Tari Belenderan merupakan salah satu kesenian khas Kabupaten Karawang di samping kesenian khas lainnya, yaitu Topeng Banjet, Ketuk Tilu, dan Nayub. Kala itu, Tari Belenderan biasa ditampilkan setiap Bulan Maulud yang bertepatan pada tanggal 16 bulan Jawa. Dahulu, tarian ini oleh masyarakat Karawang selalu menyajikan unsur ritual, yaitu pada bagian awal tarian yang selalu diawali dengan sesajen berupa kopi pahit, kopi manis, rokok, rurujakan, kalapa dawegan (kelapa muda), beas (beras). Hingga saat ini, syarat sesajen tersebut masih tetap dipenuhi sebelum memulai Tari Belenderan.
Tari Belenderan mulai dikenal di Kabupaten Karawang pada tahun 1939, dalam acara peresmian jembatan di kampung Cisaruak Desa Pasir Tanjung kecamatan Telagasari. Menurut Abah Tirta (seniman dan pimpinan Grup kesenian Ketuk Tilu Puspa sari di Tempuran Kabupaten Karawang), Tari Belenderan berasal dari kata “Leleran”, yang artinya “tanah sawah” yang diratakan sebelum tandur (menanam padi).
Tema pertanian yang menjadi inspirasi Tari Belenderan kemudian disesuaikan dengan gerak tari gaya Karawangan yang terkesan spontan, namun sebenarnya masih berada dalam alur dari tari yang dibawakan. Oleh karena itu, Tari Belenderan dapat dikatakan sebuah tarian yang cukup unik karena hampir sebagian gerak adalah hasil improvisasi penari (Fitriyani, 2017: 1 – 110).
Beberapa gerak tari Belenderan yang disesuaikan dengan tema pertanian (tandur) seperti Bahe, Kewer, Sambungan, Tempelan, Belikat tukang dilakukan secara berulang-ulang dalam satu goong dengan diakhiri oleh gerak mincid. Ciri tema pertanian tersebut dapat terlihat jelas pada salah satu dari lima gerak di atas, yaitu Gerak Bahe, dimana pada Gerak Bahe terdapat makna gerak seperti seorang petani yang sedang melempar benih padi (tandur), sementara gerak membalikan badan merupakan perumpamaan gerak petani yang hendak mengambil benih kembali.
Seniman pertama yang menarikan tari Belenderan bernama Abah Nemin atau Abah Epeng. “Epeng” merupakan nama panggilan ketika di atas pentas. Setelah Abah Epeng meninggal pada tahun 2011, penerus yang menggantikannya sebagai penari Belenderan bernama Mang Sarna yang kala itu berprofesi sebagai seniman Topeng Banjet. Tari Belenderan dipelajari Mang Sama dengan cara mengamati Abah Epeng saat menarikan tari Belenderan. melalui pengamatan mang Sarna kemudian terbentuklah pola gerak tari Belenderan saat ini. Adapun koreografinya tidak lepas dari gerak-gerak Pencak Silat gaya Karawangan.
Beberapa gerak tari Belenderan ada yang hampir sama dengan gerak topeng. Hal ini merupakan pengaruh dari pelaksanaan kedua tari tersebut (tari Belenderan dan Tari Topeng Banjet) yang biasanya berada dalam satu pertunjukan.
Rias dan busana pada tari Belenderan berkarakter lincah dan gagah, meski pada bagian rias wajah, tidak banyak penegasan-penegasan garis wajah kecuali penegasan pada bagian alis masekon, jambang mecut dan cedo pada bagian dagu.
Busana pada tari Belenderan berakar dari busana tari rakyat, dimana busana yang sering digunakan masyarakat pedesaan seperti baju pangsi, celana pangsi, iket (kain penutup kepala), sarung (kain penutup bagian pinggang hingga ke bawah). Begitu pula dengan pakaian yang dikenakan dalam tarian ini, secara garis besar terdiri dari atribut-atribut pakaian khas masyarakat Sunda.
Adapun fungsi tari Belenderan pada masa dahulu adalah untuk menyambut para petani yang pulang setelah tandur (menanam padi). Sambutan dengan menarikan Tari Belenderan memiliki nilai dan makna hiburan kepada para petani yang lelah setelah melakukan aktivitas tandur. Saat ini, Tari Belenderan juga dipentaskan pada upacara pernikahan, khitanan, dan kaul. Selain itu, beberapa instansi pemerintah dalam lingkup Kabupaten Karawang juga terkadang meminta group Tari Belenderan untuk tampil dalam momen-momen tertentu. (Irvan Setiawan)
Sumber:
Fitriyani, Eka (2017), “Tari Belenderan Di Grup Puspa Sari Pimpinan Abah Tirta Tempuran Kabupaten Karawang”, Skripsi, Bandung: Fakultas Pendidikan Seni dan Desain, Universitas Pendidikan Indonesia
Rostiyati, Ani, dkk., (2019). “Estetika dan Identitas pada Seni Tari Blenderan dari Karawang”, Laporan Pengkajian Pelestarian Nilai Budaya. Bandung: BPNB Jabar.