Oleh Aam Masduki
Kampung Naga terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dengan Tasikmalaya. Kampung ini berada pada suatu lembah yang subur, dilalui oleh sebuah sungai bernama Sungai Ciwulan yang bermata air dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Secara administratif pemerintahan, Kampung Naga termasuk Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya ke daerah Kampung Naga kira-kira berjarak 30 km. Untuk mencapai kampung tersebut dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya, harus menuruni jalan kecil yang ditembok merupakan tangga sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter.
Penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam yang taat, di samping masih teguh memegang adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. Karena areal Kampung Naga terbatas, sehingga tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk yang termasuk adat se Naga bertempat tinggal di luar Kampung Naga maupun di luar Desa Neglasari. Bahkan ada di antara mereka yang bertempat tinggal di Kota Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Cirebon. Mereka masih taat menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang mereka yang berpusat di dalam Kampung Naga. Pada waktu dilaksanakan adat dan upacara adat se Naga yang di pusatkan di Kampung Naga, mereka memerlukan datang ke Kampung Naga untuk melaksanakannya bersama-sama.
Nenek moyang orang-orang se Naga yang menurunkan keturunan dan adat istiadat Naga dan yang pertama-tama bertempat tinggal di Kampung Naga sekarang bernama Eyang Singaparana. Makamnya di berada di sebelah barat Kampung Naga. Makam Eyang Singapara dianggap makam keramat yang selalu diziarahi pada waktu diadakan upacara-upacara adat bagi semua keturunanya yaitu orang-orang yang termasuk ke dalam adat se Naga.
Sebagai rasa hormat kepada nenek moyangnya, maka masayarakat Kampung Naga selalu patuh menjalankan dan memelihara adat istiadat dan kebiasaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian juga dalam hal kesenian, mereka menggap tabu jenis-jenis kesenian yang bukan berasal dari nenek moyangnya, teruatama untuk dipertunjukan di dalam Kampung Naga. Oleh karena itu kesenian bagi masyarakat Kampung Naga tidak dapat dipisahkan dengan segi kehidupan lainnya dan dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka yang harus dipelihara dan dipertahankan. Jenis-jenis kesenian yang telah ada sejak nenek moyang mereka adalah Terbangan, Angklung, Beluk dan Rengkong.
Jenis kesenian yang masih hidup dan dipertahankan sampai sekarang adalah Terbangan dan Angklung. Kedua jenis kesenian tersebut dipertunjukan berhubungan dengan upacara-upacara adat seperti khitanan, perkawinan, upacara hajat sasih dan upacara arak-arakan menyambut hari proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus. Jadi kesenian bagi masyarakat Kampung Naga erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya, yaitu peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh nenek moyang mereka, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang secara turun temurun sampai sekarang.
Kepemimpinan Kampung Naga, dipimpin oleh dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Sanaga. Kuncen mempunyai tugas di antaranya mengatur dan mengurus hal adat, jika berhubungan dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW harus taat pada Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan penduduk Kampung Naga.
Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat-tempat tertentu yang dianggap angker. Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga mengunakan bentuk suhunan Julang Ngapak dengan beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat Balai Pertemuan dan Lumbung Padi (leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan, Wasiat dan Akibat.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Penutup
Bagi Masyarakat Adat Kampung Naga, dengan menjalankan adat istiadat nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun, sehingga segala sesuatu yang bukan berasal dari karuhun dan segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh karuhun dianggap sesuatu yang tabu bila diladakan atau dilakukan oleh keturunan adat se Naga. Apabila hal itu dilakukan berarti pelanggaran adat, dan pasti akan mendatangkan malapetaka. Selan itu hal demikian dianggap tidak menghormati para leluhur atau nenek moyang mereka.
Sumber: Makalah disampaikan dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan Sukabumi 2013.