Oleh Heru Erwantoro
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Dalam dunia kesejarahan dapat dipatikan kita akan menemukan sederetan tokoh dan peristiwa. Tokohnya disebut tokoh sejarah dan peristiwanya disebut peristiwa sejarah. Dalam pengamatan sepintas lalu ada orang yang menyimpulkan bahwa sejarah adalah akumulasi dari sejumlah tokoh dan peristiwa. Dengan kata lain sejarah adalah sekumpulan tokoh dan peristiwa yang dianggap bersejarah.
Pendapat yang sepintas lalu itu ternyata sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh sejarawan Inggris Thomas Carlyle (1795 – 1881) dan James A. Frounde (1818 – 1894). Mereka mengatakan bahwa sejarah adalah tidak lain dari riwayat hidup orang-orang besar (Great Man Theory). Bagi mereka sejarah adalah biografi kolektif (Barnes, 1963: 189-190). Pandangan itu berpengaruh pada banyak orang baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis. Sejak Thomas Carlyle dan James A. Frounde melontarkan pendapatnya itu, biografi orang-orang besar banyak dihasilkan bahkan sampai sekarang. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang besar adalah para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal, para nabi, dan sebagainya. Pada sisi lain sejalan dengan perkembangan ilmu sejarah kecenderungan untuk menghadirkan peran orang-orang biasa dalam sejarah meningkat. Menurut kubu ini, bukan orang besar saja yang berperan dalam sejarah, orang kecil juga berperan. Dengan demikian, bermunculanlah kajian-kajian sejarah yang mengupas peran orang kecil dalam peristiwa sejarah.
Dari dua pendapat di atas kita dapat menyimpulkan, manusia baik itu orang besar maupun orang kecil berperan dalam sejarah. Persoalan yang muncul kemudian ialah: Pertama, bagaimanakah peran manusia dalam sejarah? kedua, siapakah yang dimaksud dengan tokoh sejarah? Ketiga, peristiwa yang bagaimanakah yang dikatakan sebagai peristiwa bersejarah itu?
Berangkat dari tiga pertanyaan itulah, penulis mencoba untuk mencari jawabannya. Jawaban itu mudah-mudahan dapat memperjelas kedudukan manusia dalam sejarah, memberi batasan siapa yang disebut tokoh sejarah, dan memperjelas apa yang dimaksud dengan peristiwa yang bersejarah itu. Penulis berharap, apa yang dibahas pada makalah ini dapat bermanfaat untuk para tenaga teknis di lapangan di dalam melakukan pendataan tokoh dan peristiwa bersejarah di wilayah kerjanya masing-masing.
B. Peran Manusia dalam Sejarah
Untuk mengetahui peranan manusia dalam sejarah kita dapat mendekatinya melalui pengertian dari apa yang disebut dengan ilmu sejarah itu sendiri. Fuad Hasan dalam Latief, Juraid Abdul (2006: 1) menulis bahwa sejarah adalah manifestasi yang khas manusiawi; pengenalan sejarah merupakan kenyataan yang dapat kita telusuri sejak perkembangan kemanuisaan yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jejak-jejaknya melalui perwujudan tertentu. Dari goresan berupa lukisan sampai tulisan, dokumen sampai monument, manusia sepertinya ingin menandai kehadirannya dalam suatu masa, dan rekaman yang ditinggalkannya itu diharapkan kemudian hari dapat menjadi petunjuk tentang kehadirannya itu. Berikutnya, sejarah menurut Robert V. Daniels (1966: 3) adalah memori pengalaman umat manusia. Adapun menurut Sidi Gazalba (1981: 13) sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberi pengertian tentang apa yang telah berlalu Sedangkan menurut Henry Steele Commager (1965: 3), sejarah merupakan rekaman keseluruhan tentang masa lampau meliputi kesusastraan, hukum, bangunan, pranata sosial, agama, filsafat, pokoknya semua yang teringat dalam memori manusia. Dan menurut Helius Syamsudin (2007: 199-200), sejarah adalah kajian tentang kegiatan-kegiatan manusia merupakan manifestasi dari pikiran, perasaan, dan perbuatannya pada masa lalu.
Dari kelima defenisi tersebut jelaslah bahwa manusia merupakan unsur utama dalam sejarah, sehingga menurut Juraid Abdul Latief (2006: 36-38), tanpa manusia mustahil sejarah dapat dihadirkan, baik sebagai proses maupun sebagai kisah sejarah. Sejarah ditentukan oleh manusia. Tidak ada manusia tentu tidak akan ada yang namanya sejarah. Hal yang demikian itu disebabkan, dari semua mahluk yang diciptakan hanya pada diri manusialah, terdapat potensi yang memungkinkan untuk sebuah proses sejarah. Sejarah hanya bisa terjadi dalam suatu dinamika. Di dalam dinamika muncul perubahan-perubahan, dengan kata lain yang tidak dinamis tidak berubah. Di dalam diri manusia terdapat karakter dinamis itu, artinya manusia berubah. Perubahan-perubahan kemanusiaan inilah yang kemudian memberlakukan proses sejarah.
Jelaslah bahwa manusia merupakan elemen mutlak dalam sejarah. Artinya, sejarah membutuhkan manusia. Pada konteks ini, posisi manusia dalam sejarah berperan sebagai subyek sekaligus obyek dalam sejarah. Sebagai subyek manusia berperan sebagai pembuat sejarah dan memang pada kenyataannya hanya manusia yang membuat sejarah.Oleh sebab, hanya manusia yang membuat sejarah, konsekuensinya manusia berkewajiban untuk selalu menyejarah, dalam pengertian manusia harus selalu berada dalam arus dan rotasi sejarah.
C. Tokoh dan Peristiwa Sejarah
Pertanyaan yang sering kali muncul dalam pikiran kita, sosok dan peristiwa yang bagaimanakah yang pantas dijadikan tokoh dan peristiwa sejarah? Harus diakui dalam benak penulis (mungkin juga dalam pikiran banyak orang), seorang tokoh sejarah adalah seorang yang “besar” dan peristiwa sejarah adalah peristiwa yang juga yang tidak kalah “besarnya”. Jarang asosiasi kita mengarah kepada orang-orang kecil kalau kita mendengar kata tokoh. Begitu juga dengan peristiwa, pikiran kita tidak terarah pada kejadian keseharian, bila kita mendengar kata peristiwa sejarah. Apakah yang kita pikirkan itu benar, marilah kita lihat catatan sejarah.
Keingintahuan orang tentang sosoh ketokohan dalam peristiwa sejarah telah mendorong lahirnya studi tokoh atau penelitian riwayat hidup individu (individual life history). Secara historis, studi tokoh sudah lama digunakan orang. Studi tokoh sudah dilakukan oleh sejarawan Yunani kuno dan juga oleh sejarawan Islam seperti Ibnu Khaldun dan terus berlangsung sampai sekarang. Studi tokoh itu sendiri mempunyai tujuan umum berupa upaya memahami ketokohan seorang individu dalam suatu komunitas tertentu, melalui pandangan-pandangannya yang mencerminkan pandangan warga dalam komunitas yang bersangkutan. Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 9) secara spesifik tujuan studi tokoh adalah untuk: (1) memperoleh gambaran tentang persepsi, motivasi, aspirasi, dan ambisi sang tokoh tentang bidang yang digelutinya, (2) memperoleh gambaran tentang teknik dan strategi yang digunakannya dalam melaksanakan bidang yang digelutinya, (3) memperoleh gambaran tentang bentuk-bentuk keberhasilan sang tokoh terkait dengan bidang yang digelutinya, dan (4) dapat mengambil hikmah dari keberhasilan sang tokoh.
Dari tujuan yang hendak dicapai itu, studi tokoh mengharuskan peneliti dapat memandang sang tokoh dalam konteks keseluruhan kehidupannya, mulai dari lahir sampai saat penelitian dilakukan. Peneliti juga harus dapat memandang seorang tokoh dalam kaitannya dengan sejarah zamannya dan menyelidiki bagaimana arus social, budaya, politik, dan ekonomi mempengaruhi sang tokoh. Peneliti harus dapat menemukan titik temu antara kehidupan seorang tokoh dengan sejarah masyarakatnya.
Namun demikian, kita kembali lagi pada persoalan semula, yaitu siapa yang layak disebut tokoh? Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 11-12), tokoh adalah orang yang berhasil di bidangnya yang ditunjukkan dengan karya-karya monumental dan mempunyai pengaruh pada masyarakat sekitarnya serta ketokohannya diakui secara mutawir. Dari batasan itu, dapat disimpulkan bahwa seorang tokoh harus mencerminkan empat indicator, yaitu: (1) Berhasil di bidangnya. Istilah berhasil menunjuk pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Orang yang berhasil adalah orang yang mencapai tujuan-tujuan tertentu (baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang) berdasarkan potensi yang dimiliki dan aktivitas yang dilakukan sesuai dengan bidang yang digelutinya. (2) Mempunyai karya-karya monumental. Sebagai tokoh, ia harus mempunyai karya-karya yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya, baik berupa karya tulis maupun karya nyata dalam bentuk fisik maupun nonfisik yang dapat dilacak jejaknya. Artinya, karya itu masih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa itu merupakan karya sang tokoh. (3) Mempunyai pengaruh pada masyarakat. Artinya, segala pikiran dan aktivitas sang tokoh betul-betul dapat dijadikan rujukan dan panutan oleh masyarakat dalam melaksanakan kehidupan sesuai dengan bidang yang digelutinya. (4) Ketokohan diakui secara mutawir. Artinya, dengan segala kelebihan dan kekurangan sang tokoh, sebagian besar warga masyarakat memberikan apresiasi positif dan mengidolakannya sebagai orang yang pantas menjadi tokoh atau ditokohkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan sesuai dengan bidangnya.
Melalui studi tokoh telah jelas apa yang dapat dijadikan criteria di dalam menyeleksi seseorang untuk dijadikan obyek studi mengenai ketokohannya. Sekarang bagaimana dengan peristiwa? Peristiwa apa yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa sejarah?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita mau tidak mau harus merujuk pada metodologi sejarah. Dari defenisi tentang sejarah yang telah diuraikan di muka, kita tentu sepakat bahwa sejarah menyangkut tentang hari lampau. Persoalannya hari lampau itu luas tanpa batas. Bisa dimulai dari detik yang baru dilalui sampai entah kapan bukti-bukti sejarah dapat menunjukkan. Bahkan lebih sulit lagi adalah, apakah yang harus dimasukkan ke dalam hari lampau yang nyaris tanpa batas itu? Gempa bumi? Banjir? Perang? Revolusi? Atau apa lagi? Demikian tidak terhingga peristiwa alam dan kemanusiaan yang telah terjadi (Taufik Abdullah, 1985: x). Lebih lanjut Taufik Abdullah mengatakan bahwa konsep hari lampau itu barulah ada artinya jika pembatasan telah dilakukan. Pembatasan yang paling awal yang harus dilakukan ialah menyangkut dimensi waktu. Sejak kapan sampai apabila. Yang perlu mendapat perhatian mengenai permasalahan sampai apabila, maka yang paling menentukan bukanlah materi yang dibicarakan, tetapi pendekatan yang dipakai. Maksudnya, peristiwa yang kemarin bisa dianggap sebagai bagian dari penelitian sejarah, jika kejadian itu dilihat dari prespektif proses yang sedang berjalan. Memang hal ini jarang terjadi, tetapi begitulah kalau kita mau mengatakannya secara ekstem. Apa yang disebut sejarah kotemporer tidak terlalu merisaukan urusan sampai apabila itu. Yang penting ialah menjawab pertanyaan metodologis, “dapatkah si sejarawan mengambil jarak dari sasaran yang dibicarakannya?” Pembatasan yang kedua ialah periode-periode, yang dianggap suatu kesatuan tertentu, berdasarkan beberapa patokan yang telah ditentukan, baik secara konvensional dan umum diterima, maupun secara individual, yaitu sesuai dengan sasaran perhatian si sejarawan. Menurut teori, setiap periode, yang dikenakan pada unit-unit sejarah tertentu, mengisyarakat adanya suatu kharakteristik yang dominan.
Pembatasan waktu barulah tahap awal. Kalau sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, maka apa saja yang dimaksud dengan peristiwa tersebut? Kecenderungan yang semakin umum sekarang ini ialah pemusatan perhatian pada peristiwa yang menyangkut manusia, atau lebih tepat, tindakan dan perilaku manusia. Sebab itulah ada seorang ahli yang mengatakan bahwa sasaran sejarah bukanlah peristiwa, tetapi peristiwa yang disengaja, jadi suatu perbuatan atau tindakan. Dengan demikian, berbagai peristiwa alam tidaklah penting bagi dirinya, tetapi lebih berfungsi sebagai salah satu kekuatan yang bisa ikut mempengaruhi peristiwa yang disengaja itu. (Taufik Abdullah, 1985: xi).
Mekipun batasan waktu dan tindakan manusia telah dapat kita sepakati, pertanyaan berikutnya adalah “Apakah semua tindakan manusia pada masa lampau yang tertentu itu harus masuk sejarah?” Jika benar demikian, sejarah belum mengenal batas yang sesungguhnya. Dalam setiap menit yang dilalui entah berapa jumlah tindakan manusia yang telah terjadi. Sejarah yang seperti ini bukan saja hal yang tidak mungkin –mana ada catatan dan ingatan atau bahkan benda yang akan sanggup merekam kesemuanya, langsung ataupun tidak—tetapi juga sama sekali tidak berfaedah. Oleh karena itu, di samping pembatasan waktu dan pelaku, maka tempat pun menjadi batasan sejarah. Secara praktis dan metodologis, sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu. Namun demikian, hal itu juga ternyata belumlah cukup, bukankah tindakan manusia itu begitu banyak ragamnya ? (Taufik Abdullah, 1985: xii).
Jika demikian, pengertian dimensi waktu dari sejarah lebih dulu perlu pula diperjelas. Tidak bisa segala peristiwa di hari lalu pada diri masing-masing dianggap sejarah. Pembunuhan di sini, perkawinan di situ; pemberontakan di suatu tempat dan perjanjian aliansi militer di tempat lain, dan entah apa lagi, belumlah boleh dikatakan sejarah. Semua itu barulah letupan-letupan atau kepingan-kepingan yang bisa dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Semua itu barulah bisa dianggap sejarah kalau masing-masing terkait atau bisa dikaitkan dalam konteks historis. Artinya, kalau masing-masing kepingan itu merupakan bagian dari suatu proses, atau dinamika, yang sedang menjadi perhatian sejarawan. Dengan begini unsure seleksi telah ikut menentukan. Tidak semua peritiwa tindakan manusia pada masa lalu itu bisa dimasukkan dalam konteks historis (Taufik Abdullah, 1985: xii).
Hanyalah tindakan atau hasil tindakan –apa pun jenis dan coraknya – yang penting dan berkaitan dengan proses sejarah yang akan lulus seleksi. Kalau demikian, ukuran penting dan berkaitan, atau relevan, harus ditentukan pula. Pada corak tindakan yang serupa barang kali tidaklah akan terlalu sukar untuk menentukan derajat penting dan relevan itu, misalkan perkelahian di kantor kecamatan tidaklah sepenting upaya kudeta di pusat pemerintahan. Akan tetapi, susahnya tindakan manusia tidak sama coraknya. Selain hala-hal yang menyangkut kekuasaan, ada juga perbuatan yang mengenai aspek-aspek pemenuhan kebutuhan ekonomis, ekpresi estetis, persaingan kehormatan dan wibawa, pemenuhan rasa ingin tahu, dan entah apa lagi. Persoalan muncul lagi, dikarenakan berbagai corak tindakan itu seringkali saling berkaitan dan terlibat pula dalam hubungan kausal (Taufik Abdullah, 1985: xiii).
Pada konteks inilah, pengerjaan sejarah sebagai usaha rekonstruksi hari lampau itu hanyalah mungkin dilakukan apabila pertanyaan pokok telah dirumuskan. Dalam upaya mencari jawab terhadap pertanyaan pokok itulah ukuran penting atau tidaknya bisa diperoleh. Ketika pertanyaan yang telah dirumuskan itu menyangkut masalah peraliha kekuasaan, sudah jelas bahwa proses pembentukan berbagai kekuatan politik mendapat tempat yang lebih tinggi daripada misalnya, kualitas cat yang dipakai oleh seorang pelukis terkenal. Dengan demikian, selain menjadi ukuran penting atau tidaknya suatu tindakan, pertanyaan pokok itu juga merupakan alat untuk menentukan manakah hal-hal yang bisa dijadikan sebagai fakta sejarah. Atau dengan kata lain, pertanyaan pokok itu berfungsi pula untuk menentukan manakah hal-hal yang perlu dicari kebenaran historisnya agar bisa dianggap sebagai fakta – sebagai sesuatu yang berfungsi dalam usaha menjawab pertanyaan pokok yang telah dirumuskan itu. Dengan begitu, tentu jelas juga, bahwa secara teoritis dapat dikatakan fakta sejarah itu belum ada, sebelum pertanyaan dirumuskan (Taufik Abdullah, 1985: xiii).
D. Penutup
Nampaknya jelas bagi kita bahwa manusia menjadi faktor dan pemegang peran utama. Manusia bertanggungjawab atas kesinambungan dan perubahan sejarah. Manusia menentukan jalannya peristiwa-peristiwa (Lucey, 1984: 93; Romein, 1956: 20). Begitulah, sejarah terus menerus melahirkan orang-orang hebat yang namanya tidak lekang ditelan zaman. Sepanjang waktu, halaman-halaman kehidupan senantiasa menyediakan tempat untuk mencatat prestasi tertinggi yang dapat diraih anak manusia. Sejarah diisi oleh rangkuman perjalanan hidup, baik pergulatan fisik, spiritual, maupun proses kreatif seseorang hingga mencapai titik kulminasi dan menemukan posisi terbaik dalam hidupnya akan selalu menjadi inspirasi yang menggugah orang-orang lain yang hidup sezaman, apalagi generasi selanjutnya. Sayangnya, tidak semua kiprah pembentuk sejarah itu terdokumentasi ke dalan sajian pustaka sehingga kehadiran mereka dapat dimaknai dengan lebih baik. Tidak jarang hal besar yang telah mereka lakukan tidak diketahui public hanya karena tidak ada literature yang menjebantani dan menembus batas ruang dan waktu antara tokoh-tokoh tersebut dengan masyarakat (Aulia A. Muhammad, 2003: v).
Akhirnya, oleh karena manusia yang membuat sejarah, sudah sepantasnya setiap individu menjadi sejarawan, paling tidak sejarawan untuk dirinya sendiri (every man is own historians).
E. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Diredaksi oleh Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo. Jakarta: PT Gramedia.
Barnes, Harry Elmer. 1962. A History of Historical Writing. New York: Dover Publication. Inc.
Commager, Henry Steele. 1965. The Nature and The Study of History. Columbus, Ohio: Merrill.
Daniels, Robert V. 1986. Studying History: How and Why? New Jersey: Prentice Hall Inc.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bharatara Karya Aksara.
Latief, Juraid Abdul. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: Bumi Aksara.
Lucey, William Leo. 1984. History: Methods and Interpretation. New York & London: Garland Publishing Inc.
Muhammad, Aulia A. 2003. Bayang Baur Sejarah: Sketsa Hidup Penulis-penulis Besar Dunia. Solo: Tiga Serangkai.
Romein, Jan. 1956. Aera-Eropa. Peradaban Eropa sebagai Penyimpangan dari Pola Umum. Bandung: Ganaco N.V.
Syamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam kegiatan “Sinkronisasi Program Kebudayaan” yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung tanggal 18 April 2009.