Enam patung presiden Republik Indonesia yang telah menyelesaikan masa baktinya menyambut para peserta Lawatan Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat, Rabu (22/3/2017) pagi. Di hari kedua agenda lawatan, kunjungan diawali ke Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti. Museum yang diresmikan pada 18 Oktober 2014 ini berada di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jalan Ir H Juanda Nomor 1, Kota Bogor.
Sebagaimana namanya, Balai Kirti yang berasal dari bahasa Sanskerta mengandung makna “ruang menyimpan kemasyhuran”. Dalam bahasa Inggris selaras dengan kata “hall of fame”. Tentu saja, pendirian museum ini punya tujuan menjadi rujukan sejarah mengenai kisah kemasyhuran para pemimpin bangsa Indonesia. Pun sebagai inspirasi bagi generasi sekarang dan mendatang dalam membangun bangsa.
Balai Kirti yang dibangun di atas lahan sekira 3.212 meter persegi dengan luas bangunan sekitar 5.865 meter persegi ini menyajikan karya dan prestasi enam presiden Republik Indonesia—Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Meski ada tiga lantai museum yang dapat dikunjungi, para peserta Lawatan Sejarah BPNB hanya melakukan lawatan wajib ke Galeri Kebangsaan dan Galeri Kepresidenan yang terletak di lantai 1 dan 2. Selain ke enam patung tadi, di Galeri Kebangsaan para peserta beroleh wawasan kesejarahan lainnya yang disampaikan langsung pemandu museum. Ada sejarah patung Garuda Pancasila, teks Proklamasi, teks Pancasila, Pembukaan UUD 1945, teks Indonesia Raya hingga Sumpah Pemuda.
Mereka begitu antusias menyimak paparan yang disampaikan secara lugas dan mudah dipahami. Sesekali, sang pemandu berinteraksi dengan mengajak berpikir para peserta tentang wawasan kebangsaan. Seperti siapa saja perumus teks Pancasila hingga makna simbolis yang terdapat dalam lambang negara Burung Garuda.
Beranjak ke lantai 2 yang diberi nama Galeri Kepresidenan, para siswa penyuka sejarah ini pun dibuat kagum. Mereka dapat secara langsung melihat berbagai koleksi dan informasi penting para pemimpin bangsa. Sebut saja antara lain foto-foto, buku karya presiden, pakaian, penghargaan hingga quote masyhur dari keenam presiden. Namun, berada di ruangan eksklusif ini siapa pun tidak diperkenankan memotret atau mendokumentasikan koleksi pameran.
Kebanyakan para peserta siswa yang rata-rata berusia 16-17 tahun memang lahir, tumbuh dan berkembang pada masa kepemimpinan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan tentu saja Presiden RI saat ini Joko Widodo. Kendati begitu, mereka demikian kagum mengapresiasi prestasi kemasyhuran keenam presiden yang masing-masing ditata di ruangan berbeda dengan tata pamer yang apik. Dokumentasi foto Presiden Soekarno memang agak berbeda dengan kebanyakan foto presiden lainnya lantaran tercetak dengan warna hitam-putih.
Sejarah adalah cerminan hari ini dan masa mendatang. “Saya dan kami para pelajar, sebagai pemuda generasi penerus wajib mengetahui dan memahami sejarah bangsa ini. Kalau bukan oleh kita yang menghargai jasa para pemimpin bangsa, siapa lagi?” kata Ridwan, peserta pelajar dari SMAN 1 Kabupaten Purwakarta, menggebu.
Masih memegang buku catatan dan alat tulis, imbuh dia, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Toh, dulu para pemuda pun turut andil mengupayakan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Menjelang siang, langit Kota Bogor sempat mendung bahkan turun hujan ringan. Rintik mengiringi peserta lawatan sejarah saat hendak menuju Monumen dan Museum Pembela Tanah Air (PETA). Di bilangan Jalan Jenderal Sudirman, di gedung bekas markas Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tersaji banyak informasi sejarah cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.
Peserta dibagi dalam dua kelompok besar dengan bimbingan seorang pemandu saat menjelajah ruang museum. “Berada di Museum PETA, hati dan pikiran kita seakan terbawa mengenang jasa perjuangan masa silam para pejuang patriot tanah air.Mereka berani mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk cita-cita kemerdekaan Indonesia,” kata Ridwan yang baru pertama kali ikut lawatan sejarah seperti ini. Selama ini, lanjut dia, sejarah tentang tentara PETA hanya dipelajari dalam buku teks, tetapi dalam kunjungan ini bisa melihat secara langsung apa saja yang digunakan para perwira dan kisahnya.
Pada masa pendudukan Jepang sekira tahun 1943, gedung bekas markas KNIL itu digunakan sebagai pusat pelatihan pasukan yang dikenal sebagai Pembela Tanah Air. Saat itu tentara pribumi yang dilatih masih di bawah pengawasan Dai Nippon. Namun, alih-alih dibentuk untuk membantu Jepang melawan sekutu, PETA kemudian berubah menjadi pasukan yang disiapkan untuk menggapai Indonesia merdeka.
Di museum yang diresmikan 18 Desember 1995 tersebut seluruh peserta diajak melihat berbagai koleksi bersejarah. Ada koleksi berupa patung, pakaian, perlengkapan perang, meriam, replika tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman, senapan dan berbagai senjata lainnya. Sebagian peristiwa sejarah diceritakan dalam bentuk diorama, relif hingga monumen.
Di muka museum, berdiri patung Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Panglima TKR Shodancho Supriyadi dengan gestur yang heroik. Tangan kanan mengepal ke atas, sementara tangan kiri menggenggam sebilah samurai. Supriyadi berperan memimpin pemberontakan tentara PETA terhadap pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945.
Pembentukan Karakter
Ini bukan sekadar lawatan sejarah. Ada makna yang terkandung, salah satunya pembentukan karakter bangsa. Direktur Sejarah Ditjenbud Kemdikbud Triana Wulandari memaparkan dalam sebuah pertemuan dengan seluruh peserta, Rabu (22/3/2017) malam. “Dalam makna sejarah ada peristiwa panjang yang mengandung nilai-nilai keteladanan, karakter, jatidiri yang bisa diambil pelajaran untuk kehidupan, pembentukan karakter hingga fungsi kognitif,” paparnya.
Menurut dia, sejarah memiliki peran yang kuat dalam membentuk karakter. Pun sejarah memberi inspirasi, spirit dan motivasi terutama untuk generasi muda. (IA/DTN)*