WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Belajar dari Cerita Rakyat Saedah Saenih di Indramayu

Indramayu, CNN Indonesia -- Tersebutlah dua kakak beradik, Saedah dan Saenih namanya. Keduanya sering diperlakukan tidak adil oleh ibu tirinya. Begitu bencinya ibu tiri pada Saedah dan Saenih hingga ia meminta suaminya untuk membuang kedua anaknya. Dimabuk cinta pada istrinya, sang suami pun menuruti permintaan si istri.

Dibuanglah kedua anak kandungnya di tengah-tengah hutan belantara. Sadar dirinya telah dibuang oleh orang tua mereka, Saenih pun membuat perjanjian dengan seorang kakek tua yang ditemuinya di hutan. Dengan bantuan kakek tersebut, Saenih menjadi penari ronggeng yang begitu terkenal.

Lama waktu berselang, sang kakek kembali lagi. Ia menagih janji yang dibuat Saenih bertahun-tahun lalu. Setelah menyampaikan pesan terakhir pada Saedah, berubahlah Saenih menjadi buaya putih.

Konon katanya, kisah di atas pernah benar-benar terjadi di kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kisah tersebut dikenal dengan nama cerita rakyat Saedah Saenih. Hampir semua masyarakat Indramayu mengenal kisah ini, bahkan kisah ini juga terdapat di masyarakat Cirebon dan Sumedang. Namun tetap saja, kisah yang paling kental terdapat di daerah Indramayu.

Bahkan masyarakat Indramayu percaya bahwa hingga saat ini Saenih menghuni Sungai Sewo dalam wujud buaya putih.

Kekentalan tradisi dan kepercayaan akan mitos inilah yang mendorong Yuzar Purnama dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat membuat dokumentasi mengenai mitologi Saedah Saenih. Dokumentasi dalam bentuk penelitian tersebut dipublikasikan dalam Patanjala Volume 8 No. 3 September 2016.

Berdasarkan studi pustaka dan pengumpulan data yang dilakukan Yuzar, dapat diketahui ada beberapa versi dari mitologi Saedah Saenih. Ada yang mengatakan, pada akhir cerita kedua orang tua Saedah dan Saenih berubah menjadi pohon bambu dan balai yang mengambang. Namun ada pula yang mengatakan keduanya tenggelam dan dikuburkan di tepi Sungai Sewo.

Meskipun ada berbagai versi dari kisah Sedah Saenih, inti ceritanya tetaplah sama yaitu anak yang membuat perjanjian dengan seorang “kakek tua”. Akibat dari perjanjian tersebut, Saenih menjadi penari ronggeng yang terkenal, tapi di akhir hayatnya ia harus berubah menjadi sesosok buaya putih yang menghuni Sungai Sewo.

Masyarakat setempat percaya hingga saat ini ada buaya putih jelmaan Saenih yang mendiami Sungai Sewo. Karena kepercayaan itu, tidak sedikit orang yang melemparkan uang recahan kala menyeberangi Sungai Sewo. Menurut mereka, uang tersebut sebagai bentuk ungkapan “permisi” mereka pada penghuni Sungai Sewo.

Jika tidak permisi atau melemparkan uang terlebih dahulu, mereka akan mendapat celaka. Hal ini terutama berlaku bagi orang luar yang saat melewati Sungai Sewo memiliki maksud dan tujuan tertentu.

Berdasarkan kesaksian warga setempat, pernah ada rombongan bus yang mengangkut transmigran dari Boyolali menuju Sumatera. Bus Dwi Warna tersebut mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpangnya. Kecelakaan tersebut terjadi pada 11 Maret 1974 di Jembatan Sewo. Untuk menghormati para korban, dibuatlah tugu makan 67 transmigran di dekat Sungai Sewo. Masyarakat meyakini kecelakaan tersebut disebabkan oleh Saenih yang tidak merestui bis tersebut melewai Sungai Sewo.

Meskipun kecelakaan itu terjadi bertahun-tahun silam, tapi hingga kini masih banyak kecelakaan yang terjadi di sekitar Sungai Sewo. Kecelakaan-kecelakaan tersebut memang tidak sebesar kecelakaan bus transmigran, tapi cukup untuk menguatkan kepercayaan masyarakat akan keberadaan penunggu Sungai Sewo.

Akibat dari kepercayaan akan mitos ini, banyak penduduk sekitar yang mengais keuntungan di tepian jalan. Banyak di antara mereka yang menunggu di sekitar jembatan untuk meraup uang yang dilemparkan oleh para pengendara. Cara mengambil uang tersebut dengan menyapu uang dari tengah jalan ke pinggir jalan, baru kemudian dipungut.

Puluhan orang memanfaatkan momen tersebut. Namun masyarakat juga percaya, di antara puluhan orang tersebut ada satu yang bukan “orang”. Ia adalah makhluk halus yang merupakan jelmaan dari Saenih yang kini telah menjadi buaya putih. Meskipun begitu, mereka tidak mengetahui siapa persisnya yang merupakan makhluk halus.

Nilai Budaya
Kisah mengenai Saedah dan Saenih ini memang sangat kental akan unsur mistisnya. Hal tersebut wajar saja karena banyak di antara mitos-mitos yang beredar mengandung hal-hal yang di luar nalar manusia. Sejatinya hal tersebut disebabkan karena dahulu kepercayaan seperti itulah yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Meskipun begitu, sejak masuknya ajaran-ajaran agama di wilayah nusantara, hal-hal mistis seperti ini sering dianggap musrik dan tidak baik.

Salah satu cara nenek moyang kita menasehati anak cucunya ialah melalui legenda atau cerita rakyat. Begitu pun dengan kisah Saedah Saenih, ada nilai-nilai budaya yang tersembunyi di balik kisah kakak beradik ini.

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Gazalba dan Sutan Takdir Alamsyah, konsepsi nilai budaya meliputi nilai agama, nilai filsafat, nilai seni, nilai kerja, nilai ilmu, nilai politik, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai teori, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Adapun nilai budaya yang terkandung dalam kisah ini ialah nilai agama.

Nilai agama yang terkandung dalam kisah ini berkaitan dengan peran orang tua serta perjanjian yang dibuat Saenih. Orang tua seharusnya menyayangi dan mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang baik dalam masyarakat. Keharmonisan orang tua dan rasa tanggung jawab orang tua terhadap anak merupakan modal utama agar anak dapat menjadi orang yang berguna di masyarakat.

Sayangnya orang tua Saedah dan Saenih gagal membimbing kedua anaknya, hingga akhirnya Saenih terjerumus ke dalam perjanjian dengan seorang kakek tua. Dimana kakek ini merupakan simbolisasi dari makhluk halus atau gaib. Dengan membuat perjanjian dengan si kakek, Saenih tidak hanya melanggar norma agama tetapi juga norma masyarakat.

Di akhir kisah, si kakek tua kembali menagih janji Saenih. Saenih harus menepati janjinya dan berubah menjadi buaya putih. Tidak hanya dalam kisah saja, dalam dunia nyata pun semua orang yang membuat perjanjian dengan makhluk mistis pastilah harus membayar harga yang mahal. Selain itu, meminta bantuan pada makhluk halus adalah musrik. Tidak seharusnya orang beragama yang percaya pada Tuhan meminta bantuan pada hal-hal semacam itu. (ded/ded)

Popular Posts