WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Museum Etnografi, Perkembangan dan Fungsinya Saat Ini

Oleh Drs. T. Dibyo Harsono, M. Hum.

A. PENDAHULUAN
Salah satu obyek penyelidikan tentang perkembangan dan fungsi museum etnografi yang menarik adalah masalah hubungan museum etnografi dan publiknya. Bahwa tugas edukatif dari museum pada saat ini mendapat tempat yang penting, seperti dalam lapangan penelitian ilmiah dan perawatan atau pengawetan obyek-obyek museum. Semua lapisan masyarakat secara tidak sadar terlibat dalam soal-soal lapangan ilmu pengetahuan dan lapangan kesenian, terutama pada masyarakat Eropa dan Amerika, berkat kemajuan teknik pembuatan alat-alat reproduksi dan audio visual seperti pers, film, televisi, radio, dan lain-lain. Dalam lapangan penikmatan kesenian sudah barang tentu museum-museum seni rupa mengambil tempat penting, karena publik secara langsung bisa menghadapi dan menikmati obyek-obyek seni rupa. Dalam lapangan ilmu pengetahuan, melalui majalah, pers, radio, film, dan lain-lainnya publik senantiasa diberitahukan tentang hal ikhwal dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Salah satu jalan yang dipandang sangat baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah penyaluran ilmu pengetahuan dan penikmatan kesenian melalui museum. Agar usaha ini dapat berjalan dengan baik, maka di kebanyakan museum di Eropa dan Amerika didirikan bagian-bagian khusus yang diberi tugas pekerjaan edukatif, baik untuk fundamental edukasi maupun untuk adult education. Untuk masalah museum dan edukasi, UNESCO sendiri telah mengadakan seminar-seminar internasional yaitu untuk pertama kali diadakan di Brooklyn, 14 September sampai dengan 12 Oktober 1952 dengan acara The Role of Museums in Education, dan yang kedua di Athena tanggal 14 September sampai dengan 12 Oktober 1954, dengan acara pokok yang sama, tetapi sebagai lanjutan dari yang sudah diadakan di Brooklyn tadi. Meskipun acaranya sama, namun ada perbedaan yang nyata yakni tempat diadakan seminar itu berhubungan dengan acara yang dibahas. Museum-museum di Brooklyn seperti halnya museum besar di Amerika Serikat, sudah lama berpengalaman dalam soal museum dan edukasi, sedangkan museum-museum di Yunani khususnya di Athena baru saja mempraktekkan cita-cita dan usaha-usaha museum dalam lapangan pendidikan. Namun yang perlu dicatat adalah soal museum and international understanding, yang menjadi acara Konferensi Umum Internanational Council of Museum (ICOM) yang ke 3, yang diselenggarakan pada tahun 1953 di Genoa dan Milan.

Pada saat konferensi tersebut diterbitkan dan diedarkan sebuah pamflet atau folder yang naskahnya disusun oleh Dr. GW. Locher yang menguraikan International Understanding Ethnological Museum, naskahnya berasal dari sebuah folder introduksi bagi para pengunjung pameran musim panas yang diselenggarakan oleh Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden 1952, tentang Vertrouwd bezit van vreemde herkomst (Foreign influense on every day life). Baik dalam karangan yang pertama dalam majalah museum itu tadi, maupun dalam karangannya yang disiarkan dengan folder konferensi ICOM ke 3 tadi, Locher mempersoalkan dua hal yang menjadi persoalan khas museum etnografi, “As a centre of study the ethnological museum has to keep in close contact with the development of the science of anthropology. As a centre of information it has to deal with visitor who usually do not come to the museum with an entirely open mind. Their reactions and interpretation are patterned by the nations and traditions, however definite or vague, which belong to their social and cultural environment”. Atau dalam kata-katanya pada konferensi umum ICOM tersebut “The mind of the western visitor is influenced by various conceptions about non western peoples pulled from the history of western thought. There is quite a range of these conceptions. Beginning with the barbarians of the classics we meet succesively the heatthens, the savages, the happy exotics and the primitives as dominating nations”. Selanjutnya Locher juga mengemukakan kritiknya terhadap keadaan pameran museum etnografi, karena sifatnya lebih geografis dengan tidak banyak menaruh perhatian terhadap proses yang dinamis, yang ditimbulkan oleh internal or external change dan dengan tiada petunjuk satupun tentang interdependence of ethnography. Secara singkat masalah yang dihadapi museum etnografi menurut Locher adalah:

1. Faktor prasangka pengunjung orang Barat yang mempunyai sikap dan pandangan terhadap bangsa-bangsa bukan Barat pada waktu mengunjungi museum etnografi.

2. Display obyek-obyek museum etnografi yang kurang memperhatikan perubahan-perubahan sosial dan kultural pada bangsa-bangsa bukan Barat.

Berhubung dengan hal-hal tersebut, maka patut diperhatikan:

1. Hubungan etnologi atau antropologi budaya dengan masalah prasangka rasial.

2. Situasi dan fungsi museum-museum etnografi di Eropa.

Persoalan-persoalan tadi ternyata dapat memberi bahan-bahan pemikiran dalam hal menghadapi masalah prasangka regional dan masalah akulturasi di Indonesia, untuk menentukan fungsi museum etnografi di Indonesia.

Indonesia merupakan negara multi etnis, beragam suku bangsa berdiam di sini, bertempat tinggal di ribuan pulau yang tersebar dari Propinsi NAD sampai dengan Propinsi Papua. Berdasarkan pengamatan sampai saat ini, terdapat lebih dari 500 suku bangsa yang hidup dan mengembangkan kebudayaan masing-masing. Masing-masing suku bangsa tentunya memiliki populasi yang berbeda antara satu dengan lainnya, sangat bervariasi. Ada yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia yakni suku bangsa Jawa (42%), namun tidak sedikit suku bangsa yang beranggotakan ribuan orang, bahkan ada yang hanya ratusan dan puluhan orang saja (Budhisantoso, 1997). Meskipun demikian, terlepas dari besar atau kecilnya populasi suatu suku bangsa, mereka tetap mengembangkan kebudayaan masing-masing sebagai wujud tanggapan aktif dalam beradaptasi dengan lingkungannya.

Setiap suku bangsa biasanya berasal dan bermukim pada suatu daerah tertentu, yang identik dengan nama asal-usul mereka. Namun demikian banyak dari anggota masing-masing suku bangsa tersebut tersebar ke berbagai pelosok nusantara, selain ada yang terpaksa bertempat tinggal dengan kelompok sosial yang berasal dari suku bangsa lain. Seperti halnya komunitas masyarakat Suku Anak Dalam yang berada di tengah-tengah hutan, Suku Laut yang hidupnya sebagian besar di atas perahu. Kemajemukan suku bangsa dan keanekaregaman kebudayaan, tidak hanya terbatas pada perbedaan horizontal namun juga vertikal. Pada satu sisi telah banyak masyarakat kita yang sudah mengenal dan menikmati peradaban modern yang ditunjang dengan berbagai peralatan modern. Sementara itu di sisi lain masih ada masyarakat yang belum mengenal serta belum bisa menikmati berbagai kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia. Akibat dari kemajemukan suku bangsa ini, masih ada suatu komunitas yang belum siap untuk ikut berperan serta dalam berbagai kegiatan pembangunan. Sehingga hal tersebut bisa berdampak pada munculnya berbagai kesenjangan, baik kesenjangan sosial maupun ekonomi. Adanya interaksi sosial dari berbagai suku bangsa memunculkan pola-pola pemukiman di daerah tertentu. Ada pula pemukiman yang memperlancar proses integrasi nasional tanpa mengesampingkan kehidupan kebudayaan setempat. Sebaliknya tidak sedikit pembangunan pemukiman atau pola pemukiman yang telah ada memperlebar jarak menuju integrasi nasional. Hal ini bisa terjadi karena adanya sikap eksklusivisme di kalangan masyarakat, bahkan ada yang mengarah pada rasialisme dan keagamaan. Namun dari berbagai hasil penelitian mengenai suku bangsa yang ada di berbagai daerah di Indonesia, ternyata mereka selalu bisa beradaptasi dengan lingkungannya, dan lama kelamaan bisa berbaur dengan masyarakat di sekitarnya, dan bisa diterima oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.

Biasanya kebudayaan yang telah mapan atau mayoritas penduduknya akan mewarnai atau mendominasi diantara kebudayaan yang ada, di sisi lain kebudayaan yang kurang dominan akan membaur pada kebudayaan yang dominan. Atau ada pula kemungkinan diantara suku bangsa tersebut tetap mempertahankan identitas dirinya, karena tidak ada kebudayaan yang dominan. Seperti halnya suku bangsa yang sampai saat ini masih ada dan tetap menjaga eksistensi mereka, meskipun ada juga yang dikhawatirkan akan mengalami kepunahan.

B. KERANGKA TEORI
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193). Adapun wujudnya mencakup tiga hal yaitu ide-ide, aktivitas, dan benda-benda hasil kebudayaan. Pada umumnya kebudayaan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik maupun non fisik (Ember dan Ember dalam TO Ihromi, 1980). Kebiasaan atau kelakuan terpola yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian seperti itu tidak berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Hal tersebut menyebabkan setiap masyarakat mempunyai pola kebudayaan yang khas dan dapat membedakannya dengan masyarakat yang lain.

Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir (mudah dikenali atau dilihat). Masalah asal mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula religi (Koentjaraningrat, 1980: 390). Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut emosi keagamaan atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi (Koentjaraningrat, 1980: 391).

Leslie A. White dalam bukunya The Evolution of Culture (1959), mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan kumpulan tiga komponen, yaitu komponen tekno-ekonomis, komponen sosial, dan komponen ideologi. Komponen tekno-ekonomis kebudayaan diberi pengertian olehnya sebagai cara yang digunakan oleh para pendukung suatu kebudayaan untuk menghadapi lingkungan mereka. Aspek inilah yang kemudian menentukan aspek sosial dan ideologi kebudayaan.

Oleh karena kebudayaan digunakan untuk menghadapi lingkungan, maka kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan baru atau mengubah persepsinya tentang keadaan yang ada (Haviland, 1978 : 332). Sifat adaptif kebudayaan yang membuatnya dinamis, membuat masyarakat pendukungnya selalu berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, seiring dengan sifat manusia yang cenderung tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Penyesuaian selalu dilakukan setiap saat agar dapat mengimbangi gerak perkembangan kebudayaan sehingga tercapai kesejahteraan hidupnya.

Diskursus tentang kebudayaan, terutama yang membincangkan masalah manusia, kebudayaan, dan lingkungan alam, persoalannya berkisar pada dua hal pokok, yaitu : pertama, bagaimana suatu kondisi lingkungan alam mempengaruhi perkembangan kebudayaan suatu masyarakat; dan yang kedua, bagaimana peranan suatu kebudayaan dalam menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem.

Pada persoalan yang pertama, pertanyaan yang kerap muncul adalah : mengapa ada perbedaan karakteristik dan perkembangan kebudayaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada lingkungan alam yang berbeda. Mengapa ada stereotipe bahwa karakteristik budaya orang Batak itu keras, sedangkan orang Jawa dan Sunda halus; mengapa suku-suku bangsa di Irian mengenakan koteka, sedangkan etnik di daerah lainnya berpakaian lengkap; mengapa orang Minang diidentikkan sebagai suku perantau. Mengapa ada masyarakat petani, nelayan, peladang, peramu, dan aktivitas-aktivitas matapencaharian hidup lainnya. Sejauh mana lingkungan alam berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik dan kebudayaan suatu masyarakat.

Persoalan ini telah melahirkan banyak teori dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan. Perihal perbedaan perkembangan kebudayaan, Arnold J. Toynbee, melalui teori “tantangan dan tanggapan” (chalenge and responce) memberikan beberapa asumsi, bahwa lingkungan alam memberikan batas-batas tertentu bagi pembentukan dan perkembangan kebudayaan manusia. Lingkungan yang penuh dengan tantangan, dalam batas tertentu akan memaksa masyarakat yang hidup di dalamnya untuk berfikir dan berupaya mengatasi tantangan lingkungannya, sehingga mampu memacu perkembangan kebudayaannya. Sebaliknya, masyarakat yang dimanjakan oleh alam atau mereka yang hidup di tengah lingkungan alam yang relatif aman dan tidak banyak memberikan tantangan, kebudayaannya tidak akan terpacu untuk bisa maju lebih pesat. Akan tetapi bila tantangan alam yang dihadapi itu terlalu berat sehingga tidak mampu diatasi dan dipecahkan dengan kemampuan akal pikiran, maka kebudayaannya pun tidak akan bisa berkembang. Untuk asumsi yang pertama, Toynbee mengambil contoh Jepang. Alam Jepang tidaklah tergolong ramah karena sering terjadi gempa yang cukup dahsyat. Akan tetapi tantangan yang diberikan oleh alam Jepang itu, justru memacu orang Jepang untuk bisa lebih kreatif dan inovatif, sehingga kebudayaan orang Jepang pun berkembang dengan sangat pesat.

Teori ini nampaknya lebih menekankan pengertian kebudayaan pada peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara kebudayaan spiritual kurang begitu diperhitungkan. Uraian yang lebih jelas perihal hubungan manusia, lingkungan alam, dan kebudayaan, disampaikan oleh Raymond Firth dalam bukunya “Human Types”, yang memberikan empat ciri pola hubungan manusia dengan alam.

Pertama, bahwa keadaan alam sekeliling memberikan batas-batas yang luas bagi kemungkinan-kemungkinan hidup manusia. Dicontohkan, bahwa beberapa suku bangsa yang hidup di tengah alam yang sangat miskin dan kejam, seperti orang Eskimo di Kutub Utara, orang Bushmen di Kalahari, setelah mereka tinggal beratus-ratus tahun di daerah itu, kebudayaan mereka relatif tetap dan tidak berkembang. Ini disebabkan karena mereka takluk pada pengaruh kekuasaan alam sekeliling mereka.

Kedua, tiap-tiap keadaan alam sekeliling yang mempunyai coraknya sendiri-sendiri, sedikit banyak memaksa orang-orang yang hidup di dalamnya untuk menuruti suatu cara hidup yang sesuai dengan keadaan. Orang Hopi contohnya, mereka mempunyai pengetahuan tentang pertanian, akan tetapi mereka terpaksa menggantungkan pertaniannya dengan cara menadah air banjir, bukan air hujan, karena tanahnya memang gersang. Dengan kata lain, mereka tidak dapat mengembangkan pengetahuan pertaniannya, karena lingkungan alam yang dihadapi tidak memungkinkan.

Ketiga, keadaan alam sekeliling bukan saja memberikan kemungkinan-kemungkinan yang besar bagi kemajuan manusia, tetapi juga menyediakan bahan-bahan yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan. Apapun yang dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mulai dari makanan, pakaian, perumahan, kesenian, semuanya disediakan oleh alam. Manusia hanya tinggal memelihara dan mendayagunakannya.

Keempat, keadaan alam sekeliling juga mempengaruhi keselarasan hidup kebudayaan manusia, seperti terlihat pada upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan. Adanya konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai alam gaib dengan penghuninya, yang kemudian melahirkan berbagai bentuk upacara, merupakan gejala umum yang dimiliki oleh semua kebudayaan (lihat R.Firth - B.Mochtan - S.Puspanegara, 1966).

Apa yang diuraikan oleh R. Firth di atas, menunjukkan kepada kita bahwa kebudayaan merupakan perwujudan dari sistem adaptasi manusia terhadap lingkungan alamnya. Dengan segala potensi sumberdaya yang dimilikinya, lingkungan alam menyediakan apapun yang dibutuhkan oleh manusia. Selanjutnya, manusia dengan mengandalkan kemampuan akal pikirannya, mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Pada persoalan yang kedua, yaitu bagaimana peranan kebudayaan dalam upaya melestarikan dan memelihara ekosistem terkait erat dengan persepsi masyarakat mengenai lingkungannya. Dalam proses hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, manusia melakukan penafsiran-penafsiran atas berbagai gejala alam yang dihadapinya. Penafsiran ini kemudian melahirkan bentuk-bentuk tindakan baik yang bersifat eksploitatif maupun persuasif. Cara penafsiran yang sekuler mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, yang mengakibatkan rusaknya ekosistem. Gejala ini yang kini seringkali dikeluhkan oleh berbagai pihak, karena kerusakan lingkungan alam ternyata telah membawa kerugian yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia itu sendiri.

Sementara itu, cara penafsiran yang bersifat religius mendorong manusia untuk memperlakukan lingkungan alam secara sakral dan persuasif. Cara penafsiran ini pula yang kemudian melahirkan berbagai bentuk tabu atau pantangan adat dan berbagai bentuk upacara tradisional yang berkaitan dengan kepercayaan. Ini pula sebabnya mengapa bentuk-bentuk upacara tradisional berbeda di antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya yang hidup di tengah kondisi lingkungana alam yang berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas apa yang dilakukan terhadap alam dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Aktivitas ini yang lazim disebut sebagai mata pencaharian hidup, akan menentukan jenis dan bentuk upacara tradisional masyarakatnya. Masyarakat yang hidup di daerah pegunungan misalnya, akan melakukan upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas pertanian. Demikian juga masyarakat yang hidup di daerah pantai akan melakukan upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanannya.

Namun demikian, apapun jenis dan bentuk upacara yang dilakukan oleh masyarakat, ada suatu konsepsi yang sama yang hidup dalam benak kelompok masyarakat ini, yaitu bahwa pada setiap lingkungan alam ada “penguasanya” atau “penunggunya”. Di kalangan masyarakat petani Sunda di Jawa Barat misalnya, hidup konsepsi tentang Nyi Pohaci atau Dewi Sri yang dipandang sebagai penguasa tanaman padi. Demikian juga di kalangana masyarakat nelayan hidup konsepsi tentang Nyi Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Kedua tokoh mitologis ini menjadi obyek dalam pelaksanaan upacara-upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan di kalangan masyarakat Sunda. Pandangan-pandangan ini pula yang banyak melahirkan perilaku yang arif dari masyarakat terhadap lingkungannya; dan ini yang sekarang lazim disebut dengan kearifan tradisional.

Keteguhan untuk tetap mempertahankan nilai tradisi warisan nenek moyang ini, masih dapat kita saksikan pada kehidupan sosial budaya komunitas-komunitas adat yang hingga kini pun masih banyak terdapat di beberapa daerah. Istilah komunitas adat merujuk pada pengertian kehidupan sekelompok orang (masyarakat) yang hidup di suatu wilayah tertentu, dan warganya relatif masih kuat mempertahankan tradisi warisan leluhurnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat daerah tersebut, berbeda dengan daerah-daerah atau kampung-kampung sekitar yang umumnya telah "longgar" dalam menerima setiap unsur baru produk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komunitas adat ini lazim pula disebut dengan masyarakat adat. Komunitas-komunitas adat seperti ini biasanya berada di daerah-daerah yang cukup jauh dari pusat-pusat perkotaan dan bersifat eksklusif.

Kesatuan hidup setempat berbeda dengan kelompok kekerabatan, kesatuan sosial ini tidaklah semata-mata berdasarkan ikatan kekerabatan, namun lebih didasarkan pada ikatan tempat tinggal. Secara nyata kesatuan hidup setempat selalu menempati suatu wilayah khusus. Apabila sebagian besar warganya mulai memencar ke berbagai tempat lain, maka ikatan yang utama dari kesatuan itu akan hilang. Meskipun wilayah merupakan syarat mutlak bagi kesatuan hidup setempat, namun ada unsur-unsur lain yang mengikatnya. Orang-orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu kesatuan hidup, apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta kepada daerahnya, sehingga ia tidak rindu untuk kembali ke sana apabila ia berada di tempat lain. Kesatuan hidup setempat menurut Sosiologi dikenal dengan istilah community, yang kemudian memunculkan istilah komunitas.

Komunitas tentunya memiliki rasa kesatuan yang biasanya sangat tinggi, sehingga ada rasa kepribadian kelompok yakni perasaan bahwa kelompoknya tersebut memiliki ciri-ciri kebudayaan atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lain. Sifat-sifat komunitas adalah adanya wilayah dan cinta pada daerah atau wilayah, serta kepribadian kelompok itu merupakan dasar dari perasaan patriotisme, nasionalisme, dan lain-lain. Bentuk komunitas ada bermacam-macam, ada yang besar seperti kota, negara bagian, negara, bahkan persekutuan antarnegara. Namun ada pula komunitas-komunitas kecil seperti band (suku), desa, RT, dan lain-lain. Bentuk komunitas kecil berikut beberapa konsep yang menyangkut komunitas kecil.

Komunitas kecil, selain memiliki ciri-ciri komunitas pada umumnya, yakni adanya wilayah, cinta pada daerah, dan kepribadian kelompok, komunitas kecil memiliki sifat-sifat tambahan. Sifat tersebut antara lain para warganya masih saling mengenal dan saling bergaul secara intensif. Karena relatif kecil, maka setiap bagian dan kelompok khusus yang ada di dalamnya tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan lainnya. Para warganya dapat menghayati berbagai lapangan kehidupan mereka dengan baik.

C. TUJUAN
Untuk memberikan pengetahuan serta gambaran kepada masyarakat Indonesia maupun manca negara, perihal keberadaan suku bangsa yang ada di negeri kita. Terutama suku bangsa yang belum banyak diungkap keberadaannya, karena komunitas mereka yang secara geografis relatif jauh dari jangkauan kita, dan juga jauh dari jangkauan pembangunan.

Komunitas kecil-komunitas kecil (little community) yakni kesatuan sosial yang berdiam dalam wilayah yang tidak terlalu luas, dan mempunyai warga yang tidak terlalu banyak sehingga semua warganya dapat saling kenal dan saling bergaul. Karena sifat kecilnya itu maka kebudayaannya bersifat homogen, dan biasanya dapat memenuhi sebagian besar lapangan kehidupannya secara bulat. Komunitas tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan tidak semua orang mengetahuinya, jangankan orang asing, orang kita sendiri pun mungkin tidak mengenal atau tidak tahu tentang keberadaan mereka. Ada yang mengatakan juga sebagai masyarakat tradisional, yakni masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama. Bahkan ada beberapa suku bangsa yang hanya mempunyai populasi puluhan orang, dan ada yang diambang kepunahan. Untuk itu sangat relevan sekali apabila diwujudkan adanya sebuah museum etnik (Museum Etnik Nusantara), karena dengan keberadaannya akan banyak memberikan informasi mengenai etnik atau suku bangsa yang ada di Indonesia. Khususnya suku bangsa yang komunitasnya kecil dan belum banyak dikenal masyarakat secara luas, seperti halnya masyarakat Akit, masyarakat Suku Anak Dalam (Kubu/Orang Rimba/Rimbo), Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talangmamak, Masyarakat Hutan (Orang Hutan), Suku Laut, masyarakat Nias/Mentawai, masyarakat Rejang, dan masih banyak lagi.

D. RUANG LINGKUP
Suku bangsa (ethnic group), adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan kesadaran akan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa/language (sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas dasar unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia). Dalam hal ini adalah bahasa daerah (local language) adalah bahasa yang penggunaannya terbatas pada penduduk yang hidup dalam suatu daerah geografis tertentu dalam batas wilayah suatu negara atau daerah.

Untuk pendirian Museum Etnik (Nusantara) tahap awal ini, saya membatasi pada suku bangsa-suku bangsa yang belum banyak dikenal, khususnya yang berada di Pulau Sumatera. Karena di daerah ini masih banyak kita temui masyarakat tradisional, yang kehidupannya masih belum banyak kita kenal (seperti tersebut di atas). Namun suku bangsa seperti Aceh, Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Bengkulu, Palembang, Jambi, dan Lampung serta Jawa juga akan diusahakan untuk melengkapi isi dari Museum Etnik.

Paling tidak dari museum negeri yang ada di setiap propinsi bisa menyediakan bagian khusus untuk koleksi etnik dan etnografi (pelukisan tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup, ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi) yang ada di daerahnya.

E. KOLEKSI MUSEUM ETNIK (NUSANTARA)
Museum etnik ini nantinya juga akan didukung dengan data-data yang disimpan di perpustakaan etnik, jadi setiap museum etnik akan dilengkapi dengan sebuah perpustakaan yang menyediakan buku-buku atau data-data mengenai suku bangsa yang ada di Indonesia, khususnya suku bangsa yang ada dalam koleksi museum. Baik berupa data tertulis maupun data audio visual.

Misalnya: Masyarakat (suku bangsa) Akit

1. Digambarkan sejarah keberadaan masyarakat Akit pada mulanya.

2. Kehidupan masyarakat Akit pada awal mulanya sampai dengan saat ini.

3. Kebudayaan masyarakat Akit.

4. Berbagai peralatan rumah tangga, peralatan produksi, peralatan upacara, peralatan hiburan, dan peralatan lainnya.

5. Dilengkapi dengan visualisasi aktivitas masyarakat Akit seperti dengan yang terkait di atas.

6. Gambaran mengenai lingkungan alam/geografis di mana masyarakat Akit berada.

7. Pada waktu-waktu tertentu mendatangkan orang Akit ke museum untuk memperagakan salah satu aktivitas dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Demikian juga dengan suku bangsa yang lain.

Untuk rencana awal akan dikumpulkan perihal yang berkaitan dengan etnis atau suku bangsa yang berada di Pulau Sumatera antara lain: suku Akit, suku Bonai, suku Sakai, suku Talang Mamak, suku Hutan, suku Anak Dalam/Kubu/Rimba/Rimbo, suku Laut, suku Nias, suku Rejang, suku Melayu, suku Lampung (Pepadun, Saibatin).

F. ETNOLOGI ATAU ANTROPOLGI BUDAYA DAN MASALAH PRASANGKA RASIAL
Apabila kita hendak mengetahui lebih lanjut sampai dimana kebenaran ucapan Locher yang menyatakan, bahwa sikap dan pengunjung orang Barat terhadap koleksi museum etnografi itu dipengaruhi oleh cara pandang orang Barat terhadap bangsa-bangsa non Barat, akibat sejarah berpikir orang Barat mengenai dunia luar Barat. Maka kita dapat mengetahuinya melalui sejarah pertumbuhan etnologi atau antropologi budaya dan melalui persoalan-persoalan rasial. Pada umumnya kita maklumi bahwa bangsa non Barat adalah obyek ilmu etnologi. Jadi tidak salah pendapat kita bila kita katakan bahwa sejarah etnologi itu juga berarti sejarah berpikir tentang bangsa-bangsa non Barat. Benar, memang ada yang tidak mau memakai sebutan ilmu etnologi lagi, seperti Radcllife Brown yang memberikan sebutan Sosial Antropologi untuk Antropologi Budaya, namun kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa sebutan etnologi masih tetap dipakai, baik hanya sebagai sub ilmu maupun sebagai Antropologi Budaya. Herskovits misalnya pernah menyatakan bahwa The cultural anthropologist generally studies peoples who are outside the stream of European cultural history, and attempts, insofar as he can, to investigate a given body of custom as whole.

Kita sudah lama memaklumi bahwa etnologi itu timbulnya di Eropa, karena kontak orang-orang dengan bangsa-bangsa non Eropa. Namun etnografi sudah bisa timbul karena kontak antarbangsa. Birket Smith pernah menyatakan secara jenaka, bahwa seseorang dari zaman batu yang untuk pertama kalinya pada suatu pertemuan di sekeliling api unggun, membuat kawan-kawannya tertawa karena ia bercerita tentang adat kebiasaan bangsa tetangganya yang baginya serba menggelikan dan aneh, pada hakekatnya ia dapat disebut bapak dari etnografi. Lukisan tadi seakan mengajari kita, bahwa pertemuan antarbangsa bisa menghasilkan lukisan-lukisan prototipe sebagai ucapan prasangka-prasangka kebangsaan. Contoh lain dalam sejarah etnografi adalah Herodotus, bangsa-bangsa Libya, Parsi, Babilonia, dan Mesir dalam matanya tergambarkan sebagai bangsa bar-bar. Kemudian semenjak zaman pertengahan, ketika orang-orang Eropa bertemu dengan bangsa-bangsa di Afrika, Amerika, Asia, Australia, dan lain-lain, kita menjumpai istilah-istilah heathens dan savages. Kontak antar orang-orang Eropa dengan bangsa-bangsa non Eropa itu disertai prasangka agama, rasial. Akibat dari pandangan yang penuh prasangka itu timbul kejadian-kejadian yang sangat tragis, antara lain bangsa asli Amerika (Indian) sudah banyak yang menjadi korban peluru bangsa Eropa, karena dianggap sebagai makhluk buatan setan, sebab adanya sifat jasmani yang berbeda. Kejadian itu menarik perhatian Paus Paulus III, dan kekejaman seperti itu baru berakhir sesudah beliau mengeluarkan Sublimus Deus dalam tahun 1537, yakni mengatakan bahwa orang-orang Indian itu manusia biasa juga dan ciptaan Tuhan, mereka dapat memasuki agama Nasrani dan berhak menerima pembaptisan.

Sesudah istilah bar-bar, heathen, savage terhapus, maka ketika itu juga bangsa-bangsa yang disebut dengan istilah itu, naik derajatnya dalam pandangan orang Eropa. Dari bangsa biadab meningkat menjadi tipe idaman menurut filsafat aliran hukum alam zaman Montesquieu dan Rousseau. Lahirlah istilah manusia alam atau natuurmens, yang digambarkan sebagai manusia yang hidup bebas dan bahagia. Menurut Birket Smith pandangan Rousseau tentang de zuivere natuurmens ini mendapat tantangan dari Jeans Kraft, dalam bukunya yang mula-mula terbit dalam tahun 1760 dan yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jerman Die Sitten der Wilden (1766). Istilah ini dapat bertahan sangat lama, buktinya bahwa dalam abad ke 20 masih ada sarjana antropologi yang memakainya antara lain Paul Wirz (Damonen und Wilden in Neu Guinea, Stuutgart, 1928).

G. MASALAH MUSEUM ETNOGRAFI DI INDONESIA
Apabila kita menurutkan pola museum etnografi yang ada di Barat yakni museum yang menyimpan, menyelidiki, dan memamerkan kebudayaan material bangsa-bangsa non Barat, maka tak ada suatu museum pun di Indonesia yang dapat disebut museum etnografi. Ini tidak berarti bahwa tak ada museum yang menyimpan, menyelidiki, dan memamerkan etnografika pada kita, sebab museum seperti itu memang ada. Museum Lembaga Kebudayaan Indonesia, disamping mempunyai koleksi pra sejarah, keramik, arkeologi, dan lain-lain, juga mempunyai koleksi yang banyak tentang etnografi Indonesia. Museum Sono Budoyo, Sri Baduga mempunyai koleksi pilihan tentang etnografika wilayah kebudayaan Sunda, Jawa, Cirebon, Madura, dan Bali. Disamping itu masih ada beberapa museum daerah seperti Bali Museum di Denpasar, Rumah Bahari di Palembang, Rumah Gadang di Bukittinggi, Museum Simalungun di Pematang Siantar, Rumah Adat di Kutaraja yang masih menyimpan barang-barang sejarah dan etnografika dari masing-masing wilayah. Kita sudah mengetahui bahwa pengetahuan kebudayaan bagi Indonesia sudah terpisah-pisah menjadi pelbagai ilmu, misalnya ilmu sejarah, prasejarah, arkeologi, etnologi, yang terpelantunkan pada koleksi-koleksi yang ada di museum DKI Jakarta. Tidak demikian halnya dengan koleksi-koleksi di Eropa. Rijkmuseum voor Volkenkunde di Leiden, misalnya mempunyai koleksi sejarah dari Amerika Tengah, India, Jepang, Cina, dan Indonesia. Juga National Museet de I’homme di Paris tidak mempunyai koleksi-koleksi seperti itu, koleksi seni timur (Oriental Art) tersimpan di Musee Guimet (Paris). Inilah persoalan bagi museum di Eropa, sampai dimana batas-batas luas koleksi etnografika itu. Apabila didalamnya harus tercakup koleksi sejarah (prasejarah dan arkeologi) atau tidak, apakah dengan mengeluarkan koleksi sejarah seperti itu suatu koleksi etnografi bisa dianggap representatif? Dengan hanya memamerkan etnografika tanpa arkeologika suatu wilayah kebudayaan bisa menimbulkan pandangan yang tidak wajar, sebab publik tidak akan memperoleh pandangan tentang semua hasil kegiatan kebudayaan seluruhnya dari bangsa pendukung kebudayaan tersebut.

Sebagai hasil pekerjaannya John Irwin penasehat UNESCO untuk museum development yang telah melakukan tugasnya di Indonesia dari Juli hingga Desember 1956, telah mengemukakan beberapa saran untuk reorganisasi museumwezen di Indonesia. Ia menganjurkan kepada pemerintah Indonesia supaya mendirikan suatu National Museum to represent the unity and diversity of Indonesia culture. National Museum ini mempunyai dua bagian, bagian open air museum yang coraknya sesuai dengan suatu folk museum di Eropa, untuk menggambarkan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Sedangkan representasi dari kesatuan diwujudkan dalam fungsi bangunan modern, taman, kombinasi fungsi museum dengan berbagai kegiatan kebudayaan (seni tari, lukis, musik, drama, dan galeri modern).

Tugas umum sebuah museum adalah bukan saja terletak dalam bidang penyelidikan/penelitian ilmiah, namun juga dalam penyaluran ilmu pengetahuan dan pemberian kesempatan penikmatan seni kepada publik. Tugas lainnya adalah menimbulkan rasa saling mengerti dan harga menghargai sesama manusia, sesama warga negara, dan sesama warga dunia. Kedalam museum etnografi mempunyai tugas menumbuhkan rasa saling mengerti dan harga menghargai antarsuku bangsa, mengingat adanya prasangka antara wilayah dan suku bangsa. Tugas lainnya terletak dalam hal menghadapi publik yang berdiri di tengah-tengah proses akulturasi dewasa ini, yang meminta cara kerja khusus dari pejabat museum mengenai hal teknik pameran dan penerangan/sosialisasi. Juga mengingat proses akulturasi ini tugas menghimpun koleksi menjadi sangat penting (FDK. Bosch, 1935).

Koleksi museum etnografi harus dihimpun secara sistematis, pameran obyek-obyeknya harus secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, penjelasan tentang obyek-obyek kepada publik juga harus dapat dipertanggungjawabkan. Hal-hal inilah yang patut dipikirkan, dan bila pendidikan tenaga ahli museum tidak mendapat perhatian sepenuhnya, maka segala usaha untuk membendung hilang atau musnahnya harta budaya dan sejarah kita sebagian besar akan kandas.

H. PENUTUP
Hasil penelitian bisa dibuat bahan pemikiran bagi teknik pameran dan penjelasan atau sosialisasi. Penelitian-penelitian seperti ini belum dilakukan secara kontinyu dan mendalam. Apabila dipersingkat masalah pokok yang dihadapi museum etnografi Indonesia, baik sentral (pusat) maupun regional (daerah), adalah sebagai berikut:

1. Masalah akulturasi yang mengakibatkan hilang atau musnahnya barang-barang budaya dan sejarah mewajibkan museum etnografi untuk lebih giat bekerja dalam hal menghimpun barang-barang yang kiranya akan hilang dengan cara-cara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

2. Masalah akulturasi di kalangan publik museum etnografi meminta cara-cara khusus dalam teknik pameran dan penjelasannya. Ini bisa dilakukan dengan menambah cara pameran di bidang barang-barang teknologi mengingat perkembangan, fungsinya dalam sejarah perkembangannya. Ini memerlukan pameran-pameran sewaktu-waktu dan pembuatan film-film dokumenter yang dasar dan coraknya harus sesuai dengan film-film etnologi.

3. Masalah prasangka regional menghendaki cara-cara baru dalam memperkenalkan kebudayaan material. Museum pusat harus sanggup menyelenggarakan pameran keliling tentang hasil-hasil karya kesenian/kebudayaan dari seluruh Indonesia, bisa dilakukan secara bergilir dan dilakukan secara intensif. Maka pengetahuan masyarakat tentang sejarah dan kebudayaan bangsanya akan bertambah.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syaiful. Naskah Seni Tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.

Djausal, Anshori. Reorientasi Budaya dalam Pembangunan (naskah orasi Kebudayaan Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya Lampung. Bandar Lampung. 1995.

Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.

Mayong, P. (penyunting). Geografi Budaya Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Bandar Lampung. 1978.

Puspawidjaja, Rizani. Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Lampung. Bandar Lampung. 1978.

Syani, Abdul. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 1994.

Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat berarti Bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayan Daerah Lampung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.

Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.

Syani, Abdul. Kontribusi Pelestarian Nilai-nilai Budaya Tradisional dalam Pembentukan Jatidiri Generasi Muda. Makalah, Penyuluhan Permuseuman, di Museum Negeri Ruwa Jurai. Bandar Lampung. 1998.

Sanusi, A. Effendi. Sastra Lisan LampungDialek Abung. Gunung Pesagi. Bandar Lampung. 1994.

Safei, Ahmad. Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai (Tulisan tentang asal-usul Suku Lampung dan adat istiadatnya). Kotabumi. Propinsi Lampung. 1972.

Udin, Nazaruddin, dkk. Sastra Lisan Lampung Dialek Pubiyan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1998.

Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 4, PT. Cipta Adi Pusaka, Jakarta, 1989.

Koentjaraningrat, 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.

Kusnaka Adimihardja, 1992, Kasepuhan Yang Tumbuh di atas Yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat, Penerbit Tarsito, Bandung

Pikiran Rakyat edisi 23 November 2004, “Kaolotan” di Tengah Modernisasi Tetap Bertahan di Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak – Banten.

Pikiran rakyat edisi 20 November 2004, “Ngadongkapkeun”, Wujud Syukur ala warga Cisungsang.

Setia Permana, Reinterpretasi dan Reposisi Kebudayaan Daerah, Makalah disampaikan dalam temu Budaya Daerah Jawa Barat, Bandung. 2003

Popular Posts