Sejarah
merupakan bagian dari alur pemikiran yang bergerak dari masa lalu untuk
dijadikan bahan pertimbangan langkah-langkah di masa yang akan datang. Sebuah
perjalanan sejarah tidak hanya dimiliki oleh individu tetapi juga diterapkan
pula oleh sekelompok bahkan pada skala yang lebih besar lagi yaitu sebagai
sebuah bangsa, termasuk Bangsa Indonesia. Perjalanan yang penuh liku penjajahan
menyisakan beberapa kisah dan saksi bisu berupa bangunan-bangunan bersejarah
yang beberapa di antaranya hingga kini masih dirawat dengan baik
DKI
Jakarta sebagai sebuah ibukota negara Republik Indonesia berperan sangat
penting dalam mengelola pemerintahan mulai dari masa penjajahan hingga masa
kemerdekaan. Dengan demikian, bangunan-bangunan sebagai bagian dari
infrastruktur pemerintahan berikut faktor pendukungnya bertebaran di seantero
DKI Jakarta yang pada beberapa beberapa bangunan bersejarah tertentu masih
dirawat dan dipergunakan untuk mengelola pemerintahan termasuk di antaranya
adalah Istana Merdeka. Selain bangunan bersejarah, berbagai koleksi bersejarah
juga dengan mudah dapat kita temukan di berbagai museum yang ada di DKI
Jakarta. Salah satu di antaranya adalah Museum Gajah atau Museum Nasional.
Sama
halnya dengan DKI Jakarta, Provinsi Banten
yang sebelumnya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki peran
penting sebagai daerah penyangga Jakarta baik pada masa penjajahan maupun masa
kemerdekaan. Di wilayah ini banyak terdapat peninggalan sejarah sejak masa
Kesultanan Banten hingga masa kolonial yang hingga kini masih terawat dengan
baik di antaranya adalah Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, dan Masjid Agung.
Jakarta
dan Banten yang merupakan wilayah yang sarat dengan nuansa kesejarahan adalah
sebagian kecil dari sekian banyak peristiwa sejarah yang bertebaran di bumi
pertiwi yang harus dimaknai sebagai sebuah bukti bahwa Indonesia didirikan
tidak hanya dalam satu malam. Sebuah pengertian yang bersifat instan yang
memang pada saat ini banyak digandrungi oleh generasi muda. Sudah seharusnya
generasi muda mengerti akan arti dari sebuah proses yang harus dijalankan untuk
mewujudkan sebuah harapan. Harapan masyarakat Indonesia pada masa penjajahan
adalah sebuah kemerdekaan. Dan, perlu diingat bahwa kata merdeka adalah sebuah
langkah awal untuk menuju pada harapan besar Bangsa Indonesia yang diungkapkan
dalam Pancasila. Apabila dicermati bahwa tugas untuk mengisi kemerdekaan agar
sesuai dengan Pancasila diserahkan sepenuhnya pada generasi muda. Dengan
demikian, bukti-bukti sejarah yang tersebar di dua wilayah tersebut di atas
tidak menjadi sebuah pajangan yang tidak bermakna.
Guna
memaknai arti penting sejarah utamanya di dua wilayah tersebut, Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung secara rutin menyelenggarakan kegiatan
Lawatan Sejarah. Sebuah kegiatan yang mengajak siswa dan guru untuk mengenang,
mempelajari, dan memahami nilai sejarah. Kegiatan ini memang sengaja dibuat
seperti paket wisata agar para peserta secara tidak sadar mengarahkan alur
pemikirannya ke belakang untuk dibandingkan dengan masa kekinian sehingga bisa
memperoleh gambaran Indonesia pada masa yang akan datang.
a.
Mengenal informasi sejarah yang baru di
luar text book.
Pengalaman
di lapangan dapat dipakai sebagai pengayaan variasi informasi sejarah.
b.
Konteks
Kunjungan
lapangan (field trips) berangkat dari teks (wacana) ke realitas di
lapangan. Siswa mempelajari informasi tertulis di dalam kelas dan memahaminya
dalam konteks kenyataan di lapangan.
c.
Isu Tambahan
Kunjungan
lapangan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan topik atau
isu-isu lain yang bisa dijadikan bahan tulisan.
d.
Historical Mindedness
Dengan
belajar dari lapangan, siswa akan memperoleh apresiasi sejarah yang lebih
intens. Siswa selain mengetahui juga dapat mengerti dan memahami tentang objek
sejarah yang dipelajarinya.
e.
Refreshing
Kunjungan
lapangan juga berguna sebagai rekreasi.
Pelaksanaan
Lawatan Sejarah pada tahun anggaran 2015 meliputi tempat-tempat bersejarah di
DKI Jakarta dan Banten. Ditempat ini peserta akan mengunjungi, mengamati, dan
menganalisa situs-situs bersejarah tersebut. Selain mengunjungi situs
bersejarah, peserta juga diberi perbekalan pengetahuan tentang Narkoba mencakup
pengenalan, penyalahgunaan, dan pencegahannya.
A. Museum
Nasional
Museum Nasional
merupakan nama resmi dari salah satu instansi yang bernaung di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Masyarakat umum, terutama di wilayah DKI
Jakarta, lebih mengenal Museum Nasional dengan istilah Museum Gajah atau Gedung
Gajah. Penamaan ini lebih ditujukan pada ciri khas Museum Nasional yaitu
berupa patung gajah pemberian raja Thailand yang ditaruh tepat di depan pintu
utama. Selain itu, masyarakat umum juga mengenal Museum Nasional dengan nama
Gedung Arca. Hal ini disebabkan sangat banyaknya arca-arca yang menjadi salah
satu koleksi Museum Nasional.
Sebagai
sebuah instansi yang berada di bawah naungan Kemdikbud, visi misi Museum
Nasional harus selaras dengan visi misi Kemdikbud. Adapun visi Misi Museum Nasional adalah “Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat
informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan
peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan national, serta memperkokoh
persatuan dan persahabatan antar bangsa”.
Cikal
bakal berdirinya Museum Nasional dimulai pada tanggal 24 April 1778. Pada
tanggal tersebut, De Hollandsche
Maatschappij der Wetenschappen (perkumpulan ilmiah Belanda) membuat sebuah
himpunan bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen,
yaitu sebuah lembaga independen yang bertujuan memajukan penelitian dalam
bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi,
fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah. Salah satu rencana dari
lembaga ini adalah membuat sebuah museum. JCM Radermacher, salah seorang
pendiri lembaga ini, kemudian menyumbangkan rumah beserta koleksinya yang
berada di Jalan Majapahit No. 3 Jakarta untuk dijadikan Museum. Lama kelamaan
koleksi museum semakin bertambah sehingga tidak tertampung lagi. Pemerintah
Belanda kemudian pada tahun 1862 mendirikan bangunan museum baru di jalan Medan
Merdeka Barat No. 12. Bangunan inilah yang hingga kini masih dipertahankan dan
dikenal dengan nama Museum Nasional.
Koleksi
Museum Nasional terdiri dari berbagai macam jenis, di antaranya
koleksi sejarah, keramik, geografi, prasejarah, etnografi, numismatik, dan
heraldik. Dengan begitu banyaknya jenis dan jumlah koleksi, pengelola Museum
Nasional dituntut kreatif untuk dapat lebih banyak lagi menarik pengunjung.
Oleh karena itu, Museum Nasional tidak saja hanya mengandalkan koleksi benda
bersejarah, tetapi juga kerap mengadakan eksibisi dan event-event. Pada tahun 2014, salah satu
kegiatan Museum Nasional adalah mengadakan Festival 236 Tahun MNI yang digelar
selama sepekan, dimulai pada tanggal 17 sampa dengan 24 Mei 2014. Baru-baru
ini, pada tanggal 14 Februari 2015, Museum Nasional mengadakan Jakarta Student Art Festival yang diisi
dengan kegiatan mewarnai, menggambar, dan vokal group.
Keraton Surosowan
dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin selama kurun waktu 4 tahun,
yaitu dari tahun 1522 – 1526. Arsitek pembangunan situs bersejarah ini,
salah satunya berkebangsaan Belanda yang telah masuk Islam, yaitu Hendrik
Lucasz Cardeel yang berganti nama menjadi Pangeran Wiraguna. Dibangun di atas
lahan seluas 3 hektar, sekeliling keraton diberi pembatas tembok setinggi 3
meter sehingga mirip sekali dengan benteng.
Untuk
masuk ke Keraton Surosowan, dibangun 3
buah gerbang yang berada di sebelah utara, timur, dan selatan. Bahan untuk
membuat Gerbang terdiri dari batu karang dan batu bata yang dibangun pada masa pemerintahan
Maulana Yusuf sebagai Sultan kedua Banten pada tahun 1570 sampai 1580.
Memasuki
pintu gerbang, pengunjung akan menjumpai bangunan-bangunan yang berhubungan
dengan air. Salah satu yang terkenal adalah sebuah kolam
yang diberi nama Kolam Rara Denok. Kolam
sepanjang 30 meter, lebar 13 meter, dengan kedalaman 4,5 meter memiliki sumber
mata air yang berasal dari Danau Tasikardi yang terletak sekitar 2 kilometer
dari Surosowan.
Di dalam
Komplek Keraton Surosowan juga terdapat pula Gedong Pakuwon yang berbentuk
persegi panjang dengan ukuran dinding sekitar 2 meter dan lebar 5 meter,
panjang sisi timur dan sisi baratnya kira-kira sekitar 300 meter. Kemudian
dinding sisi utara dan sisi selatan 100 meter maka luas secara keseluruhan
sekitar 3 hektar. Pintu masuk merupakan pintu gerbang utama terletak di sebelah
utara menghadap ke alun-alun.
Tahun
1605 dan 1607 benteng keraton sempat mengalami kebakaran hebat dan pada 21
Nopember 1808 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels bersama pasukan
militernya menghancurkan keraton ini.
Dinamakan
Keraton “Kaibon” yang berarti keibuan, karena Komplek Keraton Kaibon terletak
di Kampung Kroya ini dibuat untuk ibunda Sultan Syafifuddin yang bernama ibu
Ratu Aisyah. Pada tahun 1832 keraton ini dibongkar pada masa pemerintahan
Jenderal Daendels. Penyebabnya adalah bahwa Sultan
Syafifuddin menolak perintah Daendels
untuk meneruskan pembangunan jalan Anyer– Panarukan. Bentuk penolakan tersebut
disertai dengan pemenggalan Du Puy, utusan Belanda.
Meskipun
dihancurkan, kondisi Keraton Kaibon yang saat ini masih dapat dilihat tidaklah
separah Keraton Surosowan yang tidak menyisakan struktur bangunan pokok.
Setidaknya, Keraton Kaibon masih menyisakan struktur bangunan yang masih
berdiri tegak. Pintu Paduraksa juga masih kokoh berdiri. Ada kesamaan antara
Keraton Kaibon dengan Keraton Surosowan adalah unsur air yang mengelilingi
seluruh bangunan. Penggunaan unsur air bertujuan sebagai pendingin ruangan dan
bangunan mengingat kondisi cuaca di wilayah tersebut tergolong sangat panas.
Dengan demikian, seluruh ruangan dan bangunan tidak lepas dari saluran air yang
dialirkan melalui bagian bawah. Sementara untuk membuat lantai dan atap
bangunan digunakan balok kayu berukuran besar. Bahan-bahan yang sama juga
digunakan untuk membangun mesjid yang kala itu berdiri megah dan terkesan mewah
dan dimasukan sebagai bangunan inti keraton.
Bangunan
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama berdiri di atas tanah seluas 778 m2
dari keseluruhan luas yang dimiliki museum yaitu 10.000 m2. Peresmian
museum dilakukan pada tanggal 15 Juli 1985 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan
yang kala itu dijabat Prof.DR. Haryati
Soepadio.
Koleksi
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama terbagi
atas koleksi asli dan replika. Terdapat juga koleksi dalam bentuk diorama, dan
maket, arkeologika, keramologika, numismatika/heraldika, etnografika, dan seni
rupa. Koleksi arkeologika antara lain terdiri dari kapak batu, arca nandi,
genteng berbagai bentuk dan ukuran, memolo/hiasan atap bangunan/pemuncak,
tegel, dan pagar besi berhias. Terdapat juga koleksi keramologika karena Banten
pada masa lalu memiliki industri gerabah yang cukup banyak. Hasil produksi
terdiri dari peralatan rumah tangga, unsur bangunan, dan kowi (wadah pelebur
logam).
Koleksi
numismatika menjadi salah satu andalan museum ini karena Banten pada masa lalu
sudah mampu membuat uang sendiri. Selain koleksi mata uang Banten, terdapat
juga berbagai jenis koleksi mata uang asing seperti caxa (Cina), mata uang
VOC, mata uang Inggris, dan Tael.
Koleksi
etnografika cukup mengundang perhatian pengunjung karena Banten pada masa lalu
juga sudah mampu membuat kain dan pakaian sendiri. Terbukti dengan beberapa
koleksi peralatan tenun dan pakaian. Koleksi etnografika juga diisi dengan
berbagai jenis senjata dan laat-alat kesenian.
Koleksi
seni rupa lebih diarahkan pada diorama dua dimensi yang menggambarkan kondisi
Banten terutama pada masa kerajaan, seperti lukisan pelabuhan Banten, Pasar
Karangantu, dan lukisan para sultan yang pernah menjabat.
Masjid
Agung Banten Lama merupakan salah satu situs peninggalan bersejarah yang
menempati lahan seluas 1,3 hektar yang dikelilingi tembok setinggi kurang lebih
1 meter yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570),
putra pertama dari Sunan Gunung Jati.
Pada keempat arah
mata angin terdapat masing-masing sebuah gapura. Menara masjid menggunakan
bahan batu bata yang menjulang setinggi 24 meter dengan diameter 10 meter menjadi
ciri khas situs bersejarah ini. Ciri khas lainnya adalah atap bangunan utama
yang bertumpuk lima, mirip pagoda China hasil desain seorang arsitek Cina
bernama Tjek Ban Tjut.
Selain
menara, terdapat sebuah konstruksi tembok persegi delapan yang dikenal dengan
nama istiwa, bencet atau mizwalah yang digunakan sebagai pengukur waktu dengan
memanfaatkan bayangan akibat sinar matahari. Dua buah serambi yang dibangun
kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama.
Bangunan
masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang (soko guru), empat tiang utama
terletak pada bagian tengah ruangan. Pada bagian bawahnya terdapat empat buah
umpak batu berbentuk buah labu. Mihrab terdapat pada dinding sebelah barat
berupa ceruk tempat imam memimpin shalat.
Dinding
timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur yang mempunyai bentuk atap
limas. Pada dinding ini terdapat empat buah pintu masuk yang rendah. Setiap
orang yang masuk ke ruangan utama harus menundukkan
kepala. Meski ia berasal status sosial tertentu,
ketika memasuki masjid semuanya sama.
Pengunjung
masjid tidak hanya berasal dari jamaah yang hendak melakukan shalat lima
waktu, tetapi cukup banyak di antaranya yang berstatus peziarah. Hal ini
dapat dipahami mengingat di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman
sultan-sultan Banten serta keluarganya. Di antaranya makam
Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu
Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam
Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.
Benteng Speelwijk
merupakan salah satu simbol kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di wilayah
Banten. Terletak sekitar 500 meter dari Masjid Agung Banten, di Kampung
Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen - Kota Serang.
Situs bersejarah ini terkesan masih berdiri kokoh. Hasil rancangan seorang
arsitek bernama Hendrick Loocaszoon Cardeel, benteng yang dibangun belanda pada
masa pemerintahan Sultan Banten Abu Nasr Abdul Qohhar (1672-1684) ini membutuhhkan
waktu 4 tahun, yakni 1681-1684.
Nama
Speelwijk diambil untuk menghormati Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
ke-14, yakni Cornelis Janszoon Speelman yang memerintah antara tahun 1681-1684.
Tidak seperti biasanya para penjajah yang membuat bangunan tanpa memohon izin
penguasa setempat, Benteng Speelwijk dibangun dengan memohon izin terlebih
dahulu kepada Sultan Qohhar dengan alasan sebagai tempat berlindung dari
serangan rakyat Banten terutama para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa.
Pembangunan Benteng Speelwijk juga tidak menggunakan tenaga dari rakyat Banten,
melainkan dari orang-orang Cina denga upah yang
sangat rendah. Bahan utama pembuatan benteng terdiri dari Pasir, batu, dan
kapur yang dicampur dengan menggunakan media air. Mereka membangun benteng
dengan tembok pertahanan setinggi 3 meter mengelilingi bangunan di dalamnya
yang terdiri dari rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi,
toko kompeni dan kamar dagang. Dibuatkan juga parit yang mengelilingi tembok
sebagai upaya mempersulit musuh untuk masuk dan menyerang benteng.
Saat ini
Benteng Speelwijk sudah dalam kondisi rusak namun masih nampak kekokohannya.
Bagian bangunan yang terbuat dari batu juga terkesan masih utuh berdiri. Tidak
jauh dari lokasi Benteng, terdapat sebuah bangunan vihara yang diberi nama
Vihara Avalokitesvara.
Vihara
Avalokitesvara telah berdiri sejak abad ke-16, tepatnya tahun 1542. Vihara
Avalokitesvara didirikan oleh istri Sunan Gunung Jati, yang memang merupakan
keturunan Tionghoa bernama Ong Tien Nio. Versi lain menyebutkan, vihara ini
dibangun pada tahun 1652. Yaitu pada masa emas kerajaan Banten saat dipimpin
oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Awalnya lokasi
vihara ada di Desa Dermayon, namun dipindahkan pada tahun 1774 ke lokasi yang
sekarang ini, yaitu di kawasan Pamarican Kecamatan Kasemen. Tahun 1932, vihara
ini pernah dilakukan pemugaran. Pada tanggal 26-27 Agustus 1883, saat Gunung
Krakatau meletus dan diiringi dengan tsunami, konon orang-orang yang berlindung
di dalam vihara ini berhasil selamat.
Saat
ini, Vihara Avalokitesvara merupakan kelenteng Tri Dharma, yang melayani para
pengikut tiga aliran kepercayaan, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme dan Buddha. Di area
kelenteng terdapat 16 patung dewa dan tiang batu yang berukir naga. Pernah
terjadi kebakaran yang menghanguskan sebagian besar bangunan. Di antara
benda-benda yang berhasil diselamatkan adalah Patung Dewi Kwan Im
yang telah berusia ratusan tahun. Patung Dewi Kwan Im
inilah yang menghiasi altar utama vihara yang memiliki luas sekitar 10 hektar
ini
Tasikardi adalah
nama sebuah danau buatan yang terletak di Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,
Kota Serang, Provinsi Banten. Pembangunan Danau Tasikardi dilakukan pada masa
pemerintahan Panembahan Maulana Yusuf yang bertahta antara tahun 1570 hingga
1580 M. Terdapat beberapa fungsi dari pembuatan danau buatan ini, di antaranya
sebagai tempat peristirahatan sultan dan keluarganya. Selain itu, limpahan air
danau yang berasal dari Sungai Cibanten ini dapat dimanfaatkan untuk mengairi
persawahan di sekitarnya dengan menggunakan sistem irigasi. Jalur irigasi juga
melintasi bagian bawah Keraton Surosowan yang disalurkan melalui pipa tanah
liat untuk difungsikan sebagai sistem pendingin ruangan.
Danau
Tasikardi memang terlihat jelas merupakan sebuah danau buatan. Hal ini terlihat
jelas dari pinggiran danau seluas 5 hektar ini yang dilapisi ubin batu bata. Di
tengah danau dapat dijumpai sebuah “pulau” berisi bangunan yang berfungsi
sebagai tempat bertafakur ibunda sultan. Fungsi bangunan tersebut kemudian
berkembang menjadi tempat peristirahatan keluarga kesultanan. Bangunan yang
didirikan di antaranya kolam penampungan air, pendopo, dan kamar mandi keluarga
kesultanan. Saat ini yang tersisa saat ini hanya pondasinya saja, yaitu bangunan
turap yang mengelilingi pulau berukuran 40 meter x 40 meter dengan ketinggian
2-3 meter.