Oleh: Euis Thresnawaty S
Abstraksi
Ada dua alasan besar yang menjadi latar belakang mengapa Banjar ingin memisahkan diri dari Kabupaten Ciamis dan membangun kotanya menjadi kota mandiri. Pertama berdasarkan amanat konstitusi, bahwa sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 yang memberi kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada desentralisasi. Status kabupaten dan kota tidak lagi sebagai wilayah administratif tetapi hanya sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kedua adalah alasan sosiologis dan sejarah, bahwa orang Banjar merasa bukan orang Ciamis dalam budaya. Mereka lebih lugas, dinamis, dan terbuka bahkan cenderung keras, berbeda dengan orang Ciamis yang berkarakter lembut. Dari segi sejarah orang Banjar merasa berbeda dengan Ciamis, karena sebelumnya Banjar masuk dalam wilayah Kerajaan Sukapura, sementara Ciamis masuk wilayah Kerajaan Galuh. Masalah sejarah ini seringkali dijadikan pembenaran sebagai dasar memisahkan diri dari Ciamis.
A. Pendahuluan
Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah memba-wa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 tahun tidak berubah bahkan cenderung bersifat stagnan. Karena itu peru-bahan yang terjadi saat ini dipandang sebagai suatu langkah baru menuju terciptanya Indonesia baru di masa depan dengan dasar-dasar efisiensi dan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah.
Banjar sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis, pada tahun 1991 menjadi kota administratif. Statusnya kemudian meningkat lagi menjadi kota ketika RUU Pemerintahan Kota Banjar disetujui menjadi UU di DPR pada tanggal 12 November 2002. Untuk mencapai status kota tersebut memerlukan waktu yang cukup lama, proses berbelit-belit, dan melalui perjalanan panjang dari tokoh-tokoh masyarakat Banjar.
Kota Banjar adalah salah satu daerah di Propinsi Jawa Barat, memiliki luas wilayah 11.359.908 hektar, dengan jumlah penduduk 149.827 jiwa. Kota Banjar terbagi dalam 4 kecamatan, yaitu: Kecamatan Banjar, Kecamatan Langensari, kecamatan Pataruman, dan Kecama-tan Purwaharja. Letaknya sangat strategis berada di bagian timur wilayah Propinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, Banjar menjadi daerah yang cukup penting dalam arus perpindahan barang dan manusia di bagian selatan Pulau Jawa.
B. Sekilas Masa Lalu Banjar
Dalam buku Yuganing Raja Kawasa, di sebutkan bahwa pa-da tahun 612 M, Prabu Wreti-kandayun putra Prabu Kandiawan dari Kerajaan Kendan mendirikan negara Galuh. Pusat kota ditetapkan di daerah Karangkamulyan sekarang, di bentengi oleh dua sungai besar, yaitu Cimuntur dan Citanduy. Citanduy yang sekarang melintasi Banjar merupakan satu-satunya alat transportasi, saat itu untuk lintasan kapal-kapal kecil yang akan berdagang ke kerajaan Galuh. Pada saat itu dibuka pula sebuah bandar untuk tempat tinggal para Saudagar dari berbagai negara yang hendak berdagang di Negara Galuh. Wi-layah yang dijadikan bandar ini memiliki banyak pohon tarum, sehingga bandar ini dikenal dengan nama Bandar Tarum, selanjutnya berkembang menjadi Banjar Tarum, dan akhirnya Banjar Patroman.
Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh pada tahun 1579 karena adanya pengaruh agama Islam. Tetapi keberadaan wilayah Banjar yang merupakan bagian dari Kerajaan Galuh semakin ramai oleh para pendatang, bahkan dijadikan tempat untuk berdagang dan berkumpulnya para ulama. Ketika Kerajaan Sunda Pajajaran hancur, Kerajaan Galuh tampil menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Keadaan ini berlangsung terus hingga tahun 1595 atau hingga Kerajaan Galuh dikuasai oleh Mataram, di bawah Sutawijaya atau Panembahan Senopati (1586-1601). Waktu itu Banjar masuk wilayah Kabupatian Kawasen yang ada di bawah kekuasaan Mataram. Keberadaan wilayah Banjar sebagai bagian Kerajaan Galuh setidaknya berlangsung hingga tahun 1641. Memasuki awal abad ke-19, wilayah Banjar ter-masuk salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura. Keberadaan Banjar sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura berlangsung hingga tahun 1938.
Sebagai sebuah wilayah administratif bisa dipastikan bahwa status wilayah administratif yang pertama kali disandang Banjar adalah Desa. Keberadaan Banjar sebagai sebuah desa tampaknya telah berlangsung sejak sebelum abad ke-19. Memasuki abad ke-19 atau setidaknya sejak tahun 1860, status wilayah administratif Banjar tidak hanya sebagai sebuah desa tetapi juga telah meningkat menjadi sebuah distrik atau kawedanaan.
Pada masa Kerajaan Mata-ram terjadi dua kali reorganisasi di wilayah Priangan. Pertama, berlangsung dari tahun 1641 hingga 1645, pada masa peme-rintahan Sultan Agung (16013-1645). Kedua dari tahun 1645 hingga tahun 1677, pada masa pemerintahan Sunan Amangku-rat I (1645-1677).
Reorganisasi pertama dila-kukan setelah Sultan Agung mengalami kegagalan dalam melakukan penyerbuan ke Bata-via. Dengan kegagalannya itu, maka ia melakukan perombakan wilayah dengan cara pembagian wilayah di daerah Priangan se-bagai upaya persiapan untuk melakukan penyerangan kem-bali ke Batavia. Wilayah kekua-saan Mataram di bagi menjadi dua, yaitu Sumedang dan Galuh:
a. Sumedang dibagi menjadi
Kabupaten Sumedang dengan bupati, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata II (Rangga Gempol II), merangkap sebagai Bupati Wedana Priangan.
Kabupaten Bandung, dengan bupati, Tumenggung Wirangun-angun.
Kabupaten Parakan Mun-cang, dengan bupati, Tumenggung Tanubaya.
Kabupaten Sukapura, dengan bupati, Tumenggung Wiradadaha.
b. Galuh dibagi menjadi
Kabupaten Kawasen
Kabupaten Utama
Kabupaten Bojong
Lopang (Kertabumi),
Kabupaten Imbanagara
Reorganisasi Priangan ke-dua, wilayah Priangan dibagi dalam 9 ajeg, yaitu setingkat kabu-paten, yaitu :
1. Kabupaten Sumedang,
2. Kabupaten Bandung,
3. Kabupaten Parakanmuncang,
4. Kabupaten Sukapura,
5. Kabupaten Karawang,
6. Kabupaten Imbanagara,
7. Kabupaten Kawasen,
8. Kabupaten Wirajaba (Galuh),
9. Kabupaten Sekace (Galung-gung atau Sindangkasih)
Dalam buku “Priangan” kara-ngan DR. F. Dehaan yang merupakan kumpulan laporan perjalanan para pejabat pemerintah Belanda, menyebutkan tentang laporan Yacob Couper mengenai daftar desa-desa pada tahun 1686. Laporan tersebut menguraikan bahwa Kabupaten Kawasen yang berdiri tahun 1633 merupakan sebuah kabupaten yang memiliki wilayah cukup luas, meliputi :
Sebelah Timur sampai Laut Pamotan/Kalipucang
Sebelah Selatan sampai beberapa Km dari Ciamis memanjang dari sungai Citan-duy hingga Surupan
Sebelah Barat sampai wilayah Banjar, Janggala, Bo-jonglopang
Sebelah Utara sampai Walahir, Cinangsi dan Cisero
Menurut Drs. Saleh Danasasmita dalam bukunya berjudul “Geografi Budaya dan Pembangunan di wilayah Jawa Barat”, pada tahun 1655 Sunan Amangkurat I memerintahkan Ki Puspawangsa untuk melakukan pendataan penduduk. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Kab. Bandung : 1000 Jiwa
Kab. Parakan Muncang : 1000 Jiwa
Kab. Sukapura : 1000 Jiwa
Kab. Sumedang : 1000 Jiwa
Kab. Imbanagara : 800 Jiwa
Kab. Kawasen : 700 Jiwa
Kab. Kertabumi : 1100 Jiwa
Kab. Jampang : 1000 Jiwa
Kab. Cianjur + Kab. Cibala-gung : 1100 Jiwa
Kab. Tanjungpura : 800 Jiwa
Dari hasil pendataan tersebut terbukti Kabupaten Kawasen memiliki wilayah cukup luas tetapi jumlah penduduknya hanya sedikit. Bahkan pada tahun 1633 yaitu pada masa pemerintahan Bupati Bagus Sutapura yang bergelar Tumenggung Sutanangga, jumlah penduduknya hanya 300 jiwa.
Dalam bukunya yang berjudul “Pustaka I Bumi Limbangan Dong” Bayu Suryaningrat menu-liskan bahwa pada tanggal 15 Nopember 1684 terjadi pertemuan para Bupati Priangan di Benteng Beschreming Cirebon. Pada pertemuan itu dilakukan suatu pendataan mengenai jumlah penduduk masing-masing kabupaten, hasilnya adalah sebagai berikut :
Kab. Sumedang : 1150 Umpi
Kab. Timbanganten : 1125 Umpi
Kab. Sukapura : 1125 Umpi
Kab. Parakanmuncang : 1076 Umpi
Kedaleman Imbanegara : 708 Umpi
Kedaleman Kawasen : 605 Umpi
Para Kuwu Bojong Lopang
Masing-masing : 20 Umpi
Perubahan kembali terjadi pada saat pemerintah Hindia Belanda mulai menguasai wila-yah Kabupaten Kawasen, terutama masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Daendels. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan disegala bidang terutama bidang pajak dan pemerintahan sehingga menimbulkan keresahan para Bupati di wilayah Priangan. Daendels banyak melakukan penggantian bupati dengan memilih bupati baru pilihannya, bukan lagi atas dasar garis keturunan. Demikian juga dalam membubarkan sebuah kabupaten, ia melakukannya atas dasar suka dan tidak suka, ia membubarkan Kabupaten Sukapura, Limbangan, dan sebagainya. Kabupaten Kawa-sen dibubarkan oleh pemerin-tahan Daendels pada tanggal 10 Juni 1810. Wilayah ini meliputi beberapa Kacutakan / Kawedanaan :
Kacutakan/Kawedanaan Banjar Patroman
Kacutakan/Kawedanaan Kalipucang
Kacutakan/Kawedanaan Kawasen
Kacutakan/Kawedanaan Cikambulan
Kacutakan/Kawedanaan Parigi
c. Kacutakan / Kawedanaan Ciwaru Cijulang
Akibat tindakan Daendels, kacutakan-kacutakan yang ada di bawah Kabupaten Kawasen oleh pemerintah Hindia Belanda digabungkan dengan Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, artinya Banjar pernah menginduk pada Kabupaten Sumedang, sedangkan Kacutakan - kacuta-kan kacutakan yang berada di bawah Kabupaten Galuh diga-bungkan dengan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Bosch, Kabupaten Sukapura kembali berdiri, wilayah kekua-saannya mulai dari Banjar sampai Cijulang. Sebagai pusat kota Kabupaten Sukapura adalah Pasir Panjang, Bupatinya dijabat oleh Raden Tumenggung Wira-dadaha VIII dan Patihnya adalah Danuningrat. Saat itu wilayah Kabupaten Sukapura yang se-mula terdiri atas 8 distrik yaitu : Distrik Mangunreja (Panyeredan), Taraju, Sukaraja, Parung, Karang, Cikajang, Batuwangi dan Nagara (Pamengpeuk) men-jadi 21 distrik karena mendapat tambahan 8 distrik dari Galuh dan 5 distrik dari Sumedang, 8 Distrik gabungan dari Galuh adalah : Distrik Pangandaran, Pasir Panjang, Banjar, Kawasen, Kalipucang, Parigi, Cijulang, dan Mandala. Sedangkan gabungan 5 distrik dari Sumedang meliputi: Distrik Malangbong, Ciawi, Indihiang, Singaparna, dan Tasik-malaya. Daerah luas itu disebut daerah Galunggung.
Tetapi karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, pada tahun 1821 daerah Sukapura/Galunggung di pecah menjadi tiga bagian (afdeeling) yaitu :
Afdeeling Sukapura Kolot, dengan luas wilayah 276.683 Ha diperintah oleh Patih dan Asisten Residen. Dibagi dalam 2 (dua) kekontroliran yaitu Mangunreja dan Cikajang yang meliputi 8 distrik dengan ibu kotanya Mangunrejo. 5 distrik di Mangunreja terdiri Distrik Panyeredan (ibukota Mangunrejo), Karang (ibukota Parakanhonje), Sukaraja, Taraju (ibukota Deudeul), dan Parung (ibukota Cibatu). 3 distrik di Cikajang yaitu : Batuwangi (Ibukota Banjarwa-ngi), Kandangwesi (Ibu kota Pakenjeng), dan Nagara (ibu-kota Pameungpeuk). Batas sebelah Utara Afdeeling Ta-sikmalaya, Limbangan dan Cicalengka, sebelah Timur Afdeeling Sukapura yang di-pindahkan oleh Ciwulan, sebelah Selatan Samudra Hindia, sebelah Barat Afdeeling Cianjur. Ibukota Mangunrejo terletak di pinggir Sungai Ciwulan, merupakan kota resik berpenduduk 2.539 orang, di-antaranya Eropa 9 orang, Cina 25 orang.
Afdeeling Sukapura, dengan luas wilayah 260.312.13 Ha, diperintah langsung oleh Bupati Wiradadaha VIII. Dibagi dua kekontroliran yaitu Ma-nonjaya dan Parigi yang me-liputi 8 distrik. 3 distrik di Manonjaya, yaitu Pasirpanjang (ibukota Manonjaya), Banjar, dan Kawasen (ibukota Banjarsari). 5 distrik di Parigi, yaitu : Parigi, Cijulang, Mandala (ibukota Cilegi), Ci-kambulan, dan Kalipucang. Batas sebelah Utara, Keresidenan Cirebon, sebelah Timur Keresidenan Banyumas, dipisahkan oleh sungai Citanduy yang dapat dilayari sejak Banjar. Sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, sebelah Barat Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Ibukota Manonjaya berpenduduk pribumi 4,687 orang, Cina 22 orang, dan Timur Asing 6 orang.
Afdeeling Tasikmalaya, de-ngan luas wilayah 98.786 Ha diperintah oleh Patih Lurah, dan Asisten Residen. Dibagi dua kekontroliran, yaitu Tasikmalaya dan Ciamis de-ngan ibukota Tasikmalaya, yang meliputi 5 distrik. Tasikmalaya meliputi 2 (dua) distrik, ialah Distrik Tasikmalaya dan Singaparna. Ciawi meliputi 3 distrik, ialah Distrik Ciawi, Indihiang, dan Malangbong. Batas sebelah utara Lereng Cakrabuana, sebelah Timur Citanduy, sebelah Selatan Ciwulan, sebelah Barat Limbangan. Ibukota Tasikmalaya berpenduduk Pribumi 5.731, Eropa 94 orang, dan Cina 371 orang.
Setelah pembagian wilayah tersebut, tempat kedudukan Bupati Sukapura mengalami perpindahan, sesuai dengan daerah yang diperintahnya secara langsung, yaitu Sukaraja (Leuwiloa). Pada tahun 1832, Bupati Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Sukaraja ke Harjawinangun, Manonjaya sekarang. Sebelum selesai pembangunan, untuk sementara ibukota bertempat di Distrik Pasirpanjang. Belum diketahui sejak kapan perubahan Harjawinangun men-jadi Manonjaya, sedangkan yang meresmikan Manonjaya sebagai ibukota kabupaten adalah Patih Raden Tumenggung Danuning-rat. Tetapi pemindahan ibukota sendiri baru dilaksanakan 2 ta-hun kemudian, yaitu tahun 1934 setelah pembangunan ibukota selesai.
Pemindahan ibukota Kabupaten Sukapura ke Manonjaya disebabkan oleh alasan-alasan sebagai Berikut :
1. Setelah diadakan pembagian wilayah Kabupaten Sukapura menjadi 3 bagian, Bupati Wiradadaha VIII memerintah secara langsung di Distrik-distrik Pasirpanjang, Banjar, Kawasen. Parigi, Cijulang, Mandala, dan Kalipucang. Daerah-daerah tersebut lokasinya berada di sebelah Timur Kota Sukaraja, maka jalannya roda pemerintahan akan mengalami kesulitan. Hal ini tentu saja akan menyusahkan bupati dalam mengawasi dan mengontrol da-erah-daerah tersebut.
2. Pada saat itu sedang ber-kecamuk perang Diponegoro di Jawa Tengah (1815-1839). Untuk menjaga agar pengaruhnya tidak mengimbas ke wilayah Jawa Barat, maka Belanda memperkuat pertahanan di sepanjang daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dalam menghadapi situasi itu keadaan masyarakat yang aman dan tertib serta pengawasan yang ketat pada daerah-daerah perbatasan sangat diperlukan. Bupati Wiradadaha VIII sebagai penguasa daerah perbatasan ha-rus mengawasi daerahnya dengan baik. Untuk itu ibukota kabupaten harus dipindahkan ke sebelah Timur, agar hubungan ke semua daerah kekuasaannya berjalan dengan lancar. Pe-mindahan ibukota Kabupaten Sukapura dari Sukaraja ke Ma-nonjaya dapat dianggap sebagai langkah pembaharuan dari Bu-pati Raden Tumenggung Wira-dadaha VIII dalam menghadapi dan mengatasi perubahan-peru-bahan yang terjadi di wilayahnya.
Afdeeling-afdeeling yang ada di Priangan yaitu :
a. Afdeeling Cianjur dibagi 8 distrik/Kawedanaan
Distrik Maleber
Distrik Ciputri
Distrik Cibalagung
Distrik Cikalong
Distrik Bayongbong
Distrik Cikondang
Distrik Jampang Wetan
Distrik Cidamar
b. Afdeeling Sukabumi dibagi 7 distrik /kawedanaan
Distrik Gunung Parang
Distrik Cimahi
Distrik Ciheulang
Distrik Ciurug
Distrik Palabuan
Distrik Jampang Tengah
Distrik Jampang Kulon
c. Afdeeling Bandung, di bagi 9 distrik/kawedanaan
Distrik Ujung Berung Kulon
Distrik Ujung Berung Wetan
Distrik Banjaran
Distrik Cisondari
Distrik Rongga
Distrik Cikolotok
Distrik Rajamandala
Distrik Cihea
Distrik Gandasuli/darang- dan
d. Afdeeling Cicalengka, diba-gi 6 distrik/ Kawedanaan
Distrik Cicalengka
Distrik Timbangan
Distrik Cikembulan
Distrik Balubur Limba-ngan
Distrik Majalaya
Distrik Cipeujeuh
e. Afdeeling Tasikmalaya, di-bagi 5 distrik/ kawedanaan
Distrik Tasikmalaya
Distrik Malangbong
Distrik Ciawi
Distrik Indihiang
Distrik Singaparna
f. Afdeeling Sumedang, dibagi 6 Distrik/Kawedanaan
Distrik Tanjungsari
Distrik Sumedang
Distrik Cibeureum
Distrik Congeang
Distrik Darmawangi
Distrik Darmaraja
g. Afdeeling Limbangan, diba-gi 4 Distrik/ Kawedanaan
Distrik Suci
Distrik Panembong
Distrik Wanaraja
Distrik Wanakerta
h. Afdeeling Sukapura, dibagi 8 Distrik/Kawedanaan
Distrik Pasir Panjang
Distrik Banjar
Distrik Kawasen
Distrik Cijulang
Distrik Cikambulan
Distrik Parigi
Distrik Kalipucang
Distrik Mandala
i. Afdeeling Sukapura Kolot, dibagi 8 Distrik/ Kawedanaan
Distrik Panyeredan
Distrik karang
Distrik Selacau
Distrik Taraju
Distrik Batuwangi
Distrik Nagara Pameungpeuk
Distrik Kandangwesi
Distrik Parung
Pada tanggal 16 Nopember 1882 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang pembagian wilayah Kabupaten Sukapura yaitu pembagian Residentie Prianger Regenschappen ke dalam distrik dan order distrik. Pembagian tersebut adalah :
a. Distrik/Kawedanaan Pasipanjang
Onder Distrik Manonjaya
Onder Distrik Pamijahan
Onder Distrik Cineam
b. Distrik/Kawedanaan Banjar
Onder Distrik Banjar
Onder Distrik Sapuangin
Onder Distrik Pamarican
c. Distrik/Kawedanaan Kawasen
Onder Distrik Cisaar
Onder Distrik Sindanghayu
Onder Distrik Padaherang
d. Distrik/Kawedanaan Kalipucang
Onder Distrik Kalipucang
Onder Distrik Ciganjeng
Onder Distrik Kalapatilu
e. Distrik/Kawedanaan Cikambulan
Onder Distrik Cikambulan
Onder Distrik Bojong
f. Distrik/ Kawedanaan Manala
1. Onder Distrik Cilegi
2. Onder Distrik Cikatomas
3. Onder Distrik Linggasari
4. Onder Distrik Citambal
5. Onder Distrik Kalapagenep
g. Distrik / Kawedanaan Parigi
Onder Distrik Parigi
Onder Distrik Cibubur
Onder Distrik Parakan
h. Distrik / Kawedanaan Cijulang
Onder Distrik Cijulang
Onder Distrik Cimindi
Onder Distrik Langkap Lancar
Onder Distrik Legok Jawa
Pada saat pemerintahan di Kabupaten Sukapura dipegang oleh Bupati Raden Tumenggung Wiraadiningrat (1875-1901), ia mendapat surat resmi (offidel) dari Gubernemen yang isinya meminta agar Bupati Sukapura memindahkan ibukota Kabupa-ten ke Kota Tasikmalaya. Akan tetapi, sebelum Bupati Raden Tumenggung Wiraadiningrat melaksanakan tugas tersebut, ia meninggal pada tahun 1901. Sebagai penggantinya adalah Raden Wiratanuwangsa, putra Raden Adipati Wiraadegdaha (1855 -1875), yang memerintah Sukapura sebelum Bupati Raden Tumenggung Wiraadiningrat Wiraadegdaha ini merupakan Bupati Sukapura ke XI dan karena ia diasingkan oleh Gubernemen ke Kota Bogor, maka dikenal dengan sebutan Dalem Bogor. Sebelumnya Rd. Rangga Wiratanuwangsa menjabat Patih Sukapura di Manonjaya. Setelah menjadi bupati, Rd. Rangga Wiratanuwangsa bergelar Rd. Tumenggung Prawira Adiningrat dan merupakan Bupati Sukapura ke XIII.
Begitu menduduki jabatan Bupati, Rd. Tumenggung Prawira Adiningrat harus mempersiap-kan perpindahan ibukota Kabu-paten dari Manonjaya ke Tasikmalaya, sesuai perintah Gubernemen. Pelaksanaan pemindahan ibukota dari Manonjaya ke Tasiknalaya tidak sesulit pemindahan ibukota dari Sukaraja ke Manonjaya, selain jaraknya yang tidak terlalu jauh, sekitar 12 km, juga banyak fasilitas yang telah tersedia. Kesiapan Tasikmalaya menjadi ibukota kabupaten disebabkan sejak tahun 1821 kota ini telah menjadi tempat tinggal Patih Lulurah dan Asisten Residen Afdeeling Tasikmalaya.
Pemerintahan Hindia Belan-da seringkali melakukan perubahan dalam sistem pemerintahan-nya. Hal ini kembali terjadi pada tahun 1900, dengan di keluarkannya peraturan mengenai wilayah keresidenan, kabupaten, distrik, dan onder distrik. Peru-bahan-perubahan ini tentu saja mengakibatkan bubarnya, ber-gabung dan berdirinya peme-rintahan baru. Demikian pula dengan Kabupaten Sukapura, sejak tanggal 1 Oktober 1901, Tasikmalaya resmi menjadi pu-sat kota Kabupaten Sukapura. Sebagai bupati pertama Sukapura yang berkedudukan di Tasikmalaya adalah Rd. Tumenggung Prawira Adi-ningrat. Berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Peme-rintahan Hindia Belanda nomor 327 tahun 1901 maka diatur pembagian distrik dan onder distrik, diantaranya sebagai berikut:
a. Distrik Pasir Panjang
Onder Distrik Manonjaya
Onder Distrik Pamijahan
Onder Distrik Cineam
Onder Distrik Bengkok
b. Distrik Banjar
Onder Distrik Pamarican
Onder Distrik Cimaragas
Onder Distrik Cisaar
c. Distrik Padaherang
Onder Distrik Padaherang
Onder Distrik Banjarsari
Onder Distrik Kalipucang
Latar belakang keluarnya surat perintah pemindahan ibukota kabupaten itu, tampaknya cenderung berdasarkan faktor ekonomi bagi kepentingan Gubernemen. Ketika itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diangkut ke Batavia untuk diekspor, terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daearah. Tetapi letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil perkebunan yang ada di Galunggung. Sementara itu, Kota Tasikmalaya letaknya sesuai dengan kepentingan tersebut. Letaknya dipinggir jalan besar, sehingga memudahkan pengontrolan dari Gubernemen.
Pada waktu pemerintahan Dalem Aria (Rd. Tumenggung Prawira Adiningrat), Bupati per-tama yang berkedudukan di Tasikmalaya, Kabupaten Sukapura mendapat perubahan besar, yaitu :
Terjadi perubahan luas wila-yah. Afdeeling Mangunrejo dan Tasikmalaya dihapus- kan Dari Afdeeling Mangun-rejo (Sukapura Kolot) yang masuk Kabupaten Sukapura yaitu, Distrik-distrik Mangunrejo, Taraju, Sukaraja, Karang, dan Parung, sisanya masuk Kabupaten Limbangan. Dari Afdeeling Tasik-malaya yang masuk Kabu-paten Sukapura adalah Distrik-distrik : Ciawi, Indihiang, dan Singaparna. Sedangkan Distrik Malangbong dibagi dua, sebagian masuk Kabupaten Limbangan dan sebagian masuk Kabupaten Sumedang.
Pemerintahan langsung diperintahkan oleh Bupati. Selanjutnya beberapa distrik bawahan Sukapura ada yang dihapuskan dan disatu-kan dengan kabupaten lain. Sehingga pada tahun 1910, Kabupaten Sukapura hanya membawahi 14 distrik.
Pada tahun 1926, masa pe-merintahan Rd. Adipati Wiratanuningrat (Bupati Sukapura ke XIV) peraturan desentralisasi dan otonomi pemerintahan jajahan Hindia Belanda mulai dilaksanakan. Wilayah Kabupaten Sukapura hanya tinggal 10 distrik lagi. Kesepuluh distrik itu adalah :
Distrik Tasikmalaya
Distrik Ciawi
Distrik Manonjaya
Distrik Singaparna
Distrik Taraju
Distrik Karangnunggal
Distrik Cikatomas
Distrik Banjar
Distrik Pangandaran
Distrik Cijulang
Tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura kemudian diganti menjadi Kabupaten Tasikma-laya, sebagai bupatinya saat itu adalah Rd. Adipati Aria Wira-tanuningrat (1908-1937), peng-ganti Bupati Rd. Adipati Aria Prawira Adining-rat (1901-1908). Bersamaan dengan meninggal-nya Rd. A.A. Wiratanuningrat pada tanggal 5 Mei 1937, maka berakhir pula “jaman Dalem” (Kadaleman). Sebagai penggan-tinya adalah Rd. Tumenggung Wiradiputra, putra Raden Adipati Wirahadiningrat dan merupakan Bupati turunan Sukapura yang ke XV. Sementara itu wilayah Kawasen yang semula Kada-leman, menjadi Distrik, lalu On-der Distrik dan kemudian dibu-barkan. Akhirnya Kawasen ha-nya menjadi desa di daerah Banjarsari, Kabupaten Ciamis.
Adapun Distrik Banjar setelah sekian lama menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura kemudian berubah menjadi Kabupaten Tasikmalaya, pada tanggal 1 Januari 1938 menjadi bagian wilayah Kabupaten Ciamis atas persetujuan Bupati Ciamis, Rd. Tumenggung A. Su-narya, putra Rd. A. Wirahadiningrat, juga merupakan adik Rd. Tumenggung Wiradiputra. Pada tahun 1939 Distrik Cijulang dan Pangandaran juga dipindahkan ke Kabupaten Ciamis. Dengan demikian, di akhir kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, baik Kabupaten Tasikmalaya maupun Kabupaten Ciamis, masing-masing memiliki 7 buah distrik.
Selama Banjar menjadi distrik, setidaknya tercatat ada 14 wedana yang pernah memerintah di Distrik Banjar. Keempat belas wedana tersebut adalah:
1. Raden Pradja Didjaja ( 25 Juli 1888-1898)
2. Raden Djaja Koesoema (14 September 1898-1902)
3. Raden Reksa Atmadja (18 Nopember 1902- 1906)
4. Mas Rangga Mintaredja (20 Nopember 1906-1908)
5. Raden Natakoesoemah (19 Oktober 1908-1912)
6. Raden Atmadibrata (1 Juli 1912-1916)
7. Raden Somantaredja ( 9 Mei 1916-1918)
8. Mas Kandoeroean Widjaja-sasra (4 September 1918-1922)
9. Raden Rangga Soekarma-didjaja (18 Mei 1922-1923)
10. Raden Ahmad Tisnakoesoe-ma (17 Desember 1923-1925)
11. Raden Prawiradilaga ( 29 Agustus 1925-1927)
12. Raden Alibasah (22 Novem-ber 1927-1931)
13. Raden Rangga Djajadihardja (29 Juli 1931-1938)
14. Mas Kartaatmadja (24 Mei 1938-1942)
C. Penutup
Dari uraian tadi dapat disimpulkan bahwa, bisa dimengerti mengapa orang Banjar lebih condong memilih berada dalam lingkaran Kerajaan Sukapura. Karena sejak awal abad ke-19, wilayah Banjar termasuk salah satu bagian dari wilayah Kabu-paten Sukapura hingga tahun 1938. Tepatnya, sejak tanggal 1 Januari 1938 Banjar menjadi bagian Kabupaten Ciamis atas persetujuan Bupati Ciamis, Raden Tumenggung A. Sunarya.
Status wilayah administratif yang pertama kali di sandang Banjar adalah desa. Keberadaan Banjar sebagai sebuah desa tampaknya telah berlangsung sejak sebelum abad ke-19. Memasuki abad ke-19 atau seridaknya sejak tahun 1860, status wilayah administratif Banjar tidak hanya sebagai sebuah desa tetapi juga telah meningkat menjadi sebuah distrik.
Daftar Pustaka
Pemkot Banjar, 2000, Potensi Wilayah Kota Administratif Banjar
Sukarja, H. Djadja, 2001, Naratas Sejarah Banjar Patroman, Ciamis
Hardja Saputra, A. Sobana, 1985, Bupati-bupati Priangan Kedudukan dan Perannya Pada Abad ke 19, Tesis, Yogyakarta, Ugama
Marlina, Ietje, 1972, Berdirinya Kabupaten Sukapura dan Perkembangannya, Skripsi, Bandung, UNPAD
Euis Thresnawaty adalah Tenaga Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni, dan Film. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Sumber: Buddhiracana Vol. 10\No. 1\ Maret 2005 BPSNT Bandung