WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Riwayat Perjuangan Inggit Garnasih

Oleh Prof.Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S.

A. Pengantar
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, kita dapat menemukan para pelaku sejarah yang memiliki peranan penting dalam perjuangan meraih kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, juga dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih. Tokoh-tokoh itu tersebar di berbagai pelosok tanah air, dalam berbagai bidang: politik, pendidikan, militer, agama, budaya, ataupun ekonomi. Salah seorang di antaranya adalah Inggit Garnasih.

Inggit Garnasih, yang dilahirkan pada tahun 1888 di Desa Kamasan Banjaran, Kabupaten Bandung ini, adalah isteri Ir. Soekarno, Presiden RI pertama. Inggit telah berjuang sejak jaman pergerakan sebagai anggota Sarekat Islam yang aktif, dan telah berjuang selaku isteri yang mendukung suaminya, Ir. Soekarno, hingga mengantarkannya ke gerbang kemerdekaan.

Untuk menghargai jasa-jasa Almarhumah, Pemerintah RI telah memberikan penghargaan berupa Satyalantjana Perintis Pergerakan Kemerdekaan (1961) dan Bintang Mahaputra Utama (1997). Pemerintah Kota Bandung pun sudah memberikan penghargaan dengan menamakan Jalan Ciateul menjadi Jalan Inggit Garnasih pada tahun 1997 dan menjadikan rumahnya di Jalan Ciateul no 8 sebagai Museum Inggit Garnasih. Namun, mengingat jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, melalui caranya sendiri, penghargaan itu belum cukup. Penghargaan yang layak bagi wanita pejuang ini adalah pahlawan nasional. Untuk menentukan siapa yang berhak memperoleh penghargaan ini, Pemerintah RI telah menetapkannya melalui Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pasal 24,25,dan 26 disebutkan bahwa untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, ada syarat umum dan syarat khusus.

Adapun syarat umum yaitu:
• WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
• memiliki integritas moral dan keteladanan
• berjasa terhadap bangsa dan negara
• Berkelakuan baik
• Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan
• tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun).

Syarat khusus yaitu bahwa gelar pahlawan nasional diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya:
• pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
• tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan
• melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya
• pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara
• pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
• Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi dan/atau
• melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional

Apakah Alm. Inggit Garnasih memenuhi kriteria di atas? Untuk menjawab ini perlu diketahui sejauh mana perjuangan yang telah dilakukannya. Ada berbagai sumber baik berupa dokumen, sumber benda berupa foto-foto almarhum atau foto terkait dengan almarhum, maupun sumber lisan, yaitu kedua anak angkatnya, Ratna Djoeami dan Kartika, cucunya: Tito Zeni Haramen dan Kemal Asmara Hadi yang dapat menginformasikan bagaimana perjuangan yang telah dilakukan Alm. Inggit Garnasih. Selain itu, setidaknya ada enam buah buku khusus tentang Inggit atau dituliskan bersama tokoh lain yang terkait, yang telah diterbitkan yaitu karya Im Yang Tjoe (1933/ed.2008), Ramadhan KH (1981), Lily Martin(1992), Reni Nuryanti dkk (2007), Reni Nuryanti (2007), Tito Asmara Hadi (2000).

Berdasarkan sumber-sumber tertulis serta kesaksian-kesaksian di atas, penulis mencoba mengkaji riwayat perjuangan Alm. Inggit Garnasih, dan akhirnya secara implisit dapat disimpulkan apakah Alm. Inggit Garnasih memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional. Berikut ini akan dipaparkan riwayat perjuangan Almarhumah.

B. Masa Kecil hingga Menikah
Garnasih dilahirkan pada tanggal 17 Pebruari 1888 di Desa Kamasan Banjaran Kabupaten Bandung. Ayahnya bernama Ardjipan dan ibundanya bernama Amsi. Garnasih merupakan anak ketiga dari pasangan ini, sedangkan dua anak yang lahir lebih dahulu diberi nama Natadisastra dan Moertasih.Garnasih tumbuh menjadi mojang yang cantik namun andalemi, dan mempesona banyak pria.

Namun nama Garnasih, kemudian ditambah menjadi Inggit Garnasih. Tentang asal-usul penambahan nama ini ada dua pendapat. Yang pertama, menyebutkan bahwa di kalangan para pemuda yang mengagumi kecantikan Garnasih, beredar ungkapan demikian: ” Mendapat senyuman dari Garnasih bagai mendapat uang seringgit ” (seringgit sama dengan 2,5 gulden, yang nilainya cukup besar waktu itu). Rupanya kata ”Ringgit”, yang kemudian berubah menjadi ”Inggit” jadi menempel terus pada nama Garnasih (Asmara Hadi, 2000: 20). Yang kedua, menceritakan bahwa Garnasih yang cantik manis itu disukai banyak orang. Sejak kecil, ia sering bermain ke pasar, dan ada saja orang yang memberinya uang, bahkan sampai ”seringgit”. Ke mana saja ia pergi, selalu ada yang memberi uang atau hadiah lainnya. dengan berbagai hadiah, termasuk uang seringgit. Karena seringnya mendapat hadiah itu, Garnasih dijuluki orang ”Si Ringgit”. Lama-kelamaan ia dipanggil ”Inggit”. Jadilah, namanya Inggit Garnasih (KH, 1981: 44-45).

Sekitar tahun 1900, Inggit sudah dinikahkan dengan seorang pria dari kalangan menak (bangsawan), yaitu Raden Nata Atmadja, yang bekerja sebagai ”kopral” di Kantor Residen Priangan. Namun pernikahan ini tidak berumur lama. Keduanya bercerai. Mungkin karena pernikahan ini bukan atas dasar cinta, tetapi karena Inggit cemburu, kekasihnya yang bernama H. Sanoesi dikabarkan hendak menikahi gadis lain. H. Sanoesi, adalah seorang saudagar kaya, yang juga aktifis Sarekat Islam.

Setelah Inggit menjanda, ternyata H. Sanoesi pun sudah menjadi duda dengan dua anak. Sanoesi yang memang masih mencintai Inggit, mengajaknya menikah. Jadilah cinta lama kembali bersemi dan mereka pun akhirnya menikah. (KH, 1981: 45).

Pada bulan Juni 1921, datanglah pemuda Soekarno dari Surabaya ke Bandung untuk menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (THS atau ITB sekarang). Ketua Sarekat Islam H.O.S Tjokroaminoto, mertua Soekarno meminta tolong kepada ayah H. Sanoesi agar Soekarno dicarikan pondokan. Namun karena tidak ada tempat yang dirasakan cocok, akhirnya H. Sanoesi meminta Inggit untuk mau menerima Soekarno indekost di rumah mereka. Meskipun pada mulanya Inggit enggan menerima studen (mahasiswa) ini, namun akhirnya mau menempatkan Soekarno di kamar depan rumahnya. (wawancara dengan Bapak Tiwal, 2009; lihat juga KH, 1981:3). Soekarno membawa serta Utari, isteri yang dinikahinya secara nikah gantung karena Utari masih sangat muda. Namun rupanya Soekarno hanya menganggap Utari, yang masih ke-kanak-kanakan itu sebagai adik belaka sehingga mereka tidak tinggal sekamar di rumah Inggit itu(KH, 1981: 10).

Rumah Inggit pun menjadi ramai karena Soekarno, yang dipanggilnya Kusno itu memiliki banyak teman (KH, 1981: 7). H. Sanoesi, yang usianya jauh lebih tua dari Inggit, pada awalnya senang juga ikut bergabung dalam kumpul-kumpul dengan anak-anak muda, namun itu tidak lama. Mungkin perbedaan usia menjadi salah satu penyebabnya. Kemudian hari, H. Sanoesi lebih senang ke luar rumah, terutama pada malam hari ketika keramaian itu reda.(KH, 1981:8). Sementara itu, hubungan Soekarno dengan Utari memburuk, apalagi Soekarno merasa tidak sepaham dengan mertuanya dalam soal politik . Akhirnya dengan berat hati Soekarno mengembalikan Utari secara baik-baik kepada orangtuanya (Ing Yam Tjoe, 1933/ed.2008: 21-22).

C. Tidak ada Perselingkuhan
Soekarno ternyata kemudian jatuh cinta kepada Inggit yang sering ditinggal suaminya itu. Rupanya hal ini diketahui oleh ayah H. Sanoesi. Mertua Inggit ini “yang melihat jauh ke depan” merasa bahwa Soekarno memang perlu pendamping seperti Inggit, yang akan mengawalnya ke masa depan. Maka ayah mertua yang baik ini, membujuk anaknya agar menceraikan Inggit, dengan memberikan hadiah uang dalam jumlah banyak. Akhirnya H. Sanoesi bersedia menceraikan Inggit (Wawancara dengan Bapak Tiwal, 2009). H.Sanoesi kemudian bersedia menceraikan Inggit yang kurang diperhatikannya, dengan syarat Soekarno tidak boleh menyakiti Inggit. (KH, 1981:18-41). Selanjutnya H. Sanoesi pun oleh ayahandanya dianjurkan pergi ke Mekah. Namun yang terjadi, ia berangkat ke Medan dan dikabarkan menikah dengan seorang wanita di sana (wawancara dengan Bapak Tiwal, 2009).

Setelah itu, pada tanggal 24 Maret 1923, Inggit yang waktu itu tinggal di Distrik Kejaksaan menikah dengan Soekarno (lihat lampiran fotokopi Surat Nikah Inggit dengan Soekarno). Pernikahan itu dihadiri keluarga kedua belah pihak (KH, 1981: 42). Sebelum pernikahan, Inggit mengangkat Ratna Djoeami yang baru 40 hari dilahirkan Moertasih, kakaknya sendiri,.sebagai anak angkat. Katanya ini untuk pemancing, agar nanti Inggit bisa hamil (Martin, 1992: 3).

D. Awal Perjuangan
Ketika masih berstatus sebagai isteri H. Sanoesi, Inggit aktif dalam Sarekat Islam. Ketika pada tahun 1916 diselenggarakan Kongres Sarekat Islam di Bandung, Inggit menjadi Ketua Panitia Konsumsi, mengatur makan minum para peserta, termasuk Haji Agus Salim dan Tjokroaminoto (KH, 1981: 47).

Ketika Soekarno mondok di rumah Inggit, banyak teman-teman Soekarno, sesama aktifis pergerakan, datang dan makan-minum, bahkan menginap di kamar Soekarno. Inggit mendukung kegiatan itu, tanpa membebani suaminya. Ia menggunakan uang penghasilannya sendiri untuk memberi mereka makan-minum. Inggit memang berdagang kain batik, membuat kutang untuk dijual, dan juga menjual bedak dingin, lulur, dan jamu yang diraciknya sendiri sehingga ia memiliki simpanan uang hasil jerih payahnya sendiri Ketika keadaan menjadi sulit, terpaksalah Inggit menggadaikan ataupun menjual kalung dan gelang miliknya (KH, 1981:30).

Setelah menikah dengan Soekarno, Inggit benar-benar terlibat dalam kegiatan pergerakan yang dimotori suaminya. Inggit menjadi saksi dalam perdebatan politik yang terjadi di sana. Suaminya yang masih berstatus mahasiswa, tentu saja belum memiliki penghasilan. Inggit dengan ikhlas, dan tanpa banyak bicara menggunakan uang penghasilan dagangnya untuk sepenuhnya membiayai kebutuhan rumah tangga dan sekaligus kebutuhan pergerakan itu.Menjelang akhir tahun 1925, Soekarno jatuh sakit karena kelelahan, berbagai buku kuliah dan buku politik terus dibacanya, tanpa istirahat. Hanya dengan kasih sayang Inggit, Soekarno bisa sembuh dan akhirnya Soekarno menggondol gelar Insinyur Sipil dari THS pada tahun 1926 (Ing Yam Tjoe, 1933/ed.2008: 57). Namun dengan lulusnya sang suami bukan berarti Inggit menjadi hidup senang karena Ir. Soekarno tidak mau bekerja pada pemerintah kolonial dan lebih mencurahkan perhatiannya terhadap organisasi pergerakan. Inggit sangat mendukung kegiatan suaminya itu dengan ikhlas.

Ketika Perserikatan Nasional Indonesia akan didirikan pada tahun 1927, tentu saja rumah Inggit setiap hari ramai dengan perdebatan para tokoh pejuang itu. Ia pun menjadi saksi bagaimana perdebatan yang terjadi hingga akhirnya lahir PNI pada tanggal 4 Juni 1927 di Ons Genoegen. Terpilih sebagai Presiden PNI: Ir.Soekarno; Sekretaris bendahara: Mr. Sartono; Sekretaris 2 : Mr. Iskaq, Sekretaris Pembantu Soekarno: Gatot Mangkoepradja; Para pembantu (komisaris): Dr. Samsi, Mr.Soejeodi, Mr. Boediarto, Mr. Joesoef; Mr. Oesman, dan Soewirjo. Ir. Soekarno merangkap juga sebagai Ketua Cabang Bandung.(Otobiografi Gatot Mangkoepradja dalam Lubis, 2003: 24). Pada bulan Mei 1928, nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia, sebagai hasil Kongres Pertama PNI di Surabaya (Lubis, 2004: 10).

Inggit Garnasih, menjadi isteri, ibu, kekasih, sekaligus mitra dalam perjuangan bagi Soekarno (yang selalu dipanggilnya Kusno) yang disayanginya. Soekarno yang memang kurang kasih sayang ibu itu, selalu lari kepada Inggit manakala ia resah, gelisah, atau menghadapi tekanan pemerintah jajahan. Dan Inggit, dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan, memberi apa yang Soekarno butuhkan. Demi perjuangan, Inggit harus bekerja banting tulang- dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, yang makin hari makin berat. Inggit pun sudah kehabisan simpanannya, namun Inggit tidak pernah mengeluh, apalagi di depan Suaminya. Soekarno hanya ”tahu tersedia” apa yang dibutuhkannya (KH, 1981: 46). Inggit seorang yang pendidikannya rendah, tidak terpelajar, bukan pula lahir di kalangan menak, namun ia perempuan berhati emas (Ing Yam Tjoe, 1933/ed.2008:50). Bung Karno sendiri mengakui bahwa dia berhutang budi yang sangat besar, yang tak akan bisa dilunasinya seumur hidup. Hal ini dikatakannya beberapa kali, yaitu ketika diadakan resepsi menyambut pembebasannya dari penjara Sukamiskin 31 Desember 1931, dalam rapat Kongres Indonesia Raya di Surabaya, 2 Januari 1932. Dalam otobiografinya juga disebutkan bahwa Inggit adalah tulang punggungnya dan tangan kanannya selama separuh dari umurnya (Asmara Hadi, 2000: 23).

Setelah berdirinya PNI, tamu-tamu, anggota partai semakin ramai datang ke rumah di Jalan Jaksa yang relatif sempit itu. Akhirnya Soekarno mengajak pindah ke sebuah rumah yang lebih besar di Kebon Sirih. Tiga bulan kemudian, pindah lagi ke Jalan Pungkur. Inggit pun dengan setia menemani ke mana Soekarno pergi. Ia ikut berkeliling ke desa-desa, di mana Soekarno menyampaikan gagasannya tentang kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan. Kadang Inggit menjadi penterjemah bila ada kata-kata bahasa Sunda yang tidak dipahami Soekarno. Di rumah mereka, diadakan pula kursus-kursus politik empat kali seminggu, dalam rangka pengkaderan. Bahan-bahan dipersiapkan oleh Moh. Hatta, Ali Sastroamijoyo, dan Iskak. Ada sekitar 15 pemuda ikut dalam kursus, termasuk Maskoen Soemadiredja (Lubis, 2004: 9). Tentu saja Inggit tidak mengeluh rumahnya dijadikan tempat kursus gratis itu. Inggit menjadi benteng pelindung bagi Soekarno karena kegiatan Soekarno selalu tidak lepas dari incaran polisi rahasia kolonial (PID-Politieke Inslichting Dienst).

E. Suami Dipenjarakan
Sepak terjang PNI dianggap semakin membahayakan pemerintah. Apalagi jumlah anggota PNI yang pada tahun 1928 hanya 568 anggota, pada tahun 1929 meningkat deras menjadi 5.746 orang (Ingleson, 1988: 59) dan pada bulan Desember 1929 meningkat menjadi 10.000 orang dengan anggota sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya (Ricklefs, 1991: 278).

Atas dasar tuduhan akan melakukan pemberontakan, pada waktu subuh tanggal 29 Desember 1929, ketika Soekarno bermalam di rumah Mr Soejoedi di Yogyakarta, Soekarno ditangkap bersama Gatot Mangkoepradja dan Maskoen Soemadiredja, para tokoh PNI. Soekarno dan kawan-kawan dibawa ke Bandung dengan kereta api, sedangkan Inggit berangkat dengan mobil Mr. Soejoedi. Soekarno dijebloskan ke penjara Banceuy. Berhari-hari Inggit tidak boleh menjenguknya, namun terus-menerus ia datang ke sana, kadang bersama isteri Gatot dan Maskoen. Baru setelah 40 hari , Inggit dan anaknya Ratna Djoeami, berhasil menemui suaminya di penjara (Lubis, 2003; Lubis, 2004).

Sidang pengadilan akan digelar pada bulan Agustus 1930. Untuk mempesiapkan pleidooi (pembelaan) Ir. Soekarno harus mepersiapkannya dengan baik. Siapa lagi yang membantu untuk pleidooi-nya yang kemudian terkenal dengan ”Indonesia Menggugat” itu, kalau bukan Inggit. Maka Inggit pun harus pontang-panting menyiapkan dana guna membeli segala yang diperlukan Soekarno, termasuk bahan-bahan yang dimintanya dari Mr. Sartono, pimpinan PNI yang tidak ikut ditangkap Selain itu, Inggit juga harus mencari akal dan cara yang rapi supaya bisa menyelundupkan dokumen-dokumen serta tulisan yang diperlukan Soekarno guna menyusun pembelaannya itu. Dengan segala dayanya, Inggit berhasil mengelabui mata para sipir penjara yang mengawasi para pembesuk dengan ketat. Informasi dan bahan-bahan yang diperlukan bisa sampai dengan selamat ke tangan Soekarno melalui makanan yang diantarkan atau melalui buku yang boleh dibaca. (KH, 1981;172-176; Martin,1992: 14-32; Lubis, 2004: 25).

Selama delapan bulan di penjara Banceuy, Soekarno tinggal di Blok F no 5 bersama teman-temannya, tanpa kejelasan kapan akan diadili akan terasa sangat menjemukan. Apalagi di ruangan berukuran 2,5 x 1,5 meter itu hanya dilengkapi tempat tidur lipat dan kloset yang bisa dipindah-pindah, yang setiap hari harus dikosongkan isinya oleh para tahanan. Ada bak kecil berisi air mandi di sel. Selain terali jendela kecil berterali di sebelah atas tembok, hubungan satu-satunya dengan udara luar adalah satu lubang pengintip di dalam pintu besi, yang dari sebelah luar ditutup pelat berengsel. Sel yang pengap dan kotor inilah tempat Soekarno tinggal selama delapan bulan (Giebels, 2001: 106). Untunglah Inggit selalu datang menengok membesarkan hati Kusno-nya, bersama-sama Ny Djoenah, isteri Gatot Mangkoepradja (Lubis, 2004: 24).

Dengan tuduhan melanggar pasal-pasal karet yaitu pasal 153 bis dan pasal 169 Undang-undang Hukum Pidana, pemerintah kolonial mengadili Soekarno dkk. dari tanggal 18 Agustus hingga 22 Desember 1930, Soekarno divonis 4 tahun penjara, Gatot divonis 2 tahun penjara, Maskoen divonis 1 tahun 8 bulan penjara, dan Soepriadinata divonis 1 tahun 3 bulan (Lubis, 2004: 24-25; Lubis, 2006: 33) . Kemudian pada tanggal 23 Desember 1930, Soekarno dkk. dipindahkan ke penjara Sukamiskin, sekitar 10 km di sebelah timur Kota Bandung. (Lubis, 2004: 25). Selama Soekarno di penjara, Inggit dengan setia menengok suaminya itu, mendorong dan membesarkan hati Soekarno agar tidak mengalami kejatuhan mental. Kadang Inggit harus berjalan kaki ke Sukamiskin, yang cukup jauh itu karena ia tidak memiliki ongkos. Anak angkatnya Ratna Djoeami ikut menengok ayah angkatnya itu. Untuk mengatasi kesulitan keuangan, Inggit terus bekerja keras, berdagang: kutang yang dijahitnya sendiri, jamu, lulur dan bedak dingin, bahkan ia juga menjadi agen penjual cangkul. Namun Inggit tak pernah mengeluh sedikit pun, yang diingatnya adalah bagaimana agar Soekarno tetap bisa bersemangat untuk menjadi pemimpin bangsa ini setelah ke luar dari penjara(KH, 1981:245-246; Martin, 1992: 18-19)

F. Mendampingi Suami di Pembuangan : Endeh dan Bengkulu
”Indonesia Menggugat” ternyata menggetarkan dunia, dokumen politik ini dibaca orang hingga ke Eropa. Protes pun muncul dari berbagai kalangan atas dijatuhkannya vonis yang tidak adil itu. Hingga akhirnya Soekarno dikurangi hukumannya dan dapat bebas pada tanggal 31 Desember 1931 . Namun Soekarno tidak kapok, sehari setelah ke luar dari penjara ia kembali ke dunia politik dan semakin garang. Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1932, Soekarno kembali ditangkap di Jakarta kemudian dibawa dengan kereta api ke Bandung serta dipenjarakan di Sukamiskin.. Tanpa proses pengadilan Soekarno dibuang ke Endeh, Flores. Inggit dan Ratna Djoeami serta ibunda Inggit yaitu Ibu Amsi dengan setia ikut ke Flores. Ternyata Ibu Amsi yang sudah sepuh itu meninggal dunia di sana (KH, 1981: 303-328)

Perjuangan Inggit diteruskan pula di pembuangan, meski dengan cara lain. Di Flores, Inggit dan suaminya mengangkat lagi seorang anak umur 5 tahun bernama Soekarti (karena sering sakit-sakitan, Soekarno mengganti namanya menjadi Kartika) putri seorang mantri ukur bernama Atmosoedirdjo untuk teman bermain Ratna (KH, 1982: 316). Ir. Soekarno, selain mengisi kesepiannya dengan membaca buku yang dikirim teman-temannya dari Jakarta dan Bandung, ia juga sibuk korespondensi dengan A Hassan dari Bandung, tentang Islam. Yang menarik, Soekarno juga membentuk grup sandiwara yang diberi nama ”Toneel Kelimutu”. Para pemainnya semua pria, termasuk yang berperan sebagai wanita. Tugas Inggit adalah menjadi juru rias, terutama bagi pemain pria yang akan tampil sebagai wanita (KH, 1981: 342-343)

Setelah lima tahun di Flores, atas protes teman-teman seperjuangannya, pemerintah kolonial memindahkan Soekarno ke Bengkulu. Soekarno dibawa dengan kapal laut ke Surabaya kemudian dilanjutkan dengan kereta api ke Batavia, dan dari sana menyebrangi Selat Sunda dengan kapal, dilanjutkan dengan bus dan kereta api menuju Kota Bengkulu. Inggit dengan kedua anak angkatnya, memerlukan pulang dulu ke Bandung dan kemudian menyusul ke Bengkulu (KH, 1981: 350-356).

G. Pengorbanan tanpa Pamrih
Di Bengkulu Soekarno sekeluarga ditempatkan di sebuah rumah di Anggut Atas. Selama di Bengkulu, Soekarno diminta oleh Hasan Din yang tinggal di Curup (kota kecil yang terletak antara Kota Bengkulu dan Lubuk Linggau) untuk mengajar di Sekolah Rendah Muhamadiyah. Hasan Din meminta bantuan agar putrinya yang bernama Fatma bisa sekolah di Kota Bengkulu. Fatma ditawari untuk bisa sekolah bersama Ratna Djoeami dan ternyata Fatma bersedia. Jadilah Fatma tinggal bersama dengan keluarga Soekarno dan diperlakukan sebagai anak. Rupanya inilah awal musibah yang dialami Inggit Garnasih (KH, 1981:361-367).

Diam-diam Soekarno menaruh hati kepada Fatma. Inggit pun sudah punya firasat buruk. Ketika Soekarno meminta Inggit mengantarkan Ratna untuk bersekolah di Yogyakarta, Soekarno punmenyatakan isi hatinya kepada Fatma. Sepulang dari Yogya Inggit pun bertengkar dengan suaminya yang berterusterang ingin menikahi Fatma dengan alasan ingin memiliki keturunan. Patahlah hati Inggit. Hampir 20 tahun mereka menikah, dengan segala pengorbanan lahir bathin. namun kini apa yang didapatnya? (KH, 1981: 369-374).

Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Palembang. Pihak Belanda mundur ke Bengkulu dan siap hengkang ke Australia. Soekarno dan keluarganya harus diungsikan ke Padang. Dengan menumpang truk,gerobak atau jalan kaki, tibalah Soekarno, Ratna Djoeami, dan Kartika di Kota Padang. Dari Padang sedianya mereka dibawa ke Australia. Namun kapal yang akan membawa mereka tenggelam dihantam Jepang di Teluk Bayur. Soekarno tinggal selama dua bulan di Padang hingga akhirnya dibawa ke Jakarta oleh Jepang yang memerlukan para tokoh nasional untuk kepentingan mereka. Dari Padang pun mereka pergi ke Palembang dan tinggal hingga sebulan di rumah Dr. A.K. Gani, teman seperjuangan Soekarno. Di sana mereka mengadakan rapat-rapat konsolidasi. Inggit menemani Soekarno dengan setia dalam rapat-rapat itu hingga akhirnya pada tanggal 5 Juli 1942 bisa meninggalkan Palembang dengan kapal menuju Jakarta. Tiba di Pasar Ikan, Soekarno disambut oleh teman-teman seperjuangan: Moh. Hatta, Sartono, dan Anwar Tjokroaminoto, dan yang lainnya. (KH, 1981:420)

Setelah tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, keinginan Soekarno untuk menikahi Fatma tidak padam. Akhirnya dengan berat hati Inggit yang tidak mau dimadu, harus memilih bercerai dengan Soekarno dan merelakan suaminya menikahi Fatma (yang namanya kemudian menjadi Fatmawati). Inggit pun memutuskan kembali ke Bandung dengan diantar K.H. Mas Mansoer dan Soekarno. Sebagai bekal bagi Inggit, dibuatlah surat perjanjian perceraian, yang ditandatangani Inggit dan Soekarno serta ditandatangani tiga orang saksi yaitu : Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kiyai Haji Mas Mansoer. Surat perjanjian dibuat 29 Januari 1943 (2603 tahun Jepang), yang isinya : Soekarno akan membelikan rumah bagi Inggit melalui ketiga orang saksi, Soekarno juga akan memberikan uang mut’ah (hadiah) sebesar f 6280, yang dibayar kotan f 200, dan sisanya dicicil f 50 per bulan selama 10 tahun, Soekarno akan memberikan uang bulanan sebesar f 75,- seumur hidup, serta pembagian harta bersama, yang intinya semua harta benda yang tertinggal di Bengkulu menjadi milik Inggit, kecuali buku-buku yang akan menjadi milik Soekarno (lihat: Lampiran Surat Perjanjian).

H. Masa Tua Yang Tenang hingga Akhir Hayat
Inggit kembali ke rumah kerabatnya, Haji Anda, di Jalan Lengkong Besar. Di sana sudah menunggu kakaknya, Moertasih, dan mantan suaminya H. Sanoesi. Soekarno pun menyerahkan Inggit kepada H. Sanoesi disaksikan KH Mas Mansoer.

Inggit dan Kartika kemudian tinggal di Jalan Lengkong Tengah no 16 Bandung. Inggit melanjutkan hidupnya sendirian, hanya ditemani Kartika anak angkatnya karena Ratna sudah menikah dengan Asmara Hadi. Untuk belanja hidupnya, Inggit membuat dan menjual bedak dingin ”Kasai” dan lulur serta jamu ”Ningrum”, yang memang sejak dulu telah dilakukannya. (Asmara Hadi, tt: 2; Asmara Hadi, 2000: 21)

Ketika Proklamasi kemerdekaan RI akhirnya dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Inggit merasa terharu dan bangga, akhirnya Soekarno mencapai cita-citanya. Ya, Inggit telah mengantarkannya ke gerbang kemerdekaan dengan segala duka dan derita.

Pada masa Agresi Militer I pada tahun 1947, Inggit pergi mengungsi ke Garut. Namun ketika keadaan sudah aman, pada tahun 1949 Inggit kembali ke Bandung. Ternyata rumah yang ditempatinya dahulu sudah diisi orang lain. Akhirnya Inggit menumpang di Pavilyun rumah Haji Doerasyid di Gang Bapa Rapi, sementara Ratna dan suaminya pindah ke Yogyakarta (Asmara Hadi, 2000: 44).

Menurut salah satu sumber, pada tahun 1950 Asmara Hadi dan Ratna Djoeami, diam-diam menghubungi Presiden Soekarno, agar Inggit bisa mendapatkan rumah sesuai janjinya dulu. Inggit tidak tahu urusan ini dan memang tidak mengharapkan apa-apa dari Soekarno. Presiden Soekarno menyuruh asisten pribadinya, Winoto Danu Asmoro, untuk mencarikan rumah bagi Inggit. Akhirnya diperoleh sebuah rumah panggung di Jalan Ciateul. Rumah itu dahulu pernah ditinggali Soekarno dan Inggit sebelum menjalani pembuangan di Flores. Itu adalah rumah perjuangan mereka. Namun menurut sumber lain, rumah itu diusahakan oleh Asmara hadi dengan bantuan teman-teman seperjuangan seperti S.K. Trimurti, Gatot Mangkoepradja, A.M. Hanafi, dll. (Asmara Hadi, 2000: 45; Wawancara dengan Tito Asmara Hadi atau Tito Zeni Harmaen, 1 Desember 2008 di Bandung).

Inggit Garnasih hidup dengan tenang menjalani masa tuanya di tengah anak cucu.. Dari putri angkatnya yaitu Ratna Djoeami yang menikah dengan Asmara Hadi, lahir 7 orang anak yaitu: Iskandar Gunanto, Rizal Satriananda, Kemal Budi Dharma, Kemal Asmara Hadi, Tito Zeni Harmaen, Rosa Cometa Damayanti, Lenina Yeniati Komalasari. Sementara dari Kartika yang menikah dengan M Uteh Riza Yahya, lahir 6 orang anak, yaitu: Nala Budhi Syatria, Chrisanti Taradewi, Rosalina Susiladewi, Krisna Yulianto, Sita Pancawati Sukma S., Firman Purnakarya F.(Asmara Hadi, t.t.: 1)

Inggit Garnasih selama menjalani sisa hidupnya sebenarnya tidak pernah sepi dari kunjungan orang. Kaum wanita dari berbagai penjuru tanah air datang untuk bertanya kepadanya, termasuk para isteri Bung Karno, kecuali Fatmawati. Inggit selalu memberi nasihat kepada para tamunya: agar sabar dalam hidup, selalu membela rakyat, dan agar selalu menjaga harkat martabat sebagai bangsa yang besar. Kepada kaum wanita juga dipesankan agar menjadi pendamping suami yang setia dan berani mandiri, sementara kepada anak dan menantunya agar tidak menggantungkan diri kepada orang lain dan tidak meminta fasilitas kepada Ir. Soekarno yang sedang menjadi Presiden saat itu. Ada juga murid-murid SMP dan SMA, yang datang menjelang ujian, untuk meminta air yang telah diberi doa, agar bisa lulus ujian. Inggit memberikan apa yang diminta oleh anak-anak itu dan menasihati mereka agar berdoa langsung kepada Yang Maha Kuasa dan tentu juga harus usaha yaitu: belajar dengan rajin dan tekun (Asmara Hadi, t.t: 18; Asmara Hadi, 2000: 21)

Setelah menderita sakit karena usia lanjut, Inggit meminta kepada anaknya Kartika untuk bisa bertemu Fatmawati. Dengan difasilitasi oleh Gubernur DKI Jaya waktu itu Ali Sadikin, Fatmawati disertai anak dan menantunya: Guntur dan isteri, serta Megawatri dengan Taufik Kiemas datang mengunjungi Inggit Garnasih pada tanggal 7 Febnruari 1980. Fatmawati meminta maaf kepada wanita yang telah direbut suaminya itu dan dengan jiwa besar, Inggit pun dengan ikhlas memaafkan ”anak” yang kemudian menjadi isteri suaminya itu. ( Asmara Hadi, 2000: 52-53)

Fatmawati ternyata mendahului Inggit menghadap Sang Khalik pada tanggal 14 Mei 1980 dan setelah menderita sakit yang cukup lama,. akhirnya Inggit meninggal dunia dengan tenangdi rumahnya di Jalan Ciateul no 8 Bandung. Ia wafat dalam usia 96 tahun, pada tanggal 13 April 1984 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Porib (TPU Caringin), di Kota Bandung, dengan upacara militer. Pihak pemerintah meminta untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, namun semasa hidupnya Inggit berpesan agar ia dimakamkan di pemakaman umum sebagai rakyat biasa karena ia ingin tetap dekat dengan rakyat (Asmara Hadi, tt: 2).

Pada tahun 1997, Inggit Garnasih diberi penghargaan atas jasa-jasanya yang luar biasa, oleh Pemerintah RI, berupa Bintang Mahaputera Utama. Selain itu, Jalan Ciateul diganti namanya menjadi Jalan Inggit Garnasih. Rumah yang terakhir didiami Inggit Garnasih dijadikan Museum, di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Barang-barang seperti kursi tamu, meja belajar Bung Karno, lemari pakaian, lemari bufet kecil, batu penggilingan jamu, surat nikah dan Surat Perjanjian Perceraian Inggit –Soekarno, foto-foto Inggit dan keluarga, Satyalantjana Perintis Pergerakan Kemerdekaan, dan Bintang Mahaputera Utama serta Piagamnya, tidak disimpan di museum tersebut, namun berada di rumah keluarga yaitu Tito Zeni Harmaen.

I. Kesimpulan
Almarhum Inggit Garnasih, seorang wanita kelahiran Banjaran Kabupaten Bandung tahun 1888, adalah Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia pada tahun 1984 dan semasa hidupnya telah melakukan perjuangan melalui pengabdian dan pengorbanan tanpa pamrih, tidak kenal lelah mendukung suaminya, Ir. Soekarno dalam mencapai dan merebut kemerdekaan Indonesia.

Pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya benar-benar melebihi tugasnya selaku isteri dari seorang pendiri Republik ini. Perjuangan dan pengorbanannya ini diakui sendiri oleh Ir. Soekarno dengan mengatakan bahwa Inggit adalah tulang punggungnya dan tangan kanannya dalam perjuangan selama separuh dari umurnya. Perjuangan Inggit dilakukan melalui curahan kasih sayang, dukungan moril dan materil hingga menghabiskan harta bendanya, menunjukkan kesetiaan yang luar biasa saat suaminya berada dalam tindasan penjajah, baik di penjara maupun di pembuangan selama bertahun-tahun. Jiwa juangnya ditunjukkan dengan selalu mendorong serta memberikan semangat saat-saat suaminya menurun semangat juangnya, agar suaminya tetap berjuang, tetap tegar menghadapi cobaan dan derita akibat ketidakadilan pemerintah kolonial. Dan Inggit berhasil membuat Ir. Soekarno tetap tegar dengan kepala tegak menantang pemerintah kolonial.

Perjuangan yang dilakukannya tidak mengenal lelah, tidak mengenal menyerah, hingga Soekarno bisa diantarkannya ke gerbang kemerdekaan. Semangat kebangsaan Inggit konsisten menghadapi tekanan yang bagaimanapun beratnya. Meskipun Inggit tidak dapat menikmati hasil perjuangannya, namun Inggit tetap berjiwa besar dan selalu mendoakan suaminya yang telah menjadi Presiden tanpa dirinya. Dalam sisa hidupnya wanita yang sederhana, dan hampir tidak pernah mengenyam sekolah ini, bisa hidup dengan tangannya sendiri, penuh harga diri, dan tanpa meminta belas kasihan dari Ir. Soekarno.

Perjuangan tanpa pamrih, dengan mengorbankan harta, tenaga, dan air mata, yang dilakukan Inggit Garnasih hingga bisa mengantarkan pemuda Soekarno merebut kemerdekaan, tidak cukup hanya dihargai dengan Bintang Perintis Kemerdekaan ataupun Bintang Maha Putra Utama, namun lebih layak apabila pemerintah memberikan penghargaan dengan mengangkat Inggit Garnasih sebagai pahlawan nasional.

J. Daftar Sumber
Asmara Hadi, Kemal. t.t. Riwayat Hidup Singkat Ibu Inggit Garnasih.

Asmara Hadi, Tito. 2000. Fajar Yang Luka.

Bung Karno. Ed.2001. Indonesia Menggugat; Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial Bandung, 1930. Jakarta: Toko Gunung Agung Tbk.

Giebels, Lambert. 2001. Soekarno ; Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.

Im Yang Tjoe. 1933/ed.2008. Soekarno sebagi Manoesia. (ditulis kembali oleh Peter A. Rohi). Jakarta: Panta Rei.

Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934.(terj.). Jakarta: LP3ES.

K.H., Ramadhan. 1981. Kuantar ke Gerbang; Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Lubis, Nina H. 2004. Gemuruh Gelombang Kemerdekaan; Biografi Maskoen Soemadiredja (1907-1986). Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad.

----------. 2006. Biografi R. Soepriadinata (1905-1949). Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad.

Lubis, Nina H. (ed.). 2003. Gatot Mangkoepradja (1898-1968). Bandung: Satya Historika.

Martin, Lily. 1992. Kisah Cinta Inggit & Bung Karno. Jakarta: Pijar Fandra Gemilang.

Nuryanti, Reni, dkk. 2007. Istri-istri Soekarno. Yogyakarta: Ombak

Nuryanti, Reni. 2007. Perempuan dalam Hidup Soekarno; Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak.

Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

K. Daftar Informan
1. Tito Zeni Harmaen, 60 tahun, tinggal di Bandung
2. S. Tiwal, 80 tahun, kerabat H. Sanoesi, tinggal di Bandung

Sumber: Makalah disampaikan pada acara Temu Tokoh yang diadakan oleh BPNB Jawa Barat di Soreang tahun 2012

Popular Posts