WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Inggit Garnasih, Motivator Pejuang Pergerakan Nasional

Oleh: Awaludin Nugraha

A. Pendahuluan
Dalam budaya Sunda dan Jawa, seorang istri ditempatkan berada di sisi suami. Seorang istri bisa menentukan keberhasilan dan kegagalan seorang suami. Ketika seorang suami berhasil dalam pekerjaan atau kegiatannya, maka istrinya itu telah berhasil memberikan motivasi positif pada suaminya. Dalam Psikologi motivasi diartikan “sebagai seluruh proses perbuatan atau perilaku yang dapat memberikan rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu perbuatan (action) atau perilaku (behavior)” (Sarwono, 2010: 137). Perbuatan atau perilaku yang terjadi pada seseorang dapat menimbulkan perbuatan lain yang dilakukan oleh orang lain. Bila hal tersebut terjadi, maka seseorang telah mendorong terjadinya perbuatan pada orang lain. Orang yang telah mendorong terjadinya perbuatan pada orang lain disebutmotivator.

Dalam konteks sejarah Indonesia, perjuangan bangsa Indonesia untuk memerdekakan dirinya tidak bisa dilepaskan dari motivasi untuk melepaskan diri dari penguasaan bangsa Belanda yang telah menjajahnya. Dalam penjajahan ada pihak yang mengeksploitasi dan ada pihak yang dieksploitasi (Amir, 1976: 202). Pihak yang mengeksploitasi adalah bangsa Belanda, sedangkan yang dieksploitasi adalah bangsa Indonesia. Inggit Garnasih adalah manusia yang hidup pada masa penjajahan itu. Sebagai manusia yang hidup dalam alam penjajahan yang selalu ditindas dan selalu menerima tekanan dari bangsa Belanda, ia mempunyai dorongan untuk melepaskan dirinya dan bangsanya dari penjajahan itu. Akan tetapi ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perbuatan melawan penjajah Belanda secara langsung. Dorongan itu disalurkannya kepada orang lain supaya orang lain itu melakukan perbuatan melawan penjajah secara langsung. Dalam konteks inilah Inggit Garnasih akan ditempatkan.

B. Latar Belakang Kehidupan
Inggit Garnasih dilahirkan di Desa Kamasan Banjaran Kabupaten Bandung pada tanggal 17 Februari 1888 dari ayah bernama Arjipan dan ibu bernama Asmi. Ketika baru lahir, ia diberi nama Garnasih oleh ayahnya, yang merupakan singkatan dari kata Hegar Asih. Dengan nama itu, Arjipan mempunyai harapan pada bayinya supaya anak itu memiliki sifat kasih sayang yang menyegarkan dan menghidupkan (Hadi, tt: 19-20). Garnasih tumbuh di bawah asuhan seorang ayah yang disegani karena keahliannya dalam bersilat. Seorang ahli silat biasanya mempunyai keseimbangan lahiriah dengan batiniah dan karena itu biasanya mempunyai sifat kasih sayang, berani, tidak mudah menyerah, rendah hati, penolong, teguh pada pendirian, memberi kesejukan, dan sebagainya. Boleh jadi, Arjipan pun mempunyai sifat seperti itu dan Garnasih kecil dididik dalam lingkungan keluarga seperti itu. Setelah Garnasih dewasa sifat-sifat itu nampak padanya. Ketika memasuki masa remaja, Garnasih banyak disukai oleh remaja lelaki. Di antara mereka ada yang merasa bila mendapat senyuman dari Garnasih seolah-olah mendapat uang seringgit (2,5 rupiah). Berasal dari uang seringgit itulah kemudian Garnasih mendapat “nama baru” Inggit (Hadi, tt: 19-20).

Seperti umumnya anak-anak pribumi dari kelas sosial bawah, Inggit Garnasih hanya mengenyam pendidikan pesantren. Meskipun begitu ia mampu membaca tulisan latin, tetapi tidak dapat menulisnya (Hadi, tt: 19-20). Bersama dengan orang tuanya, Inggit Garnasih kemudian pindah dan menetap di kota Bandung. Di Bandung ada seorang pemuda bernama Sanusi yang tertarik pada Inggit Garnasih dan begitu pula sebaliknya. Namun hubungan percintaan mereka tidak berlanjut ke jenjang perkawinan. Nata Atmadja-lah yang beruntung mempersunting Inggit Garnasih. Namun perkawinan Inggit Garnasih dengan Nata Atmadja kandas di tengah jalan dan mereka kemudian bercerai. Rupanya cinta lama bersemi kembali, Inggit Garnasih kemudian menikah dengan Sanusi yang pernah ada hubungan percintaan sebelumnya. Sanusi adalah seorang pengusaha yang cukup kaya. Mereka hidup bersama di Jalan Kebonjati untuk beberapa lama. Pada tanggal 24 Maret 1923 Inggit Garnasih menikah dengan Sukarno, setelah sebelumnya Inggit Garnasih diceraikan oleh Sanusi dan Sukarno menceraikan Utari.

C. Motivator Pejuang Pergerakan Nasional
Awal persentuhan Inggit Garnasih dalam pergerakan adalah ketika ia menjadi istri Sanusi (yang dipanggilnya Kang Uci).Selain sebagai pengusaha bahan bangunan, Sanusi juga merupakan anggota Sarekat Islam Cabang Bandung. Pada masa itu banyak pengusaha pribumi yang masuk menjadi anggota Sarekat Islam. Sarekat Islam yang pada mulanya bernama Sarekat Dagang Islam adalah organisasi yang didirikan di Solo pada akhir tahun 1911 oleh H. Samanhudi, seorang pengusaha batik di Laweyan Solo. Pada mulanya pendirian organisasi tersebut bertujuan untuk melindungi para pedagang batik pribumi dari monopoli bahan-bahan batik yang dilakukan pengusaha Cina. Lalu pada perkembangan berikutnya, tujuannya diperluas untuk melindungi pengusaha pribumi di semua lapisan sosial terhadap persaingan dengan semua pengusaha nonpribumi yang berdasarkan pada ajaran Islam. Oleh karena itu, wajar bila Sanusi yang merupakan pengusaha pribumi menjadi anggota Sarekat Islam karena Sarekat Islam adalah organisasi yang diharapkannya dapat membantu bisnisnya dan melindunginya dari persaingan dengan pengusaha nonpribumi yang kuat dalam modal dan jaringan bisnis.

Dalam organisasi tersebut Sanusi aktif terlibat di dalamnya. Keaktifan Sanusi itu menjadikan Inggit Garnasih juga terlibat secara aktif dalam Sarekat Islam Cabang Bandung dengan menjadi anggotanya (Ramadhan K.H., 2002:33; Nuryanti, 2007: 46). Sebagai anggota aktif, ia bersama suaminyasering mengikuti rapat-rapat yang dilakukan Sarekat Islam, baik di dalam kota maupun di luar kota. Di manapun Sarekat Islam menggelar rapat terbuka, Inggit Garnasih selalu mengikutinya, bahkan Inggit Garnasih bersama suaminya pernah mengikuti rapat terbuka Sarekat Islam yang diselenggarakan di Surabaya (Ramadhan K.H., 2002: 5).

Rapat-rapat yang diikuti Inggit Garnasih tidak hanya rapat yang diselenggarakan di luar kota tetapi yang paling sering adalah rapat yang diselenggarakan di rumahnya sendiri. Dalam rapat di rumahnya itu, Inggit Garnasih dapat mengikutinya dengan aktif dibandingkan dengan rapat yang diselenggarakan di luar rumahnya. Hal tersebut berkaitan dengan budaya yang berlangsung pada masa itu yang menganggap perempuan tidak sopan bila mengemukakan pendapat di muka umum. Akan tetapi bila di rumahnya ia lebih bebas mengemukakan pendapatnya.Peran Inggit Garnasih yang lebih dominan dalam rapat-rapat Sarekat Islam yang dilakukan di rumahnya adalah sebagai penengah ketika terjadi perdebatan-perdebatan dalam diskusi. Caranya adalah dengan menawarkan minuman dan makanan kepada peserta rapat itu. Dengan menengahi itu suasana yang memanas kembali tenang dan diskusi-diskusi kembali berlangsung dengan suasana santai. Biaya untuk menyajikan makanan dan minuman itu tidak berasal dari keuangan Sanusi, tetapi dari uang hasil usahanya sendiri berdagang. Inggit Garnasih tidak mempersoalkan keuangan untuk menyediakan makanan dan minuman itu, padahal ketika itu kehidupan ekonomi masyarakat sedang mulai sulit karena sedang memasuki krisis ekonomi global (Ramadhan, 2002: 21).

Keterlibatan Inggit Garnasih dalam rapat Sarekat Islam yang lebih luas adalah dalam hal penyelenggaraan rapat-rapat itu. Ia berkesempatan untuk menjadi ketua panitia konsumsi ketika di alun-alun Bandung dilaksanakan Kongres Sarekat Islam tahun 1916. Pada kongres yang dihadiri banyak cabang itu Inggit Garnasih dipilih sebagai ketua panitia konsumsi yang mengatur makan dan minum seluruh delegasi, antara lain yang dilayaninya tokoh Sarekat Islam, H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto (Ramadhan K.H., 2002: 32). Sebagai panitia konsumsi tentunya bukan yang terlibat langsung dengan kongres itu, tetapi bila tidak ada yang mengatur dan mengurus konsumsi, maka kongres tersebut tidak dapat berjalan sukses. Sebagai orang yang berpendidikan tingkat pesantren, ia berusaha membantu sekemampuannya supaya kongres itu berjalan sukses dan dengan keahliannya di bidang konsumsi ia menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati.

Dalam Sarekat Islam Cabang Bandung itu, Sanusi dan Inggit Garnasih merupakan tokohnya, bukan hanya sekadar menjadi anggota biasa. Sebagai tokoh, mereka banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam tingkat pusat, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Pertemuan antara Sanusi dan Inggit Garnasih dengan Sukarno juga akibat dari ketokohan mereka dalam Sarekat Islam. Oleh karena ketokohannya itu, H.O.S. Tjokroaminoto menghubungi Sanusi ketika menantunya, Sukarno, akan menempuh studi di THS Bandung.

Setelah Sukarno mondok di rumah Sanusi, Sukarno sering mengundang teman-temannya untuk membicarakan banyak hal termasuk keadaan politik yang sedang berkembang pada saat itu, baik keadaan politik di Hindia Belanda maupun di dunia. Beberapa waktu setelah Sukarno tinggal di rumahnya, Sanusi ikut dalam pembicaraan-pembicaraan dengan Sukarno dan teman-temannya. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya ia tidak mengikutinya lagi. Ia kembali beraktivitas bersama dengan teman-temannya dan hal itu dilakukannya hampir setiap malam. Mungkin substansi pembicaraan Sukarno dan teman-temannya terlalu tinggi, sehingga Sanusi segan untuk mengikutinya dan ia lebih nyaman melakukan pembicaraan dengan teman-temannya. Akibat selalu ditinggalkan setiap malam oleh suaminya, Inggit Garnasih harus menghadapi Sukarno dan teman-temannya seorang diri. Ketika Sukarno dan teman-temannya berkumpul di rumah Sanusi, Inggit Garnasih selalu menyediakan makanan dan minuman untuk menjamu teman-teman Sukarno. Hal itu dilakukannya mengingat pembicaraan mereka bisa berlangsung sangat lama dan bahkan sampai larut malam. Untuk itu Inggit Garnasih harus menambah biaya. Sanusi tidak memberikan tambahan biaya untuk menjamu makan dan minum teman-teman Sukarno. Begitu pula dengan Sukarno. Semua pembiayaan itu diusahakan sendiri oleh Inggit Garnasih dari hasil berdagang, seperti jual-beli kain batik, jual-beli meubel, hasil penjualan bedak kecantikan, lulur, dan jamu-jamu yang dibuatnya sendiri, menjahit kutang, serta pakaian anak-anak dan perempuan. Ketika itu, untuk mendapatkan uang tambahan bukan merupakan hal yang mudah bagi Inggit Garnasih karena kehidupan ekonomi sedang sulit akibat krisis ekonomi global yang sedang berlangsung (Ramadhan, 2002: 7, 21).

Inggit Garnasih menyadari betapa sulitnya mencari uang pada saat itu sehingga ia selalu memotivasi Sukarno untuk terus menyelesaikan pendidikannya di THS. Ia melihat kepemimpinan Sukarno dalam pertemuan-pertemuan dengan teman-temannya di rumahnya dan ia mempunyai harapan akan sifat kepemimpinan Sukarno. Bila sifat kepemimpinannya itu ditunjang oleh pendidikan yang tinggi, maka harapannya akan lebih mudah terwujud. Ketika Sukarno harus meninggalkan studinya di THS untuk kembali ke Surabaya karena mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto, ditangkap pemerintah Belanda tahun 1922, Inggit Garnasih mengingatkan Sukarno untuk tidak melupakan dan dapat menyelesaikan studinya di THS (Ramadhan K.H., 2002: 11-12).

Upaya Inggit Garnasih untuk memotivasi Sukarno tidak hanya berkaitan dengan pendidikannya di THS, tetapi juga ketika Sukarno merasa khawatir akibat pidatonya dihentikan Kepala Polisi Bandung, Heyne. Ketika itu Sukarno berpidato di rapat Radicale Concentratie di Bandung yang diikuti oleh semua organisasi kebangsaan. Isi pidato Sukarno dianggap oleh Kepala Polisi Bandung telah menyinggung pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu ketika Sukarno masih berpidato, Kepala Polisi Bandung menghentikan pidatonya dan memerintahkan pembubaran rapat itu. Akibat peristiwa penghentian pidatonya itu Sukarno merasa khawatir akan ada kelanjutannya mengingat ia baru saja mengalami peristiwa penangkapan mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto. Kekhawatiran Sukarno itu ditanggapi oleh Inggit Garnasih dengan menyemangati dan memotivasi Sukarno supaya menghadapinya dengan berani (Ramadhan K.H., 2002: 19-20).

Seringnya Inggit Garnasih ditinggalkan oleh suaminya menjadikan hubungannya dengan Sukarno menjadi bertambah dekat. Pada akhirnya Sanusi mau menceraikan Inggit Garnasih dengan satu syarat supaya Inggit Garnasih mau menikah dengan Sukarno, tidak dengan orang lain. Sanusi pun seolah-olah memberi tugas pada Inggit Garnasih untuk membimbing Sukarno supaya dapat menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Setelah Inggit Garnasih menikah dengan Sukarno di tahun 1923, mereka menyewa rumah di Gang Jaksa, namun mereka tidak tinggal lama di rumah tersebut. Mereka pindah ke Jalan Pungkur, lalu pindah lagi ke Regentsweg (Jalan Dewi Sartika). Sejak tahun 1926 sampai dengan pertengahan tahun 1934 ketika Sukarno dibuang ke kota Endeh di Flores, mereka tinggal di Jalan Ciateul Astanaanyar (Hadi, tt: 19-25).

Pertemuan dengan teman-teman sepergerakannya terus dilakukan oleh Sukarno di rumahnya. Malahan mereka semakin bebas melakukan pembicaraan dan perdebatan karena rumah itu adalah rumah Sukarno. Inggit Garnasih tidak pernah merasa keberatan dengan kegiatan suami dan teman-temannya yang diadakan di rumahnya. Rumah mereka selalu terbuka bagi para pejuang pergerakan. Hampir setiap hari rumah mereka didatangi oleh teman-temannya Sukarno dan Inggit Garnasih dengan tulus menjamu makan dan minum mereka. Beberapa nama yang bisa disebut antara lain Anwari, Gatot Mangkupradja, Supriadinata, Maskun, Sutan Sartono, Sunario, Sjahrir, dan Sugondo Djojopuspito.

Dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan para pejuang pergerakan di rumah Inggit Garnasih itu seringkali sampai memanas dan menjadi tegang karena saling mempertahankan pendapatnya. Pada saat itu Inggit Garnasih menengahinya dengan menawarkan makanan dan minuman kepada mereka yang sedang berdebat itu. Tawaran Inggit Garnasih itu merupakan penyejuk hati mereka yang sedang berdebat. Kebuntuan berpikir menjadi cair dan mereka dapat berpikir lagi untuk memajukan bangsanya. Salah satu hasilnya adalah dibentuknya panitia persiapan untuk membuat partai yang kelak bernama Partai Nasional Indonsia.Dalam partai tersebut Sukarno ditunjuk menjadi ketua dan Iskaq menjadi sekretaris merangkap sebagai bendahara. Para anggotanya antara lain , Sartono, Sunario, dan Anwari.

Sebagai ketua PNI hampir setiap hari Sukarno melakukan pembicaraan dengan teman-temannya di rumahnya atau di tempat lain untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Sukarno pun melakukan pidato politik di berbagai daerah di Pulau Jawa. Inggit Garnasih selalu mendampingi suaminya itu dalam semua kegiatan-kegiatannya, baik yang dilakukan di Bandung maupun di luar Bandung. Akan tetapi di sisi lain kehidupan harus tetap berjalan. Sukarno seolah-olah tidak mempunyai waktu untuk menghidupi keluarganya. Inggit Garnasih tidak mengeluh dengan kondisi itu karena ia menyadari bahwa apa yang dilakukan suaminya itu adalah untuk kemajuan bangsanya. Oleh karena itu ia mengambil alih tugas menghidupi keluarganya yang seharusnya dilakukan oleh Sukarno. Di sisa waktu yang masih dimilikinya, Inggit Garnasih berusaha mendapatkan penghasilan dengan berdagang kosmetik yang dibuatnya sendiri dan menerima dua orang mondok di rumahnya. Semua penghasilannya itu didedikasikan untuk keluarga dan perjuangan Sukarno bersama dengan teman-temannya untuk membebaskan bangsanya dari cengkraman bangsa Belanda.Pengambilalihan tugas tersebut telah membuat Sukarno tenang, tentram, dan fokus dalam menjalankan perjuangannya, tanpa harus memikirkan yang lain. Bahkan biaya perjalanan Sukarno untuk melakukan pidato politik di beberapa tempat juga disediakan oleh Inggit Garnasih. Dengan demikian, secara tidak langsung Inggit Garnasih telah membiayai kegiatan PNI. Ia pun tidak segan untuk menolong bangsanya yang mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan bila perlu sampai menjual hartanya (Im, 2008, 55).

Peran lain Inggit Garnasih dalam pergerakan nasional adalah menjadi penerjemah pidato Sukarno. Ia menerjemahkan pidato Sukarno dari bahasa Melayu ke bahasa Sunda, sehingga rakyat Sunda yang tidak dapat berbahasa Melayu dapat mengerti isi pidato Sukarno (Nuryanti, 2007: 48). Oleh karena ada penerjemah ke dalam bahasa Sunda itu, perjuangan Sukarno untuk menyadarkan bangsa Indonesia, khususnya rakyat Tatar Sunda, tidak mempunyai kendala bahasa.

Pidato-pidato politik Sukarno yang menyerang kolonialisme dan imperialisme direspon oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menangkapnya dan kemudian mengajukannya ke pengadilan di Bandung. Sebelum disidangkan di Pengadilan Bandung, Sukarno dipenjarakan di penjara Banceuy yang dijalaninya selama delapan bulan. Selama Sukarno di dalam Penjara Banceuy, Inggit Garnasih selalu setia menengoknya dan selalu memotivasinya untuk tidak menyerah pada keadaan. Inggit Garnasih selalu menjaga semangat dan pemikiran Sukarno dengan menyelundupkan koran dan buku-buku ke penjara untuk dikonsumsi Sukarno. Ia pun menceritakan keadaan politik yang sedang berkembang kepada Sukarno dengan menggunakan isyarat-isyarat tertentu yang hanya dipahami oleh mereka. Koran, buku, dan kondisi politik yang sedang berkembang yang diterima Sukarno dari Inggit Garnasih itu telah menjadikan semangat dan pemikiran Sukarno untuk memperjuangkan bangsanya dari cengkraman penjajahan semakin berkobar dan semakin tajam. Hal itu nampak dari pidato pembelaan Sukarno di Pengadilan Bandung yang berjudul Indonesia Menggugat. Pidato Sukarno itu telah mempengaruhi sikap politikus di Hindia Belanda, negeri Belanda, dan bahkan di daerah-daerah jajahan lainnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Tanpa adanya keberanian Inggit Garnasih untuk menyelundupkan sumber-sumber penulisan yang digunakan Sukarno, mustahil Sukarno dapat menulis pembelaan yang fenomenal itu.

Upaya Inggit Garnasih untuk memotivasi Sukarno selalu konsisten dilakukannya di berbagai keadaan, termasuk juga ketika Sukarno harus menjalani hukuman di Penjara Sukamiskin pada tahun1930-1931. Secara teratur Inggit Garnasih dengan membawa Omi menjenguk Sukarno di Penjara Sukamiskin. Bila sudah waktunya menjenguk, tidak ada hambatan yang menghalanginya. Meskipun untuk itu ia harus berjalan kaki. Seperti di suatu hari Inggit Garnasih tidak mempunyai uang untuk biaya perjalanan ke Penjara Sukamiskin, padahal sudah waktunya untuk menjenguk Sukarno. Dengan berjalan kaki ia kemudian pergi ke Penjara Sukamiskin. Begitu pula pulangnya dilakukan dengan jalan kaki di tengah hujan besar yang mengguyur Bandung. Selain kedatangannya, suntikan motivasi yang dilakukan Inggit Garnasih adalah memberikan informasi perkembangan politik kontemporer (Nuryanti, 2007: 48). Informasi tersebut merupakan informasi yang ditunggu-tunggu oleh Sukarno karena hanya diperoleh dari Inggit Garnasih. Sama seperti ketika di Penjara Banceuy, informasi politik itu disampaikan dengan isyarat-isyarat yang dipahami oleh Sukarno dan Inggit Garnasih. Dengan menerima informasi politik itu gairah hidup Sukarno dan gairah untuk memperjuangkan bangsanya lepas dari penjajahan tetap berkobar. Begitu pula ketika Sukarno dibuang ke Ende Flores yang kemudian dipindahkan ke Bengkulu lalu ke Padang, gairah Sukarno untuk tetap melangsungkan kehidupan dan tetap memperjuangkan bangsanya tetap berkobar karena ada Inggit Garnasihyang selalu mendampinginya dan memotivasinya.Sukarno mengakui bahwa Inggit Garnasih adalah tulang punggung dan tangan kanannya selama separuh dari umurnya (Hadi, tt: 19-23).

D. Penutup
Sebagai penutup, Inggit Garnasih tidak hanya berperan pada diri Sukarno saja, tetapi juga pada seluruh pejuang pergerakan yang ada di Bandung dan sekitarnya. Peranannya tidak dalam bentuk pemikiran karena Inggit Garnasih tidak berpendidikan tinggi, tetapi dalam bentuk suntikan motivasi kepada para pemikir dan pejuang pergerakan seperti layaknya seorang ibu kepada anaknya. Bila Im Yang Tjoe di tahun 1930-an menyatakan bahwa Inggit Garnasih adalah Ibu Marhaenisme (Im, 2008, 4), maka ia juga adalah Ibu Para Pejuang Pergerakan Nasional. Sebagai ibu para pejuang yang sudah banyak memberikan kontribusi pada pergerakan nasional serta banyaknya hal-hal positif yang dapat ditiru oleh generasi sekarang dalam upayanya untuk mempertahankan dan membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, maka sudah sewajarnya bila Inggit Garnasihdiberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional.

E. Daftar Pustaka
Amir, Samin. 1976. Enequal Development. London: Har¬vester.

Hadi, Toto Asmara. Tanpa tahun. Fajar Yang Luka. Tanpa Kota Terbit: Tanpa Penerbit.

Im Yang Tjoe. 2008. Soekarno Sebagai Manusia. Jakarta: Panta Rei.

Ingleson, John. 1983. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Martin, Lily. 1992. Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno. Jakarta: Pijar Fandra Gemilang.

Nuryanti, Reni. 2007. Perempuan Dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak.

Pringgodigdo, A.K. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Ramadhan K.H. 2002. Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Sarwono, Sarlito W. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber: Makalah disampaikan pada acara Temu Tokoh yang diadakan oleh BPNB Jawa Barat di Soreang tahun 2012

Popular Posts