Oleh: Saini K.M.
Bangsa Indonesia dianugrahi sejumlah besar jenis seni tradisional, baik seni rupa maupun seni pertunjukan. Namun sebanyak itu pula masalah yang dihadapi sehubungan dengan warisan yang berharga itu.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan sebagian dari masalah tersebut dan berturut-turut akan membahas: (1) Peran seni tradisional bagi masyarakat pendukungnya, (2) Perubahan masyarakat dan akibat-akibatnya, serta (3) Upaya yang layak dilakukan.
Peran Seni Tradisional
Bagi masyarakat lama, sebagai pencipta dan pendukungnya, di antaranya seni-seni tradisional ini merupakan bagian dari upacara. Di Kanekes, angklung Baduy adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upacara padi, baik pada masa menanam maupun pada upacara Seren Taun, ketika padi diantar dengan segala kemeriahan ke lumbung umum. Sedang seni pantun adalah bagian dari upacara ngaruwat (ngalokat), di mana suatu tempat (misalnya rumah baru) diselamatkan.
Sebelum Perang Dunia II, di daerah Priangan, wayang golek adalah bagian dari upacara perkawinan, ibing pencak bagian dari upacara khitanan. Sedang seni beluk biasa dilaksanakan kalau ada kelahiran.Pada seni longser, khususnya erotisisme pada tariannya dan pada pola struktural ceritanya, kuat dugaan kita tentang hubungan teater itu dengan upacara kesuburan.
Namun seni tradisional pun adalah juga bagian dari kegiatan kerja. Dengan gaya beluk, seorang petani menggiring pasangan kerbaunya membajak sawah. Demikian pula para nelayan, menarik jaring dengan menyanyi rambate-rata hayu !
Sudah barang tentu seni tradisionalpun jadi bagian dari hiburan. Sebuah gambang yang diletakkan di serambi dan ditabuh pada sore hari tanpa pendengar atau penonton adalah perlengkapan menghibur diri. Demikian pula sebuah kecapi siter di warung kopi, yang boleh dipetik siapa saja yang sudi, adalah juga alat menghibur diri.
Namun seni tradisionalpun juga merupakan medium pergaulan. Seperti tari Tayub, misalnya, adalah tari dengan apa seseorang dapat bergaul dengan sesamanya dan memperluas hubungan kerja.
Pada tari Keurseus, di mana penari mulai sangat memperhatikan keindahan dan gaya menari yang khas pribadi, pengalaman estetik mulai merasuk, baik bagi penari maupun bagi yang menonton. Demikian pula halnya dengan Tembang Sunda Cianjuran, di mana ketepatan pelaksanaan dan gaya penyanyi yang tiada duanya mendapat penghargaan yang tinggi.
Perubahan
Setelah Perang Dunia II, khususnya di masa Rezim Orde Baru, Indonesia mengalami proses industrialisasi yang sangat cepat, dengan pengaruhnya yang meluas dan mendalam. Pada dasarnya perubahan ini terjadi dari sifat masyarakat yang agraris-pedesaan menjadi masyarakat industri-dagang-perkotaan. Perubahan ini menyangkut pula nilai-nilai, dengan kata lain kebudayaan.
Di antaranya banyak upacara-upacara yang dianggap tidak praktis, tidak eknomis, dan bahkan bersifat takhayul. Di dalamnya ikut pula tergusur seni. Lebih-lebih lagi, seperti juga di masyarakat-masyarakat lain yang sedang meningkatkan industrialsiasinya, seni biasanya merupakan salah satu unsur yang terpinggirkan, termasuk di Indonesia. Di samping peminggiran itu terjadi pula komersialisasi seni yang tidak selalu sehat.
Sebagian terbesar dari jenis-jenis seni tradisional kita adalah ciptaan masyarakat agraris. Artinya lambang-lambang yang kedudukannya sangat penting di dalam karya-karya seni itu, diambil dari lingkungan agraris. Ketika lingkungan agraris menghilang, terutama generasi muda tidak dapat lagi menangkap makna dari lambang-lambang itu. Ini berarti kematian jenis-jenis seni itu.
Upaya
Salah satu ciri dari masyarakat maju adalah kemampuannya dalam menyelamat- kan dan melestarikan seninya tradisionalnya. Indonesia, sebagai bangsa yang dianugrahi begitu banyak jenis seni tradisional selayaknya sangat perduli dengan upaya penyelamat- tan dan pelestarian itu.
Indonesia benar-benar berlomba dengan waktu dalam menyelamatkan berbagai jenis seni tradisionalnya. Bagi jenis-jenis yang sudah rusak dan atau benar-benar sudah tercerai-berai, perlu dilakukan rekonstruksi. Perekaman dalam bentuk CD Rom adalah salah satu cara penyelamatan tersebut.
Berdasarkan perekaman seperti itu dapat pula dilakukan revitalisasi. Terhadap karya seni yang sudah terekam itu dilakukan pengemasan dan rekontekstualisasi. Seni ‘baru’ yang sudah dikemas dan direkonstekstualsiasi itu diharapkan akan mengalami revitalisasi.
Untuk melaksnakan upaya-upaya tersebut sudah barang tentu diperlukan tenaga profesional, yaitu kurator untuk seni rupa, dramaturg untuk seni pertunjukan. Untuk semua upaya itu, kita tidak dapat menunggu.
Sumber :
Makalah disampaikan pada Kegiatan Diskusi Kebudayaan Dalan Workshop dan Festival Seni Tradisional yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung bekerjasama dengan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Propinsi Lampung di Ruang Abung Balai Keratun Kantor Pemda Propinsi Lampung Juli 2007.