Oleh: R. Mohamad Achmad Wiriaatmadja
(Budayawan Sumedang)
Dengan ungkapan kata-kata yang sederhana, namun dikemas melalui sebuah lagu tempo dulu, maka orang akan mendengar irama merdu yang menggambarkan suasana alam lingkungan Kota Sumedang yang familiar, aman, dan damai. Kalau kita arahkan pandangan ke sekeliling Kota Sumedang dari tempat ini, maka akan tampak bahwa sesungguhnya bukan hanya Gunung Merak dan Gunung Puyuh saja. Sesuai dengan arah pandangan mata, tampak sekeliling Kota Sumedang dipagari oleh bukit-bukit yang memanjang. Di sebelah utara tampak Gunung Tampomas, yang menjadi ciri keasrian Sumedang. Daya tarik alami yang memancing keingintahuan misteri dibalik namanya.
Menyadari bahwa Kota Sumedang dilingkung gunung, dengan hutan, lembah ngarai, sungai dengan gemericik air dan saluran-saluran pematang sawah, dihias padi yang sedang menguning, kampung dan dusun yang tenteram dan asri. Orangpun bergumam, “Oh, iya memang Sumedang kota yang Nya-Galura Ngupuk”.
Kota Sumedang yang sudah berusia 304 tahun sampai sekarang tahun 2010, sejak tahun 1706. Kota yang sudah termasuk kota tua, yang dengan sendirinya memiliki sejarah panjang. Memiliki tradisi dan budaya yang khas Sumedang. Memiliki karakter tanah Priangan dengan ciri penduduknya yang berbahasa Sunda santun.
Suasana alam Sumedang yang cantik menawan. Kota kecil namun asri, memendam dan memancarkan aura khas Sumedang. Pantas, apabila dahulu Sumedang dijuluki sebagai “Italy of The East” oleh Johan Koning dalam buku berjudul “Het Paradijs van Java” karya seorang fotografer ulung Wijnand Kerkhoff. Pujian yang membuat kita masyarakat Sumedang merasa bangga, tetapi apakah bagi generasi masa kini, julukan yang sangat membanggakan itu dipahami? Mengapa mendapat julukan seperti itu? Apakah predikat yang seorang menyanjung Sumedang sebagai “Surganyaa dari Jawa:, masyarakatnya sadar, tahu dan turut bangga? Benarkah kondisi Sumedang masih seperti yang digambarkan sebagai Itali dari timur sekarang ini.
Sudah hampir satu abad buku “Het Paradijs van Java” dicetak dan dipublikasikan. Tentu saja dalam kurun waktu hampir satu abad potret suasana “Sumedang Tempo Doeloe” sudah berubah! Perubahan itu sayangnya bukan bertambah indah, nyaman, asri, tertib. Sebagaimana motto Sumedang berbunyi “Sumedang Tandang” Tandang sebagai akronim dari “Tertib-Aman-Nyaman-Dinamis-Anggun”.
Budaya tertib, budaya bersih, budaya sehat serta budaya gotong-royong, sebagaimana ciri khas priangan, yang nota-bene Sumedang sebagai puseurnya, sudah termakan zaman. Adalah Dr. F. De Haan yang menyebutkan asal-muasal istilah: “Priangan” dari tanah Sumedang Larang, yang kemudian berubah hanya sebagai “Preanger Regentschappen” saja. Dari titik awal itulah Sumedang Larang Mengalami “ngarangrang”. Filosofi Kasumedangan.
Bila menoleh ke belakang sejarah Sumedang, saat Prabu Tajimalela mulai meletakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dengan sebuah filosofi Kasumedangan, yang diantara lain berbunyi….Sinom:
Walaupun filosofi Kasumedangan telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang dalam hitungan ratusan tahun, namun nilai-nilai pedoman kehidupan bagi manusia masih tetap relevan. Bahwa manusia sebagai mahluk yang sempurna dengan akal dan perasaannya harus senantiasa berbuat baik, santun dan arif-bijaksana. Selaku khalifatulah fil ardi, harus senantiasa memelihara dan menjaga kelestarian hidup di dunia.
Dalam pengejawantahannya, selaku manusia yang berbudi hendaknya:
Kearifan yang telah dilakukan tertanam pada diri leluhur Sumedang, kemudian dianut dan dilanjutkan oleh para penerusnya, sehingga menjadi tradisi yang masih menjadi pedoman bagi peri kehidupan generasi masa kini.
Untuk membentengi diri dari keinginan yang negatif, sebagai akibat dari dorongan keinginan yang dapat menimbulkan dosa bahkan mengakibatkan penderitaan lahir dan batin, kita diingatkan dengan petuah “Ati suci-mangan halal”-“Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja”.
Dalam setiap langkah yang akan ditempuh harus selaras dengan itikad yang suci serta diawali dengan tindakan yang benar pula. Dahulu para leluhur Sumedang telah memberi contoh, yang kemudian diikuti generasi ke generasi selanjutnya, berupa tradisi dalam rangka upaya merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial.
1. Tradisi Dalam Siklus Kehidupan Manusia
Tradisi yang dijalankan sejak manusia dalam kandungan, lahir, dewasa, bekerja, menikah sampai bagaimana tata-cara bermasyarakat, bahkan bagaimana mengurus orang yang meninggal dunia. Sebuah siklus kehidupan manusia, bahkan bagaimana kontak dengan alam lingkungan hidupnya, diwarnai berbagai tradisi.
Tradisi Kasumedangan, sering sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan manusia di wewenangkan Sumedang, sudah barang tentu mengalami perubahan. Penyesuaian dan penyelarasan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, terutama masa kini. Ada tradisi Kasumedangan yang masih dijalankan, bahkan diselenggarakan dalam kemasan yang disesuaikan dengan tuntutan masa kini. Namun ada juga yang masih utuh tradisional.
Sekarang hal seperti itu sudah jarang digunakan. Namun tradisi tadi disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Dalam usia kandungan empat bulan, diselenggarakan pengajian, dengan motivasi yang sama.
Tradisi orang tua zaman dahulu, pasti menyimpan apa yang disebut “Kanjut Kundang”. Tempat menyimpan antara lain temu kunci, konenga temen (kunyit), bawang putih, tali ari-ari, uang logam satu Gulden (Perak); besarnya bergantung status sosial yang bersangkutan. Ini saat “Puput Udel”. Kini tradisi tersebut sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, selamatan biasa.
Tradisi “Marasan” – potong rambut bayi dengan hiasan “Kebon Alas”, inipun tradisi yang sudah ditinggalkan. Menurut ajaran agama Islam begit bayi berumur satu minggu, maka seekor domba disembelih lalu dagingnya dibagi-bagikan: Aqiqah atau Ekah.
Dalam hal merawat, mengebumikan dan memperingati hari kematian seseorang, dewasa ini sudah jelas menurut ajaran agama Islam. Namun demikian, ada yang masih melakukan tahlilan, 40 hari, dst. Ada tradisi yang khas Sumedang “Tradisi Kasumedangan”, yaitu antara lain “Lebaran ‘Iedul Fitri pada hari Jum’at”.
Pada waktu Hari Raya ‘Iedul Fitri jatuh pas hari Jum’at maka Bupati tidak melakukan shalat ‘Ied di Mesjid Agung.
Apa yang melatar belakangi tradisi tersebut?
Dahulu ketika ibukota Sumedang masih berkedudukan di Tagalkalong terjadi sebuah tragedi pembantaian pada Hari Raya ‘Iedul Fitri 1678. Sejumlah Pangerahan Panembahan sedang melaksanakan shalat ‘Iedul Fitri, tiba-tiba datang penyerbuan musuh dalam jumlah yang besar dan bersenjata lengkap. Tentu saja seluruh jemaah di mesjid Tagalkalong kewalahan melawan musuh. Perlawanan yang dilakukan tidak dapat mengusir para penyerbu. Pangeran Panembahan berhasil lolos dari maut akan tetapi banyak jatuh korban diantara balad Paneran Panembahan, termasuk para Pembesar dan keluarganya. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jum’at, 18 November 1678. Setelah peristiwa tragedi berdarah di hari Lebaran Jum’at 1678 itulah senantiasa diperingati sebagai hari berkabung.
Pangeran Panembahan memerintah Sumedang selama 50 tahun, merupakan masa pemerintahan paling lama, yaitu dari tahun 1656-1706. Para Bupati penerisnya sangat menghormati dan mengagumi keberanian dan kepemimpinan Pangeran Panembahan.
Banyak hasil pemikiran Pangeran Panembahan menjadi contoh untuk ditindaklanjuti, sehingga menjadikan Sumedang mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Belajar dari pengalaman, setelah ibukota Tegalkalong diserang dan diduduki musuh, maka beliau membentuk pasukan khusus pilihan, yang terdiri dari 40 orang – kemudian disebut Pamuk. Pamuk tersebut disebar ke berbagai tempat strategis dengan dibekali fasilitas yang diperlukan, termasuk diberi tanah garapan. Tanah garapan tadi disebut Carik.
Semenjak saat itu sistem Carik dikenal dan disebarluaskan di Sumedang. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketahanan fisik serta ketrampilan teknik bertempur para prajurit maka setiap hari Sabtu digelar latihan kesantikaan. Para prajurit dilatih kecakapan menunggang kuda sambil mempergunakan senjata. Alun-alun menjadi tempat latihan keterampilan prajurit. Tidaklah mengherankan, kalau Sumedang terkenal menguasai seni berolah raga kuda. Oleh karena itu balapan kuda sudah menjadi tradisi yang kuat dimasyarakat luas. Bukankah, Kudah Renggong dan Kuda Silat sudah lama dikenal di Sumedang? Selain itu Panahan di alun-alun dan tanah lapang juga sudah, menjadi salah satu tradisi Kasumedangan.
Membuka dan mengolah tanah pesawahan dengan berbagai kesenian tradisionalnya sampai sekarang masih dilakukan khususnya di daerah Rancakalong Upacara “Ngalaksa” setap tahun diselenggarakan, sebagai wujud mensyukuri nikmat atas hasil panen yang telah dicapai.
Seni “Jentreng – Tarawangsa” – “Rengkong” adalah wujud tradisi para petani di Rancakalong-Sumedang. Dalam kaitannya dengan merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial, dikenal tradisi “Marak” di aliran sungai. Sungai Cimanuk, Cipeles, Cipunagara diantara sungai-sungai yang populer pada zaman dulu, yang sering dijadikan acara “Marak”. Pada event ini proses pembauran antara para Petinggi Negeri dengan kalangan masyarakat bawah urang lembur.
Dahulu juga sering dilakukan “Bubujeng” atau berburu. Lokasi tradisi ‘Bubujeng’ ini, antara lain yang terkenal adalah hutan Sanggom di daerah Surian-Tanjung, berbatasan dengan Subang, Indramayu. Pada kesempatan seperti ini, kesempatan menggelar kesenian rakyat. Tentu saja kegiatan ini merupakan kesempatan yang sangat mengasyikan.
Tradisi Kasumedangan ada yang berlangsung di pusuer deyeuh, ada pula yang hidup di daerah pasisian, jauh lebih banyak dan bervariasi Tradisi Kasumedangan yang berlangsung di puseur deyeuh, di kalangan Pemangku Adat, tetap dilaksanakan seperti antara lain: “Ngaberesih Pusaka”, yang bertepatan dengan “Mauludan”, sudah sejak zaman dahulu “Upacara Mauludan” ini secara run diselenggarakan.
- Di Yogyakarta dikenal dengan “Upacara Sekaten”-“Grebeg Maulud”
- Di Cirebon-di Kasepuhan Cirebon ada “Upacara Panjang Jimat”.
- Di Solo ada upacara sejenis
Para pelaksanaannya secara turun-temurun menjadi pelaku upacara “Muludan” ini, agar memahami “Tradisi” ini.
Dengan demikian, maka kesinambungan acara ritual ini dapat dilaksanakan secara seksama. Tata cara yang berkaitan dengan ritual ini tetap sesuai kebiasaan para sepuh terdahulu. Menurut istilah sekarang, sudah ada “Protap” atau “SOP” yaitu: Standart Operational Procedur.
Tradisi Kasumedangan Upacara Pernikahan dengan menggunakan “Makuta dan Siger” – walaupun sekarang tidak lagi memakai yang asli terbuat dari Mas-Duplikat Mahkita Binokasri (orang menyebutnya Makuta Binokasih) masih banyak disukai oleh calon pasangan pengantin masa kini. Tradisi Upacara pernikahan gaya “Pengantin Kasumedangan” ini, sekarang bahkan memiliki nilai jual Budaya dan Kepariwisataan.
Sudah sangat sering digelar Seminar, Pinton Anggon, Pameran, Seni Budaya, maupun Festival Pakaian Pengantin se Nusantara diikuti, juga dalam Food Festival diperagakan Pakaian dan Mahkota Binokrasi dan Siger Kasumedangan digelar.
Tidak hanya di dalam negeri saja Upacara Adat Tradisi Kasumedangan ini diselenggarakan, tetapi juga sudah sampai ke luar negeri. Upacara Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini pernah diselenggarakan di Amerika.
Saya sungguh merasa sangat beruntung dapat mewakili keluarga khususnya, masyarakat Sumedang umumnya dalam menunaikan tugas sebagai “Duta Budaya”, pada Upacara Pernikahan menurut “Tradisi Kesumedangan” di Los Angeles, California, Amerika Serikat pada tahun 1997. Upacara Pernikahan Kasumedangan iniah diperagakan secara sempurna dan sukses pada waktu Festival Keraton Nusantara III di Cirebon, pada tahun 1997.
Kegiatan yang sama berturut-urut juga diselenggarakan pada setiap Festival Keraton Nusantara (FKN) berlangsung di:
- Festival Keraton Nusantara II di Kutai Kartanegara, tahun 2002
- Festival Keraton Nusantara IV di Yogyakarta, tahun 2004
- Festival Keraton Nusantara V di Solo, tahun 2006
Pada Festival Keraton Nusantara VI di Goa-Sulawesi tahun 2008, upacara ini tidak digelar.
Festival Keraton Nusantara VII tahun 2010, akan diselenggarakan di Palembang, sekitar bulan September. Insya Allah Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini akan digelar kembali. Karena telah merupakan “Ikon” Tradisi Kasumedangan.
Upacara pernikahan Tradisi Kasumedangan inipun sudah sering dilaksanakan pada level Elit Nasional, seperti pada pernikahan di keluarga Istana Cendana, saya sempat mengikutinya. Di kalangan petinggi negara lainnya pun sering berlangsung dengan memakai “Mahkota dan Siger Kasumedangan”. Kalangan selebritis nasional seperti artis beken Paramitha Rusady; saya sendiri yang memasangkan Mahkota dan Siger pada pasangan pengantin ini.
Dengan demikian, tradisi Kasumedangan telah naik kepermukaan forum nasional, bahkan forum tradisional. Adalah sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sunda, bahwa Budaya Tradisi Kasumedangan telah mendapat sambutan, pengakuan yang sangat meyakinkan akan ketinggian nilai filosofis dan seni kreativitasnya.
2. Bagaimana Prospek Tradisi Kasumedangan dalam Perkembangan Budaya Masa Kini
Di era globalisasi ekonomi, di tengah marak dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dunia dewasa ini, tentu saja dampaknya mempengaruhi pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pergeseran ke arah perubahan tata nilai pun tidak mudah dapat kita tolak. Kita tidak dapat mengelak dari pengaruh budaya luar lewat kemajuan teknologi elektronika. Sementara alih teknologi yang kian cepat maju, kita sangat perlukan. Sebab kalau tidak kita ikuti tentu akan berakibat fatal, kita akan ketinggalan. Bagaikan akan kembali seperti pada “jaman batu”. Generasi tua mewariskan budaya dan tradisi lama, sementara generasi muda “merasa canggung” menerimanya, karena pengaruh pergaulan dan “kemajuan budaya masa kini”.
Masyarakat masa kini sudah terlanjur bersikap dan berorientasi pada materialistis-kegemerlapan budaya asing yang konsumerisme. Tradisi lama “Tugur Tundan – susuk bendung – Ngepung maung – Menak mudun/kudu kapundayan” – gotong-royong, gawe bareng…sudah susah” Kalau tidak ada iming-iming upah, atau uang, tidak ada yang gratis. Bagi Sumedang masa kini, harus pula menghadapi:
Posisi Sumedang yang strategis sebagai penyangga Bandung, sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki keuntungan, karena jarak Bandung-Sumedang semakin cepat dijangkau. Demikian juga dari arah Timur, Cirebon, letak Sumedang berada di tengah dua kota besar di Jawa Barat. Sesungguhnya dimana ada tantangan, pasti ada peluang! Tinggal, apa yang dapat kita petik dari peluang yang ada. Apa yang Sumedang miliki sebagai potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang dapat “dijual”?
Marilah kita tata dan kembangkan dari potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang ada dengan kemasan yang lebih profesional. Mungkin dengan mempergunakan paradigma baru, dengan kata lain “Ngidung ka waktu, mibapa ka jaman”.
Suatu tradisi yang baik, mampu memberikan motivasi, spirit, juga tidak lupa menghormati orang tua, leluhur – karuhun kita.
Bukankah kita memiliki potensi budaya yang kaya? Antara lain”
Kegiatan yang gencar dan bervariasi akan memberi peluang pada “Revitalisasi Budaya Sunda” – khususnya “Revitalisasi Tradisi Kasumedangan” pada masa kini. Jangan sampai terjadi “Jati Kasih Ku Junti”. Dengan kata lain, itu semua diharapkan akan memberikan “nilai jual” yang tinggi bagi kemajuan dunia kepariwisataan Sumedang, disamping juga akan berdampak tumbuhnya “rasa memiliki budayanya sendiri”. Kunci kearah majunya potensi “Tradisi Kasumedangan” ini adalah adanya “Political will” pemerintah Kabupaten Sumedang, khususnya pemerintah Propinsi Jawa Barat pada umumnya. Pemerintah harus mampu “membaca peluang” yang ada. Sangat terbuka peluang bagi pemasaran potensi Tradisi Kasumedangan untuk dipromosikan sebagai daya tarik yang memiliki “value”.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang
(Budayawan Sumedang)
Sumedang dilingkung gunung
Aeh-aeh Merak sisi cai
Gunung Puyuh Tebeh Kidul
Molongpong jalan ka gudang
Aeh-aeh Merak sisi cai
Gunung Puyuh Tebeh Kidul
Molongpong jalan ka gudang
Dengan ungkapan kata-kata yang sederhana, namun dikemas melalui sebuah lagu tempo dulu, maka orang akan mendengar irama merdu yang menggambarkan suasana alam lingkungan Kota Sumedang yang familiar, aman, dan damai. Kalau kita arahkan pandangan ke sekeliling Kota Sumedang dari tempat ini, maka akan tampak bahwa sesungguhnya bukan hanya Gunung Merak dan Gunung Puyuh saja. Sesuai dengan arah pandangan mata, tampak sekeliling Kota Sumedang dipagari oleh bukit-bukit yang memanjang. Di sebelah utara tampak Gunung Tampomas, yang menjadi ciri keasrian Sumedang. Daya tarik alami yang memancing keingintahuan misteri dibalik namanya.
Menyadari bahwa Kota Sumedang dilingkung gunung, dengan hutan, lembah ngarai, sungai dengan gemericik air dan saluran-saluran pematang sawah, dihias padi yang sedang menguning, kampung dan dusun yang tenteram dan asri. Orangpun bergumam, “Oh, iya memang Sumedang kota yang Nya-Galura Ngupuk”.
Kota Sumedang yang sudah berusia 304 tahun sampai sekarang tahun 2010, sejak tahun 1706. Kota yang sudah termasuk kota tua, yang dengan sendirinya memiliki sejarah panjang. Memiliki tradisi dan budaya yang khas Sumedang. Memiliki karakter tanah Priangan dengan ciri penduduknya yang berbahasa Sunda santun.
Suasana alam Sumedang yang cantik menawan. Kota kecil namun asri, memendam dan memancarkan aura khas Sumedang. Pantas, apabila dahulu Sumedang dijuluki sebagai “Italy of The East” oleh Johan Koning dalam buku berjudul “Het Paradijs van Java” karya seorang fotografer ulung Wijnand Kerkhoff. Pujian yang membuat kita masyarakat Sumedang merasa bangga, tetapi apakah bagi generasi masa kini, julukan yang sangat membanggakan itu dipahami? Mengapa mendapat julukan seperti itu? Apakah predikat yang seorang menyanjung Sumedang sebagai “Surganyaa dari Jawa:, masyarakatnya sadar, tahu dan turut bangga? Benarkah kondisi Sumedang masih seperti yang digambarkan sebagai Itali dari timur sekarang ini.
Sudah hampir satu abad buku “Het Paradijs van Java” dicetak dan dipublikasikan. Tentu saja dalam kurun waktu hampir satu abad potret suasana “Sumedang Tempo Doeloe” sudah berubah! Perubahan itu sayangnya bukan bertambah indah, nyaman, asri, tertib. Sebagaimana motto Sumedang berbunyi “Sumedang Tandang” Tandang sebagai akronim dari “Tertib-Aman-Nyaman-Dinamis-Anggun”.
Budaya tertib, budaya bersih, budaya sehat serta budaya gotong-royong, sebagaimana ciri khas priangan, yang nota-bene Sumedang sebagai puseurnya, sudah termakan zaman. Adalah Dr. F. De Haan yang menyebutkan asal-muasal istilah: “Priangan” dari tanah Sumedang Larang, yang kemudian berubah hanya sebagai “Preanger Regentschappen” saja. Dari titik awal itulah Sumedang Larang Mengalami “ngarangrang”. Filosofi Kasumedangan.
Bila menoleh ke belakang sejarah Sumedang, saat Prabu Tajimalela mulai meletakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dengan sebuah filosofi Kasumedangan, yang diantara lain berbunyi….Sinom:
Sumanget Kasumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwasan ku beja
Sikepna titih caringcing
Jauh tina hiri-dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwasan ku beja
Sikepna titih caringcing
Jauh tina hiri-dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan
Walaupun filosofi Kasumedangan telah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang dalam hitungan ratusan tahun, namun nilai-nilai pedoman kehidupan bagi manusia masih tetap relevan. Bahwa manusia sebagai mahluk yang sempurna dengan akal dan perasaannya harus senantiasa berbuat baik, santun dan arif-bijaksana. Selaku khalifatulah fil ardi, harus senantiasa memelihara dan menjaga kelestarian hidup di dunia.
Dalam pengejawantahannya, selaku manusia yang berbudi hendaknya:
Gumelar di pawenangan
Kudu ngajadi pantrangan
Ulah nyieun kagorengan
Sebab teu widi Pangeran
Mungguh kaluhungan Budi
Ageman jalmi utami
Pinasti selamet diri
Mo aya nu nyisikudi
Lamun urang nyleun nyeri
Pasti malindes ka diri
Adiling Gusti Yang Widi
Geus dipatok ajali
Kudu ngajadi pantrangan
Ulah nyieun kagorengan
Sebab teu widi Pangeran
Mungguh kaluhungan Budi
Ageman jalmi utami
Pinasti selamet diri
Mo aya nu nyisikudi
Lamun urang nyleun nyeri
Pasti malindes ka diri
Adiling Gusti Yang Widi
Geus dipatok ajali
Kearifan yang telah dilakukan tertanam pada diri leluhur Sumedang, kemudian dianut dan dilanjutkan oleh para penerusnya, sehingga menjadi tradisi yang masih menjadi pedoman bagi peri kehidupan generasi masa kini.
Untuk membentengi diri dari keinginan yang negatif, sebagai akibat dari dorongan keinginan yang dapat menimbulkan dosa bahkan mengakibatkan penderitaan lahir dan batin, kita diingatkan dengan petuah “Ati suci-mangan halal”-“Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja”.
Dalam setiap langkah yang akan ditempuh harus selaras dengan itikad yang suci serta diawali dengan tindakan yang benar pula. Dahulu para leluhur Sumedang telah memberi contoh, yang kemudian diikuti generasi ke generasi selanjutnya, berupa tradisi dalam rangka upaya merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial.
1. Tradisi Dalam Siklus Kehidupan Manusia
Tradisi yang dijalankan sejak manusia dalam kandungan, lahir, dewasa, bekerja, menikah sampai bagaimana tata-cara bermasyarakat, bahkan bagaimana mengurus orang yang meninggal dunia. Sebuah siklus kehidupan manusia, bahkan bagaimana kontak dengan alam lingkungan hidupnya, diwarnai berbagai tradisi.
Tradisi Kasumedangan, sering sejalan dengan perjalanan sejarah kehidupan manusia di wewenangkan Sumedang, sudah barang tentu mengalami perubahan. Penyesuaian dan penyelarasan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, terutama masa kini. Ada tradisi Kasumedangan yang masih dijalankan, bahkan diselenggarakan dalam kemasan yang disesuaikan dengan tuntutan masa kini. Namun ada juga yang masih utuh tradisional.
Sekarang hal seperti itu sudah jarang digunakan. Namun tradisi tadi disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Dalam usia kandungan empat bulan, diselenggarakan pengajian, dengan motivasi yang sama.
Tradisi orang tua zaman dahulu, pasti menyimpan apa yang disebut “Kanjut Kundang”. Tempat menyimpan antara lain temu kunci, konenga temen (kunyit), bawang putih, tali ari-ari, uang logam satu Gulden (Perak); besarnya bergantung status sosial yang bersangkutan. Ini saat “Puput Udel”. Kini tradisi tersebut sudah ditinggalkan. Sebagai gantinya, selamatan biasa.
Tradisi “Marasan” – potong rambut bayi dengan hiasan “Kebon Alas”, inipun tradisi yang sudah ditinggalkan. Menurut ajaran agama Islam begit bayi berumur satu minggu, maka seekor domba disembelih lalu dagingnya dibagi-bagikan: Aqiqah atau Ekah.
Dalam hal merawat, mengebumikan dan memperingati hari kematian seseorang, dewasa ini sudah jelas menurut ajaran agama Islam. Namun demikian, ada yang masih melakukan tahlilan, 40 hari, dst. Ada tradisi yang khas Sumedang “Tradisi Kasumedangan”, yaitu antara lain “Lebaran ‘Iedul Fitri pada hari Jum’at”.
Pada waktu Hari Raya ‘Iedul Fitri jatuh pas hari Jum’at maka Bupati tidak melakukan shalat ‘Ied di Mesjid Agung.
Apa yang melatar belakangi tradisi tersebut?
Dahulu ketika ibukota Sumedang masih berkedudukan di Tagalkalong terjadi sebuah tragedi pembantaian pada Hari Raya ‘Iedul Fitri 1678. Sejumlah Pangerahan Panembahan sedang melaksanakan shalat ‘Iedul Fitri, tiba-tiba datang penyerbuan musuh dalam jumlah yang besar dan bersenjata lengkap. Tentu saja seluruh jemaah di mesjid Tagalkalong kewalahan melawan musuh. Perlawanan yang dilakukan tidak dapat mengusir para penyerbu. Pangeran Panembahan berhasil lolos dari maut akan tetapi banyak jatuh korban diantara balad Paneran Panembahan, termasuk para Pembesar dan keluarganya. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jum’at, 18 November 1678. Setelah peristiwa tragedi berdarah di hari Lebaran Jum’at 1678 itulah senantiasa diperingati sebagai hari berkabung.
Pangeran Panembahan memerintah Sumedang selama 50 tahun, merupakan masa pemerintahan paling lama, yaitu dari tahun 1656-1706. Para Bupati penerisnya sangat menghormati dan mengagumi keberanian dan kepemimpinan Pangeran Panembahan.
Banyak hasil pemikiran Pangeran Panembahan menjadi contoh untuk ditindaklanjuti, sehingga menjadikan Sumedang mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang. Belajar dari pengalaman, setelah ibukota Tegalkalong diserang dan diduduki musuh, maka beliau membentuk pasukan khusus pilihan, yang terdiri dari 40 orang – kemudian disebut Pamuk. Pamuk tersebut disebar ke berbagai tempat strategis dengan dibekali fasilitas yang diperlukan, termasuk diberi tanah garapan. Tanah garapan tadi disebut Carik.
Semenjak saat itu sistem Carik dikenal dan disebarluaskan di Sumedang. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketahanan fisik serta ketrampilan teknik bertempur para prajurit maka setiap hari Sabtu digelar latihan kesantikaan. Para prajurit dilatih kecakapan menunggang kuda sambil mempergunakan senjata. Alun-alun menjadi tempat latihan keterampilan prajurit. Tidaklah mengherankan, kalau Sumedang terkenal menguasai seni berolah raga kuda. Oleh karena itu balapan kuda sudah menjadi tradisi yang kuat dimasyarakat luas. Bukankah, Kudah Renggong dan Kuda Silat sudah lama dikenal di Sumedang? Selain itu Panahan di alun-alun dan tanah lapang juga sudah, menjadi salah satu tradisi Kasumedangan.
Membuka dan mengolah tanah pesawahan dengan berbagai kesenian tradisionalnya sampai sekarang masih dilakukan khususnya di daerah Rancakalong Upacara “Ngalaksa” setap tahun diselenggarakan, sebagai wujud mensyukuri nikmat atas hasil panen yang telah dicapai.
Seni “Jentreng – Tarawangsa” – “Rengkong” adalah wujud tradisi para petani di Rancakalong-Sumedang. Dalam kaitannya dengan merawat dan memelihara kelangsungan alam dan harmoni sosial, dikenal tradisi “Marak” di aliran sungai. Sungai Cimanuk, Cipeles, Cipunagara diantara sungai-sungai yang populer pada zaman dulu, yang sering dijadikan acara “Marak”. Pada event ini proses pembauran antara para Petinggi Negeri dengan kalangan masyarakat bawah urang lembur.
Dahulu juga sering dilakukan “Bubujeng” atau berburu. Lokasi tradisi ‘Bubujeng’ ini, antara lain yang terkenal adalah hutan Sanggom di daerah Surian-Tanjung, berbatasan dengan Subang, Indramayu. Pada kesempatan seperti ini, kesempatan menggelar kesenian rakyat. Tentu saja kegiatan ini merupakan kesempatan yang sangat mengasyikan.
Tradisi Kasumedangan ada yang berlangsung di pusuer deyeuh, ada pula yang hidup di daerah pasisian, jauh lebih banyak dan bervariasi Tradisi Kasumedangan yang berlangsung di puseur deyeuh, di kalangan Pemangku Adat, tetap dilaksanakan seperti antara lain: “Ngaberesih Pusaka”, yang bertepatan dengan “Mauludan”, sudah sejak zaman dahulu “Upacara Mauludan” ini secara run diselenggarakan.
- Di Yogyakarta dikenal dengan “Upacara Sekaten”-“Grebeg Maulud”
- Di Cirebon-di Kasepuhan Cirebon ada “Upacara Panjang Jimat”.
- Di Solo ada upacara sejenis
Para pelaksanaannya secara turun-temurun menjadi pelaku upacara “Muludan” ini, agar memahami “Tradisi” ini.
Dengan demikian, maka kesinambungan acara ritual ini dapat dilaksanakan secara seksama. Tata cara yang berkaitan dengan ritual ini tetap sesuai kebiasaan para sepuh terdahulu. Menurut istilah sekarang, sudah ada “Protap” atau “SOP” yaitu: Standart Operational Procedur.
Tradisi Kasumedangan Upacara Pernikahan dengan menggunakan “Makuta dan Siger” – walaupun sekarang tidak lagi memakai yang asli terbuat dari Mas-Duplikat Mahkita Binokasri (orang menyebutnya Makuta Binokasih) masih banyak disukai oleh calon pasangan pengantin masa kini. Tradisi Upacara pernikahan gaya “Pengantin Kasumedangan” ini, sekarang bahkan memiliki nilai jual Budaya dan Kepariwisataan.
Sudah sangat sering digelar Seminar, Pinton Anggon, Pameran, Seni Budaya, maupun Festival Pakaian Pengantin se Nusantara diikuti, juga dalam Food Festival diperagakan Pakaian dan Mahkota Binokrasi dan Siger Kasumedangan digelar.
Tidak hanya di dalam negeri saja Upacara Adat Tradisi Kasumedangan ini diselenggarakan, tetapi juga sudah sampai ke luar negeri. Upacara Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini pernah diselenggarakan di Amerika.
Saya sungguh merasa sangat beruntung dapat mewakili keluarga khususnya, masyarakat Sumedang umumnya dalam menunaikan tugas sebagai “Duta Budaya”, pada Upacara Pernikahan menurut “Tradisi Kesumedangan” di Los Angeles, California, Amerika Serikat pada tahun 1997. Upacara Pernikahan Kasumedangan iniah diperagakan secara sempurna dan sukses pada waktu Festival Keraton Nusantara III di Cirebon, pada tahun 1997.
Kegiatan yang sama berturut-urut juga diselenggarakan pada setiap Festival Keraton Nusantara (FKN) berlangsung di:
- Festival Keraton Nusantara II di Kutai Kartanegara, tahun 2002
- Festival Keraton Nusantara IV di Yogyakarta, tahun 2004
- Festival Keraton Nusantara V di Solo, tahun 2006
Pada Festival Keraton Nusantara VI di Goa-Sulawesi tahun 2008, upacara ini tidak digelar.
Festival Keraton Nusantara VII tahun 2010, akan diselenggarakan di Palembang, sekitar bulan September. Insya Allah Pernikahan Tradisi Kasumedangan ini akan digelar kembali. Karena telah merupakan “Ikon” Tradisi Kasumedangan.
Upacara pernikahan Tradisi Kasumedangan inipun sudah sering dilaksanakan pada level Elit Nasional, seperti pada pernikahan di keluarga Istana Cendana, saya sempat mengikutinya. Di kalangan petinggi negara lainnya pun sering berlangsung dengan memakai “Mahkota dan Siger Kasumedangan”. Kalangan selebritis nasional seperti artis beken Paramitha Rusady; saya sendiri yang memasangkan Mahkota dan Siger pada pasangan pengantin ini.
Dengan demikian, tradisi Kasumedangan telah naik kepermukaan forum nasional, bahkan forum tradisional. Adalah sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sunda, bahwa Budaya Tradisi Kasumedangan telah mendapat sambutan, pengakuan yang sangat meyakinkan akan ketinggian nilai filosofis dan seni kreativitasnya.
2. Bagaimana Prospek Tradisi Kasumedangan dalam Perkembangan Budaya Masa Kini
Di era globalisasi ekonomi, di tengah marak dan berkembangnya teknologi telekomunikasi dunia dewasa ini, tentu saja dampaknya mempengaruhi pada berbagai aspek kehidupan manusia. Pergeseran ke arah perubahan tata nilai pun tidak mudah dapat kita tolak. Kita tidak dapat mengelak dari pengaruh budaya luar lewat kemajuan teknologi elektronika. Sementara alih teknologi yang kian cepat maju, kita sangat perlukan. Sebab kalau tidak kita ikuti tentu akan berakibat fatal, kita akan ketinggalan. Bagaikan akan kembali seperti pada “jaman batu”. Generasi tua mewariskan budaya dan tradisi lama, sementara generasi muda “merasa canggung” menerimanya, karena pengaruh pergaulan dan “kemajuan budaya masa kini”.
Masyarakat masa kini sudah terlanjur bersikap dan berorientasi pada materialistis-kegemerlapan budaya asing yang konsumerisme. Tradisi lama “Tugur Tundan – susuk bendung – Ngepung maung – Menak mudun/kudu kapundayan” – gotong-royong, gawe bareng…sudah susah” Kalau tidak ada iming-iming upah, atau uang, tidak ada yang gratis. Bagi Sumedang masa kini, harus pula menghadapi:
- Pengaruh dari pembangunan jalan tol “Cisumdayu”
- Pengaruh dari pembangunan bandar udara “Kertajati-Aerocity”
- Pengaruh dari pembangunan Bandung Metropolitan, yang akan berpengaruh pula pada pengembangan kawasan Jatinangor
- Pembangunan waduk Jatigede yang akan mengubah perilaku budaya lama pada budaya baru
Posisi Sumedang yang strategis sebagai penyangga Bandung, sebagai ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki keuntungan, karena jarak Bandung-Sumedang semakin cepat dijangkau. Demikian juga dari arah Timur, Cirebon, letak Sumedang berada di tengah dua kota besar di Jawa Barat. Sesungguhnya dimana ada tantangan, pasti ada peluang! Tinggal, apa yang dapat kita petik dari peluang yang ada. Apa yang Sumedang miliki sebagai potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang dapat “dijual”?
Marilah kita tata dan kembangkan dari potensi budaya dan tradisi Kasumedangan yang ada dengan kemasan yang lebih profesional. Mungkin dengan mempergunakan paradigma baru, dengan kata lain “Ngidung ka waktu, mibapa ka jaman”.
Suatu tradisi yang baik, mampu memberikan motivasi, spirit, juga tidak lupa menghormati orang tua, leluhur – karuhun kita.
Bukankah kita memiliki potensi budaya yang kaya? Antara lain”
- Sumedang memiliki museum Prabu Geusan Ulun
- Sumedang memiliki peninggalan-peninggalan sejarah yang banyak tersebar, berupa Benteng Gunung Kunci, Benteng Gunung Palasari, Benteng Gunung Gadung dll.
- Sumedang memiliki banyak situs dan makam leluhur yang sudah banyak dikenal masyarakat luas. Makam Pahlawan Nasional Cut Nyak Dien dll.
- Sumedang memiliki fasilitas lapangan pacuan kuda.
- Sumedang memiliki pesona alam dan cagar budaya, seperti Cadas Pangeran yang patut mendapat perhitungan kita bersama. Seyogyanya prasasti Cadas Pangeran tidak dibiarkan apa adanya. Namun, alangkah baiknya bila di kawasan Cadas Pangeran dibangun sebuah monumen untuk mengenang hiroisme dan patriotisme Pangeran Kornel disana saat pembangunan jalan pos dengan nama “De Groote Postweg”.
- Obyek wisata ziarah: Makam pasarean, Dayeuh Luhur, Gunung Lingga dll.
- Sumedang memiliki tradisi Ngalaksa di Rancakalong
- Sumedang memiliki seni tari klasik dan seni tradisional yang kaya
- Sumedang memiliki tradisi Muludan di museum Prabu Geusan Ulun – Yayasan Pangeran Sumedang.
- Sumedang sudah memiliki “Calender Event” Festival Kuda Renggong
- Sumedang harus mengembangkan festival “seren taun”
Kegiatan yang gencar dan bervariasi akan memberi peluang pada “Revitalisasi Budaya Sunda” – khususnya “Revitalisasi Tradisi Kasumedangan” pada masa kini. Jangan sampai terjadi “Jati Kasih Ku Junti”. Dengan kata lain, itu semua diharapkan akan memberikan “nilai jual” yang tinggi bagi kemajuan dunia kepariwisataan Sumedang, disamping juga akan berdampak tumbuhnya “rasa memiliki budayanya sendiri”. Kunci kearah majunya potensi “Tradisi Kasumedangan” ini adalah adanya “Political will” pemerintah Kabupaten Sumedang, khususnya pemerintah Propinsi Jawa Barat pada umumnya. Pemerintah harus mampu “membaca peluang” yang ada. Sangat terbuka peluang bagi pemasaran potensi Tradisi Kasumedangan untuk dipromosikan sebagai daya tarik yang memiliki “value”.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam Kegiatan "Festival Komunitas Adat" yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 13 Juli 2010 di Sumedang