alami seperti kyai, haji, guru
agama dan dukun (Sartono Kartodirdjo, 1975, 42).
2.1.2 Konsep Penetrasi
Penetrasi diartikan sebagai suatu penyusupan pengaruh ke dalam segi-segi
kehidupan masyarakat yang dalam pelaksanaannya akan terjadi secara damai atau
paksaan (S. Surjontoro, 1975, 135). Berlangsungnya proses penetrasi ini diawali
dengan kedatangan sekelompok manusia atau lembaga dari suatu daerah/negara ke
daerah/negara lain dengan motif tertentu, seperti motif religi, motif ekonomi,
motif politik, motif budaya maupun motif sosial. Berbagai motif yang melandasi
adanya penetrasi ini pada hakekatnya bertujuan untuk mencari keuntungan.
Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada mulanya memang hanya meliputi
tujuan untuk berdagang rempah-rempah. Namun seiring dengan perkembangan dari
jiwa imperialisme, tujuan bangsa Belanda datang ke Indonesia ini pun menjadi
lebih kompleks. Aksi pendudukan Belanda ke Indonesia ini dapat dikatakan
sebagai titik permulaan masuknya unsur-unsur asing. Pendudukan ini dalam
perkembangan selanjutnya akan berubah menjadi penjajahan di berbagai bidang
kehidupan. Untuk dapat merealisasikan penguasaan dalam bidang-bidang kehidupan
ini, maka ditempuhlah usaha penetrasi guna memperkuat kedudukannya di tanah
air.
Pada dasarnya proses penetrasi ini dapat dilakukan secara sengaja dan tidak
sengaja, serta dapat berlangsung dengan damai atau dengan unsur paksaan.
Koentjaraningrat (1983) dalam hal ini mengemukakan bahwa penetrasi merupakan
suatu usaha untuk memasukkan nilai-nilai, norma-norma ataupun unsur-unsur asing
lainnya yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja dan berlangsung secara
damai, biasanya terjadi di dalam suatu bentuk hubungan yang disebabkan karena
adanya persebaran suatu agama oleh para penyiar agama yang bersangkutan. Adapun
untuk pemasukan unsur-unsur asing yang berlangsung dengan paksaan sering
terjadi di dalam suatu bentuk hubungan yang disebabkan oleh adanya peperangan
atau penguasaan atas suatu negara.
Kaitannya dengan kependudukan bangsa Belanda di Indonesia, khususnya di
Jawa menunjukkan bahwa penetrasi yang dilakukan bersifat paksaan, sehingga akan
menekan rakyat. Berbagai penerobosan unsur-unsur asing ini tidak hanya mencakup
di lingkungan perkotaan saja, tetapi juga datanamkan di lingkungan masyarakat
pedesaan. Dalam hal ini masyarakat pedesaan akan menolak adanya unsur-unsur
yang berasal dari asing. Sehingga menyebabkan munculnya dua sikap yang bertolak
belakang, di satu pihak ingin tetap mempertahankan tata kehidupan yang lama
dengan corak tradisionalismenya, di lain pihak ingin mengganti dengan cara kehidupan
yang baru.
Sebagai akibat dari penetrasi ini, khususnya masyarakat petani di pedasaan
merasa adanya suatu kondisi yang tidak adil, bahkan mereka kehilangan
hak-haknya sebagai masyarakat pribumi, baik itu dalam bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Dalam bidang politik dapat dilihat dengan semaki merosotnya
penguasa pribumi, dalam bidang ekonomi terlihat dengan munculnya berbagai macam
pajak dan peraturan lainnya. Adapun di bidang sosial dan budaya terlihat dengan
semakin lemahnya ikatan-ikatan tradisional serta masuknya budaya-budaya asing
yang menyebabkan terjadinya disintegrasi budaya dalam kalangan masyarakat
Indonesia.
2.1.3 Konsepsi Gerakan
Sosial
Pada masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda abad XIX dan XX, di alam
pedesaan masyarakat tani Jawa sering diwarnai dengan adanya gerakan-gerakan
sosial. Munculnya gerakan sosial tersebut dilatarbelakangi oleh adanya
penetrasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di lingkungan masyarakat
tani pedesaan Jawa. Penerobosan pengaruh ini akan menimbulkan
kegoncangan-kegoncangan di berbagai segi kehidupan. Hal ini mengingat sifat
dari masyarakat pedesaan yang statis, tidak mudah untuk menerima suatu
perubahan dan melepaskan unsur-unsur tradisional. Setelah penetrasi ini
berhasil menembus kehidupan masyarakat desa, maka rakyat pedesaan mulai
merasakan adanya situasi dan kondisi yang tidak memuaskan, dalam arti mereka
tidak dapat merasakan kehidupan yang wajar. Sehingga keadaan ini akan
menimbulkan kegelisahan dan keresahan rakyat akibat dari kemerosotan dalam
kesejahteraan dan taraf hidupnya.
Keadaan yang demikian itu mmungkinkan munculnya golongan-golongan yang
tidak puas serta merasa dirugikan sehingga mereka akan menyatakan perasaan dan
mengorganisasikan tindakannya sebagai reaksi terhadap tatanan kehidupan yang
berlaku. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penderitaan yang dialami oleh
masyarakat di pedesaan akan mengilhami atau mempercapat munculnya suatu
pemberontakan yang dilakukan oleh golongan yang tertindas.
Pemberontakan ini mencerminkan aksi protes dari masyarakat yang tertindas
dan mempunyai tujuan untuk menentang peraturan atau menolak keadaan yang tidak
adil. Aksi protes yang dalam realisasinya berwujud gerakan sosial ini akan
menempatkan kaum tani di pedesaan sebagai basis utamanya, karena golongan
petani inilah yang sangat menderita akibat adanya penetrasi.
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif.
Secara formal gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu aktifitas yang
melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau
menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup
kolektifitas itu sendiri (Paul B. Horton, Chester L. Hunt, 1990,195).
Gerakan sosial dalam sejarah Indonesia mencakup fenomena historis, seperti
revilisme historis, gerakan ratu adil, dan gerakan perang sabil, kesemuanya itu
merupakan manifestasi dari usaha kolektif untuk mengadakan atau menolak
perubahan kehidupan masyarakat (Sartono Kartodirdjo, 1970, 9).
Gerakan sosial yang sering terjadi dalam masyarakat tani di pedesaan Jawa
pada abad XIX-XX ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan. Menurut Sartono
Kartodirdjo (1967) gerakan sosial dikategorikan menjadi enam golongan yaitu:
1. Perbandingan sosial, adalah suatu gerakan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Dalam gerakan yang terjadi
terdapat sikap anti asing (anti penjajahan).
2. Gerakan untuk memprotes suatu keadaan atau
peraturan yang tidak adil.
3. Gerakan revivalitas, adalah suatu gerakan
yang bertujuan untuk mengajak rakyat agar lebih rajin dan taat menjalankan
agamanya.
4. Gerakan navitisme, adalah suatu gerakan
yang bertujuan untuk menegakkan kembali kerajaan kuno.
5. Gerakan messianisme, adalah suatu gerakan
yang mengharapkan akan datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi.
6. Gerakan perang sabil, yaitu suatu gerakan
yang bertujuan untuk untuk membela agama Islam atau melawan kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda yang dianggap sebagai perang kafir.
Dari berbagai jenis gerakan sosial yang muncul di dalam masyarakat
pedesaan, pada umumnya dipelopori dan dipimpin oleh elite agama tradisional
dengan kaum tani sebagai pengikutnya.
Gerakan sosial sebagai suatu manifestasi dari pergolakan kaum tani di
pedesaan mempunyai sifat-sifat khusus. Adapun ciri-ciri dari gerakan sosial ini
diantara lain adalah:
a. Bersifat arkais, artinya dalam hal
organisasinya, program, strategi, dan taktiknya masih sederhana.
b. Bersifat kedaerahan, artinya gerakan yang
terjadi hanya mencakup wilayah tertentu.
c. Dalam kepeloporan dan kepemimpinan yang
dipegang oleh elite kultural atau elite keagamaan tradisional dengan petani
sebagai massa pengikutnya.
d. Jangka waktu gerakannya sangat pendek.
e. Belum memiliki orientasi dan tujuan yang
jelas.
f. Bersifat tradisional, artinya gerakan yang
terjadi dipengaruhi oleh pandangan religio magis.
2.2 Kerangka Berpikir
(Hipotesis)
Sebagai suatu negara kepulauan yang bercorak agraris, penduduk Indonesia
sebagian besar tinggal di alam pedesaan, terutama pedesaan Jawa yang cenderung
tertutup. Meski masih
memegang teguh nilai-nilai, norma-norma maupun kaidah-kaidah tradisional.
Sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam kungkungan dan keterikatan tradisi,
maka segi-segi pendangannya akan selalu diwarnai dengan unsur-unsur religio
magis yang merupakan perpaduan Hindu, Budha, dan Islam.
Masuknya kekuasaan Belanda dengan unsur-unsur asingnya pada abad XIX-XX
menimbulkan kertakan dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam situasi yang serba tidak menentu akhirnya masyarakat pedesaan cenderung
untuk menghidupkan ideologi-ideologi tradisionalnya seperti milliniarisme,
messianisme, revivalisme, nativisme dan semangat perang sabil. Dan ini akan
mempercepat untuk timbulnya gerakan sosial.
Semakin maraknya aksi-aksi protes dari kaum tani merupakan fenomena yang
sangat menonjol pada abad XIX-XX di daerah pedesaan, khususnya Jawa. Salah satu
peristiwa yang merupakan bentuk penentangan kaum tani di pedesaan terhadap
penetrasi Belanda adalah peristiwa Cimareme, ini merupakan suatu manifestasi
dari pergolakan masyarakat tani di pedesaan.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Latar Belakang Peristiwa
Cimareme
3.1.1 Latar Belakang Umum
Indonesia sebagai negara jajahan Belanda tidak dapat dipisahkan dari
peraturan politik internasional, khususnya keadaan politik di Asia. Kemenangan
Jepang atas Rusia pada tahun 1905 membukakan kesadaran bangsa-bangsa di Asia
yang terjajah. Bangkitnya Jepang mengilhami perjuangan yang dilakukan oleh
India dan berpengaruh pula ke Eropa. Sedangkan di Indonesia sendiri mengilhami
berdirinya Budi Utomo.
Meletusnya Perang Dunia I (1914) menambah kekhawatiran Belanda yang
mempunyai daerah jajahan. Walaupun Belanda sendiri tidak ikut berperang namun
Perang Dunia I itu mempengaruhi terhadap kehidupan-kehidupan negara di dunia.
Belgia pun yang kenetralannya dijamin oleh negara-negara besar di dunia akhirnya
ikut terlibat dalam peperangan. Melihat hal itu Belanda bertambah lebih kacau.
Mereka harus menjaga negaranya sendiri agar tidak terlibat perang tetapi di
lain pihak daerah jajahannya menghadapi perkembangan organisasi-organisasi
pergerakan kebangsaan. Di dalam situasi ini Belanda sangat khawatir akan
timbulnya pemberontakan-pemberontakan rakyat di negeri jajahannya. Oleh karena
itu Belanda sangat berhati-hati dalam pembentukan milisi untuk menghadapi
meluasnya peperangan.
Perang Dunia I pula yang memberikan dampak buruk bagi perekonomian Belanda.
Perekonomian Belanda yang dititikberatkan dalam sector perdagangan
internasional menjadi terganggu. Tentunya ini juga sangat berimbas pada
perekonomian Indonesia sebagai tanah jajahannya.
3.1.2 Latar Belakang Khusus
Peristiwa Cimareme adalah suatu peristiwa pertempuran tokoh agama yang
dipimpin oleh Hasan Arif melawan Belanda, di kampung Cimareme, desa Sulasari,
Kecamatan Bayuresmi, Kabupaten Garut (peta terlampir).
Guna melaksanakan politik ethis Belanda di Garut, maka daerah Garut
dijadikan daerah perkebunan. Tanah-tanah yang subur disewakan kepada pengusaha
perkebunan Belanda dan bangsa lainnya dalam jangka panjang. hampir sebagian
besar masyarakat Garut harus melayani kepentingan Belanda. Ini tentu memberikan
kehidupan ekonomi masyarakat Garut semakin memburuk. Akibatnya rakyat banyak
meninggalkan tanah pertaniannya.
Sementara itu kemajuan pendidikan di masyarakat Indonesia yang diusahakan
sendiri sudah nampak seperti di kalangan para wanita dan anak-anak remaja
putrid yang tergabung dalam Sekolah Keutamaan Istri oleh Raden Ayu
Lasminingrat, mengikuti jejak Dewi Sartika.
Di kalangan masyarakat luas, kesadaran berpolitik juga sudah mulai tumbuh.
Pada thun 1913 didirikan cabang Budi Utomo di Garut oleh M. Sudjirja dan Raden
Anggakusuma, tetapi perkumpulan ini kurang berkembang dengan pesat. Ketika
Serekat Islam didirikan di Garut maka kebanyakan anggota Budi Utomo pindah
memasuki organisasi keislaman ini.
Masyarakat Garut merupakan masyarakat yang kuat berpegang pada ajaran
Islam. Di Garut terdapat banyak pesantren yang merupakan lembaga pendidikan
keagamaan Islam yang berjiwa menentang penjajahan. Karena itu Sarekat Islam
dapat berkembang pesat di Garut.
Pada zaman Perang Dunia I, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Garut juga
mengalami kegoncangan. Dalam keadaan normal, kesulitan penduduk akan bahan
makanan, dapat diatasi dengan peminjaman padi dari lumbung-lumbung desa. Tetapi
menjelang tahun 1917 itu sudah banyak lumbung desa yang ditutup. Pemerintah
dalam usahanya mengatasi kekurangan bahan makanan itu, mengeluarkan peraturan
penyerahan wajib, yaitu peraturan wajib jual pada pemerintah (G.Gonggrijp,
148).
Guna mengatasi perekonomian yang semakin terpuruk, pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan wajib pajak. Peraturan wajib jual padi itu dirasakan
berat oleh masyarakat pedesaan Garut. Namun mereka tidak berani menentang perintah
Belanda tersebut, tetapi dalam hal ini Hasan Arif merupakan pengecualian.
Dengan keberanian dan tanggung-jawabnya Hasan Arif berani menentang
keputusan-keputusan Belanda itu demi pembelaannya terhadap keadilan,
kemerdekaan dan harga diri.
Demikianlah keadaan khusus di Garut menjelang terjadinya peristiwa
Cimareme. Suasana batin masyarakat sudah penuh dengan perasaan menentang
penjajah, keadaan ekonomi masyarakat sungguh suram.
3.2 Peranan Hasan Arif dalam
Peristiwa Cimarene
Hasan Arif lahir dan dibesarkan di kampung Cimareme yang terletak di daerah
pegunungan yang subur kurang lebih 15 (lima belas) km dari kota Garut.
Hasan Arif banyak belajar dari sang ayah Kyai Tubagus Alpani tentang sikap
Non Cooperation dengan penjajah Belanda yang dinilai tidak ada keadilan bagi
kaum bumi putera. Beliau menolak dengan tegas ketika beliau ditawari oleh
pemerintah Belanda untuk diakui secara resmi sebagai pemimpin di masyarakat
dengan memberikan Surat Keputusan (Besluit).
Ajaran Non Cooperation sangat melekat bukan saja pada keluarga Hasan Arif
tapi kepada hamper semua penduduk Cimareme. Ini bisa dilihat dari semenjak
kakek Hasan Arif Kartaningrat sampai kepada masa kemerdekaan tahun 1945. Tidak
seorang pun penduduk Cimareme yang pernah bekerja pada Dinas Pemerintahan
Hindia Belanda.
Beliau mempunyai 10 bahu sawah (1 bahu = 500 bata) atau kurang lebih 5000
bata dengan penghasilan 5 kg per bata. Setiap panen bisa mendapatkan padi
sebanyak 2500 kg. keadaan ini berlainan sekali dengan kebanyakan penduduk
Cimareme yang hanya mempunyai sawah rata-rata antara 100 sampai 200 bata per
orang.
Hasan Arif mendirikan perkumpulan Cisareme yang merupakan tempat
digemblengnya paham-paham politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Terinspirasi
oleh suatu perkumpulan rahasia di Cina pada waktu pemberontakan Bokser 1899
menentang kepada semakin besarnya kekuasaan Barat di negeri itu.
Cimimiti Rame merupakan organisasi yang sangat rapih dan bersifat sangat
rahasia. Kader-kadernya terdiri dari para pemuda yang terus menerus diberi
pendidikan agama, ilmu pengetahuan, ilmu politik. Ditambah untuk menguatkan
jiwa mental keberanian mereka dilatih ilmu kebatinan dan seni ilmu bela diri di
perkumpulan “Pencak Silat Gerak Cepat”.
Boleh dikatakan dalam pandangan dan pemikirannya sebagai “Man of Thought Or
Inspiration”, seorang yang mempunyai gagasan dan pemikiran. Dengan pemikiran dan karya nyatanya beliau
mendorong bangsa berjuang menentang penjajah.
Ketika pemerintah akan membuat jalan baru dengan membendung Situ Cibudug,
Hasan Arif segera mengajukan protes menentang kebijakan tersebut karena
dianggap beliau akan menyebabkan sawah-sawah di Desa Sukasari (Cikendal)
LeuwiGoong dan Desa Dungusiku akan kekurangan air. Dampaknya para petani di
desa tersebut menderita. Akibat dari penentangan ini hamper saja beliau menjadi
korban dari senjata pistol kontrolur Belanda.
Keberanian lain dalam menolak suatu peraturan yang dianggap akan merugikan
masyarakatnya adalah penolakan beliau terhadap wajib jual padi (padi opkoop) 4
pikul padi perbahunya.
Penentangan dan perlawanannya untuk membela kaum lemah, penindasan yang
dilakukan oleh sistem dan atas nama hokum yang akhirnya merenggut jiwanya
beserta beberapa orang pengikutnya dalam peristiwa Drama Cimareme 7 Juli 1919
yang bukan saja melahirkan peristiwa yang dinamakan Genjlong Garut (gempa
Garut) tapi yang mengungubah semua tatanan politik pemerintah Belanda dan
pergerakan Nasional kita dalam babak baru.
3.3 Kronologis Peristiwa
Cimareme
Peraturan pemerintah wajib jual padi sampai juga di Cimarene melalui Lurah
Desa Sukasari, Wiraatmaja. Walaupun rumah mereka berdekatan tetapi mereka
berdua tidak terlalu akrab. Hasan Arif mengajukan keberatan terhadap peraturan
wajib jual padi tersebut, dan berpesan kepada Lurah Sukasari untuk menyampaikan
kepada Camat Banyuresmi. Hasan Arif berpendapat bahwa penyetoran padi tersebut
akan menyebabkan rakyat kesulitan dalam penyediaan pangannya. Penolakan Hasan
Arif terhadap pemerintah ini diteruskan oleh lurah kepada camat dan kemudian
camat sendiri datang menemui Hasan Arif untuk menyampaikan peraturan pemerintah
tersebut. Jalan negosiasipun tidak berjalan dengan lancer. Camat tersebut
bereaksi sangat keras dengan membentak bahwa keputusan tersebut merupakan
keputusan pemerintah.
Hasan Arif berusaha untuk mencari jalan penyelesaian sebaik-baiknya dengan
mengirimkan surat kepada Bupati Garut R.A.A. Suria Kartalegawa tertanggal 5
Juni 1919, berisi permohonan agar
pemerintah mempertimbangkan usul masyarakat Cimareme. (Naskah surat terlampir
dalam kutipan surat panitia khusus Cimareme kepada Jth. P.J.M. Presiden Rep.
Indonesia tanggal 8 September 1958) tetapi surat itu baru diterima Bupati Garut
tanggal 1 Juli 1919.
Asisten residen menetapkan bahwa hari Jumat tanggal 4 Juli 1919 sebagai
hari untuk rombongan pemerintah bertindak dan menangkap Hasan Arif dan
pengikutnya untuk dibawa ke Garut.
Ketika mengetahui keadaan semakin genting, Hasan Arif tidak gentar dan
tidak mundur sedikitpun. Sudah siap tekadnya akan melawan sekuat tenaga dan
akan berjihad. Kemudian Hasan Arif meminta bantuan sahabatnya untuk mengatur
langkah.
Sesudah kejadian itu Hasan arif bermusyawarah dengan para pengikutnya untuk
menentukan sikap akhirnya mereka menyepakati untuk melawan sekuat-kuatnya
karena memang sebanarnya alasan Hasan Arif itu bukan sekadar masalah penolakan
setoran padi, tetapi sebenarnya masalahnya terlatak pada dasar yang lebih
dalam. Bukan sekadar karena banyaknyakeluarga, buruknya panen, musim paceklik
dan sebagainya tetapi inti hakikinya sebenarnya merupakan harga diri sebagai
bangsa, sebagai seorang muslim yang terjajah dan merasa diperlakukan dengan
penuh ketidakadilan dan semena-mena oleh pihak yang menjajah.
Sementara itu sesudah Bupati Garut menerima laporan dari wedana Leles, kemudian
langsung menghubungi Asisten Residen dengan tertulis dan lisan. Suasana pun
semakin gempar. Segera Asisten Residen mengadakan rapat yang dihadiri oleh
Bupati Garut, Patih Rd. Suradihardja dan penghulu Rd. Moh. Tabri. Penghulu
menyarankan agar kembali diusahakan jalan musyawarah dengan Hasan Arif tapi
Asisten Residen sudah sangat marah dan kehilangan kesabarannya. Dia sangat
tersinggung karena alasan Hasan Arif bukan saja menolak menyerahkan padi tetapi
sudah siap menentang pemerintah Belanda. Asisten Residen langsung menghubungi
Residen JHR. L. de Steurs di Bandung dan akan mengambil tindakan kekerasan.
H. Gojali, Adikarta, dan Adinata diserahi tugas untuk menyiapkan urusan
peralatan perang berupa pengumpulan senjata tajam. Mereka juga menyiapkan kain
belacu berwarna putih lalu dipotong selebar enam meter dan dibagi-bagikan
kepada para santri dan pengikut Hasan Arif. Kain putih itu dimaksudkan sebagai
pakaian seragam yang bermakna jihad. Apabila seseorang mati dalam pertempuran,
maka baju atau kain putih itu sudah berlaku sebagai kain kafan pembungkus
jenazah. Jadi para pendukung perjuangan Hasan Arif sudah berniat mati syahid.
Barang-barang yang dipakai dalam peristiwa Cimareme tersebut sekarang berada di
Museum Sejarah Nasional VI/Siliwangi Bandung (Salinan surat penerimaan barang
di museum terlampir).
Selanjutnya H. Hasanudin, Udi dan Ijiguana diperintahkan untuk menghubungi
sahabat Hasan Arif yang tersebar di daerah-daerah dengan pesan agar pada hari
Bupati dan Asisten datang di Cimareme sudah mengerahkan pasukan bersenjata.
Ajakan Hasan Arif memperoleh respon positif. Sejak Kamis sore para sahabat
sudah banyak yang datang di daerah Cimareme dengan membawa pasukan bersenjata
tajam dan berbaju putih.
Pada keesokan harinya, Jumat tanggal 4 Juli 1919 sekitar jam 09.00 WIB
rombongan pemerintah Asisten Residen, Bupati, Wedono dan kontrolir dikawal oleh
27 Polisi Lapangan bersenjata (Vield Polite) dipimpin oleh Komando Datasemen
tiba di Cimareme.
Pertemuan antara Hasan Arif dan beberapa orang terdekatnya dengan Asisten
Residan L. Van Weeldern dan Bupati R.A.A Suria Kartalegawa. Hasan Arif
mengemukakan keberatannya atas keputusan pemerintah dan juga ketakutannya atas
ancaman Wedono Leles. Beliau juga bertanya bertanya apakah keputusan wajib jual
padi tersebut telah disahkan oleh Gubernur karena beliau merasa telah mengirimkan
suran melalui Lurah Wiriatmaja untuk disampaikan kepada Bupati tetapi tidak
menerima jawaban (Surat tertanggal 21 April 1919).
Asisten menyadari sepenuhnya bahwa kedudukan mereka tidak menguntungkan.
Kolonial Belanda yang hanya berjumlah 60 orang dihadapkan dengan 6000 orang
yang sudah siap mempertaruhkan jiwa raganya untuk berperang melawan mereka.
Perunding berjalan tanpa adanya suatu keputusan yang bisa diterima oleh
kedua belah pihak. Akhirnya Asisten Residen memutuskan : usul Hasan Arif akan
diteruskan kepada Gubernur Jendral di Batavia, semua pengawal Hasan Arif harus dipulangkan ke daerahnya
masing-masing, dan Hasan Arif harus menunggu dengan sabar karena akan memakan
waktu cukup lama untuk keputusan selanjutnya.
Keputusan tersebut merupakan suatu dalih atau tipu muslihat yang biasa
dilakukan penguasa Belanda kepada masyarakat pribumi, sebenarnya mereka tidak
sama sekali mempunyai itikad baik untuk mengabulkan permohonan apapun.
Bagi Hasan Arif dan pengikutnya hal itu belum dapat disebut kemenangan
tetapi baru bulatan tekad untuk mempersatukan keinginan. Hasan Arif
mempersilahkan sahabatnya beserta pasukannya untuk kembali ke daerahnya
masing-masing dengan catatan bahwa kewaspadaan harus tetap dijaga dan pasukan
tetap diperlukan sewaktu-waktu.
Residen Bandung setelah menerima laporan dari Asisten Residen segera
memerintahkan untuk mengerahkan dua kompi Marsose.
Hasan Arif mengira kalaupun pasukan Belanda akan menyerang diperkirakan
paling cepat dua minggu kemudian. Perkiraan Hasan Arif memang meleset. Tanpa
diduga tiga hari setelah kedatangan pemerintahan Belanda yang pertama tanggal 7
Juli 1919 sebanyak 300 orang pasukan Belanda mendatangi Cimareme dan mengepung
rumah Hasan Arif. Pasukan marsose itu dibagi dua, satu kompi tetap mengepung
rumah Hasan Arif sedangkan yang lainnya melakukan razia. Setiap laki-laki yang
dijumpai ditangkap dan dikumpulkan di pekarangan rumah Hasan Arif.
Sementara itu pasukan marsose di rumah Hasan Arif berusaha pula untuk
menangkap Hasan Arif. Mereka mengancam supaya Hasan Arif segera keluar dan
menyerah, kalau tidak menyerah akan ditembak mati.
Situasi di dalam rumah Hasan Arif yang berisi 116 orang tersebut sangat
mencekam. Perintah untuk keluar terus diteriakkan tidak membuahkan hasil,
sekalipun tembakan salvo yang pertama telah ditembakkan.
Pasukan marsose semakin tidak sabar, mereka mulai menembaki rumah tersebut
dengan arah yang lebih rendah. Akhirnya mereka mendobrak masuk ke rumah dan memberondong Hasan Arif
yang sedang bersembahyang dengan tembakan-tembakan gencar bersama dengan
anggota keluarga dan pengikut lainnya. Maka gugurlah Hasan Arif ditmbak oleh
pasukan pemerintah kolonial Belanda tepat pada arah kepala ketika beliau sedang
menghadap Tuhan.
Pada pukul 16.00 WIB, barulah peristiwa pembunuhan tersebut dapat selesai
dengan meninggalkan korban dan air mata. Dalam peristiwa tersebut telah gugur 7
orang, 22 luka-luka, dan 33 ditawan (data terlampir).
3.4 Peristiwa Cimareme
dengan Kegiatan Sarekat Islam
Pihak Belanda menuduh bahwa peristiwa Cimareme itu merupakan pemberontakan
yang diatur oleh Sarekat Islam, khususnya Sarekat Islam Afdeeling B. Sebagian
pihak keluarga Hasan Arif mengatakan bahwa gerakan tidak ada hubungannya dengan
kegiatan Sarekat Islam apalagi Sarekat Islam Afdeeling B.
Perlu diketahui bahwa sekitar tahun 1914-1915 sudah terdapat 15 kring
Sarekat Islam antara lain : Sadang, Malangbong, Tarogong, Bojong Salam, Leles,
Tanggulung, Margawati, Cikujang, Nangkaruka, Pameungpeuk dan Cimareme. Pimpinan
Sarekat Islam di Cimereme adalah Haji Gojali, menantu dari Hasan Arif (A.
Somara, 24). Pertumbuhan Sarekat Islam di Garut bagaikan jalatan api di padang
rumput yang menimbulkan rasa takut dalam hati orang Belanda yang konservatif.
Berdasarkan analisis D.M.G. Konch, di dalam tubuh Sarekat Islam terdapat
tiga aliran, yaitu bersifat fanatic, yang menentang keras dan golongan yang
hendak mencari kemajuan dengan berangsur-angsur dan dengan bantuan pemerintah.
Tetapi bagaimanapun, cirri kerohanian Sarekat Islam tetap demokratis dan
militant, sangat siap untuk berjuang. Beberapa aspek perjuangan terkumpul
menjadi satu di dalam tubuh Sarekat Islam, sehingga Sarekat Islam merupakan
gerakan nasionalistis, demokratis dan ekonomis.
Dari tahun 1917-1920, Sarekat Islam merupakan organisasi massa yang pertama
di Indonesia dan pengaruhnya sangat nyata dalam politik Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri, bahwa corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang ini juga
menyebabkan aliran Marxis dapat meynyusup ke dalam tubuh Sarekat Islam
diantaranya Sarekat Islam di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.
Sementara itu, sebagai akibat dari penyusupan marxis yang berkepanjangan
akhirnya di tubuh Sarekat Islam terjadi perpecahan. Istilahnya dikenal dengan
Sarekat Islam golongan kiri (Afdeeling B) dan Serekat Islam golongan kanan.
Sarekat Islam Afdeeling B bergerak dengan kekiri-kirian, bergerak dengan
rahasia bahkan anggota Sarekat Islam biasa pun tidak boleh mengetahui. Taktik
perjuangan Sarekat Islam Afdeeling B itu antara lain:
1. Barahan : artinya segera menyerahkan uang
dan harta benda sejumlah 1/3nya kepada khazanah perang manakala perang sabil
sudah pecah di Pulau Jawa.
2. Tetap agama Islam : tetap berpegang teguh
pada ajaran agama Islam dan menentang mereka yang murtad.
3. Ikhlas : semua penghianat yang membocorkan
rahasia Sarekat Islam Afdeeling B harus dibunuh.
4. Peletik : bertanggung jawab sendiri
terhadap akibat yang diterimanya, meskipun tindakn itu dilakukan bersama orang
lain.
Apabila kita memakai analisis D.M.G. Koch terhadap Sarekat Islam Afdeeling
B, maka mereka itu termasuk kelompok yang menentang keras.
Dihubungkan dengan riwayat perjuangan Hasan Arif, maka beliau jelas tidak
memiliki pandangan yang sama dengan Sarekat Islam Afdeeling B. Walaupun Hasan
Arif sebagai pimpinan umat Islam, tetapi cara kekiri-kirian yang ada pada pihak
Afdeeling B itu tidak sama dengan kepribadian beliau. Hasan Arif pada
hakekatnya lebih bergerak secara luas, dalam skala pergerakan kebangsaan, dan
tidak mengikatkan diri pada Sarekat Islam Afdeeling B itu.
Hal ini diperkuat oleh penglihatan Residen Priangan, De Steurs kepada
Gubernur Jendral Van Limburg Stirum bahwa pemberontakan Cimareme itu mempunyai
sumber yang berlainan dengan gerakan Sarekat Islam Afdeling B.
Pemberontakan Cimareme itu tidak berasal dan tidak memperoleh pimpinan dari
pusat Sarekat Islam Afdeeling B, tetapi bahkan yang terjadi adalah Hasan Arif
memang berniat melawan pemerintah Belanda dengan kekerasan, dan beliau hanya
memanfaatkan eksistensi organisasi Afdeeling B untuk tujuan melawan Belanda.
BAB IV KESIMPULAN
1. Peristiwa Cimareme merupakan mata rantai
dari perjuangan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang hakiki. Semangat
perjuangan telah dibuktikan dari setiap pribadi masyarakat Indonesia walaupun
hidup di alam pedesaan.
2. Kejadian penolakan pembayaran wajib padi
oleh pemerintah kolonial Belanda hanya merupakan sebab langsung dari peristiwa
Cimarene, sedangkan penyebab khususnya merupakan wujud penolakan masyarakat
Indonesia atas penetrasi yang dilakukan oleh Belanda.
3. Peristiwa Cimareme dan gerakan Sarekat
Islam Afdeeling B merupakan dua peristiwa yang harus dipisahkan.
4. Hasan Arif mempunyai peranan yang sangat
penting dalam peristiwa Cimareme. Dengan semangat patriotismenya mampu
menggugah kesadaran para pengikutnya untuk berani melawan penjajahan.
DAFTAR REFERENSI
Harton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1990. Sosiologi
Pedesaan. Jakarta :
Erlangga
Kuyoto, Sutrisno.1983. Hasan Arif Riwayat Hidup dan Perjuangannya.
Jakarta : Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
H. Lubis, Nina. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Bandung : Hu+maniora Utama Press.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1967.
Pergerakan Sosial dalam Sejarah Indonesia.
UGM: Dies Natalis.
S. Surjontoro. 1975. Kamus Praktis Serba Guna. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Harian Kompas
Surat Kabar Garut Post
www.Garut.go.id
www.islamina.com
www.pikiran-rakyat.com
http:fakta.blogsome.com
Sumber:
Makalah pada Lomba Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat
SMA/Sederajat yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung, tanggal 27 September 2007.