Oleh Bayu Fadillah
SMA Negeri 1 Jatisari
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tahun 1945 merupakan tahun perubahan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi bangsa Indonesia dan umumnya
bagi dunia. Peristiwa pemboman terhadap kota Nagasaki dan Hiroshima oleh
tentara sekutu yang mengakibatkan lumpuhnya seluruh kekuatan militer Jepang di
Asia diantaranya Indonesia, Birma dan Hongkong. Karena peristiwa pemboman
itulah pada tanggal 15 Agustus 1945 kejayaan Jepang berakhir setelah menyerah
tanpa bersyarat kepada sekutu dan sekaligus menandai berakhirnya Perang Dunia
II.
Di Indonesia, berita kekalahan Jepang diketahui
oleh kalangan pergerakan nasional yang terdiri dari para pemuda melalui siaran
radio luar negeri yang didengar secara sembunyi-sembunyi. Para tokoh pergerakan
seperti Syahrir, Soekarni, dan Chairul Shaleh mendesak Soekarno dan Moh Hatta
agar segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia karena sudah terlepas
dari pengaruh Jepang. Soekarno menolak, karena berita penyerahan Jepang kepada
sekutu belum jelas. Dan dia tidak ingin mengkhianati PPKI. Karena adanya
perbedaan pendapat ini, maka lahirlah kelompok-kelompok pejuang proklamasi.
Padahal tujuan mereka sama hanya saja ada perdebatan diantara mereka mengenai
waktu pelaksanaannya, seperti antara kelompok "Golongan Tua" dengan
"Golongan Muda".
Karena perbedaan pendapat antara golongan tua
dengan golongan muda, maka terlahirlah peristiwa "penculikan"
terhadap Ir. Soekarno dan Moh. Hatta oleh sekelompok pemuda dan dibawa ke
Rengasdengklok. Peristiwa itu terjadi sebagai upaya untuk meyakinkan golongan
tua yang mereka harapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia
kelak, terutama Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia tanpa bantuan dari Jepang.
Setelah melalui perebatan yang panjang dan
sengit, akhirnya pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB,
Soekarno dengan didampingi Moh. Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Mengetahui Bangsa Indonesia telah merdeka, Bangsa
Belanda tidak menanggapinya dan menganggap kemerdekaan Indonesia hanya buatan
Jepang. Belanda yang daerah koloninya telah diambil dengan paksa oleh Jepang
merasa masih mempunyai hak atas daerah koloninya tersebut setelah Jepang
menyerah atas sekutu. Oleh karena itu, Belanda melancarkan Agresi militernya
yang pertama.
Bagi bangsa Indonesia, peristiwa kedatangan kembali
Belanda ke Indonesia menjadi sebuah bukti nyata, bahwa walaupun setelah
mencapai kemerdekaan bukan berarti semuanya telah selesai, akan tetapi
perjuangan masih panjang dan memerlukan pengorbanan dari rakyat Indonesia
termasuk masyarakat Karawang. Karena ini merupakan masa peralihan dari zaman
penjajahan ke zaman kemerdekaan dan memasuki tahapan baru, yaitu tahapan
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Perjuangan rakyat Karawang dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia sangat gigih dan tak kenal lelah apalagi menyerah.
Dengan motto mereka "sejengkal tanah harus dipertahankan sekalipun dengan
tetesan darah, jangan sampai lepas ke tangan penjajah. Daripada dijajah kembali
lebih baik mati bersimbah darah".
Oleh karena itu kota Karawang dikenal sebagai kota
"Pangkal Perjuangan" karena daerah-daerah di Karawang sangat sarat
dengan peristiwa perjuangan di awal-awal kemerdekaan, diantaranya peristiwa
Rengasdengklok dan Rawagede.
Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa
penculikan terhadap Soekarno dan Hatta, sedangkan Peristiwa Rawagede adalah
suatu peristiwa yang menggegerkan sekaligus membuktikan kebiadaban kolonialisme
dari kerajaan Belanda. Belanda melakukan pembantaian terhadap rakyat yang tidak
berdosa dan rumah-rumah mereka dibakar. Tindakan kejam ini didasari informasi
mata-matanya yang menyebut salah satu pemimpin pejuang bernama Lukas Kustaryo
bersama pasukannya berada di Rawagede, sehingga Belanda melakukan pencarian.
Karena peristiwa Rawagede sangat berkesan dan tragis, maka tempat ini
diabadikan dalam bentuk sebuah bangunan monumen yang lengkap dengan makam para
korban pembantaian.
Dari berbagai peristiwa diatas, tidak berlebihan
jika kota Karawang dijuluki sebagai "Kota Pangkal Perjuangan" yang
melahirkan putra-putra terbaik bangsa dengan status sebagai pahlawan maupun
tokoh-tokoh sejarah. Salah satu dari sekian para tokoh dan pahlawa masyarakat
Karawang adalah Soeroto Koento. Tokoh ini sampai saat ini masih memiliki
sisi misteri terutama dari kesimpangsiuran kondisi terakhirnya pasca menghadiri
perundingan dengan Belanda, selain itu juga misteri kematian dan tempat ini
dikebumikan. Sehubungan dengan itu, penulisan serta penelitian biografi ini
perlu untuk menangkat riwayat dan bentuk perjuangan Soeroto Koento dan rakyat
Karawang dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk mengungkap
kembali tentang Sejarah Perjuangan
Soeroto Koento bersama rakyat Karawang dalam mempertahankan kemerdekaan
republic Indonesia, supaya lebih jelas dan terarah maka akan dibatasi mulai
dari proses perjuangannya sejak menjadi mahasiswa sampai diperoleh berita gugur
dalam perjuangan.
1.2 Tujuan Penulisan
Perjuangan adalah suatu usaha kolektif seluruh
komponen anak bangsa di dalam melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan
upaya merubah nasib bangsa ini dari bentuk-bentuk penindasan, kemiskinan menuju
alam kemerdekaan.
Penulisan "Sejarah Perjuangan Soeroto
Koento bersama Rakyat Karawang dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik
Indonesia" merupakan suatu informasi tentang kesejarahan
perjuangan di Karawang dan menambah khasanah dalam penulisan sejarah perjuangan
banngsa Indonesia.
Semoga penulisan sejarah perjuangan ini dapat
memberikan informasi kepada masyarakat luas dan memberikan input atau cerminan
kepahlawanan kepada generasi muda, guna meneruskan cita-cita dan perjuangan
para pendahulu yang telah berhasil melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan
mengisi kemrdekaan ini demi kepentingan
pembangunan di masa depan.
Penulisan sejarah lokal berarti membina
loyalitas daerah dalam kerangka perjuangan daerah untuk mengadakan dan
mempertahankan kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.3 Metode Penulisan
Penyusunan karya tulis yang betema
"Perjuangan Soeroto Koento Bersama Masyarakat Karawang" ini disusun
berdasarkan uraian dari buku-buku dan berbagai media yang langsung berhubungan
dengan materi pembahasa. Agar mudah dipahami, saya menggunakan kajian pustaka
dan bentuk huruf Times New Roman.
BAB II SELAYANG PANDANG KABUPATEN KARAWANG
2.1
Geografis
Kabupaten
Karawang secara geografis berada pada posisi antara 1070 020° Bujur
Timur dan 50 56° 60 34° Lintang Selatan dengan luas wilayah 173.753 Ha atau
1.737,53 Km². Karawang merupakan bagian
dari wilayah Propinsi Jawa Barat dengan posisi antara 50 50° sampai 70 5°
Lintang Selatan dan Antara 1040 48° sampai 1080 48° Bujur Timur.
Kabupaten Karawang secara dinamis selalu mengikuti
perkembangan Zaman dan menyesuaikan diri atas perkembangan zaman ini. Terhitung
sejak tahun 1994 sampai dengan 2005 Kabupaten Karawang telah mengalami
pengembangan/pemekaran wilayah kecamatan, antara lain sebagai berikut:
A. Pada tahun 1994 terdiri dari 12 kecamatan,
yaitu:
a. Kecamatan Pangkalan g. Kecamatan Jatisari
b.
Kecamatan Teluk Jambe h.
Kecamatan Rengasdengklok
c. Kecamatan Karawang i. Kecamatan Pedes
d. Kecamatan Telagasari j. Kecamatan Klari
e. Kecamatan Cikampek k. Kecamatan Batujaya
f. Kecamatan Rawamerta l. Kecamatan Cilamaya
B. Pada Tahun 1998 berkembang menjadi
18 Kecamatan dengan penambahan 6 Kecamatan
yang terdiri dari, Kecamatan Lemah Abang, Tempuran, Pakisjaya, Cibuaya,
Tirtamulya, Tirtajaya.
C. Pada Tahun 2003 dikembangkan lagi menjadi 25 Kecamatan, yaitu:
·
Kecamatan
Cilamaya dikembangkan menjadi Kecamatan Cilamaya Kulon, dan Cilamaya Wetan;
·
Kecamatan
Banyusari pengembangan dari kecamatan Jatisari;
·
Kecamatan
Kotabaru pengembangan dari kecamatan Cikampek;
·
Kecamatan
Majalaya dari Kecamatan Karawang;
·
Kecamatan
Kota Waluya dan Kecamatan Jayakerta dari Kecamatan Rengasdengklok.
D. Pada Tahun 2005 kembali
dikembangkan menjadi 30 kecamatan, yaitu :
1.
Kecamatan Banyusari
|
16. Kecamatan Lemah Abang
|
2. Kecamatan Batujaya
|
17. Kecamatan Majalaya
|
3.
Kecamatan Ciampel
|
18. Kecamatan Pakisjaya
|
4. Kecamatan Cibuaya
|
19. Kecamatan
Pangkalan
|
5.
Kecamatan Cikampek
|
20. Kecamatan Pedes
|
6.
Kecamatan Cilamaya Kulon
|
21. Kecamatan
Purwasari
|
7.
Kecamatan Cilamaya Wetan
|
22. Kecamatan R Dengklok
|
8. Kecamatan Cilebar
|
23. Kecamatan Rawamerta
|
9.
Kecamatan Jatisari
|
24. Kecamatan Tegalsari
|
10. Kecamatan Jayakerta
|
25. Kecamatan
Tegalwaru
|
11. Kecamatan
Karawang Barat
|
26. Kecamatan
Telukjambe Barat
|
12. Kecamatan
Karawang Timur
|
27. Kecamatan
Telukjambe Timur
|
13. Kecamatan Klari
|
28. Kecamatan Tempuran
|
14. Kecamatan Kotabaru
|
29. Kecamatan Tirtajaya
|
15. Kecamatan Kutawaluya
|
30. Kecamatan Tirtamulya
|
2.2
Penduduk
Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2001
Penduduk Kabupaten Karawang berjumlah 1.789.525 jiwa, terdiri atas 916.554
laki-laki dan 872.971 jiwa Perempuan dengan dengan tingkat pertumbuhan 0,21%
serta kepadatan penduduk 1.021 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk yang
tinggal di seluruh kawasan pemukiman Karawang sebesar 12,51% serta dengan
kondisi fotografi, maka penduduk yang bermatapencharian sebagai petani dan
buruh tani adalah sebesar 83,72%.
BAB III PERJUANGAN SOEROTO KOENTO
Daftar
Riwayat Hidup
1. Nama :
SOEROTO KOENTO
2.
Tempat/tgl lahir :
Bandung, 08 Mei 1922
3. Jabatan : Komandan Resimen V Cikampek
4. Agama : Islam
5. Anak ke : 2 dari 11 keluarga pasangan Rd. Koento
Dan
Siti Kadariah
6. Pendidikan : a. SD HIS Bandung
b. SMP
MULO Bandung
c. SMA AMS B Yogyakarta
d. Fakultas Kedokteran Unuversitas Indonesia
e. Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta
7. Status/Kekeluargaan a. Belum menikah
b. Hilang dalam peristiwa Penculikan pada
26-11-1947
c. pada 27 Nopember 1947 ditemukan mobil
dinasnya
tanpa Jasad di Warung
Bambu, Karawang
8. Riwayat Pekerjaan a. Anggota BKR Raya
b. Kepala Staf Resimen V Cikampek Tahun 1945
c. Komandan Resiman V Cikampek Tahun 1946
d. Delegasi Perdamaian Internasional,
Desember
1945 s/d 1947
Soeroto Koento adalah anak ke dua dari sebelas
saudara pasangan Rd. Koento dan Siti Kadariah. Soeroto Koento dikenal sebagai
Komandan Resimen V Cikampek Tahun 1946. Dalam perjuangannya bersama masyarakat
Karawang, Soeroto Koento dikenal sebagai orang yang tegas.
Di tengah-tengah perjuangannya, Soeroto Koento
bersama Kepala Stafnya Adel Sofjan, seorang pengawal dan sopirnya menghilang
akibat peristiwa penculikan pada 27 November 1947 dan hanya mobil dinasnya saja
yang ditemukan di Desa Warung Bambu tanpa jasad, dan sekarang telah dijadikan
Monumen Soeroto Koento.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahas proses
perjuangannya sebagai berikut.
1. Masa Pendudukan Jepang
Perjuangan Soeroto Koento telah dilakukan
sejak beliau masih di bangku kuliah. Soeroto Koento adalah Mahasiswa
Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran. Setelah Jepang menduduki Indonesia
pada awal 1942, Jepang mengerahkan segala usahanya di bidang kemiliteran.
Jepang sangat kekurangan prajurit di medan perang melawan sekutu, atas gagasan
Kapten Yanagawa maka pada Januari 1943 diresmikanlah Pusat Latihan Pemuda dan
diberi nama Seinen Dojo. Gagasan Jepang melatih pemuda didasarkan pada pertimbangan
kebutuhan akan tenaga bangsa Indonesia untuk dijadikan mesin perang melawan
sekutu. Karena masih saja kekurangan prajurit, Penggemblengan militer dilakukan
juga untuk para mahasiswa dan barisan pelopor.
Latihan-latihan dasar kemiliteran oleh pelatih
Jepang sangat keras dan tidak sesuai dengan perasaan para mahasiswa. Soeroto
Koento dan kawan-kawannya yang saat itu aktivis mahasiswa sekolah kedokteran,
merasakan terlalu berat latihan kemiliteran yang dilakukan oleh Jepang. Pada
bulan desember 1943 terjadi peristiwa penggundulan secara paksa dan pemukulan
secara kasar terhadap mahasisiwa tingkat II. Mahasisiwa tersebut menerima
perlakuan-perlakuan yang bertentangan dengan martabat mereka sebagai
putera-putera Indonesia yang terhormat. Para mahasiswa mengambil langkah tegas
dan mengadakan pertemuan, dari hasil pertemuan tersebut yang dipimpin oleh
beberapa mahasiswa salah satunya Soeroto Koento menghasilkan kesepakatan, yaitu
melakukan mogok kuliah total.
Rektor Jepang, Prof. Dr. Itagaki dan Administrator,
Horibe sangat terkejut dengan tindakan serentak yang dilakukan para mahasisiwa.
Beberapa hari kemudian Kempetai (polisi Jepang) menagkap 30 orang mahasiswa
yang dianggap sebagai penggerak mogok kuliah, diantaranya Soeroto Koento.
Setelah diadakan pemeriksaan yang disertai dengan
tindakan-tindakan penganiayaan, sekitar 21 orang dibebaskan setelah ditahan
sekitar 2 minggu. Sedangkan sisanya yang Sembilan orang ditahan selama sebulan
penuh. Kesembilan mahasiswa tersebut termasuk Soeroto Koento sebelum dibebaskan
dipanggil oleh Kempetai Jakarta Mayor Cho dan sebelum dipulangkan di beri
pengarahan dengan ancaman.
Dengan pengalaman tersebut, timbul kesadaran
tentang arti penting kekuatan militer dari suatu Negara dalam berhadapan denga
Negara lain yang tidak memiliki kekuatan militer. Kemudian mereka tidak
diizinkan kuliah lagi, sehingga mereka menempuh jalan hidup masing-masing.
Soeroto Koento beserta keempat temannya melamar menjadi anngota angkatan ke-4
PETA di Bogor. Dari kelima orang tersebut, hanya dua orang yaitu Daan Jahja dan
Oetarjo yang dapat mengikuti latihan perwira PETA dan ini pun akibat turun
tangannya Bung Hatta yang menemui Kepala Staf Tentara Jepang Mayjen. Yamamoto.
Sedankan Soeroto Koento dan Soebiyanto Djoyohadikoesoemo masuk ke Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta.
Melalui Diplomasi Daidancho Daidan I PETA Jakarta,
Mr Kasman kemudian menunjuk ajudannya Moeffreni Moe'min untuk menjadi
Instruktur pelatihan dasar-dasar kemiliteran bagi seluruh masyarakat,
mahasiswa, pelajar dan organisasi perjuangan lainnya. Soeroto Koento lega
dengan hasil diplomasi yang dilakukan oleh Daidan I PETA, ini berarti
pengetahan tentang dasar-dasar kemiliteran sebagai modal perjuangan akan
dimilikinya.
2. Menjelang Proklamasi
Ketika terdengarnya berita tentang menyerahnya
Jepang kepada sekutu lewat siaran radio secara sembunyi-sembunyi pada tanggal
15 Agustus 1945 oleh para pemuda yang diperoleh Soero Koento dan Soebianto
Djoyohadikoesoemo, mereka langsung menyampaikannya kepada teman-teman seperjuangannya yang telah
menjadi Perwira PETA, yaitu Dan Yon PETA, Kemal Idris, Daan Mogot, Daan Jahja
dan lainnya. Para perwira PETA setelah mendapatkan informasi tersebut langsung
menghubungi komandannya, yaitu Dan Yon PETA, Abdoel Koedir di rumah kediamannya
untuk merundingkan langkah-langkah selanjutnya akibat kekalahan Jepang dan
belum tibanya sekutu di Indonesia sehingga terjadi vacum of power di bumi Indonesia.
Sikap reaktif dan tanggap terhadap situasi di dunia
diperlihatkan oleh Mahasiswa seperti Soerot Koento dan dan Soebianto Djoyohadi
Koesomo dalam mengantisipasi keadaan yang ingin diraih yang selama ini di
perjuangkan, yaitu Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Kemudian mereka
bersama golongan pemuda lainnya seperti Soekarni langsung mendesak Kedua tokoh
perintis Indonesia, yakni
Soekarno-Hatta.Karena adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dengan
golongan tua, akhirnya Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok Sebelumnya
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus telah dikuasai oleh pasukan PETA dibawah
pimpinan Dan Ton Umar Bachsan yang telah melucuti dan menawan pasukan Jepang
yang sebelumnya menguasai daerah itu. Kemudian bendera Jepang diturunkan dan
dikibarkanlah Sang Saka Merah-Putih oleh camat Hadipranoto. Sehingga
Rengasdengklok merupakan daerah pertama Negara RI yang berkibar Bendera Merah
Putih. Setelah kembali ke Jakarta, Soekarno merumuskan teks proklamasi di
kediaman Laksamana Muda Angkatan laut Jepang Maeda. Pada akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no.56
dikumandangkanlah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh
Soekarno-Hatta.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Soeroto mengawal Bung
Karno dan Bung Hatta ke Rapat Raksasa Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), sekarang
Monas. Dalam rapat tersebut, pemerintah RI berhasrat untuk menyampaikan berita
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia kepada khalayak ramai. Walaupun
Jepang bersama pasukannya berusaha mencegah, namun karena kebulatan tekad dan
rasa perjuangan tinggi rapat tersebut tetap diadakan dan berjalan tanpa ada
campur tangan Jepang.
3. Soeroto Koento
Bergabung Dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat)
BKR dibentuk dalam siding PPKI tanggal 22 Agustus
1945 dan kemudian diumumkan oleh Presiden Soekarno tanggal 23 Agustus 1945,
dimaksudkan sebagai pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum daerah setempat
dan bukan organisasi militer yang resmi. Ketua Umum BKR di Jakarta adalah Mr.
Kasman Siongodimedjo dan Daan Jahja sebagai kepala Staf Pusat serta Soeroto
Koento salah satu anggota stafnya.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 BKR diganti namanya
dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pimpinan tertinggi Supriyadi,
pahlawan perlawanan PETA di Blitar. Karena tak kunjung datang, maka digantikan
oleh Kolonel Soedirman dan setelah dilantik pada tanggal 18 September 1945
beliau diangkat sebagai Panglima Besar berpangkat Jenderal. Pada setiap tanggal
5 Oktober diperingati sebagai Hari Ulang Tahun TNI. Pada Januari 1946, Jenderal
Soedirman mengganti nama TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia).
Pada 19 November 1945 segenap kesatuan tentara
Indonesia serta badan-badan perjuangan Indonesia termasuk BKR meninggalkan
Jakarta karena kota itu dijadikan sebagai Kota Dipolomasi. Dengan berat hati
meninggalkan Jakarta, mereka sepakat untuk membentuk kekuatan dekat dengan
wilayah sekitar dan Cikampek dipilih sebagai tempat kepindahan Basis pertahanan
dan perjuangan karena tempat ini merupakan tempat yang sangat strategis dan
merupakan titik silang pentin bagi perhubungan darat dan kereta api.
3.1 Soeroto Koento
Diangkat Menjadi Kepala Staf
Karena kesatuan-kesatuan Resimen V Cikampek
terpaksa harus sering mengadakan reorganisasi dan konsilidasi. Reorganisasi
tersebut misalnya seperti kepala staf yang mulanya dijabat rangkap oleh Adel
Sofjan, maka Posisi Kepala Staf tersebut dijabat oleh Soeroto Koento berpangkat
Mayor, sedangkan Adel Sofjan menjabat kepala Intel. Soeroto Koento ditugaskan
untuk mengkoordinir keamanan lalu lintas kereta api yang melintas di daerah tak
bertuan seperti sekitar Bekasi.
3.2 Soeroto Koento
Diangkat Menjadi Komandan Resimen V Cikampek
Menjelang akhir Tahun 1946 Moeffreni mendapat tugas
ikut mengamankan jalannya perundingan Linggarjati pada 10-15 Nopember 1946. Beliau merasakan
tugasnya kali ini sangat berat dari tgas sebelumnya. Moeffreni telah bertugas
di Cirebon pada saat Pemerintah RI melaksanakan Diplomasi melalui perundingan
Linggarjati. Letkol Moeffreni Moe'min diangkat menjadi Komandan Resiman XII
Cirebon langsung dari Markas Besar Angkatan Darat Yogya, tetapi pelaksanaan
pelantikan melalui komandemen Jawa Barat. Sementara itu, Soeroto Koento
diangkat menjadi Komandan Resiman V Cikampek berpangkat Letnan Kolonel setelah
Moeffreni Moe'min mengusulkan agar dirinya menjadi penggantinya sebagai
Komandan Resimen V Cikampek dan disetujui dan diterima oleh yang lainnya.
4. Aksi Lasykar Rakyat Djakarta Raya (LRDR)
Semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945, di Jawa Barat
telah banyak lahir organisasi-organisasi bersenjata, bagaikan cendawan di musim
penghujan.Disamping ada segi positifnya, tentu ada pula segi negatifnya yang apabila
tidak segera dapat diatasi akan merugikan perjuangan kemerdekaan.
Pimpinan TKR di Jawa Barat berkesimpulan
satu-satunya jalan untuk memusatkan komando dan demi suksesnya revolusi adalah
dengan menghimpun dan menggabungkan seluruh kekuatan-kekuatan yang
progresif-revolusioner ke dalam suatu organisasi ketentaraan yang telah
dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia. Karena apabila hal ini dapat
terlaksana dengan baik, maka akan tercapailah suatu kekuatan militer yang besar
dan teratur.
Pimpinan TKR Jawa Barat yang diembani dengan tugas
suci itu, melakukan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, meskipun hal ini
akan menyinggung perasaan pemimipin TKR karena masing-masin merasa dirinya
turut memberikan saham bagi perjuangan. Karena adanya kemungkinan seperti itu,
pimpinan TKR tidak berputus asa, dan melaksanakannya dengan kepala dingin
karena kepentingan nasional herus diutamakan.
Karena kesepakatan antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan sekutu, Kota Jakarta dijadikan sebagai Kota
Diplomasi, oleh karena itu tidak boleh ada satupun badan perjuangan disana.
Maka pada tanggal 19 November 1945, seluruh kesatuan tentara dan badan
perjuangan meninggalkan Jakarta. Dengan demikian daerah Jawa Barat Khususnya
Karawang dijadikan tempat kepindahan Tentara termasuk badan-badan perjuangan,
disamping badan perjuangan yang terlebih dahulu sudah berada di Karawang.
Apabila pasukan-pasukan yang tergabung ddalam
badan-badan kelasykaran di Priangan dapat disalurkan dengan sempurna, lain
halnya dengan yang berada di Karawang. Karena Lasykar-lasykar di sini
seringkali memancing kerusuhan dengan TRI. Karena anggota lasykar Rakyat
kebanyakan kebanyakan terdiri dari golongan tidak terpelajar, sebab banyak yang
asal-usul dari mereka tidak baik. Disiplin mereka tidak ada dan mereka membawa
senjata. Namun demikian di kalangan para pemimpin mereka banyak pul;a orang
terpelajar, seperti Dr. Darwis, Hasnan Cinan dan masih banyak lagi. Para
pemimpin mereka itu pada umumnya menganut aliran politik kiri dan radikal.
Mereka selalu meluapkan oposisi terhadap pemerintah dibawah pimpinan Pedana
menteri Sutan Sjahrir.
Pada waktu-waktu tertentu paa Lasykar Rakyat
mengadakan pameran kekuatan di sepanjang jalan Karawang. Memang
persenjataan mereka lebih modern dari yang dimiliki TRI. Petahanan Jakarta
Timur (Karawang) sukar sekali untuk diatur sebagaimana mestinya dan mereka
menolak untuk bergabung dengan TRI karena mereka de facto atau berdiri
sendiri. Malah sikap mereka menunjukkan sifat permusuhan terhadap TRI.
Lasykar Rakyat Djakarta Raya berpolitik yang menentang kebijakan yang ditempuh
oleh Soekarno-Hatta dan banyak pamphlet yang memuat kata-kata "Soekarno
penjual Bangsa, Pengkhianat proklamasi" serta lainnya. Sejarah membuktikan
bahwa beberapa pimpinan Lasykar Rakyat memang anggota dinas rahasia Belanda di
bawah pimpinan Letkol. Agerbeel dan Kol. Drost. Mereka mandapatkan kepercayaan
dari kita karena menggunakan trik, yaitu "melarikan" beberapa pucuk
senjata ke daerah Republik Indonesia agar tidak dicurigai TRI.
Pada bulan Maret 1947, para anggota Dewan Pimpinan
LRDR mengajukan syarat-syarat di dalam Konferensi pelaksanaan pertahanan
Jakarta Timur dengan tujuan untuk menguasai seluruh font/status quo/status quo
front Bekasi-Tambun sampai ke daerah Cileungsi-Cibarusa.
Hasil Konferensi LRDR berbunyi sebagai berikut:
a.
De facto pertahanan daerah Jakarta Timur, seluruhnya
harus diserahkan kepada pimpinan LRDR.
b.
Terbentuknya Organisasi Markas Pertahanan Djakarta
Timur (MPDT) Yang berkedudukan di sebuah gedung di jalan stasiun Karawang,
sebelah Kantor Berita "Ampera".
Di lain pihak, kesatuan TRI yang bernaung di bawah
Komando Resimen IV yang berada di Cikampek tidak menghendaki adanya pembatasan
wilayah pertahanan antara badan-badan pejuangan, karena dengan begitu
masing-masing pihak akan merasa "merajai" suatu wilayah dan akan
terjadi pertentangan senjata dan tentu saja akan memberikan keuntungan kepada
pihak imperialis/kolonialis. Namun pihak LRDR tetap bersitegang pada
pendiriannya.
Pada pertengahan tahun 1947, sesuai dengan
keputusan Menteri Pertahanan RI dibentuklah sebuah Detasemen Gerak Cepat bagi
badan perjuangan yang berkedudukan di Karawang sebagai langkah usaha mengatasi
perbedaan pendapat itu. Semuanya beranggotakan 150 orang yang terdiri dari
BPRI, PBRI, PESINDO, Lasykar Buruh, Hizbullah dan Sabilillah. Ternyata hanya
Lasykar Rakyat sajalah yang menolak untuk bergabung di dalamnya.
Pihak LRDR dengan terang-terangan melakukan
serangan terhadap pos-pos TRI yang berada di Lemahabang dan Cikarang. Selain
itu sebuah pasukan Laskar Rakyat lainnya di bawah pimpinan Sujono, bergabung
dengan pasukan I yang berada di Karawang dengan maksud merebut dan menguasai
kota Karawang dari TRI.
Melihat sikap LRDR yang terang-terangan memusuhi
bahkan menyerang satuan-satuan TRI, maka dengan terpaksa pimpinan TRI
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur dan menumpas pemberontakan
Lasykar Rakyat itu.
Pasukan-pasukan TRI yang dikerahkan dalam operasi
militer itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
1 Kompi Brig. Pol. Dari Batalyon P.I / Batalyon 35
Sukapura Tasikmalaya
b.
1 Batalyon "Beruang Merah" Dibawah pimpinan
Mayor Abdullah Saleh
c. Datasemen "Kuda Putih"
d.
Detasemen "Panah Merah" di bawah pimpinan
Letnan I Eman
e. Detasemen
Siliwangi di bawah pimpinan Letn. I Suparman
f.
Batalyon 33 / Pelopor, di bawah pimpinan Mayor s.
Tobing
g.
Batalyon 30 / PESINDO dengan Letn. I Cucu Ardiwinata
sebagai komandannya.
h.
Detasemen (2 Kompi) dari Batalyon
"Tengkorak" dibawah pimpinan Kapten Nasuhi.
Pertempuran pun berlangsung 2 hari lamanya.Hampir
seluruh badan perjuangan di Karawang memihak kepada pemberontak kecuali
Detasemen Gerak Cepat. Bala bantuan dari satuan-satuan Badan Perjuangan/Lasykar
Rakyat yang telah mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945 itu dapat dipatahkan
dan ditumpas.
Peristiwa ini telah memakan korban yang jumlahnya
tidak sedikit diantara kedua belah pihak. Memang tak ada revolusi yang tidak
menuntut pengorbanan. Para pemberontak yang tertangkap maupun menyerah diangkut
ke Kalijati. Sebagian Lasykar Rakyat yang berada di Cikarang dan Lamaran dengan
terbirit-birit melarikan diri ke daerah Jakarta dengan melalui Tambun dan
Bekasi.
Hasil penumpasan tersebut berhasil dengan memuaskan
sekali. Sebagian besar 80% dari anggota–anggota
badan perjuangan dan 60% Lasykar rakyat tertangkap hidup-hidup atau menyarah,
dan sebagian besar senjata-senjata mereka dapat direbut atau dirampas.
Ketika Belanda melancarkan Agresi militer yang
pertama, ternyata banyak bekas Lasykar Jakarta yang dipergunakan Belanda untuk
mempelopori serangan itu ke wilayah RI. Lasykar tersebut adalah sisa
lasykar-lasykar yang melarikan diri ke Jakarta dan ditampung oleh Belanda.
Mereka yang terkait dalam peristiwa lasykar di
Karawang ini dan menyeberang ke pihak Balanda setelah melarikan diri adalah
sebagai berikut:
1.
Amir Pasaribu, Anggota Dewan Pusat, Wakil Ketua 1
Markas pertahanan Jakarta Raya
2.
Harun Umar, Anggota Dewan Pimpinan Pusat, Wakil Ketua
II Markas Pertahanan Jakarta Raya
3.
Panji, Kepala pasukan LRDR di Cikarang
4.
Sujono, Kepala pasukan LRDR di Lamaran.
5. Penculikan Letnan
Kolonal Soeroto Koento
Pada bulan November 1946 terjadilah peristiwa yang
menggemparkan seluruh Resiman Cikampek dan Divisi Siliwangi, Yaitu hilangnya
Komandan Resiman Cikampek Letkol Soeroto Koento bersama kapala stafnya Mayor
Adel Sofjan danseorang pengawal serta sopirnya, hanya kendaraannya saja yang
ditemukan di sisi jalan desa Warung Bambu. Kurang lebih 6 km di
sebelah timur Karawang Pada tanggal 27 Novembe 1946. Padahal antara Indonesia
dan Belanda telah sepakat untuk mengadakan peundingan pada tanggal 29 Novembar
1946 di Bekasi. Indonesia menunjuk Letkol Soeroto Koento Komandan Resiman
Cikampek sebagai Perwakilan RI dan Belanda menunjuk Panglima Divisi"7
Desember" Mayor Jenderal Durst Britt.
Tanggal 27 November 1946. Malam itu Letkol Soeroto
Koento baru saja menghadiri rapat Komando Pertahanan Jakarta Timur di Kedung Gede
bersama pimpinan Lasykar-Lasykar Perjuangan. Rapat tersebut kemungkinan
dimaksudkan untuk menghadapi perundingan dengan pihak Belanda. Karena hilangnya
Letkol Soeroto Koento dan Mayor Adel Sofjan, Panglima divisi Siliwangi Telah
mengangkat Mayor Sadikin Komandan Batalyon II Resiman V Cikampek sebagai
Komandan Resiman Cikampek dan Ery Soedewo sebagai Kepala Stafnya.
Untuk menghadapi perundingan dengan pihak Belanda,
Mayor Ery Soedewo ditunjuk untuk mengepalai delegasi Indonesia yang dibantu
Kapten Soewarjono dan Kapten Salam dari Staf Resimen. Hasil dari perundingan
itu adalah ditentukannya garis demarkasi beru yang membujur dari utara ke
selatan, kira-kira di tengah-tengah antara Bekasi dan Tambun.
Sebagai Komandan Resiman Cikampek yang baru Mayor
Sadikin melanjutkan reorganisasi Resiman, maka dibentuklah batalyon baru
dibawah pimpinan Mayor Darsono. Batalyon baru itu dinamakan Batalyon 12.
Selagi melanjutkan program reorganisasi, Mayor
Sadikin memerintahkan semua unsure Resimen Cikampek untuk mencari Letkol.
Soeroto Koento dan Rombongannya, namun hasilnya negative. Menurut dugaan,
kemungkinan besar Letkol. Soeroto Koento dan rombongannya diculik oleh Lasykar
Rakyat Djakarta Raya. Pertama: mereka tidak setuju adanya perundingan dengan
pihak Belanda.Kedua: Mereka beraliran kiri yang selalu melakukan opsisi
terhadap pemerintah.
Setelah hilangnya Letnan kolonel Soeroto Koento
hubungan antara tentara dan LRDR menjadi lebih buruk lagi. Dalam ketegangan
itu, dan pada saat Resiman Cikampek melakukan rorganisasi, Lasykar rakyat di
daerh Tambun telah melucuti tentara Resiman Cikampek yang sedang bertugas di
garis demarkasi. Dengan ini, maka permusuhan antara tentara dan Lasykar rakyat
menjadi permusuhan terbuka. Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Nasution
memutuskan untuk memberi hukuman kepada Lasykar Rakyat. Beberapa Batalyon
dikirimkan ke Karawang dari Resiman Priangan Timur di bawah pimpinan Letkol.
Soetoko dan Batalyon Beruang merah di bawah pimpinan Mayor Abdullah Shaleh.
Perlawanan yang berarti dilakukan oleh Lasykar rakyat di bawah pimpinan Sujono
yang bermarkas di daerah Lamaran, tetapi akhirnya mereka menyerah juga. Banyak
anggota Lasykar yang menyerah dan kemudian ditawan, tapi banyak juga yang
melarikan diri melewati garis demarkasi dan masuk daerah yang diduduki oleh
Belanda.
Dalam Laporan Panitia Penyelidik dari Kepolisian
tertanggal Purwakarta 29 April 1947 tentang pendudukan Tambun Karawang oleh
Lasykar Rakyat pada 13-18 April 1947. Peihal Penculikan Soerot Koento. Dalam
laporan itu dijelaskan bahwa markas LRDR berada di Desa Lamaran, Karawang. Di
Desa ini terdapat bekas pabrik penggilingan beras bernama "Lawat".
Gedung ini dijadikan markas sekaligus tempat evakuasi orang-orang dari Jakarta
yang dianggap menghalangi dan tidak sejalan dengan perjuangan mereka. Tempat
ini tertutup, barang siapa yang berani masuk akan diancam di tambak. Dibelakang
pabrik terdapat sebidang tanah penh dengan tulang belulang manusia yang menemui
ajalnya di tangan mereka. Maka hilangnya Komandan Resimen V Letkol. Soeroto
Koento dan Adel Sofjan pada tanggal 27 November 1947 diduga termasuk juga
korban keganasan mereka.
Pada akhir bulan April 1947 seluruh operasi
pembersihan terhadap LRDR selesai. Panji pemimpin Laykar Rakyat telah melarikan
diri melalui garis demarkasi dan masuk daerah yang diduduki tentara Belanda.
Panji menyerah kepada Belanda dan ditugaskan sebagai anggota Intelijen Belanda.
Setelah operasi penumpasan LRDR selesai, resimen
Perjuangan Priangan Timur diperintahkan menggantikan Resiman Cikampek sebagai
pengawal garis demarkasi daerah Timur Jakartra. Seluruh Resimen
diperintahkan pindah ke Tasikmalaya dan sekitarnya untuk istirahat.
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan
gerakan militer besar-besaran dan terlihat Panji beserta kawan-kawannya
dijadikan penunjuk jalan pasukan Belanda.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Nilai perjuangan seorang terletak pada
kesetiaannya tanpa balas kepada bangsa dan negara. Letnan Kolonel Soeroto
Koento telah membuktikan kesetiaan itu kepada bangsa dan negara Republik
Indonesia. Beliau mengabdikan seluruh jiwa dan raganya bahkan dengan tetesan
darah serta nyawanya demi kehormatan dan kemerdekaan bangsa dan negara Bumi
Pertiwi ini.
Beliau adalah patriot sejati yang gugur sebagai
kesuma bangsa. Keikhlasan, ketulusan dan keperkasaan mewarnai perjuangan dan
pengorbanannya demi tanah Air Tercinta ini. Keharuman nama seorang pahlawan
bukan karena atas pernyataannya sendiri bahwa ia telah berjasa, melainkan atas
pengakuan dari masyarakat yang secara objektif memang merasakan akan jasa dan
pretasinya.
4.2 Saran
Dalam penyusunan karya tulis ini, diharapkan
kita sebagai generasi muda hendaknya meneruskan perjuangan dari para
pahlawan-pahlawan kita terdahulu dengan cara mengisi kemerdekaan. Dalam mengisi
kemerdekaan kita butuh yang namanya persatuan
dan kesatuan agar tujuan kita semua dapat tercapai. Dengan persatuan dan
kesatuan kita akan menjadi bangsa dan negara yang kuat, hebat dan bermartabat
serta sulit untuk ditaklukkan oleh bangsa maupun negara lain. Hilangkanlah
semua rasa yang dapat memecah/mencerai beraikan kita semua, karena dengan
bercerai berai kita akan menjadi bangsa yang lemah dan tidak menutup
kemungkinan bangsa kita akan terjajah lagi.
Daftar
Pustaka
Abdullah. 2005. Sejarah Untuk SMA/MA.
Surakarta: CV Pustaka Manggala
Sukarman, K. dkk. 2005. Sejarah Perjuangan
Soeroto Koento Bersama Masyarakat Karawang. Karawang
Sunarso, Reni. 2005. Gita Sejarah Untuk SMA/MA.
Solo: PT Pabelan www. Kompas. Com
Sumber:
Makalah pada Lomba Penulisan dan Diskusi Sejarah Lokal Tingkat
SMA/Sederajat yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bandung, tanggal 27 September 2007.