Oleh : Suwardi Alamsyah P.
A. Pendahuluan
Candoli bagi orang Sunda di pedesaan mempunyai peranan cukup penting terutama dalam selamatan-selamatan besar atau (Sd. kariaan), misalnya perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Ia bertugas menyimpan, menjaga, mengatur, dan mengeluarkan makanan dari penyimpanan di goah. Goah ialah salah satu ruangan rumah yang letaknya di bagian belakang, biasanya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan dan bumbu serta perabot dapur dan padaringan. Istilah lain sebutan candoli ialah patih goah, yakni wanita tengah baya (tengah tuwuh) yang memang tugasnya mengurus goah. Dalam selamatan atau hajatan candoli biasanya dipilih dari kalangan keluarga sendiri atau kenalan dan tetangga dekat yang dapat dipercaya dan dipandang cakap untuk menjalankannya.
Sementara itu, Triana Rosantini (1989:35) menyebutkan bahwa candoli disamakan dengan wali puhun yakni dukun yang memimpin upacara memotong padi sewaktu panen di daerah Jawa Barat. Candoli bertugas menetapkan waktu memotong padi berdasarkan hari baik menurut pasaran, seperti kliwon, manis, pon, dan wage. Seseorang yang ingin memanen sawah, harus memberitahukan kepada masyarakat bahwa ia akan memulai memotong padinya. Untuk keperluan itu, ia harus memanggil seorang dukun candoli untuk memimpin upacara serta mengundang para tetangga. Biasanya candoli mengajukan beberapa syarat, antara lain yang disebut sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos atau kukus, serta nasi tumpeng dengan perlengkapannya. Sebelum memulai memotong padi, candoli membacakan doa. Kemudian ia menyemburkan sirih ke empat penjuru angin. Setelah itu, mulai memotong padi untuk yang pertama kali, dan baru kemudian pemilik sawah meneruskannya.
Dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan hajatan, terutama dalam proses mengatur makanan, orang-orang di pedesaan umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional, yakni memakai candoli. Hal itu dilakukan mungkin berdasarkan naluri dan kebiasaan yang secara turun-temurun ditransformasikan dari generasi sebelumnya.
Melihat kecenderungan tersebut, dalam kesempatan ini, penulis mencoba untuk mengangkat, kedudukan dan peranan candoli di masyarakat Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta, sebagai objek penulisan. Diharapkan penulisan ini dapat mengungkap fungsi dan peran candoli di samping pengetahuan lainnya yang belum teruraikan oleh penelitian lain apabila ada. Di lain pihak penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi setiap generasi sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang sifatnya tradisional tanpa mengelakkan pengetahuan modern, yang memang diperlukan bagi bangsa kita yang sedang membangun.
Suatu pesta atau hajatan adalah peristiwa yang menyenangkan, baik bagi keluarga yang bersangkutan ataupun keluarga lainnya. Di pedesaan, penanganan hajatan biasanya terutama yang berhubungan dengan pengaturan makanan diserahkan sepenuhnya kepada candoli yang sudah dianggap profesional, karena ia sudah dianggap ahli dan berpengalaman di bidangnya. Dalam hal ini, candoli dapat diartikan sebagai suatu keahlian dan keterampilan yang diperoleh berdasarkan bakat alam, keturunan, pengalaman, dan bahkan berasal dari kekuatan gaib, bukan dari proses belajar secara formal.
Meskipun zaman sekarang, penanganan suatu hajatan atau pesta dilakukan dengan cara profesional dalam arti mereka yang mau mengadakan pesta atau hajatan kadang dilakukan di gedung-gedung, di samping segala sesuatu yang berkaitan dengan hajatan tersebut diserahkan kepada mereka yang biasa menanganinya (cattering, event organizer, dan lain sebagainya), bukan saja pada perangkatnya akan tetapi juga sumber daya manusianya, pada kenyataannya menggeser keberadaan candoli di pedesaan.
Permasalahan pokok lainnya adalah, melengkapi khasanah budaya Sunda dalam bentuk tulisan "Candoli", karena hingga kini tulisan tentang candoli, sangat langka dan belum pernah ada yang mengkaji secara khusus. Kondisi inilah mendorong dilakukannya penelitian mengenai candoli.
Ketika manusia merasa jenuh dengan berbagai atribut modernisasi yang acapkali tidak memberi kepuasaan batiniah maka nilai-nilai lama yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional kembali dicari dan dimanfaatkan. Salah satunya adalah tradisi penanganan candoli dalam hajatan, yang diakui mempunyai peran menentukan suksesnya sebuah hajatan.
Berdasarkan paparan di atas, supaya dapat mencapai sasaran yang diharapkan dan mencapai tujuan yang sudah ditentukan, maka penelitian ini hanya ditujukan pada candoli dan penulis batasi hanya dalam kegiatan hajatan, cara mengatur makan-makanan dan lauk pauknya, di samping kegiatan lainnya sebelum pelaksanaan hajatan dilangsungkan. Adapun lokasi penelitiannya di Desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan penelitian diperlukan metode yang tepat supaya data dapat tergali sebanyak-banyaknya dan seakurat mungkin. Tipe penelitian ini ialah eksploratif (mengungkap tuntas) dengan penelaahan data yang bersifat kualitatif, yakni suatu cara yang digunakan untuk menyelidiki dan memecahkan masalah yang tidak terbatas pada pengumpulan data, melainkan meliputi analisis dan interorientasi sampai pada kesimpulan yang didasarkan atas penelitian (Surakhmad, 1982:139). Adapun metode dan langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi :
1) Studi kepustakaan
Studi ini penting dilakukan untuk memahami konsep-konsep seputar bahasan, sekaligus mendapatkan informasi yang tidak diperoleh di lapangan.
2) Wawancara
Wawancara dilakukan dengan candoli dan masyarakat yang dianggap mengetahui seluk beluk permasalahan penelitian.
3) Pengamatan
Pengamatan merupakan cara untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara.
B. Identifikasi Daerah Penelitian
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang telah jauh melampaui batas ruang dan waktu. Sebagai akibatnya, laju pembangunan yang merupakan aplikasi atau penerapan ilmu pengetahuan pun turut serta di dalamnya. Kegiatan pembangunan dalam berbagai bidang terus bertambah dan merambah ke pelosok pedesaan. Apalagi ditunjang dengan fasilitas atau sarana transportasi yang baik, tidak menutup kemungkinan arus informasi dan atau arus modernisasi akan turut mewarnai corak kehidupan pedesaan yang bersangkutan
Hal tersebut, tampaknya berlaku pada penduduk Desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta yang merupakan lokasi penelitian Fungsi dan Peran Candoli. Dengan transportasi yang baik dan lancar cukup memungkinkan mobilitas penduduk Desa Darangdan untuk lebih dinamis, selain tentunya letak Desa Darangdan sendiri berada di antara jalur jalan utama (jalan provinsi) dari Bandung ke kota Kabupaten Purwakarta. Mereka hilir mudik dari desa ke kota atau sebaliknya dari kota ke desa untuk berbagai keperluan dan tujuan.
Dampak yang mungkin terjadi dari adanya arus mobilitas penduduk tersebut, sudah dapat ditebak. Pengaruh kota (modernisasi) akan disusul dengan perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, baik bidang material maupun bidang spiritual yang berhubungan dengan kepercayaan atau tradisi. Penduduk Desa Darangdan, yang beraneka ragam mata pencahariannya, tidak luput pula dari pengaruh kota dan arus modernisasi. Beberapa hal di bidang pertanian maupun di bidang-bidang lainnya, seperti pengaturan dalam hajatan, baik hajatan perkawinan maupun hajatan sunatan (Khitanan), kini cenderung mengalami perubahan. Semula hanya meminta pertolongan jasa candoli saja, kini melibatkan jasa profesional berupa pemesanan jasa catering, di samping menggunakan tempat kegiatan atau hajatan berupa gedung. Walau demikian, jasa candoli masih tetap dipergunakan.
Dalam praktiknya para candoli kini cenderung rasional. Sebagai contoh, dahulu candoli berperan dengan tata cara tertentu menurut tradisi, yakni terikat oleh aturan-aturan dan tatacaranya menurut adat, baik berupa yang sifatnya tabu atau pantang dengan harus menyediakan persyaratan-persyaratan, seperti: parukuyan (pedupaan), eunteung (cermin), minyak keletik (minyak kelapa), sirih beserta kelengkapannya, tujuh macam bungan-bungaan, dan tujuh macam rurujakan, serta yang lain-lainnya. Hal tersebut dipersembahkan untuk para leluhur, terutama sekali karena disimpan di goah, tempat menyimpan padi sebagai persembahan kepada Dewi Sri yang telah memberikan kekuatan serta kesuburan bagi kehidupan manusia, di samping jampi-jampi atau mantra-mantra yang harus dibacakan.
Kini semua itu cenderung ditinggalkan. Mantra adalah perkataan atau kalimat yang mendatangkan daya gaib dan pesona. Oleh karena itu, penggunaan mantra atau jampi-jampi dalam masyarakat lama, seperti halnya yang dilakukan oleh seorang candoli, pawang atau dukun mempunyai peranan yang sangat besar dalam masyarakat.
Menurut salah seorang informan, pelapalan sebuah mantra biasanya dengan suara tidak keras, artinya cukup dalam hati, dan diucapkan pada waktu-waktu tertentu bergantung keperluan atau kebutuhan. Barangkali kalau mantra dilapalkan sembarangan, maka kata-kata yang dilapalkannya tidak lagi mengandung tenaga gaib dan pesona lagi. Kemudian mantra ini bisa mengandung tenaga gaib apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dilaksanakan dengan baik, seperti puasa, tidak tidur, tidak berbicara dala waktu tertentu, dan sebagainya.
Perubahan tersebut, tidak terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang mereka terima, sehingga mereka lebih berpikir praktis dan rasional ketimbang berpikir yang kurang rasional. Hal tersebut bisa dipastikan, bahwa pengertian candoli sudah bergeser artinya.
Lokasi dan Keadaan Alam
Desa Darangdan yang menjadi lokasi penelitian Fungsi dan Peran Candoli, berada di Desa Darangdan, Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta. Untuk sampai ke lokasi, dari
Desa Darangdan berada di pinggir jalan raya antara
- sebelah utara berbatasan dengan Desa Sakarya;
- sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sirnamanah;
- sebelah barat berbatasan dengan desa Gunung Hejo; dan
- sebelah timur berbatasan dengan Desa Sawit.
Undang-undang Dasar 1945 (pasal 18) dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, antara lain menegaskan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia dibagi habis dalam wilayah besar dan kecil, mengandung makna bahwa seluruh wilayah menurut penggunaannya dengan sendirinya masuk dalam wilayah salah satu desa atau kelurahan. Oleh karena itu, desa yang mempunyai luas wilayah lebih kurang 237,9 ha, menurut penggunaannya meliputi tanah permukiman umum 86,6 ha, perkantoran 0,5 ha, sekolah 1,5 ha, pertokoan atau perdagangan 1,2 ha, tempat peribadatan 1,5 ha, pemakaman/pekuburan 5,3 ha, jalan raya dan atau jalan desa 3,4 ha, sawah tadah hujan 56,6 ha, ladang dan tegalan 75,1 ha, perkebunan teh rakyat 52 ha, sarana olah raga dan rekreasi seperti lapangan sepak bola, lapangan bola volley/basket 1,1 ha, perikanan darat (kolam) 2 ha.
Dilihat dari topografinya, Desa Darangdan merupakan perbukitan atau pegunungan seluas 237, 9 ha. Dan kalau dilihat dari kondisi geografisnya, maka ketinggian dari permukaan laut 600 m dengan curah hujan rata-rata per tahun 2000 mm serta keadaan suhu udara rata-rata antara 20 derajat selsius sampai dengan 32 derajat selsius. Keadaan alam yang demikian memungkinkan daerah ini sebagai daerah dengan tingkat kesuburan sedang. Oleh karena itu dapat dipahami jika upacara-upacara tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Desa Darangdan berkisar pada upacara-upacara yang bertalian dengan pertanian, sehingga jasa candoli tidak hanya digunakan pada hajatan saja melainkan pula digunakan pada kegiatan-kegiatan seperti itu.
Kependudukan
Penduduk Desa Darangdan Kecamatan Darangdan adalah suku Sunda. Artinya semua penduduk ini berkewarganegaraan Indonesia (WNI). Berdasarkan data potensi desa tahun 2001, tercatat seluruhnya berjumlah 4.614 jiwa, dari jumlah tersebut laki-laki sebanyak 2.232 jiwa dan perempuan sebanyak 2.382 jiwa yang meliputi 1076 Kepala Keluarga (KK). Semua penduduk desa ini menganut agama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan yang secara turun-temurun dilakukan oleh pendahulunya. Seperti halnya candoli, secara tidak langsung maupun langsung masyarakatnya akan melibatkan jasa candoli. Mereka sukar untuk memisahkan antara agama dengan sistem kepercayaan. Hal itu diakibatkan karena baik agama maupun sistem kepercayaan yang masih dijalankan oleh sebagian masyarakat Sunda, termasuk di dalamnya jasa candoli berfungsi mengatur sikap dan sistem nilai. Dengan demikian keduanya sering tampak mewarnai kehidupan mereka sehari-hari.
Jumlah penduduk berdasarkan umur secara rinci adalah sebagai berikut: usia kelahiran 0 bulan hingga usia 12 bulan sebanyak 95 jiwa, usia 13 bulan sampai dengan 4 tahun berjumlah 365 jiwa, usia 5 - 6 tahun sebanyak 198 jiwa, usia 7 - 12 tahun sebanyak 555 jiwa, usia 13 -15 tahun sebanyak 394 jiwa, usia 16 - 18 tahun sebanyak 304 jiwa, usia 19 - 25 tahun sebanyak 350 jiwa, usia 26 - 35 tahun sebanyak 358 jiwa, usia 36 - 45 tahun sebanyak 359 jiwa, usia 46 - 50 tahun sebanyak 607 jiwa, usia 51 - 60 tahun sebanyak 586 jiwa, usia 61 - 75 tahun sebanyak 271 jiwa, dan usia lebih dari 76 tahun sebanyak 172 jiwa.
Data tersebut menunjukkan bahwa generasi tua, terutama yang berusia 50 tahun ke atas menunjukkan jumlah terbesar dibandingkan dengan jumlah usia di bawahnya. Oleh karena itu, tidaklah heran jika jasa candoli dalam kegiatan-kegiatan, baik itu hajatan perkawinan maupun hajatan sunatan dan pesta-pesta lainnya masih mempergunakan jasa candoli sebagai orang yang dipercaya untuk mengatur kegiatan tersebut.
Mutasi penduduk selama tahun 2001 ini terbagi atas; lahir sebanyak 21 jiwa (laki-laki sebanyak 12 jiwa dan perempuan sebanyak 9 jiwa); meninggal dunia sebanyak 23 jiwa terdiri atas laki-laki 11 jiwa dan perempuan 12 jiwa; penduduk masuk atau datang sebanyak 36 jiwa terdiri atas laki-laki 19 jiwa dan perempuan 17 jiwa; penduduk keluar atau pergi sebanyak 21 jiwa terdiri atas laki-laki 12 jiwa dan perempuan 9 jiwa. Sehingga jumlah keseluruhan mutasi penduduk Desa Darangdan berjumlah 101 jiwa, terdiri atas laki-laki 54 jiwa dan perempuan 47 jiwa.
Dalam hal mata pencaharian, masyarakat Desa Darangdan yang berada di ambang wilayah Kabupaten Purwakarta, begitu beragam mata pencahariannya, baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, sebagai buruh tani. Selain sebagai petani masyarakat Desa Darangdan bermatapencaharian : sebagai pengusaha, baik besar maupun sedang, pengrajin, buruh industri, buruh bangunan, buruh perkebunan, pedagang, sopir angkutan umum, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian, pensiunanan baik Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, maupun Kepolisian; dan peternak. Sedangkan menurut angkatan kerja, penduduk Desa Darangdan ini meliputi : usia kerja sebanyak 2.193 orang, usia kerja yang bekerja sebanyak 1.801 orang, usia kerja yang belum bekerja sebanyak 210 orang, dan penduduk yang menganggur sebanyak 182 orang.
Sehubungan dengan masalah pendidikan yang merupakan modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, di Desa Darangdan telah tersedia sarana pendidikan berupa Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Madrasah Tsanawiyah. Adapun untuk Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat di desa tetangga. Bagi pelajar yang orang tuanya mampu dan berminat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, mereka lebih memilih kota Bandung karena cukup banyak pilihan. Jumlah penduduk Desa Darangdan menurut jenis pendidikannya meliputi : tidak tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 184 orang, tamat Sekolah Dasar sebanyak 2.674 orang, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 246 orang, tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) sebanyak 320 orang, tamat Akademi sederajat sebanyak 38 orang, dan tamat S.1 atau Universitas sederajat sebanyak 10 orang.
Dalam bidang kesehatan, kesadaran masyarakat cukup tinggi. Hal tersebut terlihat dengan keikutsertaan mereka dalam Pendidikan Kesejahteraan Keluaraga (PKK), di samping mereka turut mendukung program Keluarga Berencana (KB) sebagai upaya mereka mencapai hidup sehat dan sejahtera, yang salah satunya adalah kegiatan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Selain itu juga terlihat ketertataannya lingkungan, baik kondisi rumah maupun halaman sekitarnya.
Latar Belakang Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Darangdan Kecamatan Darangdan yang berpenduduk 4.614 jiwa, tampak jalinan erat antara penduduknya. Keramahan dan keakraban terbina tidak saja dengan penduduk setempat tetapi juga dengan pendatang. Kondisi tersebut tercipta bukan tidak mungkin karena tidak adanya pelapisan sosial di dalam masyarakat. Kalangan mampu (kelas menengah ke atas) maupun menengah ke bawah dapat menyatu dalam pergaulan sehari-hari. Selain itu, adanya berbagai kegiatan yang melibatkan warga setempat, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), pengajian, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), serta gotong royong atau kerja bakti mempunyai andil dalam pembinaan masyarakat. Hal yang sama berlaku juga dalam kegiatan hajatan (kariaan), mereka secara sukarela bergotong royong seperti misalnya dalam pembuatan balandongan, tungku perapian untuk memasak yang terletak di belakang rumah, pembuatan umbul-umbul, dan lain sebagainya.
Kekayaan lain yang ada di Desa Darangdan ini adalah adanya sanggar kesenian yang mendapat perhatian dari beberapa orang budayawan dan seniman.
Fasilitas dalam bidang kesehatan cukup baik, di sana telah tersedia seorang dokter, 4 orang perawat, dan 4 orang bidan. Selain itu, terdapat seorang dokter umum yang membuka praktik, tiga orang dukun sunat, serta 48 orang dukun bayi (dukun beranak atau istilah Sunda : paraji Untuk pelayanan Keluarga Berencana (KB) tersedia pos (klinik KB) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Kaitannya dengan tema penelitian, masalah fungsi dan peran candoli, kini masyarakat sudah banyak menggunakan atau memanfaatkan jasa catering, sehinga terjadi perubahan baik dalam teknis maupun perangkat pendukung lainnya. Kondisi demikian, tentu saja telah membawa beberapa perubahan dalam budaya penanganan hajatan. Tingkat ketaatan masyarakat dalam penanganan sebuah hajatan yang sesuai tradisi leluhurnya telah mengalami penurunan, kalau tidak dikatakan berkurang sekali. Tatacara yang biasa dilakukan anggota masyarakat dalam sebuah hajatan pemanfaatan jasa candoli, mulai ditinggalkan. Faktor lain sebagai penyebabnya adalah semakin berkurangnya peran tokoh-tokoh yang mengetahui serta tahu mengenai fungsi dan peran candoli karena usianya yang sudah tidak memungkinkan, di samping pandangan masyarakat generasi sekarang yang telah berubah.
Sejarah Singkat Daerah Penelitian
Desa Darangdan adalah salah satu desa di Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarata. Konon, nama nama tersebut berlatar belakang sebagaimana dituturkan dalam cerita rakyat berikut.
Dahulu, di sekitar Gunung Hejo, Ngenol yang merupakan kawasan hutan belukar dengan kondisi jalan berbatu-batu terkenal banyak binatang buas dan perampok. Meski kondisinya sangat rawan dan masih sulit untuk dilalui, daerah tersebut tetap ramai dilalui orang, di antaranya pedagang terutama orang-orang dari Bandung yang hendak menuju Batavia (sebutan Jakarta saat itu) atau sebaliknya.
Konon ada satu cerita, Sultan Agung mengadakan perjalanan dengan beberapa prajuritnya melewati daerah tersebut. Oleh karena beliau tahu bahwa daerah yang akan dilewatinya adalah daerah rawan, maka beliau bersama prajuritnya singgah sejenak untuk bersiap-siap atau darangdan. Maksud darangdan di sini adalah mengencangkan ikat pinggang seperti dalam ungkapan “caringcing pageuh kancing saringset pageuh iket” agar jika dikejar harimau atau perampok, mereka dapat berlari kencang tanpa terganggu oleh pakaian atau barang bawaan, artinya sudah siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Ketika mereka singgah sejenak sambil ngobrol-ngobrol, dalam obrolan tersebut muncul pertanyaan mengenai nama tempat istirahat tersebut. Kemudian terpikirkan oleh mereka untuk menamai tempat tersebut "Darangdan" karena setiap orang yang akan melewati daerah ini berdandan dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Sejak itulah tempat tersebut resmi dinamakan "Darangdan" hingga sekarang diabadikan sebagai nama desa dan kecamatan.
Kini, wilayah Darangdan dalam sejarahnya telah mengalami tiga zaman, yaitu zaman Belanda, Jepang, dan Republik Indonesia.
C. Fungsi dan Peran Candoli
Dalam pepatah Sunda, dikenal ungkapan "saeutik mahi loba nyesa", yaitu berupa pengajaran yang pada intinya bermaksud untuk memberikan nasihat dalam menyikapi dan menjalani kehidupan, terutama sekali dalam kebutuhan materi. Namun di dalamnya tidak saja tersurat tentang hal-hal yang berurusan dengan materi tetapi menyangkut pula hal-hal yang berurusan dengan yang sifatnya nonmateri. Ajaran tersebut biasanya disampaikan para orang tua kepada mereka yang masih memiliki hubungan famili, saudara, kerabat, atau siapa saja yang lebih muda agar mereka menaati perbuatan atau sikap agar hidup berlangsung dengan harapan, misalnya saja tidak hidup boros tetapi tidak berarti juga pelit. Sebaliknya, mereka yang menerima nasihat, tidak jarang menanyakan lebih jauh sebab musabab mereka harus manaati ajaran tersebut. Namun demikian, para orang tua yang dengan pengalamannya mengalami kehidupan ini, menjelaskan bahwa cara hidup yang tercermin dalam ajaran tersebut harus dibarengi pula dengan sikap dan cara yang bersejajaran dengan hal tersebut yaitu harus hemat dan cermat "kudu rikrik kudu gemi", artinya dalam hal ketika mengatur materi (rijki) agar kelangsungan hidup baik sandang maupun pangan dapat terpenuhi, dengan kata lain bahwa kita tidak harus pelit dan tidak harus bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya saja, namun lebih jauh dari itu, kita harus bisa menyeimbangkan antara kehidupan yang sifatnya materi dan nonmateri. Sehingga konsep hidup orang Sunda, harus “nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah” bisa terpenuhi di samping silih asah, silih asih, silih asuh menjadi jiwa masyarakat orang Sunda pada umumnya dan khususnya masyarakat Sunda di Darangdan.
Banyak cara atau adat yang berlaku dan diajarkan di kalangan orang Sunda. Adat ajaran tersebut salah satu di antaranya adalah tentang penanganan hajatan (kariaan), baik hajatan perkawinan maupun hajatan khitanan bagi mereka yang mampu dan melaksanakannya. Dalam hal mengatur, menjaga, dan mengeluarkan makanan biasanya yang mempunyai hajat menyerahkan sepenuhnya kepada seseorang yang dipercaya dan biasanya masih ada hubungan keluarga atau kerabat. Ia adalah seorang wanita tengah baya (tengah tuwuh) yang biasa disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan candoli. Tak dapat dipungkiri bahwa adat tersebut berhubungan erat dengan sistem kepercayaan lama orang Sunda yang terpateri dalam tata caranya. Sementara itu orang Sunda dewasa ini adalah penganut agama Islam yang taat, serta dalam kehidupannya sehari-hari dapat diketahui sifat-sifat keislamannya. Mereka benar-benar patuh pada ajaran-ajaran tentang agama Islam yang diberikan oleh para Ustadz, Kiyai, atau Ajengan di tempat mereka, seperti halnya di daerah yang menjadi objek penelitian kali ini.
Dalam tata cara hajatan, seorang candoli yang diberi tugas oleh yang mempunyai hajat terlihat masih melaksanakan berbagai tindakan yang mengingatkan kita pada kepercayaan lama dan asli. Maksudnya, ia menghubungkan diri dengan arwah-arwah leluhur (karuhun) serta orang tua yang wafat. Ia memohon izin untuk melakukan suatu pekerjaan, mohon berkat dan perlindungan agar memperoleh keselamatan, kebahagian serta terhindar dari marabahaya. Dari sini terlihat hubungan dengan para arwah leluhur atau karuhun masih berlangsung, serta dijaga dengan tertib dan penuh hormat oleh orang-orang yang mempercayainya.
Selain itu, ketika sebuah keluarga memutuskan untuk melaksanakan hajatan perkawinan, para orang tua menganjurkan kedua calon mempelai berziarah ke makam para leluhurnya masing-masing sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Di sini masing-masing calon mempelai mengabarkan niatnya mengadakan perhelatan kawin dan mohon perlindungan. Mereka memohon agar dalam melangsungkan perkawinannya tidak kurang suatu apa, serta memperoleh kebahagiaan di kemudian hari, dan diberi umur panjang. Adapun seorang candoli yang mendapat tugas biasanya meminta kelengkapan sesajen (sasajen) kepada sahibul hajat untuk para arwah leluhur dan tokoh suci dalam Islam sebagai suatu penghormatan. Selain itu, ia membacakan doa-doa dan jampi-jampi disertai dengan pembakaran kemenyan. Semua itu dimaksudkan dengan harapan yang sama seperti kedua calon mempelai berziarah. Candoli seolah-olah hendak menjamu dan menghormati tamu terhormat yang diundang.
Peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu, seperti halnya hajatan perkawinan atau khitanan biasanya ditambah dengan upacara-upacara lain serta hiburan kesenian. Dan yang tidak kalah pentingnya, mereka yang mempunyai hajat mengundang sanak saudara dan kerabat, sehingga pengaturan makanannya diserahkan sepenuhnya kepada candoli. Banyak tidaknya tambahan-tambahan upacara hiburan, dan jumlah tamu yang diundang bergantung pada macam hajatan dan kedudukan sosial pemilik hajatan.
Macam hajatan yang di antaranya memerlukan jasa seorang candoli, yaitu :
a) Hajatan yang berlangsung sehari, dengan undangan kurang dari seratus orang di luar keluarga dan kerabat dekat.
b) Hajatan yang dihadiri oleh tamu undangan lebih dari seratus orang yang berkedudukan tinggi atau dihormati oleh pemangku hajat. Acaranya diikuti dengan kegiatan-kegiatan upacara dan hiburan kesenian yang berlangsung satu hari atau lebih;
c) Beberapa macam hajatan yang sifatnya hanya mengumpulkan sanak keluarga terdekat saja jarang menggunakan jasa candoli. Misalnya, hajatan pada saat kandungan menginjak empat bulan,
Hajatan sunat (khitanan) umumnya dilakukan bagi anak laki-laki. Dini hari, anak yang akan dihitan dimandikan di sumber mata air atau sungai dengan upacara tertentu, salah satu syarat dari upacara tersebut adalah membawa beras dalam beberapa boboko dalam prosesi tertentu untuk dibersihkan atau “diisikan” bersamaan dengan mandi kembang anak yang dikhitan, dengan harapan bahwa anak yang dikhitan kelak kemudian hari mendapatkan kebahagian yang dilambangkan dengan beras sebagai inti dari kehidupan manusia. Sedangkan mandi kembang dimaksudkan agar anak yang di khitan, nantinya mempunyai nama yang harum dan dihormati.
Menurut salah seorang informan “bela” atau seekor kambing dipotong ketika berlangsungnya khitanan bagi tiap anak yang disunat. Pada saat yang bersamaan dengan sunatan tadi, ada hajatan pemotongan gigi secara simbolis (ngagusaran), yang prosesinya antara lain : mandi dengan air besar atau mandi kembang, mengadakan arak-arakan dengan berpakaian adat; sawer; manjoan leungeun dan ngahuripan. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya melibatkan paraji yang bertindak sebagai candoli yang mengatur keluar masuknya makanan di goah. Goah adalah ruangan rumah yang letaknya di bagian belakang.
Sebelum melaksanakan hajatan biasanya pihak keluarga yang bersangkutan terlebih dahulu merundingkan mengenai kapan waktu yang tepat pelaksanaannya. Mereka akan menanyakan kepada orang tua atau kepada orang yang dianggap tahu seputar penentuan hari pasaran atau hari baik untuk penyelenggaraan hajatan tersebut. Setelah diketahui waktu pelaksanaannya, maka pihak keluarga yang bersangkutan mencari dan menentukan siapa kira-kiranya orang yang dianggap tepat menjadi candoli dalam hajatan tersebut.
Seorang candoli setidak-tidaknya ia harus memiliki syarat-syarat seperti berikut.
· i memiliki pengetahuan yang berkaitan seputar pengaturan makanan;
· bisa menjamu dan juga harus bisa meramu, dengan kata lain bahwa ia harus bisa memanfaatkan makanan-makanan yang tersedia dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada para tamu, serta tamu yang hadir pun bisa merasa puas dengan hidangan tersebut, sehingga ungkapan saeutik mahi loba nyesa terpenuhi;
· bisa ngagupay atau mendatangkan tamu yang diundang; serta
· memiliki kharisma serta bisa ngabayan atau membantu.
Untuk menentukan hari perkawinan, tentunya orang tua sangat berhati-hati sekali, karena menentukan repok atau tidaknya dua orang manusia berlainan jenis dalam suatu ikatan perkawinan, ditentukan pula oleh pertimbangan-pertimbangan yang berkenaan dengan masalah bobot, bibit, dan bebet-nya. Dengan kata lain bahwa selain masalah waktu pelaksanaannya juga faktor hubungan keluarga dan hal-hal yang bersangkutan dengan adat menjadi bahan pertimbangan, karena dalam paririmbon banyak hal yang harus diperhatikan, terutama hal yang berhubungan dengan nasib calon mempelai yang akan dikawinkan.
Adapun mereka yang mendapatkan pengetahuan tata cara penetapan waktu pelaksanaan hajatan adalah dari generasi leluhurnya secara turun temurun atau mereka yang dengan sengaja mempelajari pengetahuan tentang hal itu. Di antaranya dengan melihat hari kelahiran masing-masing calon mempelai, misalnya calon mempelai pria kelahiran hari sabtu repoknya adalah wanita yang lahir pada hari senin. Maka hari pelaksanaannya harus ditentukan pada hari rabu. Selain itu, bisa dihitung apakah itu dari nama dan hari kelahiran suami, istri, suami dan istri, seluruh anggota keluarga inti, atau diambil dari nama dan hari kelahiran calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dengan cara digabungkan serta dibagi dengan angka : 5, 6, 7, dan 9. Misalnya dengan cara menjumlahkan nilai abjad cacarakan nama kedua calon mempelai, yang kemudian hasil dari penjumlahan tersebut dibagi 7, maka hasil yang diperoleh bersisa :
· 1 (pisang punggel), mempunyai watek nahas, karena tidak akan mendapatkan kebahagiaan;
· 2 (tunggak semi);
· 3 (lungguh gumuling), disangka orang lain hidupnya;
· 4 (satriya lumaku), kelakuannya seperti seorang bujang atau lanjang, akan selalu berpindah-pindah rumah;
· 5 (pandita mukti), kaya akan ilmu pengetahuan;
· 6 (pandan waringin), banyak rijkinya dan banyak pula yang menikmatinya; dan
· 7 (padaringan kebek), tidak kekurangan makanan.
Selain cara tersebut di atas, juga penjumlahan cacarakan nama kedua calon mempelai, kemudian dibagi 5, maka hasil yang diperoleh bersisa :
· 1 (sri), selamat serta rijki mengalir;
· 2 (lungguh), duduk, mempunyai pangkat;
· 3 (dunya), mempunyai kekayaan, kaya;
· 4 (lara), sengsara, selalu mendapat kesulitan; dan
· 5 (pati), sengsara, dekat akan kematian.
Dari tata cara penentuan hari dan tanggal perkawinan tersebut mungkin tidak ditemukan saat yang tepat atau salah satu pihak dari keluarga calon mempelai menolak atau keberatan, maka sering pihak yang ditolak akan berusaha keras untuk tercapai maksudnya, dalam arti mereka harus berupaya atau narekahan agar perkawinan bisa berlangsung sesuai dengan kesepakan kedua calon dan keluarga mempelai, tetapi tidak dalam hajatan khitanan, karena dalam pelaksanaan hajatan khitanan tidak melibatkan keluarga lain, dalam arti ditentukan oleh satu keluarga.
Beragam cara diperoleh informan untuk melaksanakan hajatan. Tata cara tersebut bertalian dengan masalah waktu dan perlengkapan yang harus disediakan, cara pelaksanaan, siapa yang harus mengerjakan atau melaksanakan, serta makna yang terkandung di dalam perlengkapan dan tata caranya, di samping pantangan-pantangan yang dikenakan.
Candoli tersebut biasa ada di rumah yang punya hajat dimulai pada tiga hari atau setidak-tidaknya sehari sebelum pelaksanaan hajatan, karena ia harus mempersiapkan diri di samping harus melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, misalnya sasajen atau sesajen, yaitu barang-barang berupa makanan dan minuman yang disajikan untuk arwah karuhun (leluhur), ditempatkan di tempat tertentu dan pada waktu tertentu pula serta disajikan sebagai syarat untuk melaksanakan suatu maksud (hajat). Yang disajikan biasanya puncak manik, yakni congcot yang dipuncaknya diberi telor ayam yang masih utuh dengan kulitnya (telor ayam wajar mentah). Telur itu menjadi matang ketika congcot itu dikukus, air kopi dengan gula batu, surutu, bunga tujuh macam yang disimpan di atas tempat menyimpan beras secara adat, yakni semacam gentong kecil dan ditempatkan di goah di dekat padaringan yang terdiri atas rurujakan dan amis-amis ditempatkan dalam telur daun pisang atau pisin; juga pisang emas dan rampe, yakni pandan wangi yang diiris dicampur bunga-bungaan dan diberi wewangian, sirih pinang, eunteung atau cermin, minyak, dan sisir serta ditaruh di atas baki atau cecempeh. Di dekat padaringan biasa ditaruh parukuyan untuk ngukus atau membakar kemenyan. Yang boleh mengambil beras dari padaringan hanya perempuan. Adat kepercayaan Sunda menentukan bahwa padaringan merupakan inti dari rumah, karena itu seorang candoli adalah wanita tengah baya (tengah tuwuh) yang bertugas di goah, artinya ia harus bisa mengatur dan menjaga pusat sebuah lingkaran kehidupan dari kelangsungan sebuah keluarga. Oleh karenanya, ketika hajatan perkawinan itu usai dan mempelai berniat untuk pindah rumah, maka rumah itu dianggap "resmi" dihuni kalau padaringan sudah dipindahkan dari rumah lama, dan di sini pula seorang candoli mempunyai peran netepkeun. Namun kini sudah jarang ditemukan orang rumah yang memiliki padaringan, kebanyakan hanya memiliki pabeasan saja, sekedar tempat menyimpan beras dan bahkan sekarang ini banyak orang yang menggunakan penyimpanan beras yang disebut Cosmos (tidak secara adat).
Konon, ia (candoli) setelah mendapat kepercayaan mengatur dan menjaga makanan dari sahibul hajat, ia masuk ke dalam goah. Saat itulah ia menata kelengkapan nyuguh berupa sesajen seperti tersebut di atas. Nyuguh adalah menyajikan sesajen untuk arwah leluhur terutama sekali sebagai penghormatan kepada Dewi Sri Sanghiang Sri, karena pada saat itulah nenek moyang dan arwah para leluhur si empunya hajat akan datang, sehinngga perlu diberi sesajen. Setelah semuanya lengkap ia memulai dengan membaca doa-doa dan jampi-jampi disertai membakar kemenyan atau ngukus, dengan harapan agar pelaksanaan hajatan berjalan mulus disertai yang mempunyai hajat mendapat berkah dan lindungan Tuhan Yang Mahakuasa, serta persediaan makanan bisa mencukupi sesuai tamu undangan, artinya tidak kekurangan. Selama hajat berlangsung candoli tidak diperkenankan keluar dari goah, kecuali buang hajat besar maupun hajat kecil.
Kemudian candoli menganjurkan yang mempunyai hajat, apabila hajatan itu ingin sukses, maka yang mempunyai hajat harus memenuhi syarat-syarat berikut.
· diwajibkan melempar celana dalam (kolor) ke atas genteng;
· selama hajatan berlangsung tidak diperkenankan menyapu;
· tidak boleh mandi;
· harus mengganti satu genting rumah dengan genting dari genting tajug atau surau;
· menggantungkan wayang (cepot) di atas perapian atau (paraseuneu); dan
· apabila ada hiburan, maka lantai panggung tidak boleh menggunakan bilik, artinya menggunakan bahan dari bambu.
Makna dari susuguh atau sesajen dan tata cara yang dilakukan yaitu :
· Padaringan sekaligus dengan berasnya, merupakan makanan pokok orang Sunda pada umumnya. Dengan selalu tersedianya beras menunjukkan bahwa sebuah keluarga tidak akan kekurangan, di samping sebagai penghormatan kepada Dewi Sri dan roh leluhur;
· Parupuyan dan mantra atau jampi-jampi mengandung makna komunikasi antara manusia dengan yang gaib atau roh leluhur. Menurut orang tua dahulu, parupuyan merupakan surat kepada yang gaib, sedangkan mantra atau jampi-jampinya adalah tulisannya;
· Minyak kelapa (keletik), wedak (bedak) sisir, dan cermin (eunteung), merupakan kelengkapan berdandan seorang wanita. Karena dalam adat kepercayaan orang Sunda padi berasal dari Dari Dewi Sri, maka dengan tersedianya kelengkapan tersebut merupakan suatu penghormatan kepada Dewi Sri sebagai layaknya seorang wanita yang selalu meminyaki, menyisir rambutnya, memoles mukanya dengan bedak, dan bercermin;
· Sesajen yang merupakan perlengkapan utama, penyajiannya dimaksudkan untuk menyuguhkan penganan sehari-hari khas setempat yang dahulu menjadi kesukaan leluhur, di samping sesajen sedikitnya harus berjumlah 7. Angka 7 ini menyiratkan bahwa dalam 1 minggu ada 7 hari, yang kesemuanya harus diisi dengan hal-hal yang baik;
· Penyajian rurujakan, disajikan untuk Dewi Sri yang mempunyai kesukaan yang sama seperti halnya kaum perempuan;
· Gula merah atau gula batu, dimaksudkan agar keluarga yang yang bersangkutan atau punya hajat, akan selalu serasi dan harmonis.
Keseluruhan tata cara tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan dan lindungan Yang Mahakuasa. Namun, apabala dalam pelaksanaan hajat tersebut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, misalnya cuaca mendung dan akan turun hujan, maka ada seseorang yang biasa berusaha untuk mencegah agar hujan tidak turun, yakni seorang pawang hujan. Kegiatan tersebut dinamakan nyarang.
Tidak diketahui dengan pasti kapan sebuah hajatan menggunakan jasa seorang candoli untuk mengatur, menjaga, dan mengeluarkan makanan. Penanganan sebuah hajatan dengan menggunakan jasa candoli berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi dengan peranannya mengatur, menjaga, dan mengeluarkan makan-makanan telah dapat dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan jasa tersebut.
Namun kini, penggunaan jasa candoli di Desa Darangdan ini sudah jarang ditemukan, kalau tidak dikatakan hilang sama sekali. Salah seorang informan menyebutkan bahwa bagian dari tradisi yang diajarkan secara turun temurun dan secara lisan ini hanya ada dalam ingatan, maka tradisi penanganan hajatan menggunakan jasa candoli pun mungkin mengalami perubahan, sehingga timbul kesulitan untuk menelusuri kembali versi-versi penanganan hajatan yang menggunakan jasa candoli yang ada. Seandainya ada buku pegangan bagi para candoli, maka perubahan tidak akan mudah terjadi, karena semua kegiatan penanganan sebuah hajatan akan berpedoman pada isi buku tersebut.
Begitu pula dengan arti atau perlambang dan makna simbolis dari tiap unsur perlengkapan sesajen pun biasanya dituturkan secara lisan pula, yang akibatnya, perkisaran makna juga tidak terelakan. Perkisaran makna tersebut semakin lama semakin jauh menyimpang dari makna semula; karena tidak ada catatan tertulis, akhirnya sulit bagi kita untuk mengetahui makna semula, di samping mereka para orang tua yang mengetahui seluk beluk mengenai penanganan hajatan tersebut sudah mulai tidak ada. Namun demikian, perubahan tersebut juga mempunyai aspek positif, karena perubahan itu sendiri sesungguhnya merupakan ungkapan dari perubahan alam pikiran dan cita rasa masyarakat pada setiap zamannya. Begitu pula dengan masyarakat Darangdan; dan dengan adanya perubahan itu pula tradisi tersebut dapat bertahan dari zaman ke zaman. Namun apa pun yang terjadi, penanganan hajatan menggunakan jasa candoli pasti mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang positif. Ia mengandung pesan dan amanat, baik terhadap orang yang hadir saat hajatan, maupun terhadap kedua mempelai yang bersangkutan serta khalayak yang hadir, dengan tujuan agar dapat dijadikan pedoman tingkah laku dalam tata pergaulan masyarakat.
D. Penutup
Suatu pesta atau hajatan adalah peristiwa yang menyenangkan, baik bagi keluarga yang bersangkutan maupun keluarga lainnya. Ada berbagai alasan mengapa sebuah keluarga melakukan hajatan, baik hajatan perkawinan maupun hajatan khitanan (sunat). Dan mengapa pula suatu keluarga melakukan hajatan menggunakan atau menunjuk seorang jasa candoli untuk mengatur, menyimpan, menjaga dan mengeluarkan makan makanan. Alasan tersebut pada umumnya dilatarbelakangi oleh karena adanya keinginan agar hajatan tersebut bisa lancar, sukses, dan terpenuhinya kepuasan batiniah. Alasan lainnya adalah ingin agar hajatan yang dilaksanakannya mendapat berkah, di samping ketersediaan makan makanan bisa mencukupi kebutuhan yang diinginkan.
Begitu pentingnya penanganan dan pengaturan sebuah hajatan, terlihat pada bagaimana orang tua menganjurkan anaknya memilih dan menujuk seorang candoli. Bagi yang melaksanakan hajatan, penunjukkan seorang candoli sama sekali tidak ada penolakan, walaupun dalam praktinya, fungsi dan peran seorang candoli bersumber dari ketentuan-ketentuan berupa adat, bersumber dari ajaran agama dan bahkan menggabungkan adat dan ajaran agama.
Pada kenyataannya mereka memang menjalani ajaran adat dan ajaran agama sekaligus. Ajaran adat tampak ketika seorang candoli menyiapkan kelengkapannya, seperti padaringan, sesajen, nyuguh, dan pembakaran kemenyan sekaligus tata cara dan pantangan-pantangannya. Adapun ajaran agama yang dimaksud tampak pada acara pengajian dan doa-doa yang dilapalkannya. Kenyataan ini menunjukkan walaupun orang Sunda sebagian besar menganut agama Islam, namun demikian dalam kehidupan sehari-hari tampak unsur-unsur kepercayaan. Kehidupan beragaman sering diwarnai oleh kepercayaan kepada kekuatan gaib, di amping penghormatan kepada roh-roh leluhur, dan lain sebagainya hingga praktik yang dilakukan seorang candoli dalam penanganan dan pengaturan makanan.
Secara umum, penanganan dan pengaturan makan-makanan yang dilakukan oleh seorang candoli, sesuai dengan kepercayaan orang Sunda berakibat baik sebagaimana harapan keluarga yang mempunyai hajat. Dengan hal tersebut, ungkapan "saeutik mahi loba nyesa" bisa terpenuhi.
Daftar Pustaka
· Ajip Rosidi, dkk., 2000. Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya.
· Satjadibrata, 1954. Kamus Basa Sunda. Jakarta. Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P. dan K.
· .Surahmad, 1980. Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknis. Bandung : Tarsito
· TrianaRosantini, 1989. Ensiklopedi Nasional