Sistem Ekonomi Tradisional pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub
Oleh Ani Rostiyati
Abstrak
Masyarakat Kasepuhan Cicarucub adalah masyarakat agraris yang masih memiliki sistem ekonomi bersifat tradisional. Dalam sistem ekonomi tradisional itu, pola produksi dan distribusi bersumber pada pengetahuan budaya yang sudah dianut lama dan membaku dalam masyarakat yang bersankutan. Pada masyarakat Cicarucub, nilai budaya merupakan konsep-konsep yang melatar belakangi semua tindakan, termasuk kegiatan ekonomi para petani, perajin ranginang, gula aren, dan pendulang emas. Nilai budaya tersebut tercermin dalam kegiatan dan tindakan dalam proses produksi dan distribusi. Pengaruh nilai budaya tersebut terlihat dalam sifat kegotong royongan, tradisi, dan sistem kepercayaan yang melandasi sistem ekonomi.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 2, Agustus 2008: 879 - 934
Adat Perkawinan pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub
Oleh Yanti Nisfiyanti
Abstrak
Adat perkawinan masyarakat Kasepuhan Cicarucub berakar pada adat-istiadat Kasepuhan Banten Kidul. Adat-istiadat itu berpedoman pada tatali paranti karuhun (nenek moyang), yaitu mengikuti dan mematuhi tuntunan hidup para karuhun yang menjadi landasan moral dan etik dalam mencapai tujuan hidup.
Oleh karena itu, adat perkawinan tersebut merupakan media untuk memelihara nilai-nilai warisan leluhur, sekaligus menyampaikan informasi mengenai nilai-nilai itu kepada generasi penerus. Nilai-nilai dimaksud adalah perpaduan nilai agama dengan nilai yang terkandung dalam adat-istiadat.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 2, Agustus 2008: 843 - 878
Konsep Tata Ruang Rumah pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub
Oleh Ria Intani T.
Abstrak
Masyarakat Kasepuhan Cicarucub adalah masyarakat tradisional. Mereka sangat kuat memegang kepercayaan/tradisi, termasuk dalam masalah rumah. Kepercayaan/tradisi itu mencakup waktu untuk membangun rumah, arah rumah, bahan rumah, tata ruang dan unsur rumah, dll. Semua itu harus ”benar" menurut kepercayaan tradisional mereka, karena dalam kepercayaan/ tradisi itu terkandung nilai-nilai luhur.
Kata Kunci: Tata Ruang Rumah. Kepercayaan Tradisional. Kasepuhan Cicarucub.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 2, Agustus 2008: 799 - 842
Belajar dari Cerita Rakyat Saedah Saenih di Indramayu
Indramayu, CNN Indonesia -- Tersebutlah dua kakak beradik, Saedah dan Saenih namanya. Keduanya sering diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Begitu bencinya ibu tiri pada Saedah dan Saenih hingga ia meminta suaminya untuk membuang kedua anaknya. Dimabuk cinta pada istrinya, sang suami pun menuruti permintaan si istri.
Dibuanglah kedua anak kandungnya di tengah-tengah hutan belantara. Sadar dirinya telah dibuang oleh orang tua mereka, Saenih pun membuat perjanjian dengan seorang kakek tua yang ditemuinya di hutan. Dengan bantuan kakek tersebut, Saenih menjadi penari ronggeng yang begitu terkenal.
Lama waktu berselang, sang kakek kembali lagi. Ia menagih janji yang dibuat Saenih bertahun-tahun lalu. Setelah menyampaikan pesan terakhir pada Saedah, berubahlah Saenih menjadi buaya putih.
Konon katanya, kisah di atas pernah benar-benar terjadi di kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kisah tersebut dikenal dengan nama cerita rakyat Saedah Saenih. Hampir semua masyarakat Indramayu mengenal kisah ini, bahkan kisah ini juga terdapat di masyarakat Cirebon dan Sumedang. Namun tetap saja, kisah yang paling kental terdapat di daerah Indramayu.
Bahkan masyarakat Indramayu percaya bahwa hingga saat ini Saenih menghuni Sungai Sewo dalam wujud buaya putih.
Kekentalan tradisi dan kepercayaan akan mitos inilah yang mendorong Yuzar Purnama dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat membuat dokumentasi mengenai mitologi Saedah Saenih. Dokumentasi dalam bentuk penelitian tersebut dipublikasikan dalam Patanjala Volume 8 No. 3 September 2016.
Berdasarkan studi pustaka dan pengumpulan data yang dilakukan Yuzar, dapat diketahui ada beberapa versi dari mitologi Saedah Saenih. Ada yang mengatakan, pada akhir cerita kedua orang tua Saedah dan Saenih berubah menjadi pohon bambu dan balai yang mengambang. Namun ada pula yang mengatakan keduanya tenggelam dan dikuburkan di tepi Sungai Sewo.
Meskipun ada berbagai versi dari kisah Sedah Saenih, inti ceritanya tetaplah sama yaitu anak yang membuat perjanjian dengan seorang “kakek tua”. Akibat dari perjanjian tersebut, Saenih menjadi penari ronggeng yang terkenal, tapi di akhir hayatnya ia harus berubah menjadi sesosok buaya putih yang menghuni Sungai Sewo.
Masyarakat setempat percaya hingga saat ini ada buaya putih jelmaan Saenih yang mendiami Sungai Sewo. Karena kepercayaan itu, tidak sedikit orang yang melemparkan uang recahan kala menyeberangi Sungai Sewo. Menurut mereka, uang tersebut sebagai bentuk ungkapan “permisi” mereka pada penghuni Sungai Sewo.
Jika tidak permisi atau melemparkan uang terlebih dahulu, mereka akan mendapat celaka. Hal ini terutama berlaku bagi orang luar yang saat melewati Sungai Sewo memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Berdasarkan kesaksian warga setempat, pernah ada rombongan bus yang mengangkut transmigran dari Boyolali menuju Sumatera. Bus Dwi Warna tersebut mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpangnya. Kecelakaan tersebut terjadi pada 11 Maret 1974 di Jembatan Sewo. Untuk menghormati para korban, dibuatlah tugu makan 67 transmigran di dekat Sungai Sewo. Masyarakat meyakini kecelakaan tersebut disebabkan oleh Saenih yang tidak merestui bis tersebut melewai Sungai Sewo.
Meskipun kecelakaan itu terjadi bertahun-tahun silam, tapi hingga kini masih banyak kecelakaan yang terjadi di sekitar Sungai Sewo. Kecelakaan-kecelakaan tersebut memang tidak sebesar kecelakaan bus transmigran, tapi cukup untuk menguatkan kepercayaan masyarakat akan keberadaan penunggu Sungai Sewo.
Akibat dari kepercayaan akan mitos ini, banyak penduduk sekitar yang mengais keuntungan di tepian jalan. Banyak di antara mereka yang menunggu di sekitar jembatan untuk meraup uang yang dilemparkan oleh para pengendara. Cara mengambil uang tersebut dengan menyapu uang dari tengah jalan ke pinggir jalan, baru kemudian dipungut.
Puluhan orang memanfaatkan momen tersebut. Namun masyarakat juga percaya, di antara puluhan orang tersebut ada satu yang bukan “orang”. Ia adalah makhluk halus yang merupakan jelmaan dari Saenih yang kini telah menjadi buaya putih. Meskipun begitu, mereka tidak mengetahui siapa persisnya yang merupakan makhluk halus.
Nilai Budaya
Kisah mengenai Saedah dan Saenih ini memang sangat kental akan unsur mistisnya. Hal tersebut wajar saja karena banyak di antara mitos-mitos yang beredar mengandung hal-hal yang di luar nalar manusia. Sejatinya hal tersebut disebabkan karena dahulu kepercayaan seperti itulah yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun begitu, sejak masuknya ajaran-ajaran agama di wilayah nusantara, hal-hal mistis seperti ini sering dianggap musrik dan tidak baik.
Salah satu cara nenek moyang kita menasehati anak cucunya ialah melalui legenda atau cerita rakyat. Begitu pun dengan kisah Saedah Saenih, ada nilai-nilai budaya yang tersembunyi di balik kisah kakak beradik ini.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan Gazalba dan Sutan Takdir Alamsyah, konsepsi nilai budaya meliputi nilai agama, nilai filsafat, nilai seni, nilai kerja, nilai ilmu, nilai politik, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai teori, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Adapun nilai budaya yang terkandung dalam kisah ini ialah nilai agama.
Nilai agama yang terkandung dalam kisah ini berkaitan dengan peran orang tua serta perjanjian yang dibuat Saenih. Orang tua seharusnya menyayangi dan mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang baik dalam masyarakat. Keharmonisan orang tua dan rasa tanggung jawab orang tua terhadap anak merupakan modal utama agar anak dapat menjadi orang yang berguna di masyarakat.
Sayangnya orang tua Saedah dan Saenih gagal membimbing kedua anaknya, hingga akhirnya Saenih terjerumus ke dalam perjanjian dengan seorang kakek tua. Dimana kakek ini merupakan simbolisasi dari makhluk halus atau gaib. Dengan membuat perjanjian dengan si kakek, Saenih tidak hanya melanggar norma agama tetapi juga norma masyarakat.
Di akhir kisah, si kakek tua kembali menagih janji Saenih. Saenih harus menepati janjinya dan berubah menjadi buaya putih. Tidak hanya dalam kisah saja, dalam dunia nyata pun semua orang yang membuat perjanjian dengan makhluk mistis pastilah harus membayar harga yang mahal. Selain itu, meminta bantuan pada makhluk halus adalah musrik. Tidak seharusnya orang beragama yang percaya pada Tuhan meminta bantuan pada hal-hal semacam itu. (ded/ded)
Sumber: https://student.cnnindonesia.com
Arsitektur Tradisional Di Daerah Kasepuhan Cicarucub
Oleh Lina Herlinawati
Abstrak
Warga Kasepuhan Cicarucub Kabupaten Lebak Provinsi Banten, memiliki arsitektur tradisional peninggalan leluhur. Arsitektur itu hingga kini masih dipertahankan keberadaannya, baik bentuk, bahan, maupun fungsinya sesuai dengan yang diamanahkan leluhur mereka. Bentuk arsitektur tradisional yang dipertahankan terutama pada dua bangunan, yaitu rumah adat atau Rompok Adat, tempat musyawarah atau Bale Riung, dan Leuit, tempat penyimpanan padi.
Sikap itu secara tidak langsung menunjukkan kekokohan masyarakat Kasepuhan Cicurub dalam mempertahankan adat dan tradisi leluhur. Hal itu disebabkan arsitektur tradisional di Kasepuhan Cicarucub mengandung perpaduan wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material dari kebudayaan mayasarakat setempat. Dengan kata lain, arsitektur tradisional itu merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Kasepuhan Cicurub.
Kata Kunci: Arsitektur tradisional. Budaya. Cicarucub.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 1, April 2008: 755 - 798
Konservasi Tradisional pada Masyarakat Kasepuhan Cicarucub
Oleh Suwardi Alamsyah
Abstrak
Sudah menjadi fenomena umum, bahwa sekarang terjadi ketidakharmonisan hubungan sosial dengan alam, kerusakan alam dan lingkungan hidup, akibat sikap dan tindakan manusia. Namun masyarakat Kasepuhan Cicarucub berupaya untuk tetap melakukan konservasi melalui berbagai pranata. Hal itu terjadi, karena bagi masyarakat Kasepuhan Cicarucub, konservasi merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya leluhur mereka yang diwarisi secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, bila terjadi penyimpangan terhadap konservasi, dianggap melanggar adat atau tradisi.
Kata Kunci: Konservasi. Tradisi. Masyarakat adat.
Diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Vol. 40, No. 2, Agustus 2008: 677 - 754
Perlawanan Kultural Perempuan Pejuang (R.A. Lasminingrat dan Syaikhah Rahmah el Yunusiah)
Oleh Iim Imadudin
Abstrak
R.A. Lasminingrat dan Syaikhah Rahmah el Yunusiah merupakan tokoh perempuan yang mendedikasikan hidupnya bagi kemajuan dan kemuliaan martabat perempuan. Keduanya tumbuh dalam pergolakan ketika identitas kebangsaan masih dalam taraf pencarian. Bersama kalangan pergerakan, mereka berjuang melalui ranah pendidikan. Tidak dapat dikesampingkan bahwa kultur tempat mereka dilahirkan memberi warna yang penting. Kultur bukan saja menjadi sesuatu yang mereka hayati, tetapi juga digugat dan ditafsirkan kembali.
Kata Kunci: perlawanan kultural, kemajuan pendidikan.
Diterbitkan dalam Buddhiracana, Vol. 12 No. 1, November 2008: 76-85
Tari Sigeh Penguten
Oleh: Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum
Pendahuluan
Provinsi Lampung dikenal juga dengan julukan “Sai Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Saibatin. Masyarakat pertama mendiami daratan dan pedalaman Lampung, seperti daerah Tulang Bawang, Abung, Sungkai, Way Kanan, dan Pubian, sedangkan masyarakat kedua mendiami daerah pesisir pantai, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka (Wonosobo dan Kota Agung), Balalau, dan Pesisir Rajabasa.
Di samping penduduk asli Suku Lampung, Suku Banten, Suku Bugis, Jawa, dan Bali juga menetap di provinsi itu. Suku-suku ini masuk secara masif ke sana sejak pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905 memindahkan orang-orang dari Jawa dan ditempatkan di hampir semua daerah di Lampung. Kebijakan ini terus berlanjut hingga 1979, batas akhir Lampung secara resmi dinyatakan tidak lagi menjadi daerah tujuan transmigrasi. Namun, mengingat posisi Lampung yang strategis sebagai pintu gerbang pulau Sumatera dan dekat dengan Ibu Kota Negara, pertumbuhan penduduk yang berasal dari pendatang pun tetap saja tak bisa dibendung setiap tahunnya.
Umumnya masyarakat Lampung mendiami kampung yang disebut dengan tiyuh, anek, atau pekon. Beberapa kampung tergabung dalam satu marga, sedangkan kampung itu sendiri terdiri atas beberapa buway. Di setiap buway atau gabungan buway terdapat rumah besar yang disebut Nuwou Balak. Biasanya Nuwou Balak ini merupakan rumah dari kepala kerabat yang merupakan pemimpin klan dari kebuwayan tersebut, yang disebut juga dengan punyimbang/penyimbang bumi.
Masyarakat Lampung memiliki bahasa dan aksara sendiri, namun penggunaan bahasa Lampung pada daerah perkotaan masih sangat minim akibat heterogenitas masyarakat perkotaan dan karena itu penggunaan Bahasa Indonesia lebih menonjol. Untuk daerah pedesaan, terutama pada perkampungan masyarakat asli Lampung (tiyuh ataupun pekon), penggunaan Bahasa Lampung sangat dominan. Bahasa Lamapung terdiri dari dua dialek, pertama dialek “O” yang biasanya di gunakan oleh masyarakat Pepaduan, meliputi Abung dan Menggala: serta dialek “A” dan umumnya digunakan masyarakat Saibatin, seperti Labuhan Maringgai, Pesisir Krui, Pesisir Semangka, Belalau, Ranau, Pesisir Rajabasa, Komering, dan Kayu Agung. Namun demikian ada pula masyarakat Pepadun yang menggunakan dialek “A” ini, yaitu Way Kanan, Sungkai, dan Pubian. Di samping memiliki bahasa daerah yang khas, masyarakat Lampung juga memiliki aksara sendiri yang disebut dengan huruf kha gha nga. Aksara dan Bahasa Lampung itu menjadi kurikulum muatan lokal yang wajib dipelajari oleh murid-murid SD dan SMP di seluruh Provinsi Lampung.
Provinsi ini juga memiliki 438 benda cagar budaya yang dimiliki warga masyarakat dan 93 lokasi komplek situs kepurbakalaan yang tersebar di berbagai daerah. Situs kepurbakalaan zaman prasejarah itu antara lain Taman Purbakala Pugung Raharjo di Lampung Timur, situs Batu Bedil di Tanggamus, dan situs Kebon Tebu di Lampung Barat yang berupa menhir dan dolmen. Ada juga situs purbakala zaman Islam berupa kuburan kuno di Bantengsari, Lampung Timur, dan makam Islam di Wonosobo, Tanggamus. Situs kesejarahan antara lain Makam Pahlawan Nasional Radin Intan II di Lampung Selatan. Di Museum Negeri Rua Jurai Lampung, menurut catatan terakhir 2011, ada 4.369 benda berharga yang berasal dari berbagai jenis koleksi yang bernilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan.
Pada kunjungan kerja ke Provinsi Lampung pada tanggal 14 Juli 2005, dalam acara Peresmian Pembukaan Utsawa Dharma Gita Tingkat Nasional IX tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan bahwa: Bangsa kita memang bangsa yang majemuk, yang mempunyai latar belakang kesukuan, kebudayaan, dan keagamaan yang berbeda-beda. Namun hakekat kemanusiaan sesungguhnya adalah satu, yaitu semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Sebab itu, perbedaan-perbedaan tidaklah menjadi halangan bagi kita untuk hidup rukun, hidup damai, dan hidup bersatu menjadi sebuah bangsa di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai-nilai budaya masyarakat Lampung bersumber pada falsafah hidup mereka yakni:
1. Piil Pesenggiri (harga diri, perilaku, sikap hidup)
2. Nengah nyappur (hidup bermasyarakat, membuka diri dalam pergaulan)
3. Nemui nyimah (terbuka tangan, murah hati dan ramah pada semua orang)
4. Berjuluk Beadek (bernama, bergelar, saling menghormati)
5. Sakai Sambayan (gotong royong, tolong menolong)
Nilai-nilai masyarakat Lampung tercermin pula dalam bentuk kesenian tradisional, mulai dari tari tradisional, gitar klasik Lampung, sastra lisan, sastra tulis, serta dalam bentuk upacara kelahiran, dan kematian. Pembinaan terhadap seni budaya daerah ini dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga adat secara sinergis. Pada tahun 2011 terdapat sejumlah organisasi kesenian, baik yang bersifat seni tradisional maupun kreasi baru, yang tersebar di berbagai daerah di Lampung. Cabang organisasi tersebut meliputi 127 organisasi seni tari, 87 organisasi seni musik, 15 organisasi seni teater, dan 30 organisasi seni rupa.
Tari Sigeh Penguten
Kesenian merupakan hasil budi daya manusia, merupakan ungkapan pikiran, perasaan, dan karsanya yang diwujudkan dalam bentuk gerak, bunyi, karya, serta simbol-simbol yang memiliki nilai keindahan. Manusia sebagai individu secara naluriah mempunyai kebutuhan atau keinginan untuk berekspresi, dan berkomunikasi antar sesamanya. Secara sosiologis setiap manusia merupakan makhluk sosial, yang memiliki naluri untuk senantiasa hidup bersama. Untuk memahami kepribadian seseorang dapat dilihat dari kenyataan secara fisik atau penampilannya, jika lingkungan sosial sekitarnya mengakui bahwa ia memiliki kepribadian yang menarik, maka artinya seseorang tersebut merupakan individu yang menyenangkan. Oleh karena itu setiap manusia dalam usahanya untuk mencapai suatu bentuk pergaulan kehidupan yang harmonis, senantiasa dituntut untuk mampu berkomunikasi dan berekspresi dalam kehidupan masyarakat. Corak dalam berkomunikasi dan berekspresi dalam kehidupan masyarakat tersebut bermacam-macam, bisa melalui pergaulan dalam organisasi, bergotong-royong, partisipasi sosial dalam pembangunan, termasuk melalui berbagai kegiatan seni dan kebudayaan, seperti yang ada di bawah ini.
Seni musik
Apabila dilihat di daerah Lampung yang masyarakatnya beradat pepadun dan saibatin, memiliki alat musik tradisional seperti talo balak/kakhumung/gamolan, yang terdiri dari 12 canang, 1 bender, 2 gung, sepasang ghujih/kahjih, gindang. Alat-alat ini dibuat di Jawa dari segi bahan-bahannya, sedangkan lagu-lagunya merupakan lagu-lagu khas Lampung, iramanya hampir sama seperti di daerah Sumatera bagian selatan lainnya. Irama tabuhannya adalah tabuh guppek, tabuh sarliyah, tabuh ujan tuyun, tabuh sungsung, tabuh sanak miwang di ijan, tabuh sanak miwang di jami, tabuh nyambuk temui, tabuh mighul bekekkos, dan lain-lain. Tabuhan lain dengan alat yang sama juga terdapat di daerah Maringgai, tabuh-tabuhan ini antara lain tabuh arus ujan (menyambut tamu agung), tari gaya baru melinting, tabuh semani (tabuh penglaku ghagah), tabuh tari sabai (tari penglaku sabai), tabuh kedangkung (tabuh tari kehormatan), tabuh barow pagi (tabuh ngundang khompok), tabuh samang ngembub (tabuh kuppul ulah wat hajatan), tabuh cettik (tabuh tari-tarian nada agak lambat), tabuh kelilu sawik (tabuh gagal pertunangan), tabuh maju ngekkes, tabuh barau seghattau (kesedihan dalam perantauan).
Serdam, berdah, ginggung, galintang pekhing, sekhunai, gambus Lampung (gambus lunik dan gambus balak), tekhbangan, dan suling. Alat-alat musik ini dapat dipergunakan untuk mengiringi lagu-lagu puitis khas Lampung, baik lagu yang dilantunkan secara sendiri maupun lagu yang dilantunkan secara bersama-sama atau silih berganti. Salah satu contoh berikut ini adalah tutur bahasa, atau berupa ungkapan tuan rumah dalam penyambutan tamu agung, yang diiringi dengan alat musik tekhbangan, lazimnya disebut zikir lom.
Alat musik barat seperti gitar, biola, mandolin, dan sejenisnya mendominasi kesenian musik di Tulangbawang, Menggala, dan mungkin juga beberapa daerah yang beradat pepadun lainnya seperti Kotabumi, Gunungsugih, dan Terbanggi Besar. Untuk daerah yang beradat saibatin irama musik Laut Tengah (Arab) dan pengaruh lagu-lagu India (dangdut), menghasilkan lagu-lagu khas Lampung Pesisir (saibatin) yang bernafaskan Islam, dari segi musik vokal menghasilkan marhaban, dhikir, dan samroh. Musik vokal berupa adi-adi, wayak yang merupakan kesenian khas Lampung yang berperanan disini adalah muli mekhanai (muda-mudi). Sebelum zaman kemerdekaan terutama pada masa penjajahan, keperluan musik atau seni suara pada umumnya sebagai kelengkapan upacara adat. Musik vokal semacam ini hampir dapat dikatakan tidak berkembang, bahkan cenderung statis. Kesenian Lampung mulai bangkit semenjak tahun limapuluhan. Muncul ide-ide dari para mahasiswa asal Lampung yang ada di Yogyakarta, untuk membentuk grup musik dengan alat seperti talo balak, serdam, gindang, gambus Lampung, keroncong. Kelompok ini bernama Suara Penyimbang, anggotanya antara lain Wan Zakaria, Tamimi, Tarmizi Nawawi. Lagu-lagu yang terkenal mereka bawakan antara lain Tepui-tepui, Pung Kelapo Kupung, Persembahan, Seminung Dikala Dibi, dan lain-lain. Kemudian lagu Pekon Sikam diciptakan oleh Hilman Hadikusuma di Bandung/Jakarta. Pada tahun 1959 muncul grup musik Kinandi dibawah pimpinan Zainuddin, dan mereka memperkenalkan lagu-lagu Lipang-lipangdang, penyandangan, dan muli mekhanai. Di daerah Kotabumi, Menggala, dan Sukadana berkembang pula lagu-lagu dengan iringan gitar, dan memperkenalkan lagu Tepikpai niku sukhat, mejong-mejong di betung, anak topai, dan lain-lain. Semenjak tahun enampuluhan bermunculan kelompok-kelompok musik yang membawakan lagu-lagu berbahasa Lampung. Melalui lomba cipta lagu di daerah Lampung yang diselenggarakan oleh Depdikbud, menampilkan pencipta-pencipta lagu generasi muda seperti Andi Ahmad, Rusli, Hafizi Hasan, Saiful Anwar, dan lain-lain, mereka memperkenalkan lagu-lagu Kahago, Meghanai Tuhou, Ngeram, Sumur Putri, Bandar Lampung, dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian (seni musik dan seni suara) dapat berkembang dengan ciri khas (daerah beradat pepadun) dengan pengaruh lagu-lagu barat dengan kebanyakan nada minor. Sedangkan pada masyarakat yang beradat saibatin, lagu-lagu yang bernafaskan Islam dan lagu-lagu Timur Tengah serta India mendominasi ciptaan para musisi.
Seni Tari
Berbagai cara ungkapan perasaan dengan gerak pada umumnya telah lahir semenjak manusia bermasyarakat dan berbudaya. Demikian pula halnya seni tari bagi orang Lampung, telah lahir semenjak adanya masyarakat Lampung. Seni tari ini pada awalnya dihubungkan dengan kegiatan kemasyarakatan yang telah terpola, dan yang kemudian dikenal sebagai tari adat. Antara seni musik dan seni tari keduanya saling mendukung, karena dengan musik gerak tari akan nampak lebih hidup, sempurna, menambah keindahan seni tari tersebut. Keindahan gerak tari yang terpadu seimbang dengan musik, dan ditambah dengan ketrampilan penari, akan dapat membangkitkan perasaan suka cita, bagi mata, dan pendengaran.
Seni tari adat Lampung diperagakan dalam berbagai upacara adat, telah berlangsung pada kurun waktu kedatangan Jepang di Indonesia. Sebagai tari adat dipergelarkan pada tempat, waktu, dan kesempatan yang telah ditentukan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Mengenai gerakan tari, pakaian, pemaian mempunyai ketentuan tersendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut hanya berupa ketentuan lisan, yang dipatuhi secara turun temurun. Misalnya saja gerakan tari cangget bagi wanita (muli), cenderung sangat terbatas pada gerakan tangan saja. Sedangkan tari cangget pria cenderung sangat agresif dan aktif, hampir seluruh anggota badan secara bebas bergerak, gerak ke samping, berputar, gerak vertikal tangan, kaki, dan pinggul, seolah mengarah pada gerakan pencak silat.
Sementara itu gerakan tari pada penari adat Lampung saibatin, baik pria maupun wanita secara umum sudah mengalami perubahan dengan kreasi baru. Gerak tari bagi laki-laki nampaknya sangat bebas, begitu juga penari-penari putrinya. Perubahan dan kebebasan ini karena pengaruh gerak tari-tarian dari luar, sehingga muncul jenis tarian kreasi baru. Namun makna dan nafas tarian tetap dipertahankan ciri khas Lampung baik pakaian, tabuhan, maupun aksesori perlengkapannya. Penari-penari putri dapat menggerakkan seluruh anggota badan dan tubuhnya secara bebas. Secara umum dalam kehidupan masyarakat Lampung, ketentuan-ketentuan dalam peragaan gerak tari adat tidak tertulis, biasanya selalu diungkapkan atau diperingatkan sebelum pelaksanaan tari pada saat akan berlangsung upacara. Hal tersebut disampaikan oleh penglaku/jenang/pengentuha. Ketentuan-ketentuan ini diungkapkan dengan kalimat-kalimat puitis, yang telah tersusun dan dipakai secara turun temurun. Ketentuan tersebut untuk menjaga kekhidmatan dalam menari, tata tertib, dan sopan santun. Melanggar ketentuan tersebut akan dipersalahkan oleh masyarakat pendukung kesenian itu (seperti halnya pada masyarakat Lampung saibatin). Contoh peragaan tari Lampung menurut ketentuan adat, antara lain:
Gerakan tari, untuk pria posisi berhadapan, berdiri dengan kaki kanan sebagai patokan, lutut agak ditekuk ke muka, tangan direntang sejajar bahu, telapak tangan bergerak menurut gerakan lengan (ke atas ke bawah) bergeser dan berputar setengah lingkaran. Nama gerakan rebah pohon, kenui melayang, nagasasayak, balik palau, sauk, dan kepyak mati. Sedangkan untuk penari putri lengan di bawah bahu, gerakan lengan dari depan ke belakang, merunduk, dan berputar, jari tangan ngetikh dan ngecum.
Musik pengiring, talo balak/kekhumung/gamolan. Pakaian tari untuk pria celana teluk belanga, kain bulipat (sijang bulipat), sabuk andak di pinggang diselipi tekhapang atau punduk, kepala memakai ikat pudang atau kembang padan. Bujang tidak berbaju, dewasa memakai kawai balak (pepadun). Bujang kawai antak siku, dewasa kawai balak (saibatin). Sedangkan untuk penari putri, sinjang tapis/jungsakhat, ikat pinggang bebadung/bulu serattai, bahu bebe usus (pepadun), kawai betabokh (saibatin). Memakai sual cakhang/kembang goyang. Berkalung seranjau bualan sabik inuh, gajah minung, takkei/kakalah bangkang. Berselempang buah jukum (pepadun). Bergelang bibit, gelang khui, gelang kana, gelang gerunsung, gelang burung di lengan (pepadun).
Nama tari adat, di daerah yang beradat pepadun antara lain Cangget bagha, Cangget pilangan, Cangget turun mandi, Tari Penglaku, Tari pilangan, Tari sakelang, Ngegel, Hadra/ghudat. Sedangkan di daerah yang beradat saibatin antara lain Tari batin, Tari mandapan, Tari pincak khakot, Tari saujung/sahwi, Tari selapang, Tari kekati khua belas, Tari hadra/khudat.
Semenjak tahun enampuluhan muncul kelompok mahasiswa Lampung yang tergabung dalam Gemala, memperkenalkan kreasi-kreasi baru tarian Lampung yang sama sekali tidak mengganggu tari adat. Muncullah tarian tradisional kreasi baru antara lain Tari serai serumpun, Tari kenui, Tari kipas, Tari manjau, Tari sebambangan, Tari sungsung, Tari tanggai, dan lain-lain. Kemudian pada tahun tujuhpuluhan muncul jenis tarian kreasi baru yang dapat dipergelarkan pada acara-acara bukan adat (bukan saat upacara). Tarian ini dikenal lebih dinamis, penarinya boleh campuran laki-laki dan wanita, musik pengiringnya selain talo balak ditambah dengan alat musik lainnya. Tarian tersebut antara lain Tari tenun, Tari mutil, Tari melawai, Tari Ngakhak, Tari nyesak, Tari sakai sambayan, Tari bedana, Tari nutu tepung, Tari tugal, Tari mid duwai, Tari lapah mid duma, Tari tandang bulung, Tari putekhi mandi, Tari ngawil iwa, Tari ngagetas, Tari sepahit lidah, dan lain-lain.
Tari sigeh penguten juga dikenal dengan nama tari sembah, merupakan tarian untuk menyambut tamu kehormatan. Tarian ini bisa ditemui hampir di seluruh kabupaten yang ada di Lampung, meskipun masih kalah terkenal dibandingkan tarian Melinting yang sudah menjadi identitas Lampung. Saat ini tari sigeh penguten menjadi salah satu muatan lokal sekolah dasar di Lampung Timur, kegiatan ini biasanya diselenggarakan seminggu sekali. Inilah salah satu bentuk upaya pemerintah daerah dalam melestarikan salah satu jenis kesenian yang ada di daerah ini. Sehingga diharapkan tarian ini akan tetap lestari, dikenal oleh masyarakat, dan tentunya sebagai salah satu daya tarik wisata budaya Lampung Timur.
Penutup
Kegiatan penayangan film seperti ini merupakan salah satu upaya BPNB Bandung dalam rangka turut melestarikan kesenian tradisional, seperti halnya tarian tradisional dari berbagai daerah. Potensi kesenian tradisional seperti Tari Sigeh Penguten dari Lampung ini, merupakan aset daerah yang tidak ternilai harganya, apabila digarap, dikelola dengan serius dan sungguh-sungguh akan dapat memberikan nilai tambah bagi daerah Lampung.
Untuk itu perlu dilanjutkan dan diintensifkan kegiatan seperti ini, sehingga generasi muda akan lebih mengenal potensi kesenian daerah yang begitu beragam dan menarik, tidak hanya menarik perhatian warga negara kita namun juga wisatawan manca negara. Jangan sampai terjadi lagi kesenian tradisional kita diklaim atau diakui sebagai kesenian negara lain, kalau bukan kita lantas siapa yang akan melestarikan kebudayaan daerah kita?
Daftar Acuan
Anwar, Syaiful. Naskah Seni Tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.
Djausal, Anshori. Reorientasi Budaya dalam Pembangunan (naskah orasi Kebudayaan Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya Lampung. Bandar Lampung. 1995.
Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.
Haryono, Yulvianus. Upacara Adat Cakak Pepadun, Simbol Strata Lampung. KOMPAS. Minggu 18 Juli 2010. Jakarta. 2010.
Gerak Dasar Tari Lampung. Komite Tari Dewan Kesenian Lampung.
Sumber:
Makalah disampaikan pada Kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan, Sukabumi 2013.