WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Sejarah Perjuangan Perempuan Sunda dalam Membangun Bangsa

Oleh: Prof Dr. Hj.Nina Herlina Lubis, M.S

Pengantar
Berbicara tentang perjuangan perempuan Sunda dalam membangun Bangsa, berarti berbicara tentang peran perempuan Sunda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tentu saja hal ini sangat luas. 0leh karena itu, tulisan hanya akan difokuskan pada bagaimana pasang surut status sosial kaum perempuan Sunda sebagaimana terefleksikan dalam historiografi Sunda dan juga bagaimana usaha untuk lebih memberdayakan peran perempuan Sunda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perempuan dalam Historiografi Indonesia
Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) modern di Indonesia, hingga saat ini belum ada penulis yang secara khusus menulis sejarah perempuan. Meskipun ada biografi tentang tokoh-tokoh perempuan, pada umumnya tidak ditulis oleh sejarawan. Sebagai perbandingan, di Amerika, sejak tahun 1980-an kajian sejarah perempuan sudah merupakan spesialisasi tersendiri sebagai bagian dari sejarah sosial.(Kuntowijoyo, 1988) Tulisan-tulisan sosiologi yang membicarakan perempuan sebagai penyumbang dalam sektor¬sektor sosial memang sudah cukup banyak, bahkan akhir-akhir ini di beberapa universitas sudah ada Pusat Kajian Wanita (bukan: perempuan). Sejarah perempuan yang dikaitkan dengan masalah gender, yang dalam dua dekade terakhir ini banyak dibicarakan orang di Indonesia, baru menyentuh kulit luarnya saja.

Mengapa perempuan jarang sekali dijadikan tokoh sentral dalam historiografi (penulisan sejarah)? Bila melihat perkembangan historiografi di dunia, juga di Indonesia, dapat dikatakan bahwa sejarah adalah milik kaum laki-laki. Tema-tema sentral dalam sejarah dipenuhi dengan tema sejarah politik dan militer yang erat kaitannya dengan masalah kekuasaan dan keperkasaan, yang dapat dikatakan milik kaum laki-laki (Kuntowijoyo, 1988). Corak sejarah yang androsentris seperti ini, menempatkan perempuan hanya sebagai figuran. Keadaan ini memang tidak adil karena sesungguhnya perempuan dapat dipandang sebagai pribadi yang mandiri, yang bisa menggerakkan sejarah.

Selain itu, tulisan sejarah pada masa lalu, pada umumnya bersifat elitis, hanya membicarakan orang besar, membicarakan kelompok penguasa. Jadi, tidak ada tempat bagi rakyat kecil. Tidak mengherankan bila dalam historiografi tradisional pun perempuan yang hanya disebut-sebut sedikit itu, hanya menyangkut perempuan kalangan atas.

Gambaran tentang perempuan Indonesia pada masa lalu secara tersirat maupun tersurat dapat di fahami melalui historiografi tradisional. Yang dimaksud dengan historiografi tradisional adalah tulisan sejarah yang dibuat berdasarkan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad dan ditulis oleh para pujangga, para empu, atau penulis-penulis khusus yang ada di istana-istana atau pendopo-pendopo kabupaten. Historiografi tradisional ini dikenal dengan sebutan wawacan, babad, sejarah, serat, lontarak, hikayat, tambo, dll. Historiografi tradisional dapat dibedakan dengan historiografi modern, karena dalam historiografi tradisional, selain fakta sejarah, juga dimuat unsur-unsur sastra dan mitos. Seringkali kebenaran historis tidak dibedakan dari kebenaran mitis. (Ricklefs, 1987). Meskipun demikian, historiografi tradisional sangat penting artinya bagi sejarah karena di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya masyarakat yang menghasilkan karya tersebut (Kartodirdjo, 1988). Oleh karena itu, dari historiografi tradisional yang banyak memuat aspek non-historis sekalipun, kita dapat menangkap bagaimana citra perempuan Indonesia dalam sejarah masa lalu.

Masalah citra perempuan berkaitan dengan dua hal. Pertama: masalah sex dan gender. Yang dimaksud dengan masalah sex adalah masalah penampilan fisik yang membedakan perempuan dari pria secara kodrati sedangkan masalah gender adalah masalah sosio-budaya, yang didasarkan atas simbol-simbol. Perempuan diberi simbol-simbol: lemah-lembut, keibuan, cantik, emosional; sedangkan laki-laki dilekati simbol-simbol: kuat, perkasa, jantan, rasional. Dilihat dari perbedaan simbolis ini bisa muncul anggapan bahwa perempuan dianggap lebih lemah dari pria. Kedua, masalah status sosial . Kita mengetahui bahwa dalam stratifikasi sosial masyarakat di Indonesia, pada umumnya dikenal tiga lapisan masyarakat yaitu: kaum bangsawan (kelompok aristokrat) yang menempati lapisan atas, dan kaum yang lebih rendah yaitu wong cilik (Jawa), rakyat biasa, atau cacah (Sunda). Di beberapa kalangan etnis tertentu ada juga strata di antara keduanya, misalnya dalam masyarakat Sunda dikenal strata santana. Jadi, ada perempuan yang termasuk kaum bangsawan dengan segala hak istimewanya, dan ada perempuan wong cilik yang harus menerima statusnya sebagai rakyat kecil.

Peran Perempuan Sunda dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Peran perempuan Sunda dalam berbagai aspek kehidupan sangat menarik untuk dicermati. Di dunia pendidikan, jumlah sarjana perempuan, bukan persoalan, malah yang duduk menjadi guru besar, balatak (istilah Sunda yang menunjuk pada jumlah banyak dan tersebar). Perubahan sosial yang deras terjadi pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke¬20. Seiring dengan bergulirnya roda sejarah, status sosial kaum wanita perlahan-lahan berubah. Perubahan terjadi antara lain karena adanya tokoh-tokoh penggerak emansipasi yang membuka jalan bagi pendidikan kaum wanita. Tokoh-tokoh penggerak emansipasi ini antara lain Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.Ayu Lasminingrat (dari Garut), serta R. Siti Jenab (dari Cianjur). Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, keadaan berubah secara drastis. Kebebasan terbuka lebar bagi bangsa Indonesia untuk berkiprah di segala bidang. Jelas pula perubahan yang terjadi. Sekarang wanita sudah setara dengan pria untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Namun di sisi lain, masih banyak wanita yang sarjana, terpaksa mengikuti ke kota mana suami pindah tugas (jarang ada suami yang ikut ke mana isteri pindah tugas).

Sebagai bandingan, kita lihat, bagaimana peran perempuan Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dalam dunia politik. Yang dimaksud dengan urusan politik di sini adalah urusan bagaimana memperoleh kekuasaan dan bagaimana menyelenggarakan kekuasaan/ pemerintahan. Kita bisa memperhatikan data ini: Jumlah menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 (2009-2014) ada 5 orang dari 34 menteri (dan baru bulan ini dikurangi satu orang tinggal 4 orang), sedangkan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 (2004-2009), hanya 4 orang dari 36 menteri. (indocashregister com/../daftar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-pengumuman -resmi/). Jadi, semula ada kenaikan sebesar 25%, namun setelah Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Agus Martowardoyo pada tanggal 20 Mei 2010, berarti persentase ini menurun kembali.

Sementara itu, anggota DPR perempuan periode 2009-2014, ada 101 orang dari 560 anggota DPR, atau 18,03%, sedangkan pada periode 2004-2009, anggota DPR perempuan hanya 62 orang dari 550 orang, jadi hanya. 11,6 %. Berarti ada peningkatan sebesar enam persen dibanding periode sebelumnya. Bandingkan dengan periode 1992-1997 yaitu 60 anggota perempuan atau 12,15% dan periode 1999-2004 dengan 44 anggota perempuan atau 8,80 % (Prastya, 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-putusan-mk¬terhadap keterwakilan- perempuan/, 22 Mei 2010). .Sementara itu, gubernur perempuan hingga hari ini, hanya ada satu orang (yaitu Gubernur Banten) dari 33 gubernur yang ada di Indonesia, atau hanya 3%. Sementara itu kaum perempuan yang menjadi bupati/ walikota, hanya 8 orang dari 440 kepala daerah di seluruh Indonesia, atau 1,8 persen; dan yang menjadi wakil bupati/walikota, hanya 18 orang dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia (http://www. menegyp. go. id/index. php?opti on=com content&view—artic le&: kontribusi-perempuan-di-pemerintah-minim&catic1=38:artikel-perempuan &Itemid=114 21 Mei 2010)

Masih terasa ada ganjalan, ketika seorang wanita menjadi menteri, sementara suami bukan apa-apa. Keadaan seperti itu "kurang enak dirasakan, kurang bisa diterima". Hal ini menunjukkan bahwa cara pandang masyarakat kita masih androgynus (menganggap dunia adalah milik laki-laki). Sekarang itu sebenarnya sudah bukan zamannya lagi bicara soal emansipasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Namun, kenyataannya di kalangan masyarakat kita sekarang masih saja terdengar ungkapan, "awewe mah dulang tinande", secara ironis juga masih ada yang mengatakan, perempuan itu kodratnya hanya "di dapur, di sumur, di kasur". Adanya ungkapan-ungkapan seperti ini, secara implisit menunjukkan betapa status sosial kaum perempuan, belum bisa meningkat secara ajeg. Ada lagi sebuah kasus yang terasa ironis. Pada tahun 2004, ada tujuh orang perempuan yang mendaftarkan diri untuk menjadi walikota Bandung. Ini menggembirakan, meski tak usah dipertanyakan mengenai kans untuk bisa menjadi walikota. Ada orang yang sinis berkata "ah, itu sekedar meramaikan". Tentu saja ucapan ini tidak menggembirakan, dan menyisakan pertanyaan yang hams dipikirkan jawabannya.

Dengan memperhatikan capaian yang diperoleh kaum perempuan Indonesia di bidang politik dewasa ini , memang masih belum mencapai sasaran yaitu 30 % dari yang ditargetkan. Mengapa begitu sulit untuk meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik di Indonesia (termasuk perempuan Sunda tentunya)? Apakah benar keterlibatan perempuan dalam dunia pemerintahan/dunia politik, sekedar "meramaikan"? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, marl kita menengok ke masa lalu.

Perempuan dalam Sejarah Politik di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah Sunda, kita mengenal beberapa tokoh perempuan yang menduduki posisi tinggi.. Di Sumedang, pada abad ke-18 pernah ada seorang perempuan yang menjadi bupati dan dikenal sebagai Dalem Isteri Raja Ningrat (1744-1759). Puteri sulung Pangeran Kusumahdinata ini diangkat menjadi bupati karena ketika ayahandanya meninggal, ketiga adik laki-lakinya belum dewasa, cucu sulungnya yang laki-laki juga masih kecil. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk memerintah sebuah kabupaten yang wilayahnya cukup luas. Sebenarnya juga, leluhur Bupati Isteri ini, ada yang pernah menjadi ratu di Kerajaan Sumedanglarang (bawahan Kerajaan Sunda), yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan yang kemudian digantikan oleh puterinya yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun. Jadi, setidak-tidaknya di Sumedang pernah ada dua orang Ratu (Raja puteri) dan seorang bupati perempuan. Ini menunjukkan bahwa ada perempuan (kebetulan dari kalangan atas) Sunda yang memiliki kedudukan sejajar dengan pria, meski tentu ini hanya bersifat kasuistis (Lubis et al., 2008). Jangan lupa pula, bahwa dalam mitologi Sunda dikenal tokoh Sunan Ambu, tokoh utama di kahyangan, yang memiliki para pembantu, para bujangga, yang jelas-jelas laki-laki. Apabila ada permasalahan di buana pancatengah, maka para bujangga ini diutus ke bumi untuk menyelesaikan masalah. Ada juga pembantunya perempuan yaitu Pohaci (Sanghyang Sri), yang kadang dikenal sebagai Dewi Sri, Dewi padi. Apabila menghadapi persoalan di buana pancatengah, maka para bujangga mengadukan persoalan kepada Sunan Ambu, pemilik solusi yang segala bisa. Setidaknya Sunan Ambu adalah simbolisasi "indung" (ibu), yang memiliki kedudukan sangat terhormat dalam tatanan nilai masyarakat Sunda lama. Kepadanyalah segala persoalan diadukan (Sumardjo, 2003:234- 243).

Demikianlah sekelumit peran perempuan Sunda dalam dunia politik masa lalu. Namun di balik gambaran status sosial yang tinggi di dunia politik tradisional itu, kita juga akan mendapat gambaran sebaliknya. Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua, dapat kita kenali dari berbagai historiografi tradisional yang ada di Indonesia. Penulis mengambil contoh dari historiografi tradisional yang ada di Tatar Sunda, yang sudah penulis dalami selama ini.

Status sosial perempuan Sunda pada abad ke-19 antara lain tersirat dalam salah satu historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura . Karya yang ditulis pada tahun 1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh, mantan Wedana Manonjaya.ini berisi kisah para leluhur Sukapura, ceritera Dipati Ukur, dan pemerintahan para bupati Sukapura, sejak yang pertama hingga bupati ke-12, yaitu Bupati R. A. A. Wirahadiningrat (1875-1906).

Ada bagian yang menarik dalam karya ini yang berkaitan dengan perempuan, yaitu pada bagian VIII. Pada bagian ini dikisahkan tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, yang bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala. Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram, karena mereka dianggap berjasa dalam penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram. Ternyata sultan merasa senang atas persembahan itu, dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya kemudian diangkat menjadi "mantri agung" (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini perempuan dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti.

Kaum menak (pria) hingga perempatan ketiga abad ke-19, mempunyai suatu tradisi yang disebut nyanggrah. Bila menginginkan seekor kuda milik rakyat (somah), sang menak cukup menggunting bulu suri kuda tersebut, maka kuda tersebut sudah beralih pemilik. Bila mereka mengadakan perjalanan ke desa (turne), kemudian melihat seorang gadis cantik, cukup baginya mengatakan: "Anak gadis siapa itu?". Maka sejak saat itu si gadis sudah bisa dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan perempuan yang dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya. Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan nyanggrah ini. Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya tunangan. Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan Dalem-nya, dan ia nekad membunuh Sang Dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah Cikundul.

Dalam Wawacan Carios Munada dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir. Konon, jumlahnya ratusan. Asisten Residen Bandung waktu itu, meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah. Sang Bupati meminjamkan salah seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja Sang Asisten Residen menyerahkan kembali si selir ke kabupaten. Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus ini, sangat jelas betapa seorang perempuan di-alung--boyong- bagai mainan belaka. Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh. Dalam historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini, dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang puteri keturunan Pajajaran yang mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tak lama kemudian diceraikan., karena bagian badan sang puteri mengeluarkan api. Tak lama kemudian ia dinikahi Sultan Banten, dan perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang puteri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada pemerintah Belanda). Akhirnya pemerintah asing itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang dengan tiga pucuk meriam,. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini memiliki latar belakang politis, tetapi secara tersurat perempuan digambarkan sebagai piala bergilir, yang dengan mudah di-alung--boyong (dilempar ke sana ke mari).

Dalam carita-carita pantun ataupun dalam historiografi tradisional seperti Babad Pajajaran, Cariosan Prabu Siliwangi, dsb., diceritakan bahwa Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang legendaris itu, beristri 151 orang. Salah seorang isteri kesayangannya adalah Nyai Rajamantri. Dalam hal ini, tanpa melihat apakah jumlah 151 orang itu faktual atau tidak, setidak-tidaknya menyiratkan bahwa perempuan hanya dianggap komoditi politik atau barang jaminan karena perkawinan Prabu Siliwangi dengan kebanyakan perempuan ini lebih bersifat politik yaitu untuk menjaga loyalitas elite-elite dari wilayah yang dikuasainya.(Lubis, 1998:232).

Mengapa kedudukan perempuan Sunda seperti digambarkan dalam historiografi tradisional itu begitu rendah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat? Apakah tidak ada pilihan bagi mereka? Tidak mudah menjawabnya, karena keadaan ini merupakan masalah struktural. Salah satu contoh, orang tua perempuan somah sangat menginginkan anak gadisnya dijadikan selir oleh kaum menak, (tidak peduli apakah dinikahi atau tidak nantinya) sebab keturunannya nanti bisa menjadi menak, sehingga status sosial mereka meningkat.

Perempuan tidak Punya Pilihan.
Dalam sejarah Sunda kaum menak pria, terutama para bupati, biasanya beristeri dan berselir banyak. Para isteri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan menak, banyak juga yang berasal dari kalangan santana, bahkan dari kalangan somah. Garwa padmi (isteri yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan menak tinggi (umumnya puteri bupati), sedangkan isteri-isteri lainnya bisa dari kalangan bukan menak tinggi, sedangkan selir, banyak yang berasal dari kalangan somah. Misalnya saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang isteri ( tiga orang di antaranya puteri bupati) dan 27 selir, dan hanya seorang selir saja yang berasal dari kalangan menak, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah.(Lubis, 1998: 226).

Kaum perempuan menak dapat dikatakan lebih beruntung daripada kaum perempuan santana ataupun somah . Misalnya saja: ketika seorang perempuan somah dinikahi seorang Bupati Garut, pernikahan dilangsungkan diam-diam, tanpa pesta, cukup dengan membagi-¬bagi berekat, lain dengan pesta pernikahan seorang puteri Bupati Galuh yang diselenggarakan selama 40 hari 40 malam dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Seorang perempuan bukan menak dengan mudah diceraikan tanpa kesalahan apapun, selain kesalahan karena ia menyandang status sosial yang lebih rendah dari menak. Ada sebuah kasus yang terkenal pada awal abad ke-20 di Bandung : Aom Ogog, putera Bupati Bandung, yang akan dipromosikan menjadi bupati, dipaksa oleh keluarganya untuk menceraikan isteri tercintanya, Oma, karena sang isteri bukan puteri seorang dalem. Kisah tragis ini, digambarkan dalam sebuah tembang berjudul Ceurik Oma yang menyayat hati. Lain halnya, ketika garwa padmi Bupati Garut minta cerai (bukan diceraikan), karena tidak setuju suaminya menikah lagi. Ketika ke luar kabupaten, harta-benda berlimpah didapatkannya (Lubis, 1998: 231-237).

Demikianlah gambaran betapa rendah kedudukan perempuan Sunda dalam masyarakat tradisional. Meskipun gambaran di atas menyangkut perempuan bangsawan, namun kedudukan perempuan dari kalangan rakyat biasa, agaknya tidak akan jauh dari itu.

Stigma tentang perempuan sebagai warga kelas dua itu, yang ditanamkan sejak beraba-abad lalu, ternyata cukup mengakar dan belum bisa diatasi oleh gerakan emansipasi yang sudah dicanangkan seabad yang lalu. Itulah jawaban mengapa hingga kini peran perempuan di dunia politik sekarang ini masih belum mencapai target.

Usaha untuk memberdayakan perempuan Sunda dalam dunia politik
Dengan mengamati perjalanan sejarah kaum perempuan Sunda di atas, agaknya urusan kehidupan berbangsa dan bernegara atau bidang politik masih dianggap sebagai urusan laki-laki. Meskipun dalam sejarah Sunda sebelum kemerdekaan, ada beberapa perempuan yang pernah menjadi penguasa, atau duduk dalam satu jabatan tinggi di suatu negeri, itu belum mewakili secara representatif untuk mengatakan bahwa kaum perempuan mitra sejajar dengan kaum laki-laki.

Ketika kemerdekaan sudah diraih, ternyata jumlah kaum perempuan yang duduk dalam jabatan politik, masih belum bisa mencapai jumlah minimal yaitu 30%. Padahal, ada harapan bahwa apabila kaum perempuan duduk di sana, di lembaga-lembaga politik, akan dapat mewakili kepentingan kaumnya, dalam arti mengurusi mulai dari mengangkat persoalan, membincangkan, menegosiasikan solusi yang ditawarkan, hingga melegitimasikan (bila perlu), dan mewujudkan dalam bentuk peraturan, kebijakan, atau bentuk-bentuk aksi lainnya. Dengan cara beginilah, kaum perempuan yang tentunya sepenuhnya bisa menghayati persoalan-persoalan perempuan, diharapkan mampu mengisi lowongan yang ditawarkan itu. Dinamika sejarah yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa kaum perempuan Indonesia belum memiliki posisi politik yang optimal. Oleh karena itu harus lebih diberdayakan lagi. Lalu bagaimana caranya?

Menurut penulis, kunci jawabannya adalah :
Pemerintah harus melakukan rekayasa politis dengan membuat peraturan-perundang¬undangan, yang "memaksa" agar kaum perempuan diberi kuota sesuai target, jadi tidak bisa dengan hanya memberi kesempatan bebas berkompetisi.

Mengubah sikap mental masyarakat yang menomorduakan kaum perempuan, dengan membuang mitos-mitos lama yang kontraproduktif, dan diganti dengan etos kerja yang positif. Misalnya:
a. Perempuan yang selama ini dianggap konco wingking diganti dengan anggapan bahwa "perempuan itu tiang negara"
b. Dunia politik itu adalah dunia keras, (mungkin juga "kotor"), mengandung potensi konflik yang tinggi, memancing kekerasan, yang semuanya ini tidak disukai kaum perempuan; cobalah anggapan ini diubah: "dunia politik adalah dunia yang menantang kaum perempuan untuk bisa berenang di dalamnya dengan segala sikap keluwesan perempuan". Langkah nyata dalam hal jangan ragu-ragu untuk terjun ke dunia politik, menjadi anggota partai. Namun bukan sekedar untuk memenuhi target 30%, kaum perempuan masuk ke sana karena memang memiliki kapabilitas. Untuk itu, dibutuhkan persiapan: pendidikan formal maupun informal. Yang bersifat formal: pendidikan di bidang terkait (Ilmu politik misalnya) sedangkan yang bersifat informal: aktif dalam organisasi pemuda, LSM atau organisasi yang memberikan bekal di bidang hubungan-hubungan sosial-politik. Kita bisa mempelajari latar belakang para politisi perempuan terkemuka di negeri ini.
c. Tanamkanlah sejak di Taman Kanak-kanak, bagaimana anak perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya sebagaimana anak laki-laki, tentu tanpa mengabaikan etika dan nilai-nilai agama dan budaya. Anak-anak usia TK bagai kertas kosong yang siap ditulisi apa saja. Jadi, bila sejak usia dini itu, ditanamkan di dalam pikirannya bahwa mereka bukan anak yang selalu harus mengalah, harus menomorduakan dirinya sendiri dan menomorsatukan anak laki-laki, maka itu akan terbawa seumur hidupnya. Bagi anak-anak beragama Islam harus ditanamkan bahwa semua manusia itu sama kedudukannya di depan yang Maha Kuasa, yang membedakannya adalah ketakwaannya. Meskipun harus pula dijelaskan bahwa secara kodrati ada perbedaan fisik, kekuatan fisik antara anak perempuan dan anak laki-laki, namun ia akan siap berkompetisi dengan anak laki-laki di bidang ilmu pengetahuan misalnya.

Daftar Pustaka
De Graaf, H.J. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (transl.) Jakarta: Grafitipers.
Ekadjati, Edi S (ed.). 1991. Wawacan Carios Munada. Bandung: Unpad.
Lubis, Nina H.. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan. Disertasi. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 2004. Banten dalam pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara.
Lubis, Nina H. et al., 2008. Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa. Sumedang: kerjasama Pusat kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumedang.
Hermansoemantri, Emuch. 1979. Sajarah Sukapura. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kartodirdjo, Sartono. 1988. Modern Indonesia; Tradition & Transformatin. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kuntowijoyo. 1988. Sejarah Wanita: Dari Sejarah Androsentris ke Sejarah Androgynous. Makalah dalam Seminar Wanita. Yogyakarta: MSI Cabang Yogyakarta.
Ricklefs, M.C. 1991.Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarpo, Mien. 1994. Reminiscences of the Past. Jakarta: Sinar Harapan.
Soekmono. 1995. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.
Sofyan, Ismail et al.1994. Wanita Utama Nusantara ; dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Jayakarta Agung.
Sumardjo, Jakob. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda; tafsir-tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.
Van Niel, Robert. 1960. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Den Haag: Van Hoeve.
Situs Internet: Indocashregister.com/../dafiar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-pengumuman — resmi, diakses 21 Mei 2010.
Prastya, Kibu Hutabri. 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-putusan-mk¬terhadap-keterwakilan-perempuan/, diakses 22 Mei 2010) http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176:kontri-busi-perempuan-di-pemerintah-minim&catid=38:artikel -perempuan&Itemid=114, diakses 21 Mei 2010

Sumber:
Makalah disampaikan pada kegiatan Temu Tokoh yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung tanggal 5 Agustus 2010.

Popular Posts