Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.[1]
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai makna peninggalan sejarah memerlukan waktu yang cukup memadai, karena pemahaman mengenai makna peninggalan sejarah menyangkut tiga hal yang saling berkaitan. Pertama, memiliki kesadaran sejarah yang cukup tinggi. Kedua, memahami nilai benda peninggalan sejarah, baik nilai konkret maupun nilai abstrak (nilai yang memiliki makna filosofis). Ketiga, memahami fungsi sejarah, baik fungsi intrinsik maupun fungsi ekstrinsik[2]). Ketiga hal tersebut merupakan landasan untuk memahami makna peninggalan sejarah.
Oleh karena waktu yang tersedia untuk membicarakan masalah tersebut sangat pendek, maka makna peninggalan sejarah di Purwakarta hanya dikemukakan secara garis besar. Pembahasan ditekankan pada inti maknanya bagi jati diri, khususnya jati diri masyarakat Purwakarta.
PENINGGALAN SEJARAH DI PURWAKARTA
Sejarah Purwakarta mencakup kurun waktu sangat panjang. Bertolak dari berdirinya kota Purwakarta tahun 1831 (20 Juli 1831), perjalanan sejarah Purwakarta mencakup waktu lebih dari satu setengah abad. Dalam kurun waktu itu, sejarah Purwakarta secara garis besar mencakup tiga zaman, yaitu Zaman Penjajahan Belanda (1831-1942), Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Zaman Kemerdekaan yang diawali oleh Zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-sekarang).
Pada setiap zaman terjadi peristiwa-peristiwa penting, baik berskala besar maupun kecil. Peristiwa-peristiwa itu meninggalkan "saksi bisu", yaitu benda-benda peninggalan sejarah. Sesuai dengan tema seminar, yaitu Peninggalan Sejarah Sebagai Obyek Wisata di Purwakarta, peninggalan sejarah di Purwakarta yang akan dibicarakan adalah peninggalan sejarah yang berupa bangunan dan tempat/lahan (situs sejarah).
a. | Bangunan | : | Bumi Ageung, Pendopo, Masjid Agung, Gedong Kembar gedung bekas kantor keresiden, dan stasion kereta api. |
b. | Tempat/Lahan | : | Situ Buleud dan tempat bekas pertempuran. |
Di antara peninggalan sejarah (benda-benda bernilai sejarah) itu, Gedong Kembar dan Stasion Kereta Api, terkesan kurang terawat.
MAKNA PENINGGALAN SEJARAH BAGI JATI DIRI
Terlepas dari kondisi fisiknya, peninggalan sejarah tersebut, bila dikaji secara seksama, memiliki arti penting bagi masyarakat dan juga pemerintah daerah Purwakarta untuk lebih memahami jati dirinya. Dalam arti luas, jati diri bukan hanya mengacu pada awal keberadaan masyarakat, tetapi mencakup jati diri masyarakat dari generasi ke generasi yang menyangkut kiprah yang menunjukkan kepribadian dan budaya masyarakat yang bersangkutan.
Seperti telah dikemukakan, untuk memahami makna peninggalan sejarah, kita harus memiliki kesadaran sejarah cukup tinggi. Dalam hal ini, masyarakat Purwakarta seyogyanya mengetahui sejarah daerahnya. Sekarang, sejarah Purwakarta yang mencakup tiga zaman seperti telah disebutkan, telah disusun dengan uraian cukup komprehensif.
Jika sejarah Purwakarta diketahui dengan baik, maka akan dipahami beberapa hal yang menyangkut benda-benda peninggalan sejarah di Purwakarta. Beberapa hal yang akan dipahami adalah:
keterkaitan benda-benda peninggalan sejarah dengan peristiwa tertentu; letak dan kadar nilai benda-benda itu, baik nilai sejarah maupun nilai budaya dan nilai lain; makna yang terkandung dalam nilai benda-benda peninggalan sejarah.
Berlandaskan pemahaman akan hal-hal tersebut – lebih-lebih bila disertai oleh pemahaman akan fungsi sejarah –, akan dipahami bahwa fungsi, nilai, dan makna benda-benda peninggalan sejarah itu erat kaitannya atau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jati diri masyarakat daerah yang bersangkutan.
Dengan diketahuinya fungsi dan keterkaitan Bumi Ageung, pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Situ Buleud dengan momentum berdirinya kota Purwakarta yang diresmikan tanggal 20 Juli 1831[3]), akan dipahami bahwa bangunan-bangunan dan tempat itu merupakan "tonggak" sejarah Purwakarta sekaligus "tonggak" jati diri masyarakat Purwakarta. Dikatakan demikian, karena ketiga bangunan dan Situ Buleud itu merupakan infrastruktur pertama kota Purwakarta yang dibangun oleh masyarakat Purwakarta. Bumi Ageung, pendopo Situ Buleud dan Masjid Agung dibangun antara tahun 1830-1831. Dengan kata lain, awal keberadaan benda-benda itu menunjukkan awal munculnya masyarakat Purwakarta dalam panggung sejarah.
Pemahaman fungsi sejarah sebagai media informasi dan media pembelajaran, akan memperkuat arti penting makna benda-benda peninggalan sejarah bagi pemahaman jati diri. Sejarah Jawa Barat menginformasikan, bahwa pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, beberapa pendopo kabupaten di Jawa Barat yang semula dibangun oleh pemerintah pribumi (kabupaten) dengan arsitektur tradisional, diubah oleh pemerintah kolonial menjadi bangunan permanen dengan arsitektur modern. Akan tetapi pendopo di kota Purwakarta dan Bandung hampir tidak mengalami perubahan. Hal itu mengandung pelajaran, bahwa masyarakat di kedua daerah itu, yang diwakili oleh tokoh masyarakat, khususnya bupati, memelihara dan mempertahankan "tonggak" jati diri, walaupun mereka berada di bawah kekuasaan penjajah (kolonial Belanda).
Seperti diketahui, khususnya oleh masyarakat Purwakarta, sebagian bangunan bersejarah di
Selain Situ Buleud, di daerah Purwakarta juga terdapat tempat lain yang bernilai sejarah, yaitu tempat-tempat bekas terjadinya pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan (zaman revolusi kemerdekaan). Tempat-tempat itu merupakan "saksi bisu" akan sikap dan semangat juang mempertahankan kemerdekaan dan kepribadian. Secara filosofis, kemerdekaan merupakan unsur jati diri. Bila kita tidak merdeka karena tindakan anasir asing, kita akan kehilangan kepribadian yang berarti kehilangan jati diri.
Semua bangunan dan tempat bernilai sejarah tersebut, sampai sekarang masih ada. Berarti peninggalan sejarah itu – disadari ataupun tidak – merupakan bagian dari jati diri masyarakat Purwakarta yang memiliki makna atau fungsi sebagai media pemahaman jati diri masyarakat dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, peninggalan sejarah itu merupakan cerminan eksistensi masyarakat Purwakarta dalam perjalanan sejarahnya. Melalui pemahaman sejarah, akan diketahui gambaran kekuatan, kelemahan, keberhasilan, dan kegagalan dalam proses kehidupan masyarakat atau bangsa, bahkan individu.
Secara teori dan filosofis, pemahaman secara baik akan hal-hal tersebut, akan menjadi motivasi untuk meningkatkan etos kerja atau semangat dalam menjalani kehidupan. Hal itu merupakan faktor dasar sekaligus potensi yang penting artinya bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, termasuk di dalamnya pembangunan/ pembinaan masyarakat.
Pemahaman akan hal-hal tersebut, seharusnya lebih menyadarkan pemerintah daerah dan masyarakat untuk memelihara dan melestarikan peninggalan sejarah, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang No. Tahun 1992[4]) Tentang Benda Cagar Budaya. Berdasarkan usia dan nilainya, peninggalan sejarah di Purwakarta tersebut di atas sudah termasuk benda cagar budaya (BCB). Undang-undang itu (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 19 ayat 1) menegaskan, bahwa BCB harus dipelihara dan dilestarikan, karena memiliki arti penting bagi penelitian sejarah, ilmu pengetahuan, dan bagi kemajuan kehidupan sosial budaya.
Amanat undang-undang tersebut secara tersirat menunjukkan, bahwa peninggalan sejarah yang notabene memiliki nilai budaya, merupa-kan salah satu unsur atau bagian dari jati diri. Dikatakan demikian, karena jati diri merupakan akar budaya masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal itu, makna pokok peninggalan sejarah bagi jati diri masyarakat atau bangsa.
PENUTUP
Dari pembicaraan mengenai makna peninggalan sejarah – meskipun secara garis besar – dapat disimpulkan, bahwa peninggalan sejarah adalah bagian dari jati diri masyarakat atau bangsa. Pemahaman tentang hal itu akan diperoleh dengan baik apabila warga masyarakat memiliki kesadaran sejarah cukup tinggi dan dilandasi oleh sikap kritis, sehingga sejarah dipahami fungsi dan maknanya.
Mengenai pentingan makna sejarah bagi jati diri, sejarawan Arthur Schopenhauer mengatakan: "Hanya melalui sejarah, suatu bangsa menjadi sadar secara sempurna akan jati dirinya". Senada dengan pernyataan itu, Try Sutrisno selaku Wakil Presiden RI, dalam pidato sambutan pada pembukaan Kongres Nasional Sejarah di Jakarta tanggal 12 November 1996, antara lain menyatakan: "Sejarah sangat dibutuhkan dan penting dipahami oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri bangsa, guna mampu merancang dan mempersiapkan kehidupannya di masa mendatang". Kedua pernyataan itu pun, secara tersirat menunjukkan pentingnya makna peninggalan sejarah bagi jati diri.
Berdasarkan hal-hal tersebut, perkenankan saya mengimbau, hendaknya masyarakat Purwakarta, terutama para tokoh masyarakat dan tokoh pemerintahan, mengetahui sejarah Purwakarta dengan baik, agar pernyataan kedua toloh tersebut (Arthur Schopenhauer dan Try Sutrisno) dan ungkapan "sejarah sebagai obor kebenaran" bukan sekedar slogan, tetapi benar-benar dipahami dan dirasakan.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Purwakarta – bila belum memiliki – segera menyusun Perda mengenai pemeliharaan/pelestarian BCB dengan melibatkan pakar bidang terkait. Perda yang dilampiri uraian Undang-Undang No. 5 Tahun 1992, disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Dengan demikian, warga masyarakat akan lebih memahami arti penting dan makna peninggalan sejarah, baik bagi jati diri maupun untuk kemajuan masyarakat dan pembangunan daerah, karena BCB selain obyek sejarah, juga merupakan aset wisata yang potensial. Pemeliharaan dan pemanfaatan obyek sejarah dengan baik, merupakan cerminan dari adanya kesadaran sejarah.
SUMBER ACUAN
Abdullah, Taufik (ed.). 1985. Sejarah Lokal di Indonesia; Kumpulan Tulisan. Yogyakarta:
Alfian, T. Ibrahim. 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa Kini. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 12 Agustus 1985.
Ayatrohaedi (peny.). 1985. Pemikiran Tentang Pembinaan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud. Disjarahnitra. Proyek Pembinaan Kesadaran Sejarah dan Penjernihan Sejarah.
Hardjasaputra, A. Sobana (ed.). 2004. Inventarisasi Data Bangunan Bersejarah dan Toponimi. Bandung: Dinas Pariwisata Kota Bandung & Yayasan Kebudayaan Purbatisti.
--------. 2005. Nilai Benda Cagar Budaya dan Peranan Baing Yusuf di Purwakarta. Purwakarta: Dinas Kabudayaan dan Pariwisata Kabupaten Purwakarta.
Kunto, Haryoto. 2000. Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung. Bandung: Granesia.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. IV. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Walsh, W.H. 1970. An Introduction to Philosophy of History.
[1] Sejarawan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung
[2]) Fungsi instrinsik mengacu pada fungsi sejarah sebagai ilmu. Fungsi ekstrinsik mengacu pada fungsi pragmatis sejarah sebagai media pendidikan atau pembelajaran.
[3]) Atas dasar itulah sekarang tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Purwakarta.
[4]) Revisi dari Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931/Nomor 21 Tahun 1934.
Sumber: Makalah disampaikan dalam "Seminar Sejarah tentang Peninggalan Sejarah sebagai Obyek Wisata di Kabupaten Purwakarta" di Bandung tanggal 26 Juni 2007.