Abstrak
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa deskripsi. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara induktif dengan menggunakan pendekatan SWOT.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tata pameran tetap koleksi budaya pertanian orang Sunda Museum Sri Baduga terdapat kekurangan atau kelemahan. Oleh karena itu, dalam melakukan teknik penataan pameran tetap koleksi budaya pertanian orang Sunda harus memperhatikan sitematika atau story-line tata pameran yang sesuai temanya; koleksi budaya pertanian orang Sunda yang menunjang; teknik dan metode penyajian; serta sarana dan prasarana pameran.
Tata pameran tetap koleksi budaya pertanian orang Sunda Museum Sri Baduga yang baik, yaitu yang sesuai dengan konsep tata pamerannya dan memperhatikan segi fungsional dan estetis dalam penyajiannya.
Kata kunci :
Pengelola pameran, Koleksi budaya pertanian, Museum Sri Baduga
Abstract
The method used in this research is qualitative method. The collected data is qualitative data in terms of description. The data is analyzed through inductive analysis by using SWOT.
The result of the research indicates that there are some weaknesses on the display of Sundanese agriculture equipment collections at Sri Baduga Museum. Therefore, there are some important things to be paid attention in displaying Sundanese agriculture equipment collections namely; The first, the systematization and story-line should based on the theme of exhibition; the second, the Sundanese agriculture equipment collections should support the display of the collections; the third, the technique and method of displaying collections; and the last, the facilities of the exhibition.
The display of Sundanese agriculture equipment collections on the permanent exhibition of Sri Baduga Museum should be based on the concept of exhibiton Sundanese agriculture equipment collections by applying aesthetic and functional approaches in displaying the collections.
Key words:
Exhibition organizers, Sundanese agriculture equipment collection, Sri Baduga Museum
Fungsi kebaradaan museum Sri Baduga sangat penting sebagai pusat informasi, pusat pengetahuan, dan pusat penelitian tentang kebudayaan daerah (kebudayaan Sunda) dan dapat dirasakan manfaatnya. Sebagai pusat konservasi budaya, museum Sri Baduga memiliki peran yang sangat strategis dalam memelihara dan memperkenalkan kebudayaan, khususnya budaya materi, kepada masyarakat agar masyarakat dapat memahami dinamika dan keanekaragaman budaya yang ada. Pemahaman keanekaragaman budaya sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia yang bersifat multietnik, dengan pemahaman tersebut kelompok etnik tertentu diharapkan dapat menghargai dan mengerti budaya dari kelompok etnik yang lain.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992, pasal 22 ayat 1, disebutkan: “Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baik yang dimiliki oleh Negara maupun perseorangan dapat disimpan dan/atau dirawat di museum”, dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1995, pasal 1 ayat 1, tercantum: “Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa”. Adanya undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, jelas menunjukkan bahwa museum Sri Baduga sepatutnya menjadi satu-satunya institusi tempat penyimpanan benda-benda hasil budaya di Jawa Barat. Jika hal ini benar-benar dipenuhi, maka museum berkewajiban menampung semua benda cagar budaya bergerak (dapat dipindahkan) yang harus disimpan dan dirawat agar dapat dimanfaatkan dalam penelitian, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebagai sarana pemahaman sejarah dan budaya.
2. Masalah
Visi dan misi harus diwujudkan dalam penataan pameran budaya, baik materi maupun non-materi, yang dimilikinya agar museum benar-benar dapat menjadi salahsatu sarana untuk mewujudkan pembangunan bangsa; untuk meningkatkan pemahaman tentang budaya bangsa dalam rangka memperkokoh persatuan bangsa. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu hal yang terkait dengan Visi dan Misi, cara mewujudkannya, serta kode etik dan tanggung jawab pengelola dalam melaksanakan Visi dan Misi tersebut.
Pertama, hal yang terkait dengan Visi dan Misi museum Sri Baduga. Visi dan Misi sebagai panduan museum Sri Baduga dalam mengembangkan strategi kebijakan, pengembangan program, saat ini harus tidak lagi terpaku pada kebijakan internal, tetapi pernyataan misi harus juga mengacu pada kebutuhan pasar agar arti penting keberadaan museum dapat benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.
Kedua, untuk mewujudkan Visi dan Misi yang berbasis kepentingan pasar, diperlukan evaluasi terhadap program dan kegiatan museum Sri Baduga yang selama ini berlangsung. Hingga saat ini, program dan kegiatan museum hanya berlandaskan pada hasil kerja kuratorial yang terpaku pada latar belakang pengetahuan dan disiplin ilmu individu, sehingga kinerjanya stagnan pada satu atau beberapa wilayah yang dikuasai saja. Seharusnya, seorang kurator dapat mengembangkan ilmunya di museum dengan cara mendalami pengetahuan yang bersifat terapan, yaitu dengan mengangkat kajian/hasil penelitian yang relevan dalam proses pewarisan budaya masyarakat yang ada saat ini. Perubahan paradigma semacam ini dapat membawa pada program-program dan kegiatan museum yang lebih baik; sesuai dengan tujuan utama museum dengan tetap berpijak pada kebutuhan masyarakat.
Ketiga, kode etik pengelola museum harus tetap diperhatikan dan dilaksanakan oleh pengelola museum Sri Baduga. Harus disadari bahwa pengelola museum, mengemban amanat dan tanggungjawab yang sangat besar dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab pengelola museum bukan terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang bersifat rutin dan formal saja, tetapi yang terpenting adalah tanggung jawabnya terhadap publik sebagai pewaris budaya dari benda yang disimpan dan dirawat di museum Sri Baduga. Artinya, pengabdian pengelola museum Sri Baduga terhadap profesinya secara bertanggung jawab merupakan ujung tombak bagi berlangsungnya sistem pewarisan budaya.
Museum Sri Baduga, sebagai museum daerah, mengemban Visi dan Misi yang terkait dengan kebudayaan/hasil penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan Sunda atau kebudayaan-kebudayaan yang ada di Jawa Barat. Oleh sebab itu, eksistensinya korelatif dengan eksistensi tumbuh kembang dinamika budaya daerah setempat, dimana program-program dan koleksinya merupakan representasi dari seluruh budaya yang ada di Jawa Barat. Sebagaimana nama Sri Baduga sendiri diambil dari nama salah satu raja Sunda di kerajaan Pajajaran pada abad ke 16 (yang memerintah pada tahun 1482 sampai dengan 1521), jelaslah bahwa museum Sri Baduga sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Sunda/penelitian kebudayaan Sunda, dan koleksinya juga harus mendukung hal tersebut.
3. Tujuan
Museum Sri Baduga sebagai museum daerah yang cukup besar, memegang peran vital dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan kesejarahan dan kebudayaan, khususnya dalam mengangkat aset kekayaan sejarah dan kebudayaan daerah Jawa Barat. Museum Sri Baduga sudah seharusnya mampu menyediakan banyak informasi yang dibutuhkan berdasarkan dari hasil penelitian kepada masyarakat dan progresif melakukan kegiatan-kegiatan yang dipandang dapat menunjukkan identitas Jawa Barat.
Kenyataannya, berdasarkan pengamatan sementara, Museum Sri Baduga belum sepenuhnya mampu melaksanakan visi dan misinya sebagai pusat penelitian dan belum dapat dianggap mencerminkan secara keseluruhan tentang budaya Sunda: koleksinya kurang tertata dengan baik dan tidak memberikan gambaran yang runtut tentang budaya Tatar Sunda. Ketersediaan dan penataan koleksi di Museum Sri Baduga tidak lebih dari menampilkan benda mati yang tidak – setidaknya kurang – ’berbicara’ apa-apa. Mudah-mudahan hasil penelitian ini bisa memberikan masukan untuk lebih mengoptimalkan Museum Sri Baduga, agar lebih dikenal, lebih berperanan dalam melestarikan kebudayaan daerah.
4. Ruang Lingkup
Kesan ini tampak demikian kuat di Museum Sri Baduga, misalnya saja hal yang berkaitan dengan kepercayaan atau religi masyarakat Sunda, yakni upacara-upacara adat, kepercayaan terhadap Dewi Sri, belum nampak tergambarkan; tentang falsafah hidup orang Sunda dan sistem pengetahuan dengan sistematika Rawayan Jati (konsep hidup kasundaan yang berbasis budaya religius) kurang dapat dirasakan keberadaannya; kesenian tradisional seperti seni terebangan, seni benjang, dan kesenian samrah, belum tertampil secara informatif; sedangkan tentang tradisi sastra, pengetahuan tradisional masyarakat nelayan, dan sistem pengobatan tradisional belum dapat diapresiasi secara mudah, khususnya oleh pengamat awam.
Relevansi penelitian terletak pada sumbangsih pemikiran yang dihasilkannya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran agar museum Sri Baduga dapat memberikan kontribusinya secara maksimal, yaitu menjadikan Jawa Barat semakin dikenal secara luas dan menjadikan Jawa Barat sebagai salah satu tujuan utama wisata di Indonesia. Dengan dikenalnya tradisi dan budaya-budaya yang ada di Jawa Barat akan mengurangi dampak negatif dari kesalahpemahaman etnis-etnis budaya lain dalam memandang budaya Jawa Barat.
Penelitian ini diharapkan akan menjadi dasar dari peranan sebuah museum daerah, dalam ikut melestarikan serta memperkenalkan kebudayaan masyarakat Sunda, sebab museum Sri Baduga mempunyai tugas dan fungsi yang sangat penting dalam menjaga aset budaya daerah. Hasil penelitian ini akan dijadikan sebagai acuan, bagaimana memberdayakan, menata sebuah museum daerah agar lebih berperanan, memberikan kontribusinya kepada daerah, sebab sampai saat ini belum ada satu pun museum daerah yang ada di Indonesia yang dianggap sebagai lembaga yang aktif mensosialisasikan kebudayaan daerah. Dengan adanya museum Sri Baduga ini diharapkan masyarakat luas dan juga masyarakat mancanegara, bisa mengetahui dengan jelas keberadaan suku bangsa yang ada di Jawa Barat khususnya, mengetahui kehidupan sosial budaya dari beragam suku bangsa yang ada. Sehingga museum Sri Baduga bisa dijadikan sebagai sumber data, bahan mencari referensi terutama yang berkaitan dengan keberadaan suatu suku bangsa yang ada di Jawa Barat, kesejarahan, dan kebudayaan.
5. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif, sehingga perlu pengumpulan data secara mendalam, serta didukung dengan penyebaran angket kepada para responden yang telah berkunjung ke Museum Sri Baduga. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007: 4) metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data deskriptif, berupa hasil wawancara, observasi/pengamatan, dan pengumpulan data lapangan. Data kualitatif akan diperoleh berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengamatan pada objek (Museum Sri Baduga). Adapun untuk menjaring data secara mendalam bisa dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data antara lain sebagai berikut. dengan observasi atau pengamatan secara cermat terhadap obyek penelitian, dalam hal ini adalah suku bangsa yang dijadikan obyek penelitian, dan melakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada para informan. Objek yang diamati dalam penelitian adalah tata pameran tetap koleksi budaya pertanian orang Sunda, yang meliputi sistematika dan story line penataan koleksi budaya pertanian, koleksi peralatan pertanian yang dipamerkan, kelengkapan sarana pameran, metode dan teknik penyajian. Selain itu pengunjung juga merupakan objek lainnya, bagaimana pengunjung memperhatikan koleksi peralatan pertanian di ruang pameran tetap. Wawancara dilakukan kepada pihak pengelola Museum Sri Baduga (kepala museum, seksi-seksi yang berkaitan dengan pameran, tenaga teknis), dan pengunjung museum. Data hasil pengamatan, wawancara kemudian dianalisis dengan mempergunakan analisis SWOT. Hasil analisis kemudian diolah, sehingga semua permasalahan penataan koleksi tentang budaya pertanian di ruang pameran tetap bisa diketahui faktor penyebabnya, dan bagaimana jalan keluarnya. Jalan keluar untuk lebih mengembangkan museum, agar lebih berfungsi sebagai pusat pendidikan, pusat penelitian, dan tempat rekreasi kebudayaan.
Data juga diperoleh dari studi kepustakaan, hal ini sangat penting dan mendukung proses penelitian ini. Sebab dari studi kepustakaan bisa diperoleh beragam informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, yang tentunya akan lebih melengkapi serta memperkaya data, yang akhirnya akan lebih menyempurnakan hasil penelitian. Ada beberapa pendekatan yang harus diperhatikan dalam menata pameran tetap yaitu pendekatan intelektual (edukatif), romantik (evokatif), estetik, simbolik, kontemplatif, dan interaktif (Dradjat, 2007: 54-55). Metode pendekatan intelektual (edukatif) merupakan perwujudan tata pameran yang mengedepankan kelengkapan informasi perihal koleksi, agar mudah atau gampang dimengerti/dipahami pengunjung. Kelengkapan informasi tersebut berupa data-data teks, foto, arti, fungsi, penggunaan benda tersebut, proses pembuatan. Metode pendekatan romantik atau evokatif yakni penyajian benda koleksi yang dapat memberikan gambaran suasana tertentu. Misalnya dengan menampilkan koleksi yang dilengkapi dengan teks, foto, diorama yang dapat memberikan gambaran lingkungan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Metode pendekatan estetik mengutamakan keindahan dalam menata pameran, seperti mengatur tata letak, pencahayaan, latar belakang. Metode pendekatan simbolik, tata pameran yang mempergunakan simbol-simbol tertentu sebagai media interpretasi bagi pengunjung. Metode pendekatan kontemplatif yakni penyajian benda-benda koleksi museum, dengan maksud untuk memberikan rangsangan kepada pengunjung untuk berimajinasi, terhadap koleksi yang dipamerkan. Metode pendekatan interaktif yaitu menyajikan koleksi yang memberikan kesempatan pada pengunjung, untuk berinteraksi langsung dengan koleksi yang dipajang atau dipamerkan.
B. Pembahasan
Malinowski (1958: 167) mengembangkan sebuah kerangka teori untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sebagai teori fungsional tentang kebudayaan (a functional theory of culture). B. Malinowski memberikan tiga tingkat abstraksi tentang fungsi sosial: (1) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat, (2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan, (3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Kemudian juga tentang konsepnya yang disebut sebagai prinsip timbal balik (principle of reciprocity), yakni suatu kewajiban untuk membalas sebagai sebuah pengikat dalam masyarakat. Inti dari teori ini adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs itu. Bagaimana Museum Sri Baduga sebagai pusat ilmu pengetahuan bisa memberikan kepuasan pada masyarakat yang berkunjung, sehingga keingintahuan mereka bisa mendapatkan jawaban.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193). Adapun wujudnya mencakup tiga hal yaitu ide-ide, aktivitas, dan benda-benda hasil kebudayaan. Pada umumnya kebudayaan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik maupun non fisik (Ember dan Ember dalam TO Ihromi, 1980). Kebiasaan atau kelakuan terpola yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian seperti itu tidak berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Hal tersebut menyebabkan setiap masyarakat mempunyai pola kebudayaan yang khas dan dapat membedakannya dengan masyarakat yang lain.
Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir (mudah dikenali atau dilihat). Masalah asal mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula religi (Koentjaraningrat, 1980: 390). Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut emosi keagamaan atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi (Koentjaraningrat, 1980: 391).
White (1959) mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan kumpulan tiga komponen, yaitu komponen tekno-ekonomis, komponen sosial, dan komponen ideologi. Komponen tekno-ekonomis kebudayaan diberi pengertian olehnya sebagai cara yang digunakan oleh para pendukung suatu kebudayaan untuk menghadapi lingkungan mereka. Aspek inilah yang kemudian menentukan aspek sosial dan ideologi kebudayaan.
Oleh karena kebudayaan digunakan untuk menghadapi lingkungan, maka kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru atau mengubah persepsinya tentang keadaan yang ada (Haviland, 1978 : 332). Sifat adaptif kebudayaan yang membuatnya dinamis, membuat masyarakat pendukungnya selalu berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, seiring dengan sifat manusia yang cenderung tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Penyesuaian selalu dilakukan setiap saat agar dapat mengimbangi gerak perkembangan kebudayaan sehingga tercapai kesejahteraan hidupnya.
Diskursus tentang kebudayaan, terutama yang membincangkan masalah manusia, kebudayaan, dan lingkungan alam, persoalannya berkisar pada dua hal pokok, yaitu : pertama, bagaimana suatu kondisi lingkungan alam mempengaruhi perkembangan kebudayaan suatu masyarakat; dan yang kedua, bagaimana peranan suatu kebudayaan dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem.
Pada persoalan yang pertama, pertanyaan yang kerap muncul adalah : mengapa ada perbedaan karakteristik dan perkembangan kebudayaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada lingkungan alam yang berbeda. Mengapa ada stereotipe bahwa karakteristik budaya orang Batak itu keras, sedangkan orang Jawa dan Sunda halus; mengapa suku-suku bangsa di Irian mengenakan koteka, sedangkan etnik di daerah lainnya berpakaian lengkap; mengapa orang Minang diidentikkan sebagai suku perantau. Mengapa ada masyarakat petani, nelayan, peladang, peramu, dan aktivitas-aktivitas matapencaharian hidup lainnya. Sejauh mana lingkungan alam berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik dan kebudayaan suatu masyarakat.
Sementara itu, cara penafsiran yang bersifat religius mendorong manusia untuk memperlakukan lingkungan alam secara sakral dan persuasif. Cara penafsiran ini pula yang kemudian melahirkan berbagai bentuk tabu atau pantangan adat dan berbagai bentuk upacara tradisional yang berkaitan dengan kepercayaan. Ini pula sebabnya mengapa bentuk-bentuk upacara tradisional berbeda di antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya yang hidup di tengah kondisi lingkungana alam yang berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas apa yang dilakukan terhadap alam dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Aktivitas ini yang lazim disebut sebagai mata pencaharian hidup, akan menentukan jenis dan bentuk upacara tradisional masyarakatnya. Masyarakat yang hidup di daerah pegunungan misalnya, akan melakukan upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian. Demikian juga masyarakat yang hidup di daerah pantai akan melakukan upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanannya.
Namun demikian, apapun jenis dan bentuk upacara yang dilakukan oleh masyarakat, ada suatu konsepsi yang sama yang hidup dalam benak kelompok masyarakat ini, yaitu bahwa pada setiap lingkungan alam ada “penguasanya” atau “penunggunya”. Di kalangan masyarakat petani Sunda di Jawa Barat misalnya, hidup konsepsi tentang Nyi Pohaci atau Dewi Sri yang dipandang sebagai penguasa tanaman padi. Demikian juga di kalangana masyarakat nelayan hidup konsepsi tentang Nyi Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Kedua tokoh mitologis ini menjadi obyek dalam pelaksanaan upacara-upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan di kalangan masyarakat Sunda. Pandangan-pandangan ini pula yang banyak melahirkan perilaku yang arif dari masyarakat terhadap lingkungannya; dan ini yang sekarang lazim disebut dengan kearifan tradisional.
Keteguhan untuk tetap mempertahankan nilai tradisi warisan nenek moyang ini, masih dapat kita saksikan pada kehidupan sosial budaya komunitas-komunitas adat yang hingga kini pun masih banyak terdapat di beberapa daerah. Istilah komunitas adat merujuk pada pengertian kehidupan sekelompok orang (masyarakat) yang hidup di suatu wilayah tertentu, dan warganya relatif masih kuat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat daerah tersebut, berbeda dengan daerah-daerah atau kampung-kampung sekitar yang umumnya telah "longgar" dalam menerima setiap unsur baru produk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komunitas adat ini lazim pula disebut dengan masyarakat adat. Komunitas-komunitas adat seperti ini biasanya berada di daerah-daerah yang cukup jauh dari pusat-pusat perkotaan dan bersifat eksklusif.
Kesatuan hidup setempat berbeda dengan kelompok kekerabatan, kesatuan sosial ini tidaklah semata-mata berdasarkan ikatan kekerabatan, namun lebih didasarkan pada ikatan tempat tinggal. Secara nyata kesatuan hidup setempat selalu menempati suatu wilayah khusus. Apabila sebagian besar warganya mulai memencar ke berbagai tempat lain, maka ikatan yang utama dari kesatuan itu akan hilang. Meskipun wilayah merupakan syarat mutlak bagi kesatuan hidup setempat, namun ada unsur-unsur lain yang mengikatnya. Orang-orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu kesatuan hidup, apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta kepada daerahnya, sehingga ia tidak rindu untuk kembali ke sana apabila ia berada di tempat lain. Kesatuan hidup setempat menurut Sosiologi dikenal dengan istilah community, yang kemudian memunculkan istilah komunitas.
Suku bangsa (ethnic group), adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa/language (sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas dasar unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia). Dalam hal ini adalah bahasa daerah (local language) adalah bahasa yang penggunaannya terbatas pada penduduk yang hidup dalam suatu daerah geografis tertentu dalam batas wilayah suatu negara atau daerah. Seperti halnya kebudayaan masyarakat Sunda di Jawa Barat, yang memiliki bahasa Sunda merupakan identitas etnik yang patut diangkat dan diperkenalkan melalui museum Sri Baduga.
Peranan Museum Sri Baduga dalam melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan masyarakat Sunda, dalam tesis ini saya membatasi pada kontribusi museum dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Sunda.
Paling tidak di museum negeri propinsi Jawa Barat ini bisa menyediakan bagian khusus untuk koleksi etnik dan etnografi hasil penelitian (pelukisan tentang kebudayaan masyarakat Sunda seperti falsafah hidup orang Sunda, upacara tradisional larung tukik, seni terebangan dan seni benjang, kepercayaan terhadap Dewi Sri, konsep indung, kesenian samrah, pengetahuan tradisional nelayan, dan puisi sisindiran).
Apabila kita menurutkan pola museum etnografi yang ada yakni museum yang menyimpan, menyelidiki, dan memamerkan kebudayaan material bangsa-bangsa/suku bangsa, maka Museum Sri Baduga pun dapat disebut sebagai museum etnografi. Ini berarti bahwa museum yang menyimpan, menyelidiki, dan memamerkan etnografika pada kita, sebab museum seperti itu memang ada. Museum Lembaga Kebudayaan Indonesia, disamping mempunyai koleksi pra sejarah, keramik, arkeologi, dan lain-lain, juga mempunyai koleksi yang banyak tentang etnografi Indonesia. Museum Sono Budoyo, Sri Baduga mempunyai koleksi pilihan tentang etnografika wilayah kebudayaan Sunda, Jawa, Cirebon, Madura, dan Bali. Disamping itu masih ada beberapa museum daerah seperti Bali Museum di Denpasar, Rumah Bahari di Palembang, Rumah Gadang di Bukittinggi, Museum Simalungun di Pematang Siantar, Rumah Adat di Kutaraja yang masih menyimpan barang-barang sejarah dan etnografika dari masing-masing wilayah. Kita sudah mengetahui bahwa pengetahuan kebudayaan bagi Indonesia sudah terpisah-pisah menjadi pelbagai ilmu, misalnya ilmu sejarah, prasejarah, arkeologi, etnologi, yang terpelantunkan pada koleksi-koleksi yang ada di museum DKI Jakarta.
Tugas umum sebuah museum adalah bukan saja terletak dalam bidang penyelidikan/penelitian ilmiah, namun juga dalam penyaluran ilmu pengetahuan dan pemberian kesempatan penikmatan seni kepada publik. Tugas lainnya adalah menimbulkan rasa saling mengerti dan harga menghargai sesama manusia, sesama warga negara, dan sesama warga dunia. Kedalam museum etnografi mempunyai tugas menumbuhkan rasa saling mengerti dan harga menghargai antarsuku bangsa, mengingat adanya prasangka antara wilayah dan suku bangsa. Tugas lainnya terletak dalam hal menghadapi publik yang berdiri di tengah-tengah proses akulturasi dewasa ini, yang meminta cara kerja khusus dari pejabat museum mengenai hal teknik pameran dan penerangan/sosialisasi. Juga mengingat proses akulturasi ini tugas menghimpun koleksi menjadi sangat penting (FDK. Bosch, 1935).
Koleksi museum Sri Baduga harus dihimpun secara sistematis, pameran obyek-obyeknya harus secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, penjelasan tentang obyek-obyek kepada publik juga harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal-hal inilah yang patut dipikirkan, dan bila pendidikan tenaga ahli museum tidak mendapat perhatian sepenuhnya, maka segala usaha untuk membendung hilang atau musnahnya harta budaya dan sejarah kita sebagian besar akan kandas.
C. PENUTUP
Museum Sri Baduga sebagai pusat informasi, pusat pengetahuan, pusat penelitian, dan juga objek wisata ini nantinya juga akan didukung dengan data-data yang disimpan di perpustakaan museum, jadi setiap museum daerah akan dilengkapi dengan sebuah perpustakaan yang menyediakan buku-buku atau data-data mengenai suku bangsa yang ada di Indonesia, khususnya suku bangsa yang ada dalam koleksi museum, peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah. Baik berupa data tertulis maupun data audio visual, dan juga artefak. Misalnya: tentang falsafah hidup, kesenian, kepercayaan, upacara, pengetahuan tradisional masyarakat Sunda.
Sehingga Museum Sri Baduga bisa dijadikan sebagai salah satu identitas daerah Jawa Barat, identitas dari masyarakat Sunda. Orang luar yang ingin mengetahui perihal sejarah dan kebudayaan Sunda, dapat menggali informasi, mencari data ke Museum Sri Baduga. Museum Sri Baduga sebagai salah satu sumber data tentang kesejarahan dan kebudayaan Sunda.
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, dkk. Pengantar Teori Filologi. Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF), Seksi Filologi, Fakultas Sastra, UGM. Yogyakarta. 1994.
Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI). Bandung. 2000.
Keene, Suzanne. Managing Conservation In Museums. Butterworth-Heinemann. Linacre House, Jordan Hill, Oxford OX2 8DP. 2002
Keller, Suzanne. Penguasa Dan Kelompok Elit. Peranan elit-penentu dalam masyarakat modern. C.V. Rajawali. Jakarta. 1984.
Koentjaraningrat. Metode Anthropologi. Penerbitan Universitas. Jakarta. 1958.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. PT. Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.
Koentjaraningrat. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. 1993.
Kusnaka Adimihardja, 1992, Kasepuhan Yang Tumbuh di atas Yang Luruh : Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat, Penerbit Tarsito, Bandung.
Pikiran Rakyat edisi 23 November 2004, “Kaolotan” di Tengah Modernisasi Tetap Bertahan di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak – Banten.
Pikiran rakyat edisi 20 November 2004, “Ngadongkapkeun”, Wujud Syukur Ala warga Cisungsang.