PROVINSI DKI JAKARTA
|
|
Kabupaten
|
|
KEPULAUAN
SERIBU
|
Religi
Kekerabatan
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
Kota
|
|
JAKARTA
BARAT
|
Religi
Kekerabatan
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
JAKARTA
PUSAT
|
Religi
Kekerabatan
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
JAKARTA
SELATAN
|
Religi
Kekerabatan
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
JAKARTA
TIMUR
|
RELIGI
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
JAKARTA
UTARA
|
Religi
Kekerabatan
Bahasa
Kesenian
Teknologi
Ekonomi
Pengetahuan
|
Peta Budaya Provinsi DKI Jakarta
Sejarah Koperasi di Kabupaten Tasikmalaya (Studi tentang Perkembangan Pusat Koperasi Pegawai Negeri di Tasikmalaya)
Oleh: Drs. H. Iwan Roswandi
Abstrak
Koperasi seringkali disebut sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Umumnya, usaha koperasi selalu didasari oleh rasa gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia. Kabupetan Tasikmalaya memegang peranan penting dalam perjalanan perkoperasian di Indonesia dengan adanya Kongres Koperasi Seluruh Indonesia Pertama di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia.Abstrak
Pusat Koperasi Pegawai Negeri Tasikmalaya adalah wadah pemersatu koperasi-koperasi pegawai negeri di Kabupaten Tasikmalaya ternyata mempunyai perjalanan yang menarik dengan berbagai terobosan usaha yang dilakukan dalam rangka meningkatkan usaha anggota. Pada saat ini, usaha PKPN telah berhasil meningkatkan pendapatan penghasilan para anggota.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat
Oleh: Ade Rohana, S.Sn. M.Si
(Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumedang)
A. Latar Belakang
Dewasa ini sedang terjadi kecenderungan pada masyarakat atau komunitas untuk kembali kepada kebudayaan sendiri, bahkan kepada akar primordialnya. Kecenderungan tersebut memperlihatkan besarnya keinginan masyarakat untuk kembali keakar budaya sendiri, salah satu contoh yaitu adanya pelaksanaan nilai-nilai budaya yang berupa adat istiadat oleh komunitas adat secara lebih gebyar, dan lebih implementatif sehingga banyak yang sudah menjadi kalender event rutin bukan saja yang berskala lokal, tetapi sudah ada yang berskala regional, bahkan nasional.
Apabila dilihat dari sifat-sifat kefanatikan masing-masing individual yang tergabung dalam komunitas adat, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua karakter yaitu: Pertama, komunitas adat yang menutup diri secara budaya, yaitu dengan menganut nilai-nilai asli (primordial) dan menolak nilai apapun dari luar yang tidak relevan dengan budaya asli bangsa Indonesia. Kedua, komunitas yang menyesuaikan diri secara kreatif terhadap globalisasi.
Komunitas yang kreatif akan menyadari bahwa besar atau kecil, cepat atau lambat, perubahan tidak dapat dihindarkan. Dalam konteks ini harus dengan matang nilai lama yang baik dan masih relevan dengan kondisi kehidupan modern, tidak lain adalah kearifan-kearifan lokal yang dapat menciptakan keseimbangan didalam menghadapai masalah-masalah aktual dan kontekstual.
Salah satu cara memetakan kearifan lokal adalah mengidentivikasikan tiga arah dominan tempat kearifan berlaku, yaitu hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta. Dengan kata lain bahwa kearifan lokal merupakan jawaban kreatif terhadap situasi geografis, geo politis, historis dan situasional yang bersifat lokal.
Berbicara tentang kearifan lokal, tentunya tidak lepas dari sejarah masa lalu. Kebesaran dan keagungan Pajajaran (Prabu Siliwangi) yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat, pasca Pajajaran Burak pada tahun 1579, dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun. Peralihan kekuasaan tersebut ditandai dengan penyerahan sebuah Mahkuta mas (Binokasih) dari Raja Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun oleh Kadaga Lante.
Sejarah membuktikan, baik pada era Prabu Geusan Ulun maupun Pangeran Kornel, secara geopolitik Sumedang menjadi pemersatu Sunda. Kekuasaan Sumedang Larang mencakup seluruh Jawa Barat kecuali Banten, Jayakarta dan Cirebon. Sejak jaman Mataram (1614) dan sejak Belanda menginjakkan kaki di bumi Indonesia (1619) pada Bupati Sumedang dikenal sebagai “Bupati Wedana” atau Wali Pemerintahan di Priangan. Karena itu, sangat wajar apabila ada prestensi ( ) bahwa Sumedang adalah Puseur Budaya Sunda. Sumedang menjadi bagian yang sangat penting dan titik masuk strategis bagi kemajuan Jawa Barat.
Beberapa Bupati Sumedang telah berpikir secara nasional, misalnya Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) pernah menghimbau Pemerintah Belanda agar bangsa Indonesia diberi pelajaran mempergunakan senjata dan pada suatu waktu Belanda harus memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Belanda menjawabnya dengan membangun benteng “Gunung Kunci” pada tahun 1917.
Sumedang dikenal luas sebagai Jogja kedua. Sebutan tersebut tidak lepas dari sejarah kemerdekaan yang menorehkan peran Sumedang yang sangat signifikan dalam pergerakan untuk turut menegakan kemerdekaan RI. Karena itu, Sumedang bukan hanya menjadi kebanggaan Jawa Barat, tetapi juga kebanggaan Indonesia.
Dari sekilas aspek sejarah tersebut, maka pembangunan kebudayaan di Kabupaten Sumedang, bukan saja mengarah kepada Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda di Jawa Barat, melainkan juga merupakan bagian penting dalam kesejarahan Budaya di tingkat nasional.
Selanjutnya, menggarisbawahi Sumedang sebagau Puseur Budaya Sunda, tentunya tidak akan lepas dari nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Sumedang, salah satu diantaranya adalah adat istiadat (keragaman budaya) yang dilaksanakan oleh komunitas adat sebagaimana telah disinggung diatas. Karena itu adalah merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang sangat bermanfaat bagi pembangunan mentalitas manusia di Kabupaten Sumedang, maka Pemerintah Daerah melalui leading sektornya, wajib membuat sebuah kebijakan dalam penanganan komunitas adat.
B. Maksud dan Tujuan
Mewadahi aspirasi masyarakat dalam menggali nilai-nilai luhur budaya Sumedang yang harus terus ditumbuhkembangkan melalui penangan komunitas adat.
Mensinergikan nilai-nilai budaya tersebut dengan nilai-nilai kekinian yang positif, sehingga dapat ditarik benang merahnya untuk pelaksanaan pembangunan menuju masyarakat yang sejahtera.
Melestarikan serta lebih mengangkat potensi adat istiadat melalui penanganan komunitas adat sehingga mempunyai data tarik yang tinggi.
Meningkatkan kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat yang terkandung didalamnya, melalui komunitas adat.
Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai budaya melalui event atau pelaksanaan adat istiadat.
Untuk lebih meningkatkan aktivitas masyarakat adat, dalam upaya memperkuat rasa kesatuan dan persatuan, serta untuk lebih mempertebal rasa dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
C. Landasan Hukum
1. Unsur Kebudayaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya serta kaitan Perda Propinsi Jawa Barat No. 5, 6, 7 Tahun 2003, mengisyaratkan adanya ruang lingkup sebagai bagian dari kebudayaan yang dalam hal ini adalah merupakan potensi serta bagian-bagian penting dalam unsur kebudayaan yaitu:
2. Pandangan Budaya Kesumedangan (dikutip dari: Benang Merah Sejarah Sumedang Larang, WD. Dharmawan Ider Alam, Kandaga Seni Budaya Sumedang, 2001)
Hal tersebut dapat dijangkau oleh “marifat ka diri, marifat ka Gusti ku pangalaman nyata” artinya : Kesempurnaan hidup hanya dapat dijangkau oleh sikap perilaku yang paling tinggi. Hal ini tercipta setelah mengetahui diri sendiri dan Tuhan dengan pengalaman nyata.
Kesempurnaan hidup bukan angan-angan kosong atau suatu keragu-raguan, paling utama harus berani mengatakan yang putih adalah putih, yang hitam adalah hitam. Dalam melaksanakan pembangunan dan kegiatan Pemerintahan;
Kesempurnaan hidup yang diharapkan akan hancur oleh ujung lidah sendiri “Tungtuyung Letah Leuwih seukeut tibatan congo Tumbak” artinya ujung lidah lebih tajam dari pada ujung Tombak.
b. Putika Kasumedangan
Prabu Taji Malela menciptakan ilmu putik Kasumedangan, yaitu suatu ilmu yang menuntun kesempurnaan hidup yang berpijak diatas landasan agama serta prinsip-rpinsipnya.
Putika pengertiannya identik dengan Mustika yang artinya pedoman hidup. Kasumedangan ialah sifat-sifat yang mencerminkan karakter leluhur Sumedang yang telah melakat di dalam nurani masyarakat pendukungnya
Kalimat-kalimat indah yang diwariskan oleh leluhur terdahulu sekedar alat (medium) untuk melakukan komunikasi batin dengan pewarisnya, Prabu Taji Malela memberikan syarat-syarat untuk menguasai Putika Kasumedangan tersebut, diantaranya:
3. Kegiatan Sebagai Upaya Penanganan Komunitas Adat
Sebagaimana telah diketahui bahwa adat istiadat yang masih biasa dilaksanakan di Kabupaten Sumedang baik secara individu ataupun secara berkelompok atau massal oleh komunitas adat, jumlahnya cukup banyak. Mengingat ini adalah merupakan potensi budaya atau kearifan lokal yang mengandung nilai serta manfaat bagi kehidupan manusia/masyarakat khususnya di Kabupaten Sumedang, maka tentunya diupayakan adanya langkah-langkah kongkrit yang mendukung terhadap eksistensi komunitas adat yang sudah secara konsisten serta rutin menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Berkaitan dengan Program sebagaimana tertera pada kolom diatas, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang tentunya berkewajiban untuk menangani komunitas adat mulai penginventarisasian komunitas adat, penjaringan aspirasi, pemberdayaan bagi komunitas adat, upaya pembinaan, pemberian penghargaan, sampai dengan penciptaan program kemitraan, fasilitasi terhadap pelaksanaan event adat oleh komunitas adat, pembentukan paguyuban seni budaya di tingkat kecamatan se Kabupaten Sumedang, upaya pengajuan alokasi anggaran baik ke APBD Kabupaten maupun ke APBD Propinsi, dengan harapan komunitas adat tersebut betul-betul menjadi partner yang seiring dan sejalan dalam melaksanakan program-program sehingga membawa kearah kemajuan yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat baik secara lahir maupun batin.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang
(Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumedang)
A. Latar Belakang
Dewasa ini sedang terjadi kecenderungan pada masyarakat atau komunitas untuk kembali kepada kebudayaan sendiri, bahkan kepada akar primordialnya. Kecenderungan tersebut memperlihatkan besarnya keinginan masyarakat untuk kembali keakar budaya sendiri, salah satu contoh yaitu adanya pelaksanaan nilai-nilai budaya yang berupa adat istiadat oleh komunitas adat secara lebih gebyar, dan lebih implementatif sehingga banyak yang sudah menjadi kalender event rutin bukan saja yang berskala lokal, tetapi sudah ada yang berskala regional, bahkan nasional.
Apabila dilihat dari sifat-sifat kefanatikan masing-masing individual yang tergabung dalam komunitas adat, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua karakter yaitu: Pertama, komunitas adat yang menutup diri secara budaya, yaitu dengan menganut nilai-nilai asli (primordial) dan menolak nilai apapun dari luar yang tidak relevan dengan budaya asli bangsa Indonesia. Kedua, komunitas yang menyesuaikan diri secara kreatif terhadap globalisasi.
Komunitas yang kreatif akan menyadari bahwa besar atau kecil, cepat atau lambat, perubahan tidak dapat dihindarkan. Dalam konteks ini harus dengan matang nilai lama yang baik dan masih relevan dengan kondisi kehidupan modern, tidak lain adalah kearifan-kearifan lokal yang dapat menciptakan keseimbangan didalam menghadapai masalah-masalah aktual dan kontekstual.
Salah satu cara memetakan kearifan lokal adalah mengidentivikasikan tiga arah dominan tempat kearifan berlaku, yaitu hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta. Dengan kata lain bahwa kearifan lokal merupakan jawaban kreatif terhadap situasi geografis, geo politis, historis dan situasional yang bersifat lokal.
Berbicara tentang kearifan lokal, tentunya tidak lepas dari sejarah masa lalu. Kebesaran dan keagungan Pajajaran (Prabu Siliwangi) yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat, pasca Pajajaran Burak pada tahun 1579, dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun. Peralihan kekuasaan tersebut ditandai dengan penyerahan sebuah Mahkuta mas (Binokasih) dari Raja Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun oleh Kadaga Lante.
Sejarah membuktikan, baik pada era Prabu Geusan Ulun maupun Pangeran Kornel, secara geopolitik Sumedang menjadi pemersatu Sunda. Kekuasaan Sumedang Larang mencakup seluruh Jawa Barat kecuali Banten, Jayakarta dan Cirebon. Sejak jaman Mataram (1614) dan sejak Belanda menginjakkan kaki di bumi Indonesia (1619) pada Bupati Sumedang dikenal sebagai “Bupati Wedana” atau Wali Pemerintahan di Priangan. Karena itu, sangat wajar apabila ada prestensi ( ) bahwa Sumedang adalah Puseur Budaya Sunda. Sumedang menjadi bagian yang sangat penting dan titik masuk strategis bagi kemajuan Jawa Barat.
Beberapa Bupati Sumedang telah berpikir secara nasional, misalnya Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) pernah menghimbau Pemerintah Belanda agar bangsa Indonesia diberi pelajaran mempergunakan senjata dan pada suatu waktu Belanda harus memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Belanda menjawabnya dengan membangun benteng “Gunung Kunci” pada tahun 1917.
Sumedang dikenal luas sebagai Jogja kedua. Sebutan tersebut tidak lepas dari sejarah kemerdekaan yang menorehkan peran Sumedang yang sangat signifikan dalam pergerakan untuk turut menegakan kemerdekaan RI. Karena itu, Sumedang bukan hanya menjadi kebanggaan Jawa Barat, tetapi juga kebanggaan Indonesia.
Dari sekilas aspek sejarah tersebut, maka pembangunan kebudayaan di Kabupaten Sumedang, bukan saja mengarah kepada Kabupaten Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda di Jawa Barat, melainkan juga merupakan bagian penting dalam kesejarahan Budaya di tingkat nasional.
Selanjutnya, menggarisbawahi Sumedang sebagau Puseur Budaya Sunda, tentunya tidak akan lepas dari nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Sumedang, salah satu diantaranya adalah adat istiadat (keragaman budaya) yang dilaksanakan oleh komunitas adat sebagaimana telah disinggung diatas. Karena itu adalah merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang sangat bermanfaat bagi pembangunan mentalitas manusia di Kabupaten Sumedang, maka Pemerintah Daerah melalui leading sektornya, wajib membuat sebuah kebijakan dalam penanganan komunitas adat.
B. Maksud dan Tujuan
Mewadahi aspirasi masyarakat dalam menggali nilai-nilai luhur budaya Sumedang yang harus terus ditumbuhkembangkan melalui penangan komunitas adat.
Mensinergikan nilai-nilai budaya tersebut dengan nilai-nilai kekinian yang positif, sehingga dapat ditarik benang merahnya untuk pelaksanaan pembangunan menuju masyarakat yang sejahtera.
Melestarikan serta lebih mengangkat potensi adat istiadat melalui penanganan komunitas adat sehingga mempunyai data tarik yang tinggi.
Meningkatkan kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat yang terkandung didalamnya, melalui komunitas adat.
Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai budaya melalui event atau pelaksanaan adat istiadat.
Untuk lebih meningkatkan aktivitas masyarakat adat, dalam upaya memperkuat rasa kesatuan dan persatuan, serta untuk lebih mempertebal rasa dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
C. Landasan Hukum
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
- Undang-uUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
- Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
- Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan
- Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
- Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
- Perda Propinsi Jawa Barat No. 8 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan Jawa Barat
- Perda No. 33 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang
- Perda No. 34 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan Ibukota Kabupaten Sumedang
- Perda No. 30 tahun 2003 tentang Pelayanan Ijin Kebudayaan dan Usaha Kepariwisataan di Kabupaten Sumedang
- Perda No. 2 Tahun 2008 tentang RPJPD Kabupaten Sumedang 2005-2025
- Perda No. 13 Tahun 2008 tentang RPJMD Kabupaten Sumedang 2008-2013
- Peraturan Bupati Sumedang No. 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda.
1. Unsur Kebudayaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya serta kaitan Perda Propinsi Jawa Barat No. 5, 6, 7 Tahun 2003, mengisyaratkan adanya ruang lingkup sebagai bagian dari kebudayaan yang dalam hal ini adalah merupakan potensi serta bagian-bagian penting dalam unsur kebudayaan yaitu:
- Kesenian
- Kepurbakalaan
- Kesejarahan
- Nilai-nilai tradisional dan adat istiadat
- Museum
- Bahasa / akasara / sastra
- Religius
- Museum sebanyak 1 buah
- Kelompok kesenian tradisional sebanyak 313 buah
- Jenis kesenian pentas sebanyak 54 buah
- Nilai tradisi/adat istiadat masyarakat sebanyak 32 buah
- Jumlah seniman sebanyak 419 grup
- Jumlah benda cagar budaya sebanyak 300 buah
- Situs sejarah dan keramat sebanyak 102 buah
- Sejarah Kerajaan Sumedang Larang, yang masih di hormati dan di pelajari sebagai mutan lokal yang mempunyai keterkaitan dengan Kerajaan Padjadjaran
- Bahasa Sunda yang sampai saat ini masih dimuliakan dan di pelajari dan dikembangkan.
2. Pandangan Budaya Kesumedangan (dikutip dari: Benang Merah Sejarah Sumedang Larang, WD. Dharmawan Ider Alam, Kandaga Seni Budaya Sumedang, 2001)
- Prabu Guru Adji Putih dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih, beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan ke dalam bentuk pusara atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees bunyinya u artinya usaha. Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup dalam pembangunan. “Akal Hade, usaha getol lamun teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal hebat tapi embung usaha hirupnya nganyuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyumputkeun elmu agama”.
- Prabu Taji Malela setelah turun tahta beliau menjadi Resi kemudian mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Gunung Lingga, disitu melakukan marifat dalam upaya mensempurnakan ilmunya. Selama jadi Resi banyak menciptakan pandangan-pandangan budaya yang disebut budaya Kasumedangan atau dalam istilah lain ilu Kasumedangan yaitu:
Hal tersebut dapat dijangkau oleh “marifat ka diri, marifat ka Gusti ku pangalaman nyata” artinya : Kesempurnaan hidup hanya dapat dijangkau oleh sikap perilaku yang paling tinggi. Hal ini tercipta setelah mengetahui diri sendiri dan Tuhan dengan pengalaman nyata.
Kesempurnaan hidup bukan angan-angan kosong atau suatu keragu-raguan, paling utama harus berani mengatakan yang putih adalah putih, yang hitam adalah hitam. Dalam melaksanakan pembangunan dan kegiatan Pemerintahan;
Kesempurnaan hidup yang diharapkan akan hancur oleh ujung lidah sendiri “Tungtuyung Letah Leuwih seukeut tibatan congo Tumbak” artinya ujung lidah lebih tajam dari pada ujung Tombak.
b. Putika Kasumedangan
Prabu Taji Malela menciptakan ilmu putik Kasumedangan, yaitu suatu ilmu yang menuntun kesempurnaan hidup yang berpijak diatas landasan agama serta prinsip-rpinsipnya.
Putika pengertiannya identik dengan Mustika yang artinya pedoman hidup. Kasumedangan ialah sifat-sifat yang mencerminkan karakter leluhur Sumedang yang telah melakat di dalam nurani masyarakat pendukungnya
Kalimat-kalimat indah yang diwariskan oleh leluhur terdahulu sekedar alat (medium) untuk melakukan komunikasi batin dengan pewarisnya, Prabu Taji Malela memberikan syarat-syarat untuk menguasai Putika Kasumedangan tersebut, diantaranya:
- Puasa Jero Warung: maknanya menguji diri dari pengaruh napsu lapar, prinsipnya menguji kesabatan dari pengaruh napsu lahiriah.
- Nymput Buni Dinu Caang agar manusia tidak sombong, tidak merasa dirinya paling kuat, paling suci, paling kaya dan paling pandai. Hidup dalam kesederhanaan adalah lebih hormat daripada hidup disanjung-sanjung oleh orang lain.
- Mata batin lebih tajam dari pada mata lahir, pembungkus kulit hanya sementara belaka. Martabat seseorang hanya dapat diakui dari ucap, pikiran dan perilaku yang sederhana dan bersahaja.
- Hirup miyuni Para, makin berisi makin tunduk, dalam arti yang luas adalah hati-hati dalam mengamalkan ilmu dan menjalani hidup. Tapi Pangerah (Tuhan) akan menuntut kepada orang yang menggunakannya. Rendah hati lebih baik dari kesombongan “Nabeuh Goong di Pasar” belum tentu bermanfaat bagi orang banyak.
- Ngaji sing Ngajirim, mengkaji kitab-kitab agama harus menghasilkan sesuatu yang dapat dirasakan oleh diri sendiri dan orang lain, oleh karena hidup memerlukan keseimbangan rohani dan jasmani.
3. Kegiatan Sebagai Upaya Penanganan Komunitas Adat
Sebagaimana telah diketahui bahwa adat istiadat yang masih biasa dilaksanakan di Kabupaten Sumedang baik secara individu ataupun secara berkelompok atau massal oleh komunitas adat, jumlahnya cukup banyak. Mengingat ini adalah merupakan potensi budaya atau kearifan lokal yang mengandung nilai serta manfaat bagi kehidupan manusia/masyarakat khususnya di Kabupaten Sumedang, maka tentunya diupayakan adanya langkah-langkah kongkrit yang mendukung terhadap eksistensi komunitas adat yang sudah secara konsisten serta rutin menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Berkaitan dengan Program sebagaimana tertera pada kolom diatas, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang tentunya berkewajiban untuk menangani komunitas adat mulai penginventarisasian komunitas adat, penjaringan aspirasi, pemberdayaan bagi komunitas adat, upaya pembinaan, pemberian penghargaan, sampai dengan penciptaan program kemitraan, fasilitasi terhadap pelaksanaan event adat oleh komunitas adat, pembentukan paguyuban seni budaya di tingkat kecamatan se Kabupaten Sumedang, upaya pengajuan alokasi anggaran baik ke APBD Kabupaten maupun ke APBD Propinsi, dengan harapan komunitas adat tersebut betul-betul menjadi partner yang seiring dan sejalan dalam melaksanakan program-program sehingga membawa kearah kemajuan yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat baik secara lahir maupun batin.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang
Kajian Mitos dan Nilai Dalam Cerita Rakyat di Kabupaten Subang
Oleh: Drs. Tjetjep Rosmana
Abstrak
Beberapa referensi mengungkapkan bahwa orang Sunda merupakan masyarakat yang relatif kurang gemar menulis. Hal ini dibuktikan dengan jumlah naskah kunonya yang jauh lebih sedikit dibanding naskah yang ada di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Bagi orang Sunda, penyampaian informasi budaya dan amanat-amanat leluhurnya lebih cenderung tersebar dalam tradisi lisan melalui cerita-cerita rakyat, dongeng-dongeng, uga (ramalan), perlambang, dan tradisi-tradisi tertentu.Abstrak
Hasil penelitian yang tertuang dalam tulsan ini memfokuskan kajian pada cerita rakyat. Pertimbangannya adalah cerita rakyat dapat dikatakan “barang langka” karena dewasa ini seakan-akan tenggelam oleh banyaknya unsur asing yang masuk dan merambah kebudayaan bangsa, terutama melalui media massa cetak maupun elektronik. Nilai-nilai luhur dalam cerita rakyat yang seharusnya sangat baik ditanamkan bagi anak-anak, sekarang sulit didapatkan. Anak-anak cenderung mengalihkan waktu luangnya dengan menonton tayangan televisi yang banyak menampilkan unsur-unsur dari kebudayaan asing. Pada akhirnya, dewasa ini banyak generasi muda yang memfigurkan tokoh-tokoh herois bangsa lain. Padahal banyak dan “berceceran” tokoh-tokoh herois bangsa yang dapat dibanggakan dan dijadikan figur bagi generasi penerus, yang didapat dari cerita rakyat.
Mengingat uraian di atas dan menyadari masih sangat sedikit dan terbatasnya upaya pengkajian mitos dan nilai budaya pada cerita rakyat, maka penulis berupaya mengkaji nilai luhur dalam beberapa cerita rakyat yang ada di Kabupaten Subang.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003
Struktur Sosial Masyarakat Nelayan (Studi kasus mengenai nelayan miskin di Kabupaten Subang)
Oleh: Drs. Toto Sucipto
Abstrak
Salah satu upaya untuk memerangi kemiskinan nelayan adalah mengetahui dan memahami secara terpadu mengenai sebab-sebab mereka menjadi miskin. Terdapat berbagai masalah yang menyangkut kemiskinan masyarakat nelayan. Adapun pada penelitian ini, masalah yang diketengahkan adalah pengaruh struktur sosial terhadap kemiskinan masyarakat nelayan. Penelitian juga dlengkapi dengan upaya untuk menemukan hubungan antara struktur sosial dengan etos kerja nelayan; serta faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi kemiskinan dan ketertinggalan nelayan. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikenali, maka diharapkan akan lebih mudah untuk mencari jalan bagi perbaikan nasib nelayan.Abstrak
Pengentasan kemiskinan sebenarnya tidak berhenti pada pemikiran konsepsional atau penelitian-penelitian belaka, melainkan harus terwujud dalam program nyata. Oleh karena itu, langkah lanjut dari penelitian ini diharapkan tampak dalam kebijakan-kebijakan pemerintah untuk berusaha memperbaiki keadaan taraf kehidupan masyarakat.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003
Tjimande Tarikolot Kebon Jeruk Hilir Kabupaten Lebak (Riwayat dan Perkembangannya)
Oleh: Drs. M. Halwi Dahlan
Abstrak
Di wilayah Kabupaten Lebak, TTKKDH lahir pada tahun 1953 yang disebarkan oleh Embah Buya yang memperoleh ilmu Cimande dari gurunya Embah Main murid Embah Khaer. Kini salah satu aset Propinsi Banten khususnya aset Kabupaten Lebak ini tetap tumbuh meskipun kondisi pembinaan mereka sangat terbatas. Oleh karena itu perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak selaku pembina aktifitas kebudayaan masyarakat perlu terus ditingkatkan melalui pergelaran-pergelaran untuk tujun promosi wisata.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003
Tradisi Kasumedangan dalam Perspektif Budaya Masa Kini
Oleh: R. Mohamad Achmad Wiriaatmadja
(Budayawan Sumedang)
Dengan ungkapan kata-kata yang sederhana, namun dikemas melalui sebuah lagu tempo dulu, maka orang akan mendengar irama merdu yang menggambarkan suasana alam lingkungan Kota Sumedang yang familiar, aman, dan damai. Kalau kita arahkan pandangan ke sekeliling Kota Sumedang dari tempat ini, maka akan tampak bahwa sesungguhnya bukan hanya Gunung Merak dan Gunung Puyuh saja. Sesuai dengan arah pandangan mata, tampak sekeliling Kota Sumedang dipagari oleh bukit-bukit yang memanjang. Di sebelah utara tampak Gunung Tampomas, yang menjadi ciri keasrian Sumedang. Daya tarik alami yang memancing keingintahuan misteri dibalik namanya.
Menyadari bahwa Kota Sumedang dilingkung gunung, dengan hutan, lembah ngarai, sungai dengan gemericik air dan saluran-saluran pematang sawah, dihias padi yang sedang menguning, kampung dan dusun yang tenteram dan asri. Orangpun bergumam, “Oh, iya memang Sumedang kota yang Nya-Galura Ngupuk”.
Kota Sumedang yang sudah berusia 304 tahun sampai sekarang tahun 2010, sejak tahun 1706. Kota yang sudah termasuk kota tua, yang dengan sendirinya memiliki sejarah panjang. Memiliki tradisi dan budaya yang khas Sumedang. Memiliki karakter tanah Priangan dengan ciri penduduknya yang berbahasa Sunda santun.
Suasana alam Sumedang yang cantik menawan. Kota kecil namun asri, memendam dan memancarkan aura khas Sumedang. Pantas, apabila dahulu Sumedang dijuluki sebagai “Italy of The East” oleh Johan Koning dalam buku berjudul “Het Paradijs van Java” karya seorang fotografer ulung Wijnand Kerkhoff. Pujian yang membuat kita masyarakat Sumedang merasa bangga, tetapi apakah bagi generasi masa kini, julukan yang sangat membanggakan itu dipahami? Mengapa mendapat julukan seperti itu? Apakah predikat yang seorang menyanjung Sumedang sebagai “Surganyaa dari Jawa:, masyarakatnya sadar, tahu dan turut bangga? Benarkah kondisi Sumedang masih seperti yang digambarkan sebagai Itali dari timur sekarang ini.
Sudah hampir satu abad buku “Het Paradijs van Java” dicetak dan dipublikasikan. Tentu saja dalam kurun waktu hampir satu abad potret suasana “Sumedang Tempo Doeloe” sudah berubah! Perubahan itu sayangnya bukan bertambah indah, nyaman, asri, tertib. Sebagaimana motto Sumedang berbunyi “Sumedang Tandang” Tandang sebagai akronim dari “Tertib-Aman-Nyaman-Dinamis-Anggun”.
Budaya tertib, budaya bersih, budaya sehat serta budaya gotong-royong, sebagaimana ciri khas priangan, yang nota-bene Sumedang sebagai puseurnya, sudah termakan zaman. Adalah Dr. F. De Haan yang menyebutkan asal-muasal istilah: “Priangan” dari tanah Sumedang Larang, yang kemudian berubah hanya sebagai “Preanger Regentschappen” saja. Dari titik awal itulah Sumedang Larang Mengalami “ngarangrang”. Filosofi Kasumedangan.
Bila menoleh ke belakang sejarah Sumedang, saat Prabu Tajimalela mulai meletakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dengan sebuah filosofi Kasumedangan, yang diantara lain berbunyi….Sinom:
Walaupun filosofi Kasumedangan telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang dalam hitungan ratusan tahun, namun nilai-nilai pedoman kehidupan bagi manusia masih tetap relevan. Bahwa manusia sebagai mahluk yang sempurna dengan akal dan perasaannya harus senantiasa berbuat baik, santun dan arif-bijaksana. Selaku khalifatulah fil ardi, harus senantiasa memelihara dan menjaga kelestarian hidup di dunia.
Dalam pengejawantahannya, selaku manusia yang berbudi hendaknya:
Kearifan yang telah dilakukan tertanam pada diri leluhur Sumedang, kemudian dianut dan dilanjutkan oleh para penerusnya, sehingga menjadi tradisi yang masih menjadi pedoman bagi peri kehidupan generasi masa kini.
Untuk membentengi diri dari keinginan yang negatif, sebagai akibat dari dorongan keinginan yang dapat menimbulkan dosa bahkan mengakibatkan penderitaan lahir dan batin, kita diingatkan dengan petuah “Ati suci-mangan halal”-“Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja”.
Dalam setiap langkah yang akan ditempuh harus selaras dengan itikad yang suci serta diawali dengan tindakan yang benar pula. Dahulu para leluhur Sumedang telah memberi contoh, yang kemudian diikuti generasi ke generasi selanjutnya, berupa tradisi dalam rangka upaya merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial.
1. Tradisi Dalam Siklus Kehidupan Manusia
Tradisi yang dijalankan sejak manusia dalam kandungan, lahir, dewasa, bekerja, menikah sampai bagaimana tata-cara bermasyarakat, bahkan bagaimana mengurus orang yang meninggal dunia. Sebuah siklus kehidupan manusia, bahkan bagaimana kontak dengan alam lingkungan hidupnya, diwarnai berbagai tradisi.
Tradisi Kasumedangan, sering sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan manusia di wewenangkan Sumedang, sudah barang tentu mengalami perubahan. Penyesuaian dan penyelarasan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, terutama masa kini. Ada tradisi Kasumedangan yang masih dijalankan, bahkan diselenggarakan dalam kemasan yang disesuaikan dengan tuntutan masa kini. Namun ada juga yang masih utuh tradisional.
Sekarang hal seperti itu sudah jarang digunakan. Namun tradisi tadi disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Dalam usia kandungan empat bulan, diselenggarakan pengajian, dengan motivasi yang sama.
Tradisi orang tua zaman dahulu, pasti menyimpan apa yang disebut “Kanjut Kundang”. Tempat menyimpan antara lain temu kunci, konenga temen (kunyit), bawang putih, tali ari-ari, uang logam satu Gulden (Perak); besarnya bergantung status sosial yang bersangkutan. Ini saat “Puput Udel”. Kini tradisi tersebut sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, selamatan biasa.
Tradisi “Marasan” – potong rambut bayi dengan hiasan “Kebon Alas”, inipun tradisi yang sudah ditinggalkan. Menurut ajaran agama Islam begit bayi berumur satu minggu, maka seekor domba disembelih lalu dagingnya dibagi-bagikan: Aqiqah atau Ekah.
Dalam hal merawat, mengebumikan dan memperingati hari kematian seseorang, dewasa ini sudah jelas menurut ajaran agama Islam. Namun demikian, ada yang masih melakukan tahlilan, 40 hari, dst. Ada tradisi yang khas Sumedang “Tradisi Kasumedangan”, yaitu antara lain “Lebaran ‘Iedul Fitri pada hari Jum’at”.
Pada waktu Hari Raya ‘Iedul Fitri jatuh pas hari Jum’at maka Bupati tidak melakukan shalat ‘Ied di Mesjid Agung.
Apa yang melatar belakangi tradisi tersebut?
Dahulu ketika ibukota Sumedang masih berkedudukan di Tagalkalong terjadi sebuah tragedi pembantaian pada Hari Raya ‘Iedul Fitri 1678. Sejumlah Pangerahan Panembahan sedang melaksanakan shalat ‘Iedul Fitri, tiba-tiba datang penyerbuan musuh dalam jumlah yang besar dan bersenjata lengkap. Tentu saja seluruh jemaah di mesjid Tagalkalong kewalahan melawan musuh. Perlawanan yang dilakukan tidak dapat mengusir para penyerbu. Pangeran Panembahan berhasil lolos dari maut akan tetapi banyak jatuh korban diantara balad Paneran Panembahan, termasuk para Pembesar dan keluarganya. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jum’at, 18 November 1678. Setelah peristiwa tragedi berdarah di hari Lebaran Jum’at 1678 itulah senantiasa diperingati sebagai hari berkabung.
Pangeran Panembahan memerintah Sumedang selama 50 tahun, merupakan masa pemerintahan paling lama, yaitu dari tahun 1656-1706. Para Bupati penerisnya sangat menghormati dan mengagumi keberanian dan kepemimpinan Pangeran Panembahan.
Banyak hasil pemikiran Pangeran Panembahan menjadi contoh untuk ditindaklanjuti, sehingga menjadikan Sumedang mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Belajar dari pengalaman, setelah ibukota Tegalkalong diserang dan diduduki musuh, maka beliau membentuk pasukan khusus pilihan, yang terdiri dari 40 orang – kemudian disebut Pamuk. Pamuk tersebut disebar ke berbagai tempat strategis dengan dibekali fasilitas yang diperlukan, termasuk diberi tanah garapan. Tanah garapan tadi disebut Carik.
Semenjak saat itu sistem Carik dikenal dan disebarluaskan di Sumedang. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketahanan fisik serta ketrampilan teknik bertempur para prajurit maka setiap hari Sabtu digelar latihan kesantikaan. Para prajurit dilatih kecakapan menunggang kuda sambil mempergunakan senjata. Alun-alun menjadi tempat latihan keterampilan prajurit. Tidaklah mengherankan, kalau Sumedang terkenal menguasai seni berolah raga kuda. Oleh karena itu balapan kuda sudah menjadi tradisi yang kuat dimasyarakat luas. Bukankah, Kudah Renggong dan Kuda Silat sudah lama dikenal di Sumedang? Selain itu Panahan di alun-alun dan tanah lapang juga sudah, menjadi salah satu tradisi Kasumedangan.
Membuka dan mengolah tanah pesawahan dengan berbagai kesenian tradisionalnya sampai sekarang masih dilakukan khususnya di daerah Rancakalong Upacara “Ngalaksa” setap tahun diselenggarakan, sebagai wujud mensyukuri nikmat atas hasil panen yang telah dicapai.
Seni “Jentreng – Tarawangsa” – “Rengkong” adalah wujud tradisi para petani di Rancakalong-Sumedang. Dalam kaitannya dengan merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial, dikenal tradisi “Marak” di aliran sungai. Sungai Cimanuk, Cipeles, Cipunagara diantara sungai-sungai yang populer pada zaman dulu, yang sering dijadikan acara “Marak”. Pada event ini proses pembauran antara para Petinggi Negeri dengan kalangan masyarakat bawah urang lembur.
Dahulu juga sering dilakukan “Bubujeng” atau berburu. Lokasi tradisi ‘Bubujeng’ ini, antara lain yang terkenal adalah hutan Sanggom di daerah Surian-Tanjung, berbatasan dengan Subang, Indramayu. Pada kesempatan seperti ini, kesempatan menggelar kesenian rakyat. Tentu saja kegiatan ini merupakan kesempatan yang sangat mengasyikan.
Tradisi Kasumedangan ada yang berlangsung di pusuer deyeuh, ada pula yang hidup di daerah pasisian, jauh lebih banyak dan bervariasi Tradisi Kasumedangan yang berlangsung di puseur deyeuh, di kalangan Pemangku Adat, tetap dilaksanakan seperti antara lain: “Ngaberesih Pusaka”, yang bertepatan dengan “Mauludan”, sudah sejak zaman dahulu “Upacara Mauludan” ini secara run diselenggarakan.
- Di Yogyakarta dikenal dengan “Upacara Sekaten”-“Grebeg Maulud”
- Di Cirebon-di Kasepuhan Cirebon ada “Upacara Panjang Jimat”.
- Di Solo ada upacara sejenis
Para pelaksanaannya secara turun-temurun menjadi pelaku upacara “Muludan” ini, agar memahami “Tradisi” ini.
Dengan demikian, maka kesinambungan acara ritual ini dapat dilaksanakan secara seksama. Tata cara yang berkaitan dengan ritual ini tetap sesuai kebiasaan para sepuh terdahulu. Menurut istilah sekarang, sudah ada “Protap” atau “SOP” yaitu: Standart Operational Procedur.
Tradisi Kasumedangan Upacara Pernikahan dengan menggunakan “Makuta dan Siger” – walaupun sekarang tidak lagi memakai yang asli terbuat dari Mas-Duplikat Mahkita Binokasri (orang menyebutnya Makuta Binokasih) masih banyak disukai oleh calon pasangan pengantin masa kini. Tradisi Upacara pernikahan gaya “Pengantin Kasumedangan” ini, sekarang bahkan memiliki nilai jual Budaya dan Kepariwisataan.
Sudah sangat sering digelar Seminar, Pinton Anggon, Pameran, Seni Budaya, maupun Festival Pakaian Pengantin se Nusantara diikuti, juga dalam Food Festival diperagakan Pakaian dan Mahkota Binokrasi dan Siger Kasumedangan digelar.
Tidak hanya di dalam negeri saja Upacara Adat Tradisi Kasumedangan ini diselenggarakan, tetapi juga sudah sampai ke luar negeri. Upacara Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini pernah diselenggarakan di Amerika.
Saya sungguh merasa sangat beruntung dapat mewakili keluarga khususnya, masyarakat Sumedang umumnya dalam menunaikan tugas sebagai “Duta Budaya”, pada Upacara Pernikahan menurut “Tradisi Kesumedangan” di Los Angeles, California, Amerika Serikat pada tahun 1997. Upacara Pernikahan Kasumedangan iniah diperagakan secara sempurna dan sukses pada waktu Festival Keraton Nusantara III di Cirebon, pada tahun 1997.
Kegiatan yang sama berturut-urut juga diselenggarakan pada setiap Festival Keraton Nusantara (FKN) berlangsung di:
- Festival Keraton Nusantara II di Kutai Kartanegara, tahun 2002
- Festival Keraton Nusantara IV di Yogyakarta, tahun 2004
- Festival Keraton Nusantara V di Solo, tahun 2006
Pada Festival Keraton Nusantara VI di Goa-Sulawesi tahun 2008, upacara ini tidak digelar.
Festival Keraton Nusantara VII tahun 2010, akan diselenggarakan di Palembang, sekitar bulan September. Insya Allah Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini akan digelar kembali. Karena telah merupakan “Ikon” Tradisi Kasumedangan.
Upacara pernikahan Tradisi Kasumedangan inipun sudah sering dilaksanakan pada level Elit Nasional, seperti pada pernikahan di keluarga Istana Cendana, saya sempat mengikutinya. Di kalangan petinggi negara lainnya pun sering berlangsung dengan memakai “Mahkota dan Siger Kasumedangan”. Kalangan selebritis nasional seperti artis beken Paramitha Rusady; saya sendiri yang memasangkan Mahkota dan Siger pada pasangan pengantin ini.
Dengan demikian, tradisi Kasumedangan telah naik kepermukaan forum nasional, bahkan forum tradisional. Adalah sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sunda, bahwa Budaya Tradisi Kasumedangan telah mendapat sambutan, pengakuan yang sangat meyakinkan akan ketinggian nilai filosofis dan seni kreativitasnya.
2. Bagaimana Prospek Tradisi Kasumedangan dalam Perkembangan Budaya Masa Kini
Di era globalisasi ekonomi, di tengah marak dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dunia dewasa ini, tentu saja dampaknya mempengaruhi pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pergeseran ke arah perubahan tata nilai pun tidak mudah dapat kita tolak. Kita tidak dapat mengelak dari pengaruh budaya luar lewat kemajuan teknologi elektronika. Sementara alih teknologi yang kian cepat maju, kita sangat perlukan. Sebab kalau tidak kita ikuti tentu akan berakibat fatal, kita akan ketinggalan. Bagaikan akan kembali seperti pada “jaman batu”. Generasi tua mewariskan budaya dan tradisi lama, sementara generasi muda “merasa canggung” menerimanya, karena pengaruh pergaulan dan “kemajuan budaya masa kini”.
Masyarakat masa kini sudah terlanjur bersikap dan berorientasi pada materialistis-kegemerlapan budaya asing yang konsumerisme. Tradisi lama “Tugur Tundan – susuk bendung – Ngepung maung – Menak mudun/kudu kapundayan” – gotong-royong, gawe bareng…sudah susah” Kalau tidak ada iming-iming upah, atau uang, tidak ada yang gratis. Bagi Sumedang masa kini, harus pula menghadapi:
Posisi Sumedang yang strategis sebagai penyangga Bandung, sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki keuntungan, karena jarak Bandung-Sumedang semakin cepat dijangkau. Demikian juga dari arah Timur, Cirebon, letak Sumedang berada di tengah dua kota besar di Jawa Barat. Sesungguhnya dimana ada tantangan, pasti ada peluang! Tinggal, apa yang dapat kita petik dari peluang yang ada. Apa yang Sumedang miliki sebagai potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang dapat “dijual”?
Marilah kita tata dan kembangkan dari potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang ada dengan kemasan yang lebih profesional. Mungkin dengan mempergunakan paradigma baru, dengan kata lain “Ngidung ka waktu, mibapa ka jaman”.
Suatu tradisi yang baik, mampu memberikan motivasi, spirit, juga tidak lupa menghormati orang tua, leluhur – karuhun kita.
Bukankah kita memiliki potensi budaya yang kaya? Antara lain”
Kegiatan yang gencar dan bervariasi akan memberi peluang pada “Revitalisasi Budaya Sunda” – khususnya “Revitalisasi Tradisi Kasumedangan” pada masa kini. Jangan sampai terjadi “Jati Kasih Ku Junti”. Dengan kata lain, itu semua diharapkan akan memberikan “nilai jual” yang tinggi bagi kemajuan dunia kepariwisataan Sumedang, disamping juga akan berdampak tumbuhnya “rasa memiliki budayanya sendiri”. Kunci kearah majunya potensi “Tradisi Kasumedangan” ini adalah adanya “Political will” pemerintah Kabupaten Sumedang, khususnya pemerintah Propinsi Jawa Barat pada umumnya. Pemerintah harus mampu “membaca peluang” yang ada. Sangat terbuka peluang bagi pemasaran potensi Tradisi Kasumedangan untuk dipromosikan sebagai daya tarik yang memiliki “value”.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang
(Budayawan Sumedang)
Sumedang dilingkung gunung
Aeh-aeh Merak sisi cai
Gunung Puyuh Tebeh Kidul
Molongpong jalan ka gudang
Aeh-aeh Merak sisi cai
Gunung Puyuh Tebeh Kidul
Molongpong jalan ka gudang
Dengan ungkapan kata-kata yang sederhana, namun dikemas melalui sebuah lagu tempo dulu, maka orang akan mendengar irama merdu yang menggambarkan suasana alam lingkungan Kota Sumedang yang familiar, aman, dan damai. Kalau kita arahkan pandangan ke sekeliling Kota Sumedang dari tempat ini, maka akan tampak bahwa sesungguhnya bukan hanya Gunung Merak dan Gunung Puyuh saja. Sesuai dengan arah pandangan mata, tampak sekeliling Kota Sumedang dipagari oleh bukit-bukit yang memanjang. Di sebelah utara tampak Gunung Tampomas, yang menjadi ciri keasrian Sumedang. Daya tarik alami yang memancing keingintahuan misteri dibalik namanya.
Menyadari bahwa Kota Sumedang dilingkung gunung, dengan hutan, lembah ngarai, sungai dengan gemericik air dan saluran-saluran pematang sawah, dihias padi yang sedang menguning, kampung dan dusun yang tenteram dan asri. Orangpun bergumam, “Oh, iya memang Sumedang kota yang Nya-Galura Ngupuk”.
Kota Sumedang yang sudah berusia 304 tahun sampai sekarang tahun 2010, sejak tahun 1706. Kota yang sudah termasuk kota tua, yang dengan sendirinya memiliki sejarah panjang. Memiliki tradisi dan budaya yang khas Sumedang. Memiliki karakter tanah Priangan dengan ciri penduduknya yang berbahasa Sunda santun.
Suasana alam Sumedang yang cantik menawan. Kota kecil namun asri, memendam dan memancarkan aura khas Sumedang. Pantas, apabila dahulu Sumedang dijuluki sebagai “Italy of The East” oleh Johan Koning dalam buku berjudul “Het Paradijs van Java” karya seorang fotografer ulung Wijnand Kerkhoff. Pujian yang membuat kita masyarakat Sumedang merasa bangga, tetapi apakah bagi generasi masa kini, julukan yang sangat membanggakan itu dipahami? Mengapa mendapat julukan seperti itu? Apakah predikat yang seorang menyanjung Sumedang sebagai “Surganyaa dari Jawa:, masyarakatnya sadar, tahu dan turut bangga? Benarkah kondisi Sumedang masih seperti yang digambarkan sebagai Itali dari timur sekarang ini.
Sudah hampir satu abad buku “Het Paradijs van Java” dicetak dan dipublikasikan. Tentu saja dalam kurun waktu hampir satu abad potret suasana “Sumedang Tempo Doeloe” sudah berubah! Perubahan itu sayangnya bukan bertambah indah, nyaman, asri, tertib. Sebagaimana motto Sumedang berbunyi “Sumedang Tandang” Tandang sebagai akronim dari “Tertib-Aman-Nyaman-Dinamis-Anggun”.
Budaya tertib, budaya bersih, budaya sehat serta budaya gotong-royong, sebagaimana ciri khas priangan, yang nota-bene Sumedang sebagai puseurnya, sudah termakan zaman. Adalah Dr. F. De Haan yang menyebutkan asal-muasal istilah: “Priangan” dari tanah Sumedang Larang, yang kemudian berubah hanya sebagai “Preanger Regentschappen” saja. Dari titik awal itulah Sumedang Larang Mengalami “ngarangrang”. Filosofi Kasumedangan.
Bila menoleh ke belakang sejarah Sumedang, saat Prabu Tajimalela mulai meletakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dengan sebuah filosofi Kasumedangan, yang diantara lain berbunyi….Sinom:
Sumanget Kasumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwasan ku beja
Sikepna titih caringcing
Jauh tina hiri-dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwasan ku beja
Sikepna titih caringcing
Jauh tina hiri-dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Walaupun filosofi Kasumedangan telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang dalam hitungan ratusan tahun, namun nilai-nilai pedoman kehidupan bagi manusia masih tetap relevan. Bahwa manusia sebagai mahluk yang sempurna dengan akal dan perasaannya harus senantiasa berbuat baik, santun dan arif-bijaksana. Selaku khalifatulah fil ardi, harus senantiasa memelihara dan menjaga kelestarian hidup di dunia.
Dalam pengejawantahannya, selaku manusia yang berbudi hendaknya:
Gumelar di pawenangan
Kudu ngajadi pantrangan
Ulah nyieun kagorengan
Sebab teu widi Pangeran
Mungguh kaluhungan Budi
Ageman jalmi utami
Pinasti selamet diri
Mo aya nu nyisikudi
Lamun urang nyleun nyeri
Pasti malindes ka diri
Adiling Gusti Yang Widi
Geus dipatok ajali
Kudu ngajadi pantrangan
Ulah nyieun kagorengan
Sebab teu widi Pangeran
Mungguh kaluhungan Budi
Ageman jalmi utami
Pinasti selamet diri
Mo aya nu nyisikudi
Lamun urang nyleun nyeri
Pasti malindes ka diri
Adiling Gusti Yang Widi
Geus dipatok ajali
Kearifan yang telah dilakukan tertanam pada diri leluhur Sumedang, kemudian dianut dan dilanjutkan oleh para penerusnya, sehingga menjadi tradisi yang masih menjadi pedoman bagi peri kehidupan generasi masa kini.
Untuk membentengi diri dari keinginan yang negatif, sebagai akibat dari dorongan keinginan yang dapat menimbulkan dosa bahkan mengakibatkan penderitaan lahir dan batin, kita diingatkan dengan petuah “Ati suci-mangan halal”-“Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja”.
Dalam setiap langkah yang akan ditempuh harus selaras dengan itikad yang suci serta diawali dengan tindakan yang benar pula. Dahulu para leluhur Sumedang telah memberi contoh, yang kemudian diikuti generasi ke generasi selanjutnya, berupa tradisi dalam rangka upaya merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial.
1. Tradisi Dalam Siklus Kehidupan Manusia
Tradisi yang dijalankan sejak manusia dalam kandungan, lahir, dewasa, bekerja, menikah sampai bagaimana tata-cara bermasyarakat, bahkan bagaimana mengurus orang yang meninggal dunia. Sebuah siklus kehidupan manusia, bahkan bagaimana kontak dengan alam lingkungan hidupnya, diwarnai berbagai tradisi.
Tradisi Kasumedangan, sering sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan manusia di wewenangkan Sumedang, sudah barang tentu mengalami perubahan. Penyesuaian dan penyelarasan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, terutama masa kini. Ada tradisi Kasumedangan yang masih dijalankan, bahkan diselenggarakan dalam kemasan yang disesuaikan dengan tuntutan masa kini. Namun ada juga yang masih utuh tradisional.
Sekarang hal seperti itu sudah jarang digunakan. Namun tradisi tadi disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Dalam usia kandungan empat bulan, diselenggarakan pengajian, dengan motivasi yang sama.
Tradisi orang tua zaman dahulu, pasti menyimpan apa yang disebut “Kanjut Kundang”. Tempat menyimpan antara lain temu kunci, konenga temen (kunyit), bawang putih, tali ari-ari, uang logam satu Gulden (Perak); besarnya bergantung status sosial yang bersangkutan. Ini saat “Puput Udel”. Kini tradisi tersebut sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, selamatan biasa.
Tradisi “Marasan” – potong rambut bayi dengan hiasan “Kebon Alas”, inipun tradisi yang sudah ditinggalkan. Menurut ajaran agama Islam begit bayi berumur satu minggu, maka seekor domba disembelih lalu dagingnya dibagi-bagikan: Aqiqah atau Ekah.
Dalam hal merawat, mengebumikan dan memperingati hari kematian seseorang, dewasa ini sudah jelas menurut ajaran agama Islam. Namun demikian, ada yang masih melakukan tahlilan, 40 hari, dst. Ada tradisi yang khas Sumedang “Tradisi Kasumedangan”, yaitu antara lain “Lebaran ‘Iedul Fitri pada hari Jum’at”.
Pada waktu Hari Raya ‘Iedul Fitri jatuh pas hari Jum’at maka Bupati tidak melakukan shalat ‘Ied di Mesjid Agung.
Apa yang melatar belakangi tradisi tersebut?
Dahulu ketika ibukota Sumedang masih berkedudukan di Tagalkalong terjadi sebuah tragedi pembantaian pada Hari Raya ‘Iedul Fitri 1678. Sejumlah Pangerahan Panembahan sedang melaksanakan shalat ‘Iedul Fitri, tiba-tiba datang penyerbuan musuh dalam jumlah yang besar dan bersenjata lengkap. Tentu saja seluruh jemaah di mesjid Tagalkalong kewalahan melawan musuh. Perlawanan yang dilakukan tidak dapat mengusir para penyerbu. Pangeran Panembahan berhasil lolos dari maut akan tetapi banyak jatuh korban diantara balad Paneran Panembahan, termasuk para Pembesar dan keluarganya. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jum’at, 18 November 1678. Setelah peristiwa tragedi berdarah di hari Lebaran Jum’at 1678 itulah senantiasa diperingati sebagai hari berkabung.
Pangeran Panembahan memerintah Sumedang selama 50 tahun, merupakan masa pemerintahan paling lama, yaitu dari tahun 1656-1706. Para Bupati penerisnya sangat menghormati dan mengagumi keberanian dan kepemimpinan Pangeran Panembahan.
Banyak hasil pemikiran Pangeran Panembahan menjadi contoh untuk ditindaklanjuti, sehingga menjadikan Sumedang mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Belajar dari pengalaman, setelah ibukota Tegalkalong diserang dan diduduki musuh, maka beliau membentuk pasukan khusus pilihan, yang terdiri dari 40 orang – kemudian disebut Pamuk. Pamuk tersebut disebar ke berbagai tempat strategis dengan dibekali fasilitas yang diperlukan, termasuk diberi tanah garapan. Tanah garapan tadi disebut Carik.
Semenjak saat itu sistem Carik dikenal dan disebarluaskan di Sumedang. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketahanan fisik serta ketrampilan teknik bertempur para prajurit maka setiap hari Sabtu digelar latihan kesantikaan. Para prajurit dilatih kecakapan menunggang kuda sambil mempergunakan senjata. Alun-alun menjadi tempat latihan keterampilan prajurit. Tidaklah mengherankan, kalau Sumedang terkenal menguasai seni berolah raga kuda. Oleh karena itu balapan kuda sudah menjadi tradisi yang kuat dimasyarakat luas. Bukankah, Kudah Renggong dan Kuda Silat sudah lama dikenal di Sumedang? Selain itu Panahan di alun-alun dan tanah lapang juga sudah, menjadi salah satu tradisi Kasumedangan.
Membuka dan mengolah tanah pesawahan dengan berbagai kesenian tradisionalnya sampai sekarang masih dilakukan khususnya di daerah Rancakalong Upacara “Ngalaksa” setap tahun diselenggarakan, sebagai wujud mensyukuri nikmat atas hasil panen yang telah dicapai.
Seni “Jentreng – Tarawangsa” – “Rengkong” adalah wujud tradisi para petani di Rancakalong-Sumedang. Dalam kaitannya dengan merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial, dikenal tradisi “Marak” di aliran sungai. Sungai Cimanuk, Cipeles, Cipunagara diantara sungai-sungai yang populer pada zaman dulu, yang sering dijadikan acara “Marak”. Pada event ini proses pembauran antara para Petinggi Negeri dengan kalangan masyarakat bawah urang lembur.
Dahulu juga sering dilakukan “Bubujeng” atau berburu. Lokasi tradisi ‘Bubujeng’ ini, antara lain yang terkenal adalah hutan Sanggom di daerah Surian-Tanjung, berbatasan dengan Subang, Indramayu. Pada kesempatan seperti ini, kesempatan menggelar kesenian rakyat. Tentu saja kegiatan ini merupakan kesempatan yang sangat mengasyikan.
Tradisi Kasumedangan ada yang berlangsung di pusuer deyeuh, ada pula yang hidup di daerah pasisian, jauh lebih banyak dan bervariasi Tradisi Kasumedangan yang berlangsung di puseur deyeuh, di kalangan Pemangku Adat, tetap dilaksanakan seperti antara lain: “Ngaberesih Pusaka”, yang bertepatan dengan “Mauludan”, sudah sejak zaman dahulu “Upacara Mauludan” ini secara run diselenggarakan.
- Di Yogyakarta dikenal dengan “Upacara Sekaten”-“Grebeg Maulud”
- Di Cirebon-di Kasepuhan Cirebon ada “Upacara Panjang Jimat”.
- Di Solo ada upacara sejenis
Para pelaksanaannya secara turun-temurun menjadi pelaku upacara “Muludan” ini, agar memahami “Tradisi” ini.
Dengan demikian, maka kesinambungan acara ritual ini dapat dilaksanakan secara seksama. Tata cara yang berkaitan dengan ritual ini tetap sesuai kebiasaan para sepuh terdahulu. Menurut istilah sekarang, sudah ada “Protap” atau “SOP” yaitu: Standart Operational Procedur.
Tradisi Kasumedangan Upacara Pernikahan dengan menggunakan “Makuta dan Siger” – walaupun sekarang tidak lagi memakai yang asli terbuat dari Mas-Duplikat Mahkita Binokasri (orang menyebutnya Makuta Binokasih) masih banyak disukai oleh calon pasangan pengantin masa kini. Tradisi Upacara pernikahan gaya “Pengantin Kasumedangan” ini, sekarang bahkan memiliki nilai jual Budaya dan Kepariwisataan.
Sudah sangat sering digelar Seminar, Pinton Anggon, Pameran, Seni Budaya, maupun Festival Pakaian Pengantin se Nusantara diikuti, juga dalam Food Festival diperagakan Pakaian dan Mahkota Binokrasi dan Siger Kasumedangan digelar.
Tidak hanya di dalam negeri saja Upacara Adat Tradisi Kasumedangan ini diselenggarakan, tetapi juga sudah sampai ke luar negeri. Upacara Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini pernah diselenggarakan di Amerika.
Saya sungguh merasa sangat beruntung dapat mewakili keluarga khususnya, masyarakat Sumedang umumnya dalam menunaikan tugas sebagai “Duta Budaya”, pada Upacara Pernikahan menurut “Tradisi Kesumedangan” di Los Angeles, California, Amerika Serikat pada tahun 1997. Upacara Pernikahan Kasumedangan iniah diperagakan secara sempurna dan sukses pada waktu Festival Keraton Nusantara III di Cirebon, pada tahun 1997.
Kegiatan yang sama berturut-urut juga diselenggarakan pada setiap Festival Keraton Nusantara (FKN) berlangsung di:
- Festival Keraton Nusantara II di Kutai Kartanegara, tahun 2002
- Festival Keraton Nusantara IV di Yogyakarta, tahun 2004
- Festival Keraton Nusantara V di Solo, tahun 2006
Pada Festival Keraton Nusantara VI di Goa-Sulawesi tahun 2008, upacara ini tidak digelar.
Festival Keraton Nusantara VII tahun 2010, akan diselenggarakan di Palembang, sekitar bulan September. Insya Allah Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini akan digelar kembali. Karena telah merupakan “Ikon” Tradisi Kasumedangan.
Upacara pernikahan Tradisi Kasumedangan inipun sudah sering dilaksanakan pada level Elit Nasional, seperti pada pernikahan di keluarga Istana Cendana, saya sempat mengikutinya. Di kalangan petinggi negara lainnya pun sering berlangsung dengan memakai “Mahkota dan Siger Kasumedangan”. Kalangan selebritis nasional seperti artis beken Paramitha Rusady; saya sendiri yang memasangkan Mahkota dan Siger pada pasangan pengantin ini.
Dengan demikian, tradisi Kasumedangan telah naik kepermukaan forum nasional, bahkan forum tradisional. Adalah sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sunda, bahwa Budaya Tradisi Kasumedangan telah mendapat sambutan, pengakuan yang sangat meyakinkan akan ketinggian nilai filosofis dan seni kreativitasnya.
2. Bagaimana Prospek Tradisi Kasumedangan dalam Perkembangan Budaya Masa Kini
Di era globalisasi ekonomi, di tengah marak dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dunia dewasa ini, tentu saja dampaknya mempengaruhi pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pergeseran ke arah perubahan tata nilai pun tidak mudah dapat kita tolak. Kita tidak dapat mengelak dari pengaruh budaya luar lewat kemajuan teknologi elektronika. Sementara alih teknologi yang kian cepat maju, kita sangat perlukan. Sebab kalau tidak kita ikuti tentu akan berakibat fatal, kita akan ketinggalan. Bagaikan akan kembali seperti pada “jaman batu”. Generasi tua mewariskan budaya dan tradisi lama, sementara generasi muda “merasa canggung” menerimanya, karena pengaruh pergaulan dan “kemajuan budaya masa kini”.
Masyarakat masa kini sudah terlanjur bersikap dan berorientasi pada materialistis-kegemerlapan budaya asing yang konsumerisme. Tradisi lama “Tugur Tundan – susuk bendung – Ngepung maung – Menak mudun/kudu kapundayan” – gotong-royong, gawe bareng…sudah susah” Kalau tidak ada iming-iming upah, atau uang, tidak ada yang gratis. Bagi Sumedang masa kini, harus pula menghadapi:
- Pengaruh dari pembangunan jalan tol “Cisumdayu”
- Pengaruh dari pembangunan bandar udara “Kertajati-Aerocity”
- Pengaruh dari pembangunan Bandung Metropolitan, yang akan berpengaruh pula pada pengembangan kawasan Jatinangor
- Pembangunan waduk Jatigede yang akan mengubah perilaku budaya lama pada budaya baru
Posisi Sumedang yang strategis sebagai penyangga Bandung, sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki keuntungan, karena jarak Bandung-Sumedang semakin cepat dijangkau. Demikian juga dari arah Timur, Cirebon, letak Sumedang berada di tengah dua kota besar di Jawa Barat. Sesungguhnya dimana ada tantangan, pasti ada peluang! Tinggal, apa yang dapat kita petik dari peluang yang ada. Apa yang Sumedang miliki sebagai potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang dapat “dijual”?
Marilah kita tata dan kembangkan dari potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang ada dengan kemasan yang lebih profesional. Mungkin dengan mempergunakan paradigma baru, dengan kata lain “Ngidung ka waktu, mibapa ka jaman”.
Suatu tradisi yang baik, mampu memberikan motivasi, spirit, juga tidak lupa menghormati orang tua, leluhur – karuhun kita.
Bukankah kita memiliki potensi budaya yang kaya? Antara lain”
- Sumedang memiliki museum Prabu Geusan Ulun
- Sumedang memiliki peninggalan-peninggalan sejarah yang banyak tersebar, berupa Benteng Gunung Kunci, Benteng Gunung Palasari, Benteng Gunung Gadung dll.
- Sumedang memiliki banyak situs dan makam leluhur yang sudah banyak dikenal masyarakat luas. Makam Pahlawan Nasional Cut Nyak Dien dll.
- Sumedang memiliki fasilitas lapangan pacuan kuda.
- Sumedang memiliki pesona alam dan cagar budaya, seperti Cadas Pangeran yang patut mendapat perhitungan kita bersama. Seyogyanya prasasti Cadas Pangeran tidak dibiarkan apa adanya. Namun, alangkah baiknya bila di kawasan Cadas Pangeran dibangun sebuah monumen untuk mengenang hiroisme dan patriotisme Pangeran Kornel disana saat pembangunan jalan pos dengan nama “De Groote Postweg”.
- Obyek wisata ziarah: Makam pasarean, Dayeuh Luhur, Gunung Lingga dll.
- Sumedang memiliki tradisi Ngalaksa di Rancakalong
- Sumedang memiliki seni tari klasik dan seni tradisional yang kaya
- Sumedang memiliki tradisi Muludan di museum Prabu Geusan Ulun – Yayasan Pangeran Sumedang.
- Sumedang sudah memiliki “Calender Event” Festival Kuda Renggong
- Sumedang harus mengembangkan festival “seren taun”
Kegiatan yang gencar dan bervariasi akan memberi peluang pada “Revitalisasi Budaya Sunda” – khususnya “Revitalisasi Tradisi Kasumedangan” pada masa kini. Jangan sampai terjadi “Jati Kasih Ku Junti”. Dengan kata lain, itu semua diharapkan akan memberikan “nilai jual” yang tinggi bagi kemajuan dunia kepariwisataan Sumedang, disamping juga akan berdampak tumbuhnya “rasa memiliki budayanya sendiri”. Kunci kearah majunya potensi “Tradisi Kasumedangan” ini adalah adanya “Political will” pemerintah Kabupaten Sumedang, khususnya pemerintah Propinsi Jawa Barat pada umumnya. Pemerintah harus mampu “membaca peluang” yang ada. Sangat terbuka peluang bagi pemasaran potensi Tradisi Kasumedangan untuk dipromosikan sebagai daya tarik yang memiliki “value”.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang
Interaksi Sosial pada Masyarakat di Daerah Pinggiran
Oleh: Drs. T. Dibyo Harsono
Abstrak
Hubungan antarsuku bangsa di Indonesia sudah lama dimulai dan berlangsung namun sampai sekarang ini masih dirasakan adanya potensi konflik, yang setiap saat bisa muncul dan meletus. Integrasi yang diharapkan belum sepenuhnya bisa tercapai, masih banyak kendala yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam menegakkan negara kesatuan Rapublik Indonesia (NKRI).Salah satu faktor disintegrasi bangsa adalah karena kurangnya pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dari suku bangsa atau golongan lain yang dihadapi. Juga karena adanya superior pada individu-individu dari satu golongan terhadap golongan lain. Pengerahan potensi tiap-tiap sukubangsa atau golongan disesuaikan dengan kemampuan mereka, seperti misalnya terlihat pada etnis Tionghoa (Cina) yang dianggap mempunyai kepandaian atau keahlian (spesialisas0 dalam bidang perdagangan atau ekonomi. Mereka memiliki sifat yang ulet, tekun dalam berusaha (khususnya di dalam bidang perekonomian). Sifat-sifat seperti itulah yang perlu kita kaji dan perlu diserap agar kita jangan bisa maju dalam hal tersebut.
Mempersatukan golongan yang berbeda itu memang bukanlah pekerjaan yang mudah, bisa dikatakan sangat sulit, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut perkiraan logika memerlukan paling tidak satu generasi, sebelum kita berani mengatakan bahwa potensi konflik itu sudah hilang sama sekali. Hal tersebut karena proses hubungan yang searas antarsuku bangsa dan golongan di negara kita pada saat ini, masih ada di tengah-tengah masa perkembangan serta peralihan. Maka untuk itu perlu kita ketahui tentang aspek dan teori, dari hubungan antarsuku bangsa dan golongan. Adanya sumber-sumber konflik, potensi untuk toleransi, sikap dan pandangan dari suku bangsa atau golongan terhadap sesama sukubangsa atau golongan lain. Pada akhirnya harus diperhatikan tingkatan (status sosial, ekonomi, pendidikan, latar belakang budaya) masyarakat di mana hubungan dan pergaulan antarsuku bangsa atau golongan tadi berlangsung.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Edisi 29, November 2003
Artikel
A
Asal Usul Nama Subang
(Drs. T. Dibyo Harsono, M. Hum)
Awi
(Nandang Rusnandar)
B
Benarkah Orang Sunda Pendatang?
(Nandang Rusnandar)
Berkurangnya Peranan Penyeimbang Pada Masyarakat Tradisional Lampung
(T. Dibyo Harsono)
Budaya dan Falsafah Sunda Kontribusinya dalam Menghadapi Disintegrasi Sosial
(Nandang Rusnandar)
Busana Tradisional Ambon
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Bolaang Mongondow
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Sangir-Talaud
(Ria Andayani S.)
Busana Tradisional Tanimbar
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Ternate dan Tidore
(Ria Andayani S)
C
Culture and History (Sejarah dan Kebudayaan), Philip Bagby
(T. Dibyo Harsono)
D
E
F
G
Gambaran Umum Masyarakat Betawi
(T. Dibyo Harsono)
H
I
Inventarisasi Ungkapan Tradisional dan Cerita Rakyat
(Yuzar Purnama)
Inggit Garnasih, Motivator Pejuang Pergerakan Nasional
(Awaludin Nugraha)
Inggit Garnasih Di Mata Keluarga
(Tito Zeni Harmaen)
Inggit Garnasih Pengabdian Seorang Perempuan
(EuisThresnawaty)
J
K
Kala Sunda dan Orang Awam
(Nandang Rusnandar)
Kaidah Pengutipan dalam Karya Tulis Ilmiah
(Wahya)
Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya
(Suwardi Alamsyah P)
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat
(Ade Rohana)
Kepercayaan (Religi) Masyarakat Adat Kampung Cikondang Kabupaten Bandung
(Yuzar Purnama)
Kesenian Tradisional Sebagai Ikon Pariwisata
Iwan Nurdaya-Djafar
Komunitas Masyarakat Hukum Adat, Situs Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang
(Abah Ilin Dasyah)
Komunitas Adat dan Permasalahannya
(Ade Suherlin)
Konsep dan Fungsi Pengelolaan Data Kebudayaan
(Toto Sucipto)
Kontroversi Nama Sunan Gunung Jati dengan Faletehan
(Nidya Meidhyana P. Utami)
Kreativitas Musik dalam Tantangan Visual
(Ismet Ruchimat)
Kota Cirebon Dulu dan Kini
(Satria Adiyasa Sindhuwijaya)
Kebijakan dan Tantangan dalam Penelitian dan Pelestarian Budaya Takbenda
(Jumhari)
L
Lasywi atau Lasykar Wanita Indonesia Pada Waktu Revolusi Fisik dan Masa Sekarang Masa Pembangunan dan Masa Reformasi
(Euis Sariah (Sarche))
M
Main Jaran, Olahraga Tradisional Masyarakat Sumbawa
(Ali Gufron)
Mengenal Desa Tradisional Wana dan Tari Melinting
(Iwan Nurdaya Djafar)
Mengenal Kota Depok
(Muhammad Aditya)
Mengenal Sejarah Kota Depok Di masa Penjajahan
(Shendy Patricia)
Mengusung Jejak Langkah Putri Teladan yang Terlupakan dari Kota Intan
(Sani Novika)
Meredefinisikan Makna Kepahlawanan
(Iim Imadudin)
Metode Sejarah Lisan
(Reiza D. Dienaputra)
Model Budaya Banten: Refleksi Sejarah
(Moh. Ali Fadhillah)
Museum Etnografi, Perkembangan dan Fungsinya Saat Ini
(T. Dibyo Harsono)
Mengenali Kembali Permainan Tradisional Anak-anak
(Rosyadi)
Mengenang Epoch Perjuangan ”Lasywi” Jawa Barat
(Tuti Amir)
Multikulturalisme di Australia
(Ali Gufron)
Meretas Eksitensi dan Regenerasi Seni Tradisi (di) Subang: Sebuah Pengantar Diskusi
(Oleh : H. Edih AS)
N
Ngadu Bagong di Cibiru Wetan
(Ali Gufron)
Nilai Budaya Permainan Tradisional Anak
(Agus Heryana)
O
P
Pandangan Generasi Muda terhadap Komunitas Adat
(Moch. Sabdo Yusmintiarto)
Partisipasi Masyarakat Desa Cipaingeun Kecamatan Sodong Hilir Kabupaten Tasikmalaya dalam Penumpasan Di/Tii S.M.Kartosuwiryo Tahun 1958-1962
(R. Igit Pratama Soeriasaputra)
Pemuda dan Reduksi Imajinasi Sosial
(Iim Imadudin)
Peneliti dan Eksistensi Komunitas Adat
(T. Dibyo Harsono)
Penelitian Sejarah: Antara Studi Pustaka dan Lapangan
(Mumuh Mukhsin)
Penelitian Sejarah, Sumber Langka dan Kelangkaan Sumber
(Yuzar Purnama)
Pengalaman Meneliti Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
(Iim Imadudin)
Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global: Menggangkat Potensi Budaya Etnik Lampung Pepadun Dan Lampung Sai Batin Di Tengah Perkembangan Zaman
Bartoven Vivit Nurdin
Penggalian Data Aspek Kepercayaan
Drs. Aam Masduki
Penggalian Data Aspek Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa
H. Yudi Putu Satriadi
Penggalian Data Aspek Sejarah
(Heru Erwantoro)
Penggalian Data Aspek Seni dan Film
Agus Heryana
Penggalian Data Aspek Tradisi
Nandang Rusnandar
Pengetahuan Dan Pengalaman Penelitian
(Budi Rajab)
Peninggalan Sejarah, Pelestarian, dan Kesadaran Sejarah
(Iim Imadudin)
Penolakan Penetrasi Belanda Abad XX Melalui Gerakan Sosial Cimareme
(Windi Rismayanti)
Pelestarian Musik Butabuh Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan Lampung
(Nurdin Darsan)
Permainan Tradisional Anak-anak Jawa Barat
(Eulis Hendrayani)
Peranan Seni Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya
(Saini K.M.)
Peran Kebudayaan Terhadap Pembangunan Daerah Lampung
(Hafizi Hasan)
Peristiwa Tragedi Berdarah Rawagede
(K. Sukarman HD)
Peradaban Sunda Purba di Sekitar Gunung Sunda Purba sekitar 120.000 tahun yang lalu (BP)
(Nandang Rusnandar)
Peresean, Permainan Tradisional Masyarakat Lombok
(Ali Gufron)
Perjuangan Soeroeto Koento Bersama Masyarakat Karawang
(Bayu Fadillah)
Prosedur Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2012
(Ipik Supena)
Perkembangan Musik Modern sebagai Media Hiburan Di Propinsi Lampung
(M Yudhi)
Penyelataman Benda Cagar Budaya Peninggalan Ibu Inggit Garnasih
(Yanti Nisfiyanti)
Q
R
Ronggeng Bugis, Sebuah Karya Seni Unik Yang Multi Kultur
(H.R. Bambang Irianto)
Ragam Sastra Tutur/Lisan Lampung
(Suntan Purnama)
Riwayat Perjuangan Inggit Garnasih
(Oleh Prof.Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S.)
S
Saatnya Kita Kenali Gua Pakar
(Ginna Desiana)
Selayang Pandang Kota Metro
(T. Dibyo Harsono)
Selayang Pandang Museum di Bandung
(T. Dibyo Harsono)
Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad Ke-17-18
(Nina Herlina Lubis)
Sejarah Dago di Tengah Modernisasi
(Eva Rachmania)
Sejarah Perjuangan Perempuan Sunda dalam Membangun Bangsa
(Nina Herlina Lubis)
T
Tangerang dan Tionghoa: Sebuah Paradigma Baru terhadap Etnis Tionghoa
(Andreas Nathius)
Tata Pameran Tetap Budaya Pertanian Orang Sunda di Museum Sri Baduga
(T. Dibyo Harsono)
Tradisi Kasumedangan dalam Perspektif Budaya Masa Kini
(R. Mohamad Achmad Wiriaatmadja)
Teknik Penelitian dan Penulisan Laporan Kebudayaan
(Ade MK)
Teknik Penelitian Kebudayaan
(Ade MK)
Tari Sigeh Penguten
(T. Dibyo Harsono)
Tapis Lampung
(Ali Gufron)
Tokoh dan Peristiwa Dalam Persfektif Sejarah
(Heru Erwantoro)
Tradisi: Kini, Di Sini
(Imas Sobariah)
Transformasi Nilai-nilai
(Wawan “Renggo” Herawan)
U
Upacara Siraman dan Ngalungsur Geni Di Desa Dangiang Kec. Banjawangi Kab. Garut
(Ani Rostiyati)
Ubrug, Teater Tradisional Khas Masyarakat Banten
(Yudi Putu Satriadi)
Upaya-Upaya Dewan Kesenian Lampung dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Tradisional Lampung
(Syaiful Irba Tanpaka)
Upacara Perkawinan Adat Sunda
(Aam Masduki)
Upacara Mapag Tamba Di Indramayu
(Ria Intani)
V
W
Wayang dan Pendidikan
(T. Dibyo Harsono)
Wadah
(Ali Gufron)
Warahan: Dulu, Kini Dan Masa Mendatang Dalam Perkembangan Teater Tutur Lampung
(W. Dharmawan SC, S.Pd)
Wujud Akulturasi di Pantai Selatan Pulau Jawa
(Irvan Setiawan)
X
Y
Z
Asal Usul Nama Subang
(Drs. T. Dibyo Harsono, M. Hum)
Awi
(Nandang Rusnandar)
B
Benarkah Orang Sunda Pendatang?
(Nandang Rusnandar)
Berkurangnya Peranan Penyeimbang Pada Masyarakat Tradisional Lampung
(T. Dibyo Harsono)
Budaya dan Falsafah Sunda Kontribusinya dalam Menghadapi Disintegrasi Sosial
(Nandang Rusnandar)
Busana Tradisional Ambon
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Bolaang Mongondow
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Sangir-Talaud
(Ria Andayani S.)
Busana Tradisional Tanimbar
(Ria Andayani S)
Busana Tradisional Ternate dan Tidore
(Ria Andayani S)
C
Culture and History (Sejarah dan Kebudayaan), Philip Bagby
(T. Dibyo Harsono)
D
E
F
G
Gambaran Umum Masyarakat Betawi
(T. Dibyo Harsono)
H
I
Inventarisasi Ungkapan Tradisional dan Cerita Rakyat
(Yuzar Purnama)
Inggit Garnasih, Motivator Pejuang Pergerakan Nasional
(Awaludin Nugraha)
Inggit Garnasih Di Mata Keluarga
(Tito Zeni Harmaen)
Inggit Garnasih Pengabdian Seorang Perempuan
(EuisThresnawaty)
J
K
Kala Sunda dan Orang Awam
(Nandang Rusnandar)
Kaidah Pengutipan dalam Karya Tulis Ilmiah
(Wahya)
Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya
(Suwardi Alamsyah P)
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat
(Ade Rohana)
Kepercayaan (Religi) Masyarakat Adat Kampung Cikondang Kabupaten Bandung
(Yuzar Purnama)
Kesenian Tradisional Sebagai Ikon Pariwisata
Iwan Nurdaya-Djafar
Komunitas Masyarakat Hukum Adat, Situs Cagar Budaya Rumah Adat Cikondang
(Abah Ilin Dasyah)
Komunitas Adat dan Permasalahannya
(Ade Suherlin)
Konsep dan Fungsi Pengelolaan Data Kebudayaan
(Toto Sucipto)
Kontroversi Nama Sunan Gunung Jati dengan Faletehan
(Nidya Meidhyana P. Utami)
Kreativitas Musik dalam Tantangan Visual
(Ismet Ruchimat)
Kota Cirebon Dulu dan Kini
(Satria Adiyasa Sindhuwijaya)
Kebijakan dan Tantangan dalam Penelitian dan Pelestarian Budaya Takbenda
(Jumhari)
L
Lasywi atau Lasykar Wanita Indonesia Pada Waktu Revolusi Fisik dan Masa Sekarang Masa Pembangunan dan Masa Reformasi
(Euis Sariah (Sarche))
M
Main Jaran, Olahraga Tradisional Masyarakat Sumbawa
(Ali Gufron)
Mengenal Desa Tradisional Wana dan Tari Melinting
(Iwan Nurdaya Djafar)
Mengenal Kota Depok
(Muhammad Aditya)
Mengenal Sejarah Kota Depok Di masa Penjajahan
(Shendy Patricia)
Mengusung Jejak Langkah Putri Teladan yang Terlupakan dari Kota Intan
(Sani Novika)
Meredefinisikan Makna Kepahlawanan
(Iim Imadudin)
Metode Sejarah Lisan
(Reiza D. Dienaputra)
Model Budaya Banten: Refleksi Sejarah
(Moh. Ali Fadhillah)
Museum Etnografi, Perkembangan dan Fungsinya Saat Ini
(T. Dibyo Harsono)
Mengenali Kembali Permainan Tradisional Anak-anak
(Rosyadi)
Mengenang Epoch Perjuangan ”Lasywi” Jawa Barat
(Tuti Amir)
Multikulturalisme di Australia
(Ali Gufron)
Meretas Eksitensi dan Regenerasi Seni Tradisi (di) Subang: Sebuah Pengantar Diskusi
(Oleh : H. Edih AS)
N
Ngadu Bagong di Cibiru Wetan
(Ali Gufron)
Nilai Budaya Permainan Tradisional Anak
(Agus Heryana)
O
P
Pandangan Generasi Muda terhadap Komunitas Adat
(Moch. Sabdo Yusmintiarto)
Partisipasi Masyarakat Desa Cipaingeun Kecamatan Sodong Hilir Kabupaten Tasikmalaya dalam Penumpasan Di/Tii S.M.Kartosuwiryo Tahun 1958-1962
(R. Igit Pratama Soeriasaputra)
Pemuda dan Reduksi Imajinasi Sosial
(Iim Imadudin)
Peneliti dan Eksistensi Komunitas Adat
(T. Dibyo Harsono)
Penelitian Sejarah: Antara Studi Pustaka dan Lapangan
(Mumuh Mukhsin)
Penelitian Sejarah, Sumber Langka dan Kelangkaan Sumber
(Yuzar Purnama)
Pengalaman Meneliti Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
(Iim Imadudin)
Pengetahuan Lokal Dan Pengetahuan Global: Menggangkat Potensi Budaya Etnik Lampung Pepadun Dan Lampung Sai Batin Di Tengah Perkembangan Zaman
Bartoven Vivit Nurdin
Penggalian Data Aspek Kepercayaan
Drs. Aam Masduki
Penggalian Data Aspek Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa
H. Yudi Putu Satriadi
Penggalian Data Aspek Sejarah
(Heru Erwantoro)
Penggalian Data Aspek Seni dan Film
Agus Heryana
Penggalian Data Aspek Tradisi
Nandang Rusnandar
Pengetahuan Dan Pengalaman Penelitian
(Budi Rajab)
Peninggalan Sejarah, Pelestarian, dan Kesadaran Sejarah
(Iim Imadudin)
Penolakan Penetrasi Belanda Abad XX Melalui Gerakan Sosial Cimareme
(Windi Rismayanti)
Pelestarian Musik Butabuh Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan Lampung
(Nurdin Darsan)
Permainan Tradisional Anak-anak Jawa Barat
(Eulis Hendrayani)
Peranan Seni Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya
(Saini K.M.)
Peran Kebudayaan Terhadap Pembangunan Daerah Lampung
(Hafizi Hasan)
Peristiwa Tragedi Berdarah Rawagede
(K. Sukarman HD)
Peradaban Sunda Purba di Sekitar Gunung Sunda Purba sekitar 120.000 tahun yang lalu (BP)
(Nandang Rusnandar)
Peresean, Permainan Tradisional Masyarakat Lombok
(Ali Gufron)
Perjuangan Soeroeto Koento Bersama Masyarakat Karawang
(Bayu Fadillah)
Prosedur Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2012
(Ipik Supena)
Perkembangan Musik Modern sebagai Media Hiburan Di Propinsi Lampung
(M Yudhi)
Penyelataman Benda Cagar Budaya Peninggalan Ibu Inggit Garnasih
(Yanti Nisfiyanti)
Q
R
Ronggeng Bugis, Sebuah Karya Seni Unik Yang Multi Kultur
(H.R. Bambang Irianto)
Ragam Sastra Tutur/Lisan Lampung
(Suntan Purnama)
Riwayat Perjuangan Inggit Garnasih
(Oleh Prof.Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S.)
S
Saatnya Kita Kenali Gua Pakar
(Ginna Desiana)
Selayang Pandang Kota Metro
(T. Dibyo Harsono)
Selayang Pandang Museum di Bandung
(T. Dibyo Harsono)
Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad Ke-17-18
(Nina Herlina Lubis)
Sejarah Dago di Tengah Modernisasi
(Eva Rachmania)
Sejarah Perjuangan Perempuan Sunda dalam Membangun Bangsa
(Nina Herlina Lubis)
T
Tangerang dan Tionghoa: Sebuah Paradigma Baru terhadap Etnis Tionghoa
(Andreas Nathius)
Tata Pameran Tetap Budaya Pertanian Orang Sunda di Museum Sri Baduga
(T. Dibyo Harsono)
Tradisi Kasumedangan dalam Perspektif Budaya Masa Kini
(R. Mohamad Achmad Wiriaatmadja)
Teknik Penelitian dan Penulisan Laporan Kebudayaan
(Ade MK)
Teknik Penelitian Kebudayaan
(Ade MK)
Tari Sigeh Penguten
(T. Dibyo Harsono)
Tapis Lampung
(Ali Gufron)
Tokoh dan Peristiwa Dalam Persfektif Sejarah
(Heru Erwantoro)
Tradisi: Kini, Di Sini
(Imas Sobariah)
Transformasi Nilai-nilai
(Wawan “Renggo” Herawan)
U
Upacara Siraman dan Ngalungsur Geni Di Desa Dangiang Kec. Banjawangi Kab. Garut
(Ani Rostiyati)
Ubrug, Teater Tradisional Khas Masyarakat Banten
(Yudi Putu Satriadi)
Upaya-Upaya Dewan Kesenian Lampung dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni Tradisional Lampung
(Syaiful Irba Tanpaka)
Upacara Perkawinan Adat Sunda
(Aam Masduki)
Upacara Mapag Tamba Di Indramayu
(Ria Intani)
V
W
Wayang dan Pendidikan
(T. Dibyo Harsono)
Wadah
(Ali Gufron)
Warahan: Dulu, Kini Dan Masa Mendatang Dalam Perkembangan Teater Tutur Lampung
(W. Dharmawan SC, S.Pd)
Wujud Akulturasi di Pantai Selatan Pulau Jawa
(Irvan Setiawan)
X
Y
Z