Ngabuburit bersama Kang Kimung dan Sukmaraksa
Dua Maestro seni, Kang Kimung dan Sukmaraksa. Terpisah oleh jarak, berkolaborasi dalam satu pagelaran “Ngabuburit bersama Kang Kimung dan Sukmaraksa”. Pagelaran yang diselenggarakan oleh BPNB Jabar ini dapat disaksikan pada tanggal 30 April 2020 pukul 16.00 – 16.30 WIB melalui live streaming di chanel https://youtube.com/BPNBJabar. Dalam pagelaran ini, mereka akan berkolaborasi menghentakkan spirit para generasi muda agar tidak tidak terombang ambing dalam arus seni global. Padahal, dalam jatidiri mereka sebenarnya sudah tertanam roh seni budaya yang mampu untuk dikembangkan, dikolaborasikan, dan dipresentasikan kepada dunia. Pengalaman dan banyak kisah tentang proses penemuan jatidiri ini akan “didongengkan” dan dipentaskan melalui live streaming di chanel https://youtube.com/BPNBJabar.
Karinding, adalah salah satu alat seni tradisional masyarakat Sunda menjadi kata kunci dalam dongeng mereka. Sebuah dongeng tentang bagaimana luluhlantaknya hati seorang Kimung dan sekelompok pemuda “Sukmaraksa” yang sebelumnya sudah pernah merasakan pahit getirnya terbawa arus seni global. Melalui Karinding, mereka merasa telah menemukan kembali jatidiri sesungguhnya, untuk kemudian diperdalam dan menjadikan Karinding sebagai sebuah alat seni yang fleksibel, yang mampu dikolaborasikan dengan berbagai jenis musik, bahkan dengan musik cadas sekalipun. Berikut sekelumit profil mereka.
Sukmaraksa
Dari Soreang, Bandung Selatan, @sukmaraksa bergerak sejak 2011 mewarnai percaturan ranah musik karinding. Populer dengan singel-singel keren “Kageuing” dan “Sukma Saksi Waruga”, Sukmaraksa sempat merekam dan mempublikasi lagu-lagu mereka dan mendapat respon yang sangat baik dari para pecinta karinding. Belakangan, mereka menggebrak dengan lagu “Abah Wiranta” yang kemudian mereka rekam untuk Kompilasi Karinding. Lagu ini sangat kental dengan nuansa rock balada yang berkelindan dengan hibrida musikal karinding.
Konsistensi kemudian menjadi kunci utama bagaimana Sukmaraksa tetap bertahan dan aktif mewarnai ranah musik karinding. Ini juga yang kemudian menjadikan Sukmaraksa menjadi salah satu kunci dan simpul yang terus menandai dinamika pergerakan musik karinding Soreang, dan tentu saja Indonesia. Sukmaraksa kini tengah mempersiapkan album pertama mereka.
Kang Kimung
Iman Rahman Anggawiria Kusumah, atau akrab di panggil Kimung, lahir di Bandung, 28 Februari 1978. Ia adalah generasi pendobrak komunitas musik metal tertua di Indonesia, Ujungberung Rebels. Tahun 1995 mendirikan Burgerkill, sebelum kemudian berkelana di banyak band. Di masa yang sama, Kimung juga merintis zine pertama di Indonesia, Revograms Zine yang kemudian menjadi tonggak penting hasratnya dalam menulis. Tahun 2002 Kimung merintis zine Minor Bacaan Kecil yang kemudian tahun 2005 bertransformasi menjadi Minor Books, penerbitan sekaligus sel riset kepenulisan sejarah musik independen Indonesia. Di tahun yang sama, Kimung mulai menulis buku berjudul “Sejarah Lokal Cianjur” bersama Prof. Reiza D. Dienaputra dan Agusmanon Yuniadi M.Hum. Setelah itu Berturut-turut ia menulis dan menerbitkan sendiri buku-bukunya, “Myself, Scumbag Beyond Life And Death (2007), “Memoar Melawan Lupa” (2011), “Jurnal Karat, Karinding Attacks Ujungberung Rebels” (2011), dan “Ujungberung Rebels Panceg Dina Galur” (2013).
Tahun 2008 Kimung mendirikan band Karinding Attack yang menjadi tonggak awal penelitian selanjutnya yang fokus ke kultur hibrida, terutama karinding. Sepuluh tahun selanjutnya Kimung berkeliling Jawa Barat dan Eropa untuk melakukan penelitian dan penulisan sejarah karinding. Buah dari komitmen ini, tahun ini Kimung sedang mempersiapkan penerbitan buku terbarunya”Sejarah Karinding Priangan”. Selain itu juga bersama kolektif para penulis Bandung sedang melakukan penulisan sejarah “Bandung Bawahtanah” yang terdiri dari sebelas buku bertema metal, punk, hardcore, hiphop, rock, pop & folk, musik elektronik, zine & media, merchandising, gigs, dan record label. Kini sehari-hari Kimung bekerja di lembaga pendidikan Atap Class, bermusik di proyek solonya, Jon Pasisian, dan mengelola label rekaman Paratuan Records. Bersama Prof. Reiza D. Dienaputra, ia juga aktif melakukan pengembangan metode sejarah visual di Indonesia. Jurnalnya bisa diikuti di www.pangaubankarinding.com atau instagram @kimun666
(Irvan)
Es Doger
Es yang sangat populer di wilayah kebudayaan Betawi ini banyak dijadikan sebagai minuman pelepas dahaga. Dewasa ini, es doger juga sering menjadi salah satu menu minuman untuk acara hajatan seperti pesta perkawinan dan sebagainya. Bahan yang digunakan adalah es batu diserut, kelapa muda diserut kasar, susu kental manis, tape singkong, ketan hitam rebus, pacar cina rebus, dan buah alpukat. Bahan untuk sirupnya adalah santan kental, sirup rozen, dan air. Cara pembuatannya adalah bahan sirup direbus sampai mendidih, lalu didinginkan, Serutan es dan kelapa muda dimasukkan dan diaduk rata. Es ini disajikan dengan irisan tape, ketan hitam, pacar cina dan susu kental manis.
Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Es Selendang Mayang
Pada daerah tertentu, masyarakat menyebut minuman ini Bendrong. Penamaan Es Selendang Mayang pun lebih karena faktor non teknis untuk membuat minuman ini lebih mudah dikenal karena namanya yang unik. Persebaran es ini banyak terdapat di daerah Petak Sembilan, Palmerah, dan sebagainya. Bahan yang digunakan adalah tepung sagu aren, tepung beras, garam, daun pandan suji, air, gula merah diiris-iris, dan air. Adapun sausnyaterdiri dari santan, daun pandan, dan garam. Cara pembuatannya adalah Tepung sagu aren, tepung beras, garam, daun pandan suji, dan air dicampur dan diaduk sampai tepung larut. Larutan tepung dimasukkan sambil terus diaduk sampai adonan menggumpal dan matang. Adonan diangkat lalu dituang dalam wadah dan didinginkan. Setelah dingin, selendang mayang dipotong-potong sesuai dengan selera. Gula merah dan air direbus sampai gula larut. Sirup dan gula merah dituang secukupnya, lalu ditambahkan selendang mayang dan es serut.
umber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Es Cincau Hijau
Es cincau hijau biasa disajikan sehari-hari dan lebih berfungsi untuk pelepas dahaga. Minuman ini juga sering disajikan pada pertemuan tidak resmi atau perjamuan sederhana. Pada sebagian masyarakat Betawi, es cincau ini juga kadang dipakai sebagai ramuan untuk mengobati penyakit tertentu. Bahan yang digunakan adalah gula pasir campur jahe, santan yang dimasak, garam, cincau hijau segar, dan es serut secukupnya. Adapun cara pembuatannya adalah sirup, santan, dan garam dicampur jadi satu, kemudian campuran ditambahkan cincau dan es serut. Selanjutnya, bisa diberi susu kental manis di atasnya.
Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Kopi Jahe
Kopi jahe yang dihidangkan hangat ini biasanya disajikan pada saat-saat tertentu jika ada tamu/keluarga jauh yang berkunjung. Di samping itu, minuman ini juga biasanya dihidangkan pada saat-saat tertentu seperti pada waktu sore hari yang merupakan waktu untuk minum teh/kopi. Bahan yang digunakan adalag kopi, susu kental, dan gula pasir secukupnya. Sedangkan bumbunya terdiri dari 1 ruas jahe, jari kayu manis, garda mom seed dibelah, cengkeh, daun pandan, air, dan garam secukupnya. Cara pembuatannya adalah Bumbu dimasukkan ke dalam air lalu didihkan. Bila sudah mendidih, kopi diseduh dengan air rebusan tanpa ampas bumbu. Susu dimasukkan apabila kopi sudah disaring dalam wadah lain. Terakhir, gula pasir ditambahkan seseuai selera.
Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Asinan Betawi
Makanan yang disebut sebagai asinan sebenarnya bukan hanya dikenal di kalangan masyarakat Betawi. Asinan juga dikenal ada di Bogor, Bandung, Cianjur, dan lain sebagainya, dengan khasnya masing-masing. Perbedaan yang nyata terlihat pada asinan Betawi yaitu asinan Betawi bahannya didominasi oleh sayur mayur yang dipadu dengan bumbu pedas manis dan diperkaya oleh rasa gurih dari kacang tanah goreng.
Bahan asinan Betawi ada: tauge, ketimun, kol besar, daun ketimun, tahu kecil, lokio, lobak putih, cabe merah, gula merah, cuka aren, kacang tanah, kerupuk mie, dan kerupuk bawang. Terkecuali taoge, masing-masing sayuran dipotong-potong, begitu pula dengan tahunya. Adapun bahan untuk bumbunya seperti cabe merah digerus, kacang tanah digoreng, dan gula merah dibuat larutan air gula. Menghidangkannya di atas piring dengan terlebih dulu menaruh sayuran kemudian di atasnya disiram kuah bumbu lalu
ditaburi kacang tanah goreng dan diberi kerupuk. Asinan terasa segar disantap di siang hari.
Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Emping Melinjo
Embel-embel melinjo pada nama emping menunjukkan kalau emping ini terbuat dari melinjo. Emping merupakan makanan dwi fungsi. Sesekali emping sebagai makanan ringan pendamping minum teh atau kopi, waktu lain sering menjadi pelengkap makanan berat seperti gado-gado, soto betawi, nasi uduk, nasi kuning maupun soto tangkar. Emping dikenal dari daerah Condet dan sekitarnya.
Emping hanya dibuat dari buah melinjo dan garam. Buah melinjo yang digunakan adalah buah melinjo yang tua. Buah tersebut dikupas lalu dijemur. Setelah buah kering lalu disangrai. Selanjutnya kulit bagian dalamnya masih harus dikupas lagi kemudian ditumbuk sampai pipih dan ditaburi garam secukupnya. Dari pekerjaan tersebut emping sudah sembilan puluh persen jadi. Pekerjaan terakhir adalah menjemur emping kembali sampai benar-benar kering. Emping yang tidak benar-benar kering akan tidak mengembang ketika digoreng dan dalam waktu yang lama akan timbul jamur. Ukuran emping bervariasi. Untuk mendapatkan ukuran emping yang besar caranya dengan menumbuk 3-4 buah melinjo menjadi satu sekaligus.
Emping melinjo merupakan makanan yang sifatnya tidak tahan udara, sejenis dengan kerupuk. Dengan demikian sudah pasti emping melinjo harus diwadahi dalam toples supaya rasa renyahnya bertahan lama. Pada acara jamuan yang dilakukan secara prasmanan, biasanya emping disajikan dalam sebuah piring panjang. Untuk menjaga agar emping tidak layu, setiap mengisikan emping ke piring tidak langsung dalam jumlah banyak. Manakala emping di piring akan habis baru diisi lagi. Emping nikmat disantap sebagai makanan ringan sebagai pendamping minum teh atau kopi.
Sumber: Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).
Rengginang
Secara fisik rengginang hampir serupa dengan ali bagente. Bedanya, rengginang dibuat dengan menggunakan beras ketan. Rengginang merupakan makanan ringan yang sering dibuat untuk acara hajatan dan menyambut hari Lebaran.
Beras ketan, bawang putih, garam, gula pasir, dan udang saih kering merupakan bahan-bahan rengginang. Bahan itu selanjutnya diolah dengan cara: beras ketan dicuci kemudian direndam dalam air selama satu malam. Udang saih kering disangrai sampai kering lalu digiling sampai halus. Dalam wadah yang lain, bawang putih dan garam digiling sampai halus kemudian dicampur dengan udang dan gula pasir. Ketika bumbu sudah siap, dicampurkan beras ketan ke dalamnya. Selanjutnya nasi yang masih panas dicetak dengan cara ditekan-tekan sampai padat dan rata. Jadilah rengginang namun masih dalam keadaan basah. Rengginang basah diangkat dan diletakkan diatas tampah lalu dijemur. Setelah rengginang kering disimpan di dalam wadah tertutup. Rengginang ini masih mentah dan sebaiknya digoreng ketika hendak disantap. Digorengnya dalam minyak panas. Agar tetap renyah, rengginang disimpan dalam toples. Rengginang cocok sebagai teman minum teh atau kopi.
Sumber: Sumber: Rostiyati, Ani., dkk. 2009. Ragam Makanan Tradisional Betawi. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung (Laporan Pendataan Kebudayaan).