WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Konsep dan Fungsi Pengelolaan Data Kebudayaan

Oleh Toto Sucipto

Pendahuluan
Masyarakat Indonesia bangga dengan kemajemukan etnik/suku bangsa dan multikultur. Akan tetapi tidak banyak yang mengenal etnik dan kebudayaan lain di luar kebudayaannya sendiri, kecuali unsur-unsur kebudayaan etnik tertentu yang menonjol dan memang terkenal. Sebaliknya, kebudayaan asing malahan banyak dikenal karena menjadi menu utama media massa setiap hari. Akibatnya, banyak yang kemudian menyisihkan kebudayaan lokal dan lebih banyak “menyantap” kebudayaan global.

Steak daging sapi menjadi lebih populer di kalangan generasi muda daripada sate maranggi khas Wanayasa-Purwakarta, misalnya. Tank top dan mini skirt, busana mutakhir yang lebih sedikit menutupi tubuh, lebih populer dibanding kebaya encim dan baju kampret. Gaya arsitektur dari berbagai negeri yang belum tentu cocok dengan iklim dan sruktur tanah di Indonesia, lebih populer daripada arsitektur tradisional yang mencerminkan pola-pola adaptasi para pendahulu.

Akibat derasnya arus informasi tentang berbagai kebudayaan dunia yang melanda masyarakat Indonesia dewasa ini, tidak jarang orang kemudian bersikap a priori dan berprasangka buruk ketika berbicara tentang kebudayaan lokal, dan melontarkan tuduhan puritanisme etnik. Bahkan lebih jauh lagi, terlontar pula tuduhan yang dialamatkan kepada kebudayaan lokal sebagai biang keladi munculnya ideologi separatisme di Indonesia.

Sebenarnya, tidak diragukan bahwa arus informasi tentang kebudayaan dan peradaban dunia itu sangat penting artinya sebagai perangsang (stimulan) dinamisasi kebudayaan bangsa. Akan tetapi, kita menyadari bahwa sumber informasi tentang kebudayaan asing itu kurang diimbangi dengan penayangan informasi dan ketersediaan data tentang kebudayaan-kebudaayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Menghadapi derasnya arus informasi kebudayaan itu, tidak diragukan, mempengaruhi sikap dan pola tingkah laku budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Ada sementara pihak yang bersikap terbuka dan siap menyerap unsur kebudayaan asing yang dianggap menguntungkan. Sebaliknya tidak sedikit di antara mereka yang justru menutup diri dan meng”haram”kan setiap unsur kebudayaan baru, tanpa pilih. Kalau perlu mereka berusaha mensucikan budayanya dengan dalih untuk menghindarkan kehancuran.

Kedua sikap itu menunjukkan gejala yang kurang sehat. Sikap pertama yang tidak kritikal itu dapat mengancam pengembangan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Sementara sikap kedua cenderung menghancurkan kebudayaan dan fungsinya sebagai kerangka acuan bagi para pendukungnya dalam menghadapi tantangan zaman. Sikap keterbukaan harus diimbangi dengan kepekaan untuk memilah-milah unsur kebudayaan yang hendak diserap (adoption) dalam pengembangan kebudayaan. Sebaliknya sikap hati-hati hendaknya memperhatikan dinamika masyarakat dan tantangan yang harus mereka hadapi.

Dalam kaitannya dengan akulturasi atau kontak-kontak antar kebudayaan yang semakin meningkat intensitasnya, hampir tidak mungkin bagi setiap masyarakat untuk menutup diri. Sebaliknya dalam menghadapi mobilitas penduduk dan meningkatnya intensitas interaksi sosial lintas lingkungan sukubangsa, kita tidak boleh kehilangan orientasi. Oleh karena itu, pendidikan kebudayaan dalam arti luas menjadi sangat penting dan tidak mungkin diabaikan dalam mempersiapkan generasi penerus yang bertanggungjawab.

Di lain pihak banyak lembaga pendidikan dewasa ini, termasuk keluarga, yang kurang menyadari akan arti pentingnya pendidikan kebudayaan dalam membekali generasi penerus dengan pengetahuan dan keterampilan. Masyarakat, terutama di negara yang sedang berkembang, mendahulukan perjuangan untuk memenuhi kebutuhan biologik yang mendasar, daripada merawat kebudayaan yang dianggap terlalu mewah (luxurious). Kebanyakan keluarga mengabaikan, kalau tidak melupakan, fungsi pendidikannnya (educative function) dalam mempersiapkan generasi penerus dan pendukung kebudayaan yang bertanggungjawab.

Lemahnya kesadaran dan keperdulian masyarakat dalam merawat kebudayaan itu merupakan gejala umum yang dihadapi oleh kebanyakan negara yang sedang berkembang. Dihadapkan pada kebutuhan hidup yang mendesak, seringkali masyarakat tidak berdaya untuk memikirkan hal yang tidak langsung berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena itu peranan birokrasi menjadi sangat penting, apabila tidak dikatakan dominan, dalam perawatan kebudayaan yang masih dianggap sebagai suatu kemewahan. Peranan pemerintah dalam pelestarian (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan) kebudayaan masih diperlukan, baik dalam penyelenggaraan pendidikan kebudayaan, perawatan dan promosi kebudayaan, serta penelitian dan perekaman nilai-nilai budaya.

Salah satu upaya untuk menopang kegiatan pelestarian kebudayaan secara aktif adalah revitalisasi fungsi stakeholder bidang kebudayaan untuk melanjutkan atau bahkan mulai menghimpun data dan informasi kebudayaan serta mempersiapkan bahan kebijakan kebudayaan secara terpadu. Lembaga-lembaga tersebut selayaknya mempunyai dedikasi yang besar dalam upaya :
  1. Menghimpun data dan informasi kebudayaan dalam bentuk penelitian maupun penulisan dan perekaman.
  2. Mempersiapkan bahan kebijakan kebudayaan yang diperlukan untuk menunjang pembinaan kesadaran dan bangga dengan kebudayaan milik sendiri
  3. Memberikan pelayanan informasi kebudayaan kepada masyarakat luas yang memerlukannya
  4. Mengkoordinasikan penelitian dan pengkajian kebudayaan antar lembaga maupun perorangan (S. Budhisantoso, tanpa tahun dalam “Pentingnya Pendirian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional”).

Pengelolaan Data kebudayaan
Data kebudayaan yang memuat informasi mengenai kekayaan budaya secara relatif lengkap sudah lama diharapkan kehadirannya oleh masyarakat dan para pejabat pembuat kebijakan dalam pengelolaan kebudayaan. Bisa dibayangkan, kalau melihat kehidupan kebudayaan tidak secara menyeluruh, maka kebijakan yang diambil hanyalah berbagai masalah yang ada di depan mata saja. Dengan demikian, akan banyak masalah kebudayaan yang terlantar. Berbeda apabila melihat secara keseluruhan karena ketersediaan data kebudayaan yang relatif lengkap, kita akan dapat menentukan langkah-langkah yang lebih tepat, misalnya dengan sistem prioritas, atau sinergitas dengan berbagai instansi terkait secara bersama-sama.

Mengenai pengelolaan data kebudayaan, sebelum era Departemen Kebudayaan dan Pariwisata telah dirintis SIKT (Sistem Informasi Kebudayaan Terpadu), tetapi agaknya menjadi mandul dan akhirnya berhenti. Banyak kendala, antara lain permasalahan umum pengisian dan pengolahan data serta permasalahan umum managemen data.

Permasalahan umum pengisian dan pengolahan data :
  1. Kurangnya pengetahuan petugas mengenai bidang pekerjaannya
  2. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petugas atas peralatan dan program aplikasi yang dipergunakannya
  3. Belum terjalinnya komitmen petugas atas bidang pekerjaannya
  4. Kurangnya inisiatif petugas untuk mengembangkan bidang pekerjaan yang berhubungan dengan data
  5. Belum terbentuknya kesadaran untuk melakukan pemeliharaan sumber data dan data.

Adapun permasalahan umum managemen data, meliputi :
  1. Banyaknya disiplin ilmu dalam kajian kebudayaan
  2. Setiap unit kerja menghendaki cara yang berbeda di dalam mengelola dan mendudukan data
  3. Belum terdapatnya sistem yang baku di dalam mengelola data dan sumber data
  4. Terdapatnya uraian-uraian tugas dan fungsi instansi bidang kebudayaan yang bersifat membatasi
  5. Belum terbentuknya instansi khusus yang menangani informasi kebudayaan
  6. Tidak seragamnya bentuk organisasi dinas di lingkungan Pemerintah Daerah yang menangani kebudayaan, termasuk uraian fungsi, visi, dan misinya.

Apabila dicermati, kendala utama dari kurang berfungsinya pengelolaan data kebudayaan adalah sumber daya manusia. Antara lain misalnya Tim Pelaksana program SIKT yang waktu itu (tahun 2002an) sempat dibentuk, terpencar karena mendapat tugas-tugas baru pada unit-unit kerja yang berbeda; dan yang lebih penting, SDM di daerah kurang memahami form/modul teknis karena relatif kurangnya diklat. Sumber daya manusia adalah faktor terpenting dalam seluruh operasi SIKT, mengingat penguasaan program maupun metode pengumpulan data di lapangan berhubungan erat dan berpengaruh besar terhadap hasil akhir.

Tahun 2006, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar kembali merintis dengan rencana dan program pembuatan Peta Kebudayaan Indonesia. Pemrakarsanya adalah Prof. DR. Sri Hastanto, yang kini telah purna tugas dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal NBSF. Peta Kebudayaan Indonesia adalah peta elektronik yang memuat informasi lengkap tentang berbagai karya budaya yang dimiliki segenap suku bangsa Indonesia yang berjumlah lebih dari 500 suku bangsa. Informasi yang disajikan berbentuk deskripsi disertai gambar, skema, foto dan informasi pendukung lainnya. Informasi tersebut disertai juga dengan bentuk audio-visual dan referensi guna memberi keluasan pandang para pengguna, yang dapat diakses lewat internet.

Basis penyajian Peta Kebudayaan Indonesia berdasarkan daerah administrasi (provinsi, kabupaten dan kota), sebab baru itulah pembagian wilayah yang sudah jelas di negeri ini. Dengan demikian, nantinya mungkin sebuah karya budaya muncul di beberapa daerah administrasi yang berbeda. Hal seperti itu bisa dimungkinkan karena sebenarnya beberapa daerah administrasi itu secara kultural sama, atau disebabkan oleh penyebaran pemerataan jumlah penduduk melalui kebijakan transmigrasi. Misalnya, upacara “Seren Taun” (upacara pesta panen atau memasukkan padi ke leuit) akan muncul di Kabupaten Sukabumi (Komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar) dan muncul pula di Kabupaten Bandung (Komunitas adat Kampung Cikondang). Hal itu disebabkan keduanya secara kultural adalah satu, berkebudayaan Sunda. Keduanya dipisahkan oleh kehendak politik (pemekaran daerah) menjadi dua kabupaten yang berbeda. Contoh lainnya lagi, “karedok” yang banyak dijumpai di setiap pelosok Jawa Barat, bisa muncul di Sulawesi Selatan atau Lampung karena kebijakan transmigrasi.

Menu yang disajikan melalui perangkat elektronik itu antara lain memuat : informasi dasar (luas daerah, jumlah penduduk, letak, perbatasan, hasil bumi, industri, dll), serta karya budaya yang meliputi : kepercayaan dan sistem religi, sistem kekerabatan, sistem perekonomian, arsitektur, pakaian adat, makanan tradisional, pengobatan tradisional, permainan rakyat, dll.

Menurut Sri Hastanto (2006 :4), untuk dapat menyajikan hal seperti terurai di muka, dibutuhkan komponen sebagai berikut :
  1. Manajemen; Tim yang melaksanakan perencanaan pembangunan Peta Kebudayaan Indonesia baik administratif maupun operasional, terdiri atas : kelompok penentu kebijakan, kelompok administrasi, dan seorang Supervisor.
  2. Format Elektronik; sebuah software yang dapat dioperasikan dengan komputer.
  3. Penyusun Entries; sekelompok personal yang terlatih mengumpulkan data karya budaya dan menyusunnya menjadi sebuah entry yang siap dimasukkan ke dalam ruang dalam format elektronik, terdiri atas : penyusun teks, fotografer, perekam suara, dan pembuat video.
  4. Pusat Entries Daerah; berkedudukan di Kabupaten, Kota atau Provinsi. Personalnya terdiri atas Penyusun Entries, penanggungjawab, alamat pos yang jelas, serta alamat e-mail.
  5. Penyunting; tim kecil yang bertugas memeriksa, melakukan koreksi format maupun substansi dan menyunting entries yang masuk dari Penyusun Entries agar dapat sesuai dengan isi keseluruhan dari Peta Kebudayaan Indonesia.
  6. Konsultan Teknis; tim yang memberikan konsultasi teknis kepada Manajemen atas hal-hal yang berhubungan dengan teknis IT.
  7. Tim Teknis IT; tim yang bertanggungjawab atas keakuratan kerja software dan hardware yang dioperasikan, menyusun format elektronik dan pebuatan situs, serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan sistem komunikasi internet atas permintaan Manajemen.

Penutup
Sebagai pendukung penting dalam kegiatan pelestarian (perlindungan, pengembangan, pemanfaatan), pemecahan masalah, pengambilan keputusan, hingga penetapan peraturan dan kebijakan, peran data dan informasi kebudayaan yang berkualitas menjadi sangat strategis. Artinya bahwa informasi tidak saja sebagai bahan masukan pokok untuk pimpinan, tetapi juga sebagai aset utama lembaga yang harus dikelola melalui penggunaan sistem informasi (SI) yang profesional.

Berbagai kendala operasional dalam penyelenggaraan pengelolaan data kebudayaan yang perlu diantisipasi antara lain :
  1. Pembenahan ke dalam (hardware/infrastruktur jaringan, software/ aplikasi pendukung e-gov, brainware/tenaga pengelola/pranata komputer, infoware/data dan informasi, dan organiware/organisasi pengelola)
  2. Mekanisme alur data
  3. Penyajian (visualisasi) data dan informasi kepada pengguna (user).

Berkaitan dengan mekanisme alur data perlu dirumuskan konsep dan implementasinya yang substansinya terdiri atas :
  1. Resource : sumber data, baik yang telah ada maupun yang harus disiapkan
  2. Kualifikasi : data dan informasi yang lengkap, terstruktur dan akurat
  3. Klasifikasi : pengelompokan data dan informasi sesuai kebutuhan dan tingkat kepentingannya (daerah, regional, nasional, bahkan internasional)
  4. Metode transmisi : misalnya menggunakan jaringan internet atau private network.

Demikianlah beberapa pemikiran dalam mengembangkan sistem informasi / pengelolaan data kebudayaan untuk dapat lebih dioperasionalkan oleh satuan kerja terkait. Kunci keberhasilan rencana pengembangan ini adalah sangat tergantung dari kesadaran dari pimpinan satker/SKPD untuk melaklukan perubahan yang fundamental dari cara berfikir tradisional ke cara berfikir yang sudah berorientasi ke IT sehingga dapat membentuk adanya E-Leadership di lingkungan kerja masing-masing.

@Wisma Sumbawa, April 2009

Sumber: Makalah disampaikan dalam “Sinkronisasi Program Kebudayaan”, BPSNT Bandung, 18 April 2009

Popular Posts