Asal Usul Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Sejak Kesultanan Banten
Asal usul Seba Baduy Banten atau Saba Baduy Banten. Ritual Seba Baduy merupakan tradisi berusia ratusan tahun sejak Kesultanan Banten. Di masa Pandemi COVID-19, Seba Baduy digelar 21-23 Mei 2021 secara terbatas.
Jumlah orang yang hadir dibatasi 20 orang warga Baduy. Mereka akan berkunjung ke Bupati dan Gubernur.
Perayaan adat Seba Baduy, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun.
Acara itu digelar setelah musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang.
Biasanya warga Baduy Dalam atau Urang Jero memakai busana dan ikat kepala putih. Mereka akan berjalan kaki hingga ratusan kilometer.
Acara ini selalu jadi daya tarik. Masyarakat dan pengunjung akan memadati sepanjang rute yang dilalui.
Sebelum lebih jauh, mari kita bahas arti dari seba. Dilansir dari situs pemerintah Kabupaten Lebak menjelaskan, Seba adalah bahasa baduy berarti seserahan.
Maka, Seba Baduy adalah ritual seserahan hasil bumi serta melaporkan berbagai kejadian yang telah berlangsung setahun terakhir di Suku Baduy kepada Ibu Gede dan Bapak Gede, yakni Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Gubernur Banten Wahidin Halim.
Langkah itu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil panen yang telah mereka tuai dan keinginan untuk berbagi dengan sesama. Ritual ini ditengarai sudah berlangsung sejak sebelum zaman Kesultanan Banten.
Sebelumnya, masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar sudah terlebih dahulu melakukan ritual adat Ngawalu dan Ngalaksa. Ngawalu ialah ritual yang diadakan tepat pascamusim panen selama tiga bulan. Pada masa Kawalu ini kawasan wisata Baduy ditutup.
Usainya periode Kawalu ditandai dengan ritual Ngalaksa. Pada saat inilah masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar mengadakan syukuran dengan saling berkunjung ke tetangga dan saudara, bersilaturahmi dan mengirimkan makanan sebagai ucapan syukur.
Sejarah Seba Baduy
Nandang Rusnandar dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung dalam tulisan berjudul Seba: Puncak Ritual Masyarakat Baduy, di Kabupaten Lebak Banten menerangkan, Orang Baduy beranggapan bahwa seba itu suatu keharusan yang tak boleh dilalaikan. Hasil bumi yang mereka panen belum boleh dinikmati, bila seba belum dilaksanakan. Seba juga ajaran leluhur mereka yang ada sejak kesultanan Banten.
Pada zaman ratu Banten, ada tiga rombongan yang berangkat menuju Serang. Mereka berangkat dari kampung masing-masing dan bertemu di suatu tempat untuk saling menunggu (dalam bahasa Sunda disebut dago, yang letaknya di selatan Leuwi Damar.
Dago berarti tunggu, karena mereka di tempat ini saling padago-dago menunggu, maka tempat itu kini menjadi Kampung Dago).
Mereka berangkat bersama-sama menuju Serang, kemudian rombongan pertama dari Kampung Bongbang, Karang, Jampang, Sajra yang diwakili oleh 172 jiwa, mereka diterima oleh istri sultan, Ratu Istri Badariah.
Rombongan kedua dari Parungkujang yang diwakili oleh 160 jiwa mereka melakukan seba dan diterima oleh Ratu Belentung istri Sultan, dan rombongan ketiga dari Parahyang yang diwakili oleh 40 jiwa, mereka melaksanakan seba dan diterima oleh permaisuri yang disebut Ratu Ayu.
Namun ketika sistem pemerintahan berubah, yaitu pada zaman kolonial Belanda, seba dilaksanakan menghadap bupati di Kota Serang yang dianggap oleh masyarakat Baduy keturunan Wirasuta atau Pangeran Astapati. Seba dikoordinasikan oleh jaro tujuh dan dikepalai oleh jaro Warega, hingga saat kini pun seba masih dilaksanakan.
Pantangan - Pantangan (Larangan)
Ada sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Baduy saat melakukan ritual seba. Pantangan- pantangan yang harus ditaati, baik oleh
warga tangtu atau panamping atau pun oleh individu-individu yang berkepentingan dalam pelaksanaan upacara seba sebelum maupun sesudah di antaranya :
Khusus warga tangtu, tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi.
Semua peserta baik tangtu maupun panamping tidak diperkenankan menggunakan alas kaki.
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian
modern.
Wanita atau anak gadis tidak diperbolehkan untuk mengikuti upacara seba.
Warga tangtu tidak boleh memakai baju bebas.
Untuk warga tangtu, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan.
Warnanya serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih. Desain baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju.
Busana mereka umumnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Sumber: https://banten.suara.com/read/2021/05/21/181422/asal-usul-seba-baduy-tradisi-ratusan-tahun-sejak-kesultanan-banten?page=all
Jumlah orang yang hadir dibatasi 20 orang warga Baduy. Mereka akan berkunjung ke Bupati dan Gubernur.
Perayaan adat Seba Baduy, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun.
Acara itu digelar setelah musim panen ladang huma, bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak zaman Kesultanan Banten di Kabupaten Serang.
Biasanya warga Baduy Dalam atau Urang Jero memakai busana dan ikat kepala putih. Mereka akan berjalan kaki hingga ratusan kilometer.
Acara ini selalu jadi daya tarik. Masyarakat dan pengunjung akan memadati sepanjang rute yang dilalui.
Sebelum lebih jauh, mari kita bahas arti dari seba. Dilansir dari situs pemerintah Kabupaten Lebak menjelaskan, Seba adalah bahasa baduy berarti seserahan.
Maka, Seba Baduy adalah ritual seserahan hasil bumi serta melaporkan berbagai kejadian yang telah berlangsung setahun terakhir di Suku Baduy kepada Ibu Gede dan Bapak Gede, yakni Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Gubernur Banten Wahidin Halim.
Langkah itu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil panen yang telah mereka tuai dan keinginan untuk berbagi dengan sesama. Ritual ini ditengarai sudah berlangsung sejak sebelum zaman Kesultanan Banten.
Sebelumnya, masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar sudah terlebih dahulu melakukan ritual adat Ngawalu dan Ngalaksa. Ngawalu ialah ritual yang diadakan tepat pascamusim panen selama tiga bulan. Pada masa Kawalu ini kawasan wisata Baduy ditutup.
Usainya periode Kawalu ditandai dengan ritual Ngalaksa. Pada saat inilah masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar mengadakan syukuran dengan saling berkunjung ke tetangga dan saudara, bersilaturahmi dan mengirimkan makanan sebagai ucapan syukur.
Sejarah Seba Baduy
Nandang Rusnandar dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung dalam tulisan berjudul Seba: Puncak Ritual Masyarakat Baduy, di Kabupaten Lebak Banten menerangkan, Orang Baduy beranggapan bahwa seba itu suatu keharusan yang tak boleh dilalaikan. Hasil bumi yang mereka panen belum boleh dinikmati, bila seba belum dilaksanakan. Seba juga ajaran leluhur mereka yang ada sejak kesultanan Banten.
Pada zaman ratu Banten, ada tiga rombongan yang berangkat menuju Serang. Mereka berangkat dari kampung masing-masing dan bertemu di suatu tempat untuk saling menunggu (dalam bahasa Sunda disebut dago, yang letaknya di selatan Leuwi Damar.
Dago berarti tunggu, karena mereka di tempat ini saling padago-dago menunggu, maka tempat itu kini menjadi Kampung Dago).
Mereka berangkat bersama-sama menuju Serang, kemudian rombongan pertama dari Kampung Bongbang, Karang, Jampang, Sajra yang diwakili oleh 172 jiwa, mereka diterima oleh istri sultan, Ratu Istri Badariah.
Rombongan kedua dari Parungkujang yang diwakili oleh 160 jiwa mereka melakukan seba dan diterima oleh Ratu Belentung istri Sultan, dan rombongan ketiga dari Parahyang yang diwakili oleh 40 jiwa, mereka melaksanakan seba dan diterima oleh permaisuri yang disebut Ratu Ayu.
Namun ketika sistem pemerintahan berubah, yaitu pada zaman kolonial Belanda, seba dilaksanakan menghadap bupati di Kota Serang yang dianggap oleh masyarakat Baduy keturunan Wirasuta atau Pangeran Astapati. Seba dikoordinasikan oleh jaro tujuh dan dikepalai oleh jaro Warega, hingga saat kini pun seba masih dilaksanakan.
Pantangan - Pantangan (Larangan)
Ada sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Baduy saat melakukan ritual seba. Pantangan- pantangan yang harus ditaati, baik oleh
warga tangtu atau panamping atau pun oleh individu-individu yang berkepentingan dalam pelaksanaan upacara seba sebelum maupun sesudah di antaranya :
Khusus warga tangtu, tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi.
Semua peserta baik tangtu maupun panamping tidak diperkenankan menggunakan alas kaki.
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian
modern.
Wanita atau anak gadis tidak diperbolehkan untuk mengikuti upacara seba.
Warga tangtu tidak boleh memakai baju bebas.
Untuk warga tangtu, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan.
Warnanya serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih. Desain baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju.
Busana mereka umumnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Sumber: https://banten.suara.com/read/2021/05/21/181422/asal-usul-seba-baduy-tradisi-ratusan-tahun-sejak-kesultanan-banten?page=all
Mengenal Kawalu, Upacara Adat Masyarakat Baduy untuk Menyucikan Diri
Masyarakat Kanekes atau yang kerap disebut sebagai Baduy, merupakan suatu kelompok adat Sunda yang tinggal di Kabupaten Lebak, Banten. Warga Baduy dikenal dengan kelompok yang masih memegang teguh tradisi. Salah satunya adalah upacara adat kawalu. Kawalu merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertanian yang diwujudkan dengan berpuasa. Upacara adat ini merupakan salah satu cara mereka menjaga pikukuh karuhun. Dalam tulisannya, Seba, Puncak Ritual Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Nandang Rusnandar, yang mengutip Kurnia, menyampaikan bahwa pikukuh karuhun ialah doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya.Dilaksanakan tiga kali setahun
Masyarakat Baduy melaksanakan kawalu sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Makna dari puasa ini adalah untuk membersihkan diri dari hawa nafsu yang buruk. Di bulan Kasa, mereka melakukan kawalu tembey atau kawalu awal. Pada tanggal 16, seluruh masyarakat Baduy akan berpuasa. Puasa ini dilakukan sehari semalam hingga tanggal 17. Di tanggal tersebut, mereka bakal berganti pakaian dengan yang baru dan bersih. Lalu sederet ritual dilakukan, seperti membuat saji (khusus wanita), mandi di sungai, pembacaan mantera oleh puun (ketua adat Baduy), dan diakhiri dengan makan saji (buka puasa). Puasa di bulan Karo disebut kawalu tengah, sedangkan di bulan Katiga dinamakan kawalu tutug.
Ritual ngalaksa
Di kawalu tutug, warga Baduy, baik tungtu (Baduy Dalam) dan panamping (Baduy Luar), menggelar ritual ngalaksa atau membuat makanan khas laksa. Prosesi ini dilakukan oleh ibu-ibu. Endang Supriatna dalam tulisannya Upacara Seba pada Masyarakat Baduy menjelaskan, laksa merupakan makanan berbahan tepung beras yang dibentuk seperti mi, lalu dicetak ke dalam tempat adonan yang dinamai sangku.
Nandang menuliskan, orang-orang yang membuat laksa haruslah yang berhati bersih dan jujur. Saat melangsungkan ngalaksa, warga Baduy memanfaatkannya untuk menghitung jumlah warga. Caranya, setiap kepala keluarga wajib menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada kokolot (tetua) kampung setempat.
Masyarakat Baduy melaksanakan kawalu sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Makna dari puasa ini adalah untuk membersihkan diri dari hawa nafsu yang buruk. Di bulan Kasa, mereka melakukan kawalu tembey atau kawalu awal. Pada tanggal 16, seluruh masyarakat Baduy akan berpuasa. Puasa ini dilakukan sehari semalam hingga tanggal 17. Di tanggal tersebut, mereka bakal berganti pakaian dengan yang baru dan bersih. Lalu sederet ritual dilakukan, seperti membuat saji (khusus wanita), mandi di sungai, pembacaan mantera oleh puun (ketua adat Baduy), dan diakhiri dengan makan saji (buka puasa). Puasa di bulan Karo disebut kawalu tengah, sedangkan di bulan Katiga dinamakan kawalu tutug.
Ritual ngalaksa
Di kawalu tutug, warga Baduy, baik tungtu (Baduy Dalam) dan panamping (Baduy Luar), menggelar ritual ngalaksa atau membuat makanan khas laksa. Prosesi ini dilakukan oleh ibu-ibu. Endang Supriatna dalam tulisannya Upacara Seba pada Masyarakat Baduy menjelaskan, laksa merupakan makanan berbahan tepung beras yang dibentuk seperti mi, lalu dicetak ke dalam tempat adonan yang dinamai sangku.
Nandang menuliskan, orang-orang yang membuat laksa haruslah yang berhati bersih dan jujur. Saat melangsungkan ngalaksa, warga Baduy memanfaatkannya untuk menghitung jumlah warga. Caranya, setiap kepala keluarga wajib menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada kokolot (tetua) kampung setempat.
Sumber: https://regional.kompas.com/read/2021/04/25/130344178/mengenal-kawalu-upacara-adat-masyarakat-baduy-untuk-menyucikan-diri?page=all