Golok Ciomas, Lestarikan Tradisi
Bedog atau golok ciomas Banten sudah sedemikian masyhur. Secara tradisional, pembuatannya telah berlangsung turun-temurun sejak beberapa ratus tahun silam. Hanya saja golok berciri khas sulangkar—bilah golok berupa serat yang umumnya berkarat ini, hingga sekarang tidak diproduksi secara massal. Apa sebab?
Ciomas merupakan salah satu kecamatan di Provinsi Banten. Golok ciomas tentu dibuat di Ciomas, akan tetapi golok yang dibuat di Ciomas tidak semuanya dikategorikan sebagai golok ciomas. Setidaknya ada sejumlah aspek atau kriteria sehingga golok yang diproduksi dapat disebut golok ciomas.
Menurut kisah, golok ciomas yang kali pertama diberi nama si Rebo itu dibuat Ki Cengkuk. “Golok tersebut kini dipegang oleh Duhari, generasi ke-7 dari Ki Cengkuk. Termasuk palu godam si Denok yang dulu dipakai untuk menempa si Rebo,” terang Risa Nopianti, salah seorang peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat.
Saat dijumpai di kantornya di bilangan Jalan Cinambo, Kota Bandung, Selasa (19/7/2016), dia lantas menjelaskan, Duhari diwarisi dua benda yang dikeramatkan masyarakat Ciomas itu dari ayahnya, Ki Jamsari. Golok ciomas yang kini dibuat satu-satunya pandai besi bernama Sidik Santani, harus melalui sejumlah aspek termasuk ritual dan tidak bisa ditempa di sembarang waktu.
Yudi Putu Satriadi yang juga peniliti di BPNB menambahkan, syarat lainnya adalah bedog ciomas harus dibuat pada bulan Maulid atau Rabiul Awal dalam penanggalan Islam. Jadi tidak diproduksi sepanjang tahun. Selain itu, bahan baku yang akan ditempa harus berasal dari daerah setempat berupa besi tua bahkan yang sudah terkubur sekalipun.
“Yang juga menjadi keharusan, bakalan golok tersebut harus ditempa, diulas atau setidaknya ada kontak dengan godam pusaka si Denok. Proses itu sudah berlangsung secara tradisi,” katanya. Di luar sejumlah syarat tadi, proses pembuatan golok ciomas sama dengan pembuatan golok pada umumnya. Pun begitu dengan bagian-bagiannya. Secara umum golok atau bedog terdiri dari bilah, pérah (gagang), dan sarangka (sarung).
Selama ini dikenal empat jenis golok ciomas. Selain candung dan mamancungan, ada juga kembang kacang dan salam nunggal. Meski serupa, tapi masing-masing jenis memiliki karakter bentuk yang berbeda.
Sumber: http://jelajahnusa.com
Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Sulawesi Selatan
Judul | Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya Daerah Sulawesi Selatan |
Pengarang | Darwas Rasyid, Arief Alimuddin, Agussalim Munadah, Ali Suemarto, dan Zakaria |
Penerbit | Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan |
Cetakan | Pertama, 1991 |
Tebal | xii + 213 halaman |
Desain Sampul | Lestari |
Cara Menjaga Budaya Tradisional agar Tetap Eksis
Masyarakat di Bandung perlu melestarikan budaya tradisional seiring era globalisasi yang mengancam tradisi lokal tersebut.
Peneliti Kebudayaan Ani Rostiyati dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung memaparkan ada beberapa cara kreatif yang bisa diimplementasikan untuk mempertahankan budaya.
Pertama memperkenalkan cerita rakyat sedari dini. “Cerita rakyat selain menggambarkan ciri khas suatu daerah, di sana terdapat muatan nilai moral sangat tinggi yang dapat menjadi contoh bagi generasi muda,” katanya kepada AyoBandung, Selasa (31/1/2017).
Kedua, pemutaran film yang menceritakan tentang sejarah. Agar menarik minat anak-anak, film bertema sejarah bisa dibuat dengan bentuk animasi atau visual yang menarik.
“Contohnya film Battle of Surabaya. Dalam film itu nilai historisnya sangat tinggi. Menceritakan tentang arek-arek Suroboyo yang dipimpin oleh Bung Tomo saat merebut kembali kota Surabaya dari serangan agresi militer Belanda,” ujarnya.
Selain itu, penyajian menarik bisa diimplementasikan dalam pertunjukan wayang. Selama ini anak-anak menilai wayang sebagai sosok yang menyeramkan. Oleh karenanya, pertunjukan wayang bisa diganti menjadi wayang boneka dengan tampilan yang lebih ramah untuk anak-anak.
“Pertunjukannya tidak harus tiga hari tiga malam seperti pertunjukan wayang zaman dulu. Bisa saja waktunya dipersingkat. Dengan tampilan wayang boneka yang lebih bisa diterima oleh anak-anak,” katanya.
Ani juga mengimbau agar pihak sekolah lebih memperdalam tentang kurikulum muatan lokal. Di sekolah sebaiknya lebih banyak diajarkan tentang tari daerah, lagu daerah, dan memperkenalkan alat musik daerah sejak dini.
“Biar anak-anak kita itu bangga, jika Indonesia beragam sekali budayanya. Dalam satu provinsi saja bisa terdapat lebih dari satu tarian atau alat musik daerah,” ujarnya.
Di samping itu, menjaga budaya dan tradisi bisa dilakukan dengan mengunjungi tempat bersejarah. “Tempat bersejarah merupakan saksi bisu dari perjuangan para pahlawan kita. Dengan mengunjungi tempat bersejarah diharapkan generasi muda sekarang bisa lebih menghargai jasa para pahlawan,” katanya. (Anggun Nindita Kenanga Putri)
Sumber: http://ayobandung.com
Mengenal Adat Kampung Naga
Oleh Aam Masduki
Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai bernama Sungai Ciwulan yang bermata air dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Secara administratif pemerintahan, Kampung Naga termasuk Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya ke daerah Kampung Naga kira-kira berjarak 30 km. Untuk mencapai kampung tersebut dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya, harus menuruni jalan kecil yang ditembok merupakan tangga sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter.
Penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam yang taat, di samping masih teguh memegang adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. Karena areal Kampung Naga terbatas, sehingga tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk yang termasuk adat se Naga bertempat tinggal di luar Kampung Naga maupun di luar Desa Neglasari. Bahkan ada di antara mereka yang bertempat tinggal di Kota Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Cirebon. Mereka masih taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka yang berpusat di dalam Kampung Naga. Pada waktu dilaksanakan adat dan upacara adat se Naga yang di pusatkan di Kampung Naga, mereka memerlukan datang ke Kampung Naga untuk melaksanakannya bersama-sama.
Nenek moyang orang-orang se Naga yang menurunkan keturunan dan adat istiadat Naga dan yang pertama-tama bertempat tinggal di Kampung Naga sekarang bernama Eyang Singaparana. Makamnya di berada di sebelah barat Kampung Naga. Makam Eyang Singapara dianggap makam keramat yang selalu diziarahi pada waktu diadakan upacara-upacara adat bagi semua keturunanya yaitu orang-orang yang termasuk ke dalam adat se Naga.
Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, maka masayarakat Kampung Naga selalu patuh menjalankan dan memelihara adat istiadat dan kebiasaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian juga dalam hal kesenian, mereka menggap tabu jenis-jenis kesenian yang bukan berasal dari nenek moyangnya, teruatama untuk dipertunjukan di dalam Kampung Naga. Oleh karena itu kesenian bagi masyarakat Kampung Naga tidak dapat dipisahkan dengan segi kehidupan lainnya dan dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka yang harus dipelihara dan dipertahankan. Jenis-jenis kesenian yang telah ada sejak nenek moyang mereka adalah Terbangan, Angklung, Beluk dan Rengkong.
Jenis kesenian yang masih hidup dan dipertahankan sampai sekarang adalah Terbangan dan Angklung. Kedua jenis kesenian tersebut dipertunjukan berhubungan dengan upacara-upacara adat seperti khitanan, perkawinan, upacara hajat sasih dan upacara arak-arakan menyambut hari proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus. Jadi kesenian bagi masyarakat Kampung Naga erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya, yaitu peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh nenek moyang mereka, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang secara turun temurun sampai sekarang.
Kepemimpinan Kampung Naga, dipimpin oleh dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Kuncen mempunyai tugas di antaranya mengatur dan mengurus hal adat, jika berhubungan dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW harus taat pada Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan penduduk Kampung Naga.
Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat-tempat tertentu yang dianggap angker. Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga mengunakan bentuk suhunan Julang Ngapak dengan beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat Balai Pertemuan dan Lumbung Padi (leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Penutup
Bagi Masyarakat Adat Kampung Naga, dengan menjalankan adat istiadat nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun, sehingga segala sesuatu yang bukan berasal dari karuhun dan segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh karuhun dianggap sesuatu yang tabu bila diladakan atau dilakukan oleh keturunan adat se Naga. Apabila hal itu dilakukan berarti pelanggaran adat, dan pasti akan mendatangkan malapetaka. Selan itu hal demikian dianggap tidak menghormati para leluhur atau nenek moyang mereka.
Sumber: Makalah disampaikan dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan Sukabumi 2013.
Sawen
Sawen adalah cara tradisional yang dipercaya oleh masyarakat Banceuy dapat menolak berbagai gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit. Kepercayaan itu merupakan warisan leluhur mereka yang sudah berlangsung secara turun temurun. Latar belakang mereka memasang sawen sebagai sikap preventif untuk menolak atau mencegah datangnya musibah yang akan menimpa kehidupan mereka.
Unsur inti sawen adalah jenis-jenis tumbuhan tertentu yang dianggap mengandung kekuatan magis. Jenis-jenis ini dicari dan dikumpulkan secara kolektif dengan jumlah sesuai yang diperlukan. Melalui ritual khusus, tiap jenis tumbuhan diikat menjadi beberapa gulungan dan dua bentuk lainnya. Ritual dengan media kemenyan dan lain-lain dipimpin oleh seseorang yang disebut abah. Sawen kemudian ditempatkan di pintu masuk rumah, kandang hewan; juga di gang-gang (ini khusus pada saat upacara ngaruat bumi).
Ritual ini berhubungan erat dengan beberapa aspek kehidupan, seperti religi (kepercayaan), kesehatan, dan kepemimpinan. Ritual-ritual yang berkaitan dengan sawen, selain bermakna sebagai pelestari tradisi leluhur, juga merupakan media silaturahim dan kebersamaan, sehingga terjadi hubungan erat dan harmonis di kalangan masyarakat.
Konten Pengelolaan Website Kebudayaan
oleh: Yunus Satrio
(Makalah disampaikan dalam workshop pengelolaan website kebudayaan 3 -5 Juni 2014)
Sebuah website kebudayaan merupakan satu dari sekian banyak website yang secara spesifik berisi satu item yang ditinjau dari berbagai segi. Dengan demikian, akan sangat sulit bagi para admin yang tidak mengetahui seluk beluk tentang masalah, klasifikasi, dan arah dari sebuah kebudayaan. Selain itu, isi dari sebuah website kebudayaan juga harus diupayakan menarik dan terstruktur serta mengerti apa yang menjadi masalah-masalah tentang kebudayaan.
Dalam Workshop Pengelolaan Website Kebudayaan yang diselenggarakan pada tanggal 3 – 5 Juni 2014, salah satu pemapar, Yunus Satrio melalui makalah berjudul “Konten Pengelolaan Website Kebudayaan” mencoba untuk mengkaji masalah-masalah yang dihadapi peserta workshop perihal kesukaran mereka untuk mengisi konten website kebudayaan. Satrio melihat bahwa kesukaran yang dihadapi para pengelola website kebudayaan yaitu:
sukar mencari dan berbagi informasi
Sukar menentukan informasi apa yang menarik
Sukar menemukan isu
Sukar memperoleh arahan dari pimpinan
Tidak punya ide dan semangat
Apabila telah menemukan solusi dan menemukan masalah yang hendak diungkap. Bagaimana cara pengungkapannya. Apakah dalam bentuk deskripsi singkat, mendetail, ataukah disertai dengan analisa? Menurut Satrio, tulisan tentang budaya dapat disampaikan melalui berbagai bentuk, diantaranya:
Cerita : dongeng, mitos, folklor, dan sebagainya.
Pemikiran : Konsepsi tentang keheroikan, ketulusan, strategi, dan sebagainya.
Ulasan : deskripsi mengenai sebuah nilai dan karya budaya.
Kesan : penilaian sebuah peristiwa sejarah dan budaya
Opini : Pendidikan untuk semua orang
Ajakan : budaya santun, stop black campaign, dan sebagainya.
Pendidikan : Unsur-unsur candi
Penyampaian sebuah isi konten kebudayaan juga harus diupayakan jelas ditujukan pada kelompok tertentu. Pengkaburan ajakan atau penyampaian dari sebuah tulisan dapat membuat pembaca bingung kemana arah ajakan atau isi tulisan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, Satrio membagi arah tulisan untuk dikomunikasikan kepada 5 kelompok, yaitu:
Kelompok Usia
Kelompok Sosial
Kelompok Intelek
Kelompok Khusus
Masyarakat umum
Patut dicatat bahwa arah penyampaian tulisan juga harus harus disesuaikan dengan bahasa dan cara berkomunikasi dari kelompok tersebut. Penyampaian dengan bahasa yang sesuai akan sangat besar pengaruhnya terhadap minat kelompok untuk tertarik dan memahami isi tulisan.
Berikut di bawah ini adalah contoh konten dari dua website kebudayaan kemdikbud, yaitu:
www.kebudayaan.Kemdikbud.go.id
menyampaikan informasi tentang kegiatan kedinasan dan manfaatnya bagi masy
membangun kepercayaan masyarakat
Menjadi media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat terkait dengan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pilih berita yang bisa menjelaskan kinerja unit-unit kerja bidang kebudayaan dan pencapaian hasil yang bisa dinikmati oleh masyarakat.
www.kebudayaanindonesia.net
Memberi perhatian kepada persoalan jender, anakanak, dan orangtua
Memperoleh hubungan antar keyakinan, kelompok etnik, dan kelompok sosial
Website ini perlu dirancang menjadi cultural information center yang menyampaikan khasanah dan keberagaman budaya indonesia dan sebagai cultural hub.
Agar tampilan lebih menarik dan dipahami oleh pembaca, sebaiknya konten yang diupload tidak hanya diisi dengan tulisan semata. Satrio menyarankan untuk menambahkan beberapa bentuk grafis seperti gambar, dan video.
Menjelang akhir pemaparan, peserta diingatkan oleh Satrio bahwa setelah proses upload konten selesai maka akan timbul pertanyaan, maukah orang berkunjung lagi ke website kita? Isi konten yang bersifat alakadar biasanya akan ditinggalkan oleh pembaca dan mereka dipastikan tidak akan mengunjungi website kita lagi. Harus ada nilai informasi, pengetahuan umum, humanisme, dan konsistensi tulisan dalam konten kita sehingga pembaca diharapkan akan tertarik dan secara otomatis akan mengunjungi website kita lagi untuk melihat konten-konten lainnya yang ada dalam website.
Peran budayawan menjelang Pemilihan Presiden 2014
Gonjang ganjing dukungan dari berbagai pihak kepada salah satu capres cawapres menjelang pemilihan presiden 2014 saat ini santer dilakukan berbagai pihak. Tokoh yang dianggap berpotensi memiliki massa atau pengikut kerap didatangi oleh para tokoh dari masing-masing pendukung agar tertarik dan mengajak tokoh tersebut untuk mendukungnya.
Menjelang pilpres 2014, terlihat bahwa sebagian besar dari para tokoh yang didatangi oleh salah satu tim sukses tersebut berasal dari tokoh agama, organisasi masyarakat, purnawirawan, dan beberapa tokoh lainnya. Menarik untuk disimak bahwa sangat sedikit dari para tim sukses tersebut yang tertarik untuk meminta dukungan dari tokoh budaya atau budayawan agar tertarik dan mendukung kepada salah satu dari capres cawapres. Apakah kharisma dan massa pengikut dari tokoh budayawan tersebut sudah benar-benar memudar saat ini?
Terlepas dari sisi negatif atau positif dampak dari dukung mendukung salah satu capres cawapres menjelang pemilu presiden 2014, nampaknya kekuatan massa pendukung tokoh budaya atau budayawan sudah kurang dilirik lagi karena berbagai hal. Salah satunya mungkin disebabkan jumlah massa pendukung yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan massa dari tokoh agama ataupun tokoh organisasi masyarakat. Atau, tokoh budaya atau budayawan memang sudah tidak ada lagi yang bersuara atau memiliki kharisma. Mereka hanya berkutat dengan masalah budaya mereka sendiri dan tidak memikirkan atau berbicara perihal aspirasi tentang nilai-nilai luhur budaya mereka kepada salah satu capres cawapres. Perhatian terhadap kebudayaan dari para budayawan juga saat ini juga hanya terbatas dalam acara-acara resmi seperti seminar, lokakarya ataupun sarasehan namun tidak ada tindak lanjut untuk membentuk sebuah kekuatan yang menghidupkan kembali kearifan lokal dan nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang dianutnya. Alhasil, saat ini individu yang terlahir sebagai orang sunda, jawa, makassar, aceh, papua, dan lain-lain tidak memiliki pedoman atau tokoh yang dipedomaninya untuk menjadi orang sunda yang baik, orang jawa yang baik, dan lain-lain. Masyarakat saat ini hanya menyandang gelar terlahir sebagai orang sunda, jawa, dan lain-lain, tetapi tidak mengetahui bahasa, kesenian, kuliner, kearifan lokal, nilai budi pekerti luhur dan lain-lain yang khas dari budayanya.
Pilpres 2014 saat ini dapat dikatakan menjadi salah satu bukti bahwa sisi budaya memang nyaris dikesampingkan karena sudah hampir tidak memiliki kekuatan lagi baik dari segi massa, tokoh budayanya, apalagi nilai dan karya budayanya. (admin kebudayaan BPNB Bandung)