Kesenian Tradisional Kabupaten Garut
Oleh: Wawan Somarwan, S.Sen (Disbudpar Kab. Garut)
Makalah dalam kegiatan Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BPNB Bandung pada tanggal 23 Mei 2015 di Aula SMA Negeri 11 Garut
BADENG
Pimpinan : Bapak Mumu (Desa Sanding Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut)
Kesenian tradisional BADENG diciptakan pada tahun 1800 yaitu di jaman Para Wali, kesenian ini mula-mulanya diciptakan oleh seorang tokoh penyebar agama Islam bernama ARFAEN NURSAEN yang berasal dari daerah Banten yang kemudian terus menetap di Kampung Sanding Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut, beliau dikenal masyarakat disana dengan sebutan LURAH ACOK.
Lurah Acok berfikir didalam hatinya bagaimana caranya supaya ajaran agama Islam dapat menyebar luas di masyarakat waktu itu agama Islam sangat asing sekali. Pada suatu saat dia pergi menuju suatu perkampungan di daerah Malangbong dan di tengah jalan beliau menemukan sesuatu benda yang bentuknya panjang bulat terbuat dari bambu serat dengan tidak sadar maka benda itu dibawanya ke rumah dan bambu tersebut dibuat suatu alat yangt bisa mengeluarkan bunyi. Pada saat itu juga ARFAEN mengumpulkan para santri dan mereka disuruhnya membuat alat-alat lainnya yang terbuat dari bambu-bambu yang sudah tua untuk memadukan bunyinya dengan alat yang Arfaen buat tadi dan kemudian bambu-bambu tersebut disusun dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengeluarkan suara yang nyaring dan dicobanyalah semua alat-alat itu ditabuh/dibunyikan maka terdengarlah irama musik, kalau masa kini yang sangat enak didengar ditambah dengan nyanyian-nyanyian yang beriramakan Sunda Buhun dan Arab / Solawatan.
Dari mulai saat itulah Lurah Acok dan Para Santrinya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan berkeliling mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, umaro dan tokoh-tokoh santri untuk berkumpul bermusyawarah sambil memasukan ajaran-ajaran agama Islam dengan menabuh seperangkat alat-alat yang dibuatnya itu dengan membawakan lagu-lagu solawatan dan lagu-lagu sunda buhun yang isi syairnya mengajak kepada masyarakat banyak untuk masuk agama Islam.
Hampir semua penduduk yang ada di Desa Sanding, di kampung-kampung, di kota-kota sekitar daerah Malangbong bahkan dimana-mana di daerah Kabupaten Garut pada umumnya yang pernah didatangi oleh Lurah Acok menganut ajaran agama Islam. Maka sejak saat itulah Lurah Acok memberikan nama Kesenian Badeng yang artinya “Badeng” adalah dari kata Bahadrang yaitu musyawarah berunding dengan suatu alat kesenian. Badeng adalah suatu jenis kesenian sebagai media untuk menyebarkan agama Islam pada waktu itu.
Sampai sekarang kesenian ini masih ada dan dipergunakan sebagai alat hiburan, untuk menyambut tamu-tamu besar, perayaan, Mauludan, khitanan, hajat dan lain sebagainya, hanya saja para pemainnya sudah tua-tua rata-rata berumur 60 tahunan.
Adapun alat-alat Kesenian Badeng tersebut terdiri dari :
2 (dua) buah Angklung Kecil bernama Roel yang artinya bahwa dua pimpinan pada waktu itu antara kaum ulama dengan umaro (pemerintah) harus bersatu, alat ini dipegang oleh seorang dalang.
2 (dua) buah dogdog lonjor ujungnya simpay lima yang artinya menandakan bahwa didunia ini ada siang ada malam dan laki-laki dengan perempuan, alat ini dipegang oleh dua orang simpay lima berarti rukun Islam.
7 (tujuh) buah angklung agak besar terdiri dari : angklung indung, angklung kenclung dan angklung kecer disesuaikan dengan nama-nama hari, alat ini dipegang oleh 4 orang.
SURAK IBRA
Pimpinan : Hasanah (Kp. Sindangsari Desa Cinunuk Kec. Wanaraja Kab. Garut)
Surak Ibra atau yang juga dikenal dengan sebutan Boboyongan merupakan hasil ciptaan Raden Djajadiwangsa putera Raden Wangsa Muhammad (lebih dikenal dengan nama Pangeran Papak﴿. Raden Djajadiwangsa (meninggal sekitar tahun 1955), pada tahun 1910 di Kampung Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut.
Seni tradisional Surak Ibra merupakan suatu sindiran (simbul﴿ atau semboyan tidak setuju terhadap Pemerintahan Belanda pada waktu itu bertindak sewenang-wenang kepada masyarakat penjajahan. Khususnya di Desa Cinunuk dan umumnya Daerah Kabupaten Garut.
Melalui seni Surak Ibra, memupuk pendirian masyarakat supaya mempunyai pemerintahan sendiri hasil gotong royong bersama untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, rasa persatuan dan kesatuan antara pemerintah dan masyarakatnya juga ditonjolkan melalui perlambang gerakan dan koreografi, demi menunjang keadilan dan kebijaksanaan pemerintah secara mandiri dengan penuh semangat kebersamaan.
Konon pada awal penciptaannya, pucuk penari yang berada diatas menginjak-injak pemain lain di bawahnya sebenarnya berdiri pada telapak-telapak tangan para penari. Ini merupakan symbol penjajah yang menginjak-injak rakyat, hingga muncullah perlawanan kemudian dengan naiknya salah seorang penari lain dan terjadilah pertarungan (padungdung) memperagakan jurus-jurus silat diatas pijakan telapak-telapak tangan para penari lalu ketika sang wakil rakyat dapat mengungguli penari yang merupakan symbol penjajah, maka diboyonglah sang pemimpin itu dengan cara melempar-lemparkannya sambil bersorak – sorak hal inilah nampaknya yang memunculkan istilah lain, Boboyongan.
Kesenian yang lahir sebagai upaya melawan penjajah Belanda dalam bentuk seni ini menampilkan puluhan orang (60-100 orang) yang terdiri dari pemain Angklung, Dogdog, dan instrument lainnya serta beberapa penari, pada pucuk tarian salah seorang diantar penari akan dilempar-lempar ke atas oleh pemain lainnya sambil di kelilingi oleh pembawa obor dan pemain music yang menyertai, sungguh menghibur dan atraktif.
Dari sejak berdiri pada tahun 1910 sampai sekarang, pada kesenian tradisional Surak Ibra ini sudah dilakoni oleh 4 generasi, bahkan sekarang pun perlu di remajakan sebab sudah banyak pemain yang tua-tua.
Regenerasi ini pun menjadi penting adanya memngingat kedudukan dan presatasi dari seni tradisional Surak Ibra yang seringkali di jadikan ikon kesenian tradisional khas bukan saja bagi Kab. Garut, tetapi dijadikan Ikon seni Helaran Provinsi Jawa Barat.
Waditra yang dipergunakan adalah :
2 (dua﴿ obor dari bambu.
Seperangkat gendang Pencak / lebih.
Seperangkat Dogdog / lebih.
Beberapa buah Angklung / lebih.
Beberapa Keprak / lebih.
Beberapa Kentongan Bambu.
Waditra atau instrument perkusi lain yang diperlukan.
RAJA DOGAR (RAJANYA DOMBA GARUT)
Pimpinan : Entis Sutisna (Kp. Pakemitan Desa Wanaraja Kec. Wanaraja Kab. Garut)
Raja Dogar dapat diartikan Rajanya Domba Garut, karena di dalam pertunjukannya di dominasi oleh kemunculan hewan ternak khas bagi masyarakat Garut, yakni Domba Garut yang divisualisasikan dalam bentuk atau model kostum yang menyerupai seperti Domba adu Garut.
Disebut Raja Dogar karena bentuk tubuh dan tinggi badanya melebihi dari Domba yang sebenarnya. Sementara Domba adu garut adalah salah satu hewan ternak yang diakui sebagai ras domba dengan kwalitas terbaik di dunia yang memiliki simbul “TEUNEUNG LUDEUNG LEBER WAWANEN NANJEURKEUN BEBENERAN” yang dapat diartikan sebagai lambing Berani dan Benar.
Seni Raja Dogar diciptakan oleh Sdr. ENTIS SUTISNA pada tanggal 18 Desember 2005 dan dideklarasikan pertama kali di Kampung Warung Kaler Desa Desa Cikarag Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut.
Bentuk permainan Raja Dogar adalah reflika Laga Domba (Adu Domba) atau sekarang namanya menjadi Ketangkasan Domba Garut, baik cara dan ketentuan ketangkasan Domba tersebut diaplikasikan dengan penampilan layaknya Seni Barongsai yaitu dimainkan oleh dua orang pemain Domba, satu orang sebagai kepala dan satu orang lainnya sebagai badan dan ekor.
Kesenian Raja Dogar berfungsi sebagai Hiburan atau kalangenan yang dapat ditampilkan di berbagai acara dan arena (Panggung dan Helaran) di dalam maupun di luar ruangan. Selain dipergunakan untuk seni pertunjukan, juga sering dipergunalan untuk mengarak anak yang dikhitan dan acara-acara lain.
Musik pengiring Seni Raja Dogar masing menggunakan idiom music tradisional sunda, diantaranya adalah : seperangkat Kendang Pencak, Reog, Angklung, Tarangtang, Simbal, Bass Drum dan Kulanter. Konsep Iringan tersebut didasari karena dalam setiap perhelatan ketangkasan Domba Garut selalu ditampilkan Seni Kendang Pencak sebagai pengirinnya.
Pementasan Seni Raja Dogar, walaupun diusianya masih baru, namun keberadaannya cukup membanggakan masyarakat Garut, selain sering mengisi event berskala regional, nasional malah pernah mengisi kegiatan di tingkat Internasional tepatnya di Negara Singapura.
Dalam Perjalanan Seni Raja Dogar, dari semenjak didirikan sampai sekarang, ada beberapa tempat yang menjadi persinggahan kesenian tersebut, diantaranya :
Pertama kali dibuat di Kampung Warung Kaler Desa Cikarag Kecamatan Malangbong.
Kedua pernah menetap di Kampung Loji Desa Keresek Kecamatan Cibatu
Sekarang menetap dan berkembang di Kampung Pakemitan Desa Wanaraja Kecamatan Wanaraja (tempat kelahiran sang Kreator Entis Sutisna).
Walaupun sempat berpindah-pindah tempat dan bergantinya para personil, karena di tiga tempat yang berbeda tersebut, masih meninggalkan karya Raja Dogar (di Malangbong dan Cibatu) yang masih hidup dan berkembang, namun semuanya ada dibawah management Sdr. Entis Sutisna.
Bobotoh, wasit permainan, dan musik pengiring adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap event di tempat-tempat pamidangan ketangkasan adu doma khas Kabupaten Garut. Rasa percaya diri seorang bobotoh adu domba, apabila domba milik juragannya dapat memenangkan dalam setiap pertandingan. Sementara bagi bobotoh yang dombanya kala terasa hampa lesu dan raut wajah terlihat letih dan sedih, saling ledek pun sering terjadi diantara pada bobotoh dan disitu peran wasit permainan sangat dibutuhkan untuk meredakan suasana yang sedang memanas akibat saling meledek diantara bobotoh tersebut.
Kostum yang dipakai pada Seni Raja Dogar untuk para bobotoh tetap dipertahankan sesuai dengan kebiasaan dimana para bobotoh cara berpakaiannya identik dengan jawara, yaitu memakai Pangsi (kampret) serba hitam dan memakai topi laken, kacamata, Geulang Bahar, Golok.
Sementara para personil lainnya disesuaikan dengan masa yang kekinian, agar para penonton dan personil tidak merasa jenuh dan bosan. Contohnya Personil Pembawa Bandir (bendera) memakai pangsi dengan warna mencolok (genjreng) sementara ikat kepala mereka yang dahulu identik dengan batik, maka pada seni Raja Dogar ini ada inovasi yaitu dengan dibuat dalam bentuk seperti mahkota kepala domba yang dibaut secara abstrak. Termasuk pada pemain Musik (pengiring) memakai kostum yang berwarna mencolok yang disesuaikan dengan masa kekinian.
Jumlah pemain Raja Dogar pada pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan permintaan para pengguna jasa Seni Raja Dogar. Jumlah seluruhnya para pemain Raja Dogar berjumlah 40 orang untuk katagori Helaran (karnaval) dengan rincian sebagai berikut :
4 orang sebagai Pemeran Domba untuk 2 ekor Domba
6 orang sebagai Bobotoh
1 orang sebagai Wasit permainan
6 orang sebagai Pembawa Umbul-umbul (Bandir)
6 orang sebagai Penari (Pesilat)
8 orang sebagai pemain Musik (Pangrawit)
2 orang sebagai pembawa spanduk
3 orang sebagai pembawa roda Sound System
4 orang sebagai pendorong panggung berjalan
Jumlah pemain Raja Dogar cukup Fleksibel, bisa dengan personil 40 orang, 30 orang ataupun 20 orang, bahkan sampai 12 orang disesaukan dengan kondisi lapangan.
Jalanya Permainan Seni Raja Dogar dimulai dengan :
Penampilan pembawa bendera (Bandir) yang dibawakan oleh 6 sampai 8 orang penari putra.
Selanjutnya masuk para penari (Pesilat Putri) yang membawakan beberapa jurus yang dilanjutkan dengan ijen dua orang petarung.
Kemudian masuk 2 ekor Domba, yang berjalan mengitari lapangan (arena pertandingan) kalau dilaksanakan di luar ruangan. Yang selanjutnya diikuti oleh para bobotoh atau pengurus domba-domba dimaksud.
Setelah mengitari arena, selanjutnya para bobotoh mengurus masing-masing Domba jagoannya. Para Bobotoh pun saling sindir dan saling ejek merendahkan kemampuan lawan, dan selanjutnya para bobotoh memamerkan jurus-jurus andalan mereka dengan diiringi tepak dua. Bahkan dalam gerakan-gerakan Silat para Bobotoh dibuat sebagai bahan lawakan untuk menyemarakan suasa sebelum pelaksanaan Raja Dogar Domba dilaksanakan.
Akhirnya Seni Raja Dogar pun mulai diperlihatkan, dimulai dengan :
Jetrakan pertama, kedua Domba mencoba mengukur kekuatan lawan
Jetrakan kedua, masing masing Domba merasakan kekuatan lawan
Jetrakan ketiga, saling adu gesek tanduk
Jetrakan keempat, Kedua Domba saling mengelak sehingga menyeruduk ke penonton, hingga akhirnya para penonton berhamburan menghidar Domba yang kebablasan.
Jetrakan kelima, Domba berwarna putih kalah terlebih dahulu
Jetrakan keenam, Domba warna putih masih memaksakan untuk bertanding, namun kehabisan tenaga dan akhirnya Domba putih ambruk, sehingga para bobotoh sibuk mengurus Domba Putih tersebut agar bisa bertanding kembali.
Jetrakan ketujuh, Doma Putih kembali bisa bangkit dan meneruskan pertandingan, dan pada akhirnya Domba Putih pun dapat memenangkan pertandingan dimaksud.
Terakhir Kedua Domba secara bersamaan memberi hormat kepada para penonton sebagai akhir dari jalanya Pagelaran Seni Raja Dogar.
Dalam pementasan Seni Raja Dogar, dalam setiap gerak yang ditampilkan adalah manivestasi dari filosofi yang telah dilakukan oleh orang tua kita dahulu. Diantaranya :
Seperti pembawa Umbul-umbul melambangkan kegembiraan masyarakat sewaktu menyambut kedatangan tamu kehormatan atau menyambut tamu yang diagungkan (pangagung). Umbul umbul (Bendera) yang berjumlah 6, melambangkan Rukun Iman.
Bobotoh dan Wasit berjumlah 7 orang, melambangkan lapisan bumi dan langit kita ada 7 lapisan, dan warna hitam pada pangsi (kampret) melambangkan warna tanah.
Domba berjumlah 2 ekor, melambangkan dua sisi dari kehidupan di dunia, ada siang dan malam, Baik dan benar, Lelaki dan Perempuan.
Warna Hitam dan Putih pada 2 Domba melambangkan hal baik dan hal buruk.
Pesilat selain dijadikan sebagai kembang desa juga diperlihatkan gerakan kekuatan dalam cara bela diri agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan misi dan visi Raja Dogar yang telah diuraikan tersebut diatas, pada intinya Seni Raja Dogar dalam pertunjukannya menampilkan gaya dan tatanan yang berbeda dengan jenis yang lain telah lebih dahulu ada.
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar