WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Naskah Kuna sebagai Sumber Penelitian Bahasa, Budaya, dan Sejarah Sunda


Judul Buku
Penulis
Penerjemah
Penerbit
Cetakan
Tebal
ISBN
:
:
:
:
:
:
:
Tiga Pesona Sunda Kuna
J. Noorduyn-A. Teeuw
Hawe Setiawan, Tien Wartini, dan Undang A. Darsa
Pustaka Jaya
I, 2009
xi + 554
978-979-419-356-3

Budayawan Taufik Rahzen dalam suatu diskusi di stasiun televisi milik pemerintah (3/4/2011), mengatakan bahwa ketidakpedulian pada khasanah tinggalan masa lalu (sejarah) menunjukkan bahwa kita sedang menistakan kekayaan dan pengalaman batin sendiri. Dengan kata lain bangsa ini sedang “membakar” ruang-ruang kesadaran kolektifnya. Rahzen menengarai hal ini terjadi karena masih kuatnya akar-akar budaya kelisanan dibandingkan keberaksaraan di Indonesia. Bangsa Indonesia mudah melupakan dan mudah pula terpukau dengan hal-hal baru yang boleh jadi tidak berakar pada identitas sosio-kultural bangsa.

Salah satu khasanah kesadaran kolektif (bewuste collectief) tersebut adalah naskah-naskah kuna yang bertebaran di seluruh penjuru Nusantara. Kebanyakan naskah-naskah itu tersimpan di perpustakaan-perpustakaan yang sangat terbatas orang mengaksesnya. Sedikit bahkan sangat sedikit masyarakat terdidik yang memanfaatkan naskah-naskah yang sudah disunting para filolog. Ketertarikan pada alam pernaskahan Nusantara hanya menjadi milik para filolog dan sedikit kaum terpelajar di bidang ilmu yang lain. Inilah ironisme yang pertama.

Ironisme yang kedua menyangkut penjualan naskah kuna yang dilatarbelakangi motif ekonomi. Beberapa tahun terakhir ini ramai diberitakan penjualan naskah-naskah Nusantara ke tangan-tangan orang yang tidak berhak. Naskah-naskah yang mengandung kekayaan tak ternilai itu dibeli dengan harga yang relatif murah. Para pemburu dan kolektor naskah bukan saja menerima dengan tangan terbuka, bahkan mereka secara proaktif mencari orang-orang yang hendak menjual naskahnya.

Dua ironisme itu menunjukkan bahwa minimnya kesadaran pernaskahan bukan saja melanda kaum terdidik, tetapi juga melibatkan masyarakat luas. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut perlu gerakan bersama dengan partisipasi pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.

Beberapa pernyataan di atas menyiratkan kecemasan terhadap kondisi yang ada. Sebenarnya, selalu ada hal-hal yang menggembirakan berkaitan dengan meningkatnya publikasi para ahli naskah-naskah kuna. Salah satunya adalah penerbitan buku Tiga Pesona Sunda Kuna yang dikerjakan sarjana Belanda J.J. Noorduyn dan A. Teeuw. Pada awalnya Noorduyn yang menulis karya ini, namun karena kondisi kesehatan yang terus memburuk, pekerjaan ini dilanjutkan rekannya, A.A. Teeuw. J.J. Noorduyn (1926-1994) adalah mantan direktur KITLV, sedangkan A. Teeuw adalah Profesor Emeritus bidang Bahasa dan Sastra Melayu dan Indonesia di Universitas Leiden.

Sebagaimana dikatakan penerjemahnya, buku ini merupakan pencapaian tak ternilai di bidang filologi, bahasa, dan sastra mengenai tatanan kehidupan masyarakat Sunda Kuna. Selama ini penjelajahan mengenai kekayaan batin masyarakat Sunda, khususnya sejarah dan kebudayaan, masih amat terbatas. Seakan-akan masa ratusan tahun tersebut tidak memberikan informasi apa-apa. Upaya untuk merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Sunda dari sumber tertulis memiliki tantangan yang lebih besar lagi manakala sumber-sumber berupa prasasti amat terbatas jumlahnya.

Sejak zaman kolonial, sarjana asing sudah melakukan penelitian terhadap naskah-naskah Sunda kuna, antara lain K.F. Holle dan C.M. Pleyte. Para ahli dari kalangan masyarakat Sunda mulai melakukan penelitian filologis di penghujung tahun 1950-an atau awal 1960-an.

Buku ini membahas tiga naskah Sunda kuna yang berasal dari abad ke-16, yaitu Para Putera Rama dan Rawana; Pendakian Sri Ajnyana dan Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah. Ketiga naskah tersebut berupa teks puisi yang ditulis dalam bentuk sajak delapan suku kata.

Teks Para Putera Rama dan Rawana bercerita mengenai para putera Rama yang terlibat peperangan melawan putra Rawana. Teks ini menjadi menarik karena memiliki sifat ganda. Di satu sisi, teks ini berkesesuaian dengan cerita-cerita Rama dalam tradisi Asia Tenggara. Akan tetapi di sisi lain, teks ini memperlihatkan karakteristik cerita rakyat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa teks ini semacam epik rakyat (hal. 140).

Teks Pendakian Sri Ajnyana bercerita mengenai tokoh Sri Ajnyana yang turun dari kahyangan menuju bumi. Dikatakan bahwa kekacauan melanda dunia disebabkan semua hukum dan aturan tidak diindahkan manusia. Selain itu, manusia telah dirasuki Dewa Kala (dewa kehancuran). Teks ini merupakan puisi didaktis yang khas yang secara alegoris melukiskan bahwa setiap perbuatan tercela akan menimbulkan penderitaan, siksaan, dan hukuman di neraka. Oleh karena itu, manusia harus bertobat kembali pada ajaran agama, bertapa dan beribadat, dan akhirnya melakukan pembebasan rohaniah (hal. 156).

Teks Kisah Bujangga Manik: Jejak Langkah Peziarah bercerita mengenai Pangeran Jaya Pakuan atau Bujangga Manik atau Ameng Layaran yang melakukan perjalanan ke daerah-daerah sepanjang Pulau Jawa. Puisi ini menyiratkan renungan berupa pengembaraan yang panjang dalam usaha anak manusia membebaskan dirinya dari hawa nafsu duniawi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sang peziarah melakukan tiga hal, yaitu terus bertahan melawan godaan, menerapkan secara tepat ajaran agama, serta menjalani tapabrata untuk melepaskan diri dari kungkungan dunia (hal. 179).

Secara khusus naskah Bujangga Manik merupakan sumber primer bagi penulisan sejarah Sunda akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Naskah tersebut mencerminkan kesadaran historisitas yang tinggi. Penulis naskah mencatat lebih dari 450 nama tempat, termasuk di dalamnya 90 nama gunung dan 90 nama sungai. Geografi Pulau Jawa setidaknya dapat dipetakan dengan baik.

Kedua penulis bukan saja membuat transkripsi dan translasi terhadap ketiga naskah itu, tetapi juga memberi interpretasi yang lengkap mengenai detil-detil ketiga naskah itu. Bagi ahli bahasa, buku ini penting sebagai dasar untuk melacak aspek kebahasaan yang berkembang pada masa itu. Bagi budayawan, buku ini berharga untuk melihat budaya sezaman. Bagi sejarawan, buku ini merupakan sumber primer penulisan sejarah Sunda sekurang-kurangnya awal abad ke-16. Akhirnya, buku ini bermanfaat bagi para peminat naskah kuna, khususnya yang berkenaan dengan khasanah kesundaan pada masa lalu (Iim Imadudin).

Diterbitkan dalam Patanjala, Vol. 3 No. 1 Maret 2011

Popular Posts