WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Hahiwang Seni Bertutur Lampung Yang Terancam Punah

Hahiwang, seni tutur tradisional Lampung menjadi salah satu dari 17 karya budaya yang baru ditetapkan sebagai sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) nasional. Tetapi, hal ini menjadi paradoks baru karena kesenian ini justru hampir punah di era milenial.

Sakik sikam ji nimbang / Sakit rasanya luar biasa

Kak kapan ago segai / Bila akan berakhir

Hiwang ni sanak malang / Syair anak malang

Sikal kilu mahap pai / Sebelumnya minta maaf bila ada silap

Hgatong mangedok sai di usung / Datang tak ada yang dibawa

Ya gila sanak aghuk / Inilah bocah tak berdaya

Apak ni saka lijung / Telah lama menghilang

Sisi di tinggal induk / Sedih ditinggal ibunda

Mangedok daya lagi / Tak punya kekuatan lagi

Sikam ghatong jak bungkuk / Aku datang dari ketiadaan

Nyeghahko jama kuti / Memberitahu kepada kalian

Tabikpun di puskam kaunyinna, kalau ya keteghima / Salam hormat kepada kalian semua, semoga diterima

(Ali Gufron, Jurnal Patanjala Vol. 9 No. 3 September 2017, halaman 406)

Demikian sepenggal hahiwang di atas, sebuah pengantar mengenai kisah seorang anak yang ditinggal ibunya yang meninggal dunia. Kesedihan yang tidak terperi, kehilangan sosok penguat, sosok yang dicintai sepenuh hati.

"Hahiwang itu ungkapan kesedihan. Misalnya tentang kematian, tentang putus pacara, tentang merantau jauh. Tetapi di balik kesedihan itu ada banyak pesan-pesan moral kepada pendengarnya," kata Budayawan Lampung, Zulkarnain Zubairi, Sabtu, (27/9)

Hahiwang adalah seni tutur Lampung menyerupai puisi yang menggunakan bahasa Lampung. Kondisinya sekarang dapat dikatakan hampir punah, hanya terbatas pada habitat aslinya, di komunitas-komunitas kecil.

Kesenian ini sendiri telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai satu dari 17 warisan budaya tak benda (WBTB) nasional dari daerah Lampung. 16 budaya lainnya yakni, tradisi Ngunduh Damakh, Ngejalang, Hadra Ugan, Tari Ittar Muli, Seni Ringget, Seni Panggeh, Adat Ngakuk Maju, dan Adat Blangiran. Kemudian, Pengangkonan Anak, Tari Selapanan, Bedikekh, Muwaghei, Tari Debingi, Tradisi Mukew Sahur, Adat Adok, dan Seni Pincak Khakot.

Tetapi, kabar menggembirakan itu menjadi paradoks baru. Meski telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional, keberadaan hahiwang justru semakin terancam punah.

Peraih Rancage Award 2008 itu mengakui, Hahiwang memang sudah termasuk langka. Penuturnya hanya seniman-seniman lama dan berada di wilayah-wilayah pelosok Lampung seperti Krui (Lampung Barat) ataupun pelosok lain.

Dibandingkan tradisi lain yang memiliki bentuk nyata seperti tarian ataupun ilmu bela diri, sehingga mampu bertransformasi menjadi seni pertunjukan, hahiwang yang adalah seni lisan sangat tergantung dari eksistensi penggunaan bahasa ibu oleh masyarakat.

"Hahiwang sejatinya memang bukan seni pertunjukan. Hahiwang ini adalah ungkapan kesedihan, misalnya ibunya meninggal dunia lalu ber-hahiwang, semua diungkapkan karena itu sebenarnya adalah pesan kepada yang hidup," sambung Zulkarnain.

Zulkarnain mengungkapkan, karena merupakan seni bertutur, maka berkaitan erat dengan pengunaan bahasa. Menurutnya, bagaimana bisa lestari jika penutur Bahasa Lampung sendiri makin berkurang. Zulkarnain memperkirakan jumlah penutur Bahasa Lampung saat ini hanya berkisar 20%.

“Jadi, untuk membangkitkan (hahiwang) itu tidak bisa hanya dengan pengakuan saja, seperti WBTB itu. Tetapi juga seharusnya melestarikan bahasa penuturnya. Seiring kebertahanan Bahasa Lampung, maka hahiwang dan seni lisan lain juga akan pasti lestari," kata dia.

Hal ini tidak lepas dari empat faktor bagaimana sebuah bahasa bisa bertahan. Keempat faktor itu, kata Zulkarnain, yaitu berbicara, mendengar, menulis, dan membaca. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain. "Ketika tulisan dibaca, maka ada yang mendengar," katanya.

Oleh karena itu, kata Zulkarnain, seharusnya khusus untuk tradisi seni lisan keempat faktor itu patut menjadi perhatian. Pelestarian bukan hanya terfokus pada kesenian itu, tetapi juga faktor-faktor pendukungnya.

"Ada pertanyaaan, jika saya melestarikan suatu tradisi, apakah itu untuk saya dan masyarakat saya, misalnya etnis Lampung atau untuk kebanggaan saja, sekadar ekspos saja? katanya.

Keterkaitan pelestarian bahasa ibu ini juga terjadi pada tradisi dan kesenian tutur lain yang juga mulai terancam punah yakni Gitar Tunggal Lampung. Ryan Bekri, seniman Gitar Tunggal Lampung asal Way Kanan mengatakan, kesenian ini mulai dilupakan seiring pelakunya yang juga berkurang.

Lagu Gitar Tunggal Lampung memiliki makna tak terpisahkan sejak intro sampai akhir lagu. Penciptaan lagu pun tidak bisa sembarangan dan dinyanyikan tanpa mengetahui lagamnya. Menurutnya, ada berpuluh-puluh lagam petikan pada gitar tunggal Lampung, diantaranya Petikan Serai Kasih, Kembang Kancang, Keroncong Pandan, Sekandu, Setimpal, atau Keris 1 sampai 3.

"Ilmu turun temurun. Selain harus menguasai alurnya, juga harus tahu petikannya. Dahulu ilmu ini turun melalui pergaulan. Tapi bagaimana bisa, jika berbahasa Lampung juga tidak bisa?" katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung Sulpakar mengatakan, secara umum penetapan ke tujuh belas tradisi sebagai warisan budaya tak benda nasional adalah upaya pemerintah untuk pelestarian dan perlindungan karya budaya.

Dia menambahkan, pihaknya akan terus mencatat dan meregistrasi kekayaan kebudayaan Lampung agar bisa diakui baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena, Lampung masih memiliki kekayaan budaya yang belum ditemukan.

"Agar generasi mendatang masih bisa menikmati karya budaya ini. Tahun depan ditargetkan sebanyak 28 (tradisi), dan data ini harus sudah masuk pada akhir tahun ini. Kita berharap, kita bisa mengajukan dengan kriteria yang dimaksud," kata Sulpakar.

Sumber: https://www.gatra.com/news-447724-milenial-hahiwang-seni-bertutur--lampung-yang-terancam-punah.html

Popular Posts