Nadran atau nadir atau nyadran adalah suatu upacara tradisional berupa pesta laut yang diadakan oleh para nelayan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Selain itu nadran juga bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar selalu mendapatkan perlindungan dari makhluk-makhluk halus yang berada di lautan lepas.
Upacara dilaksanakan setiap bulan Syuro karena dianggap berkaitan dengan musibah banjir yang dialami oleh Nabi Nuh AS. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, waktu penyelenggaraannya dilakukan pada masa along, masa dimana para nelayan berhasil memperoleh tangkapan yang melimpah.
Upacara nadran dilakukan di beberapa tempat, yaitu: di rumah pawang atau pemangku kapalan sebagai tempat untuk mempersiapkan dan mendoakan sesajen, di babagan sebagai tempat pemberangkatan kapalan, dan di laut sebagai tempat pelarungan kapalan.
Sebelum upacara nadran diselenggarakan, terlebih dahulu diadakan musyawarah untuk menentukan waktu pelaksanaan dan susunan kepanitiaan yang terdiri dari: ketua panitia, wakil ketua, sekretaris, bendahara, wakil bendahara, dan anggota/pembantu umum. Selain itu juga untuk memilih lebe (orang yang bertugas menyembelih kerbau), pawang (orang yang mendoakan sesajen untuk kapalan), dan pemangku kapalan (orang yang mempersiapkan segala macam sesajen untuk ditaruh di atas kapalan sekaligus juga sebagai pemimpin upacara).
Apabila susunan kepanitian telah terbentuk, maka orang yang ditunjuk sebagai bendahara mulai mengumpulkan dana dari para nelayan. Dana yang terkumpul sebagian digunakan menghias desa, mengadakan pertunjukan wayang kulit, tarling, jaipongan, sandiwara serta pembuatan kapalan dan pembelian barang-barang untuk sesajen.
Adapun sesajen terdiri dari dua bagian, yaitu sesajen yang disediakan oleh pemangku kapalan dan sesajen yang disediakan oleh para nelayan. Sesajen yang disediakan oleh pemangku kapalan meliputi: kepala kerbau dan jerohan wedus kulit kerbau sebagai alas yang nantinya akan dibungkus kain putih sepanjang 10 meter, tumpeng polet, makanan tujuh rupa (nagasari, bugis, dodol, gemblong, wajik, cucur, poci), pisang tujuh rupa (pisang emas, raja, hijau, ambon, klutuk, dan kidang), wuduk liwet gesek (nasi putih, ikankering, kelapa, garam, cabai merah, terasi, bawang merah), kembang tujuh rupa, rujak sebelas rupa (rujak gedang, asem, kambang atau rengginang diberi air, wedang putih, teh manis, teh pahit, kopi manis, kopi pahit, deugan, kolang-kaling, buah selasih), udud serutu, udud putih, udud kawung, seurabi tujuh rupa (terbuat dari singkong yang diberi warna hijau, merah, cokelat, kuning, hitam, abu, dan oranye), deugan, kendi tupi endog, limun, opak angin, kupat, kinang masak, pepesan bekatul, ketan hitam, ketan putih, beras putih, lading/pisau, golok, darah, air, uang receh, bubur merah putih, bubur sumsum (terbuat dari tepung beras yang diberi gula merah), bubur gintir (terbuat dari getan yang diberi gula merah dan dibentuk bulat-bulat), wajik punar, wajik kamyang, kantil merah putih, dupa dan arang, leupeut dan tangtangangin, kain putih berisi beras dan uang receh, dan candu/madat. Seluruh sesajen tersebut akan ditaruh di atas kapalan atau kapal-kapalan yang terbuat dari kayu, tripleks, paku, tambang plastik, kain putih, drum kecil, cat hijau, dan batang pohon pisang sebagai alasnya.
Sementara sesajen yang disediakan oleh para nelayan, antara lain: pisang tujuh macam (pisang raja, emas, ambon, ijo, amnyang, klutuk, kidang), kue tujuh rupa (poci, nagasari, bolu kijing, rempeyek, kajang ijo, rangginang, wajik), rokok cerutu atau kretek, ampo, kinang masak, cangkaruk, gula merah, bubur merah putih, kupat, leupeut, tangtangangin, dan beras ketan itam.
Sedangkan jalannya upacara sendiri diawali dengan ijab kabul (pengesahan) sesajen, penyiapan sesajen, penyimpanan sesajen di atas kapalan, pertunjukan wayang kulit, pelepasan kapalan, pelarungan kapalan ke kalut, dan ditutup dengan perebutan kapalan (ranjahan) yang berlangsung di laut pada kedalaman 4 hingga 7 meter. (irvansetiawan)