WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Kampung Naga Dari Kacamata Antropologi: Review Film Warisan Indonesia Episode 2 Produksi BPNB Jawa Barat

Oleh Flutterdust

Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang erat dalam menjaga dan melestarikan budaya peninggalan leluhurnya, letaknya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di mata masyarakat Sunda umumnya, Kampung Naga lebih dikenal sebagai sebuah perkampungan adat. Nah, secara audio-visual, BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya) Jawa Barat telah mengabadikan kampung tersebut dalam sebuah film pendek yang diposting di kanal youtubenya dengan judul Warisan Indonesia Episode 2. Supaya lebih asik, mudah dan objektif dalam menyelami film tersebut, Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari manusia lewat fisik, kepribadian hingga tingkah laku dalam masyarakat dapat menjadi alternatif kacamata pandang.

Pada scene pembuka awal film ditampilkan abangreng, salah satu kesenian di Kampung Naga yang masih dilestarikan. “Abangreng itu terbang, reng itu ronggeng. Kalau sekarang juru kawi atau sinden, kalau dulu itu ronggeng namanya,” begitu tutur pelaku kepada host. Lebih lanjut dijelaskan, biasanya kesenian ini diadakan atas undangan sebuah acara, misalnya hajatan, dilengkapi penari khusus yang berjumlah minimal dua hingga lima orang. Berikutnya dijelaskan oleh narator, mula perkembanganya dari seni terbang yang memiliki nilai religi cukup tinggi bagi masyarakat pendukungnya menjadi seni gembyung—sejurus bertambah penggunaan alat pengiring, kemudian bertahan lebih kurang 10 tahun sebelum menjadi seni abangreng yang terlihat hingga sekarang.

Pokok bahasan yang dilontarkan tersebut bila dilihat sekilas tampak utama pada kesejarahanya, sehingga perlu ada garis bawah. Definisi budaya secara umum adalah hasil cipta karya karsa manusia. Bilamana ahli sejarah melihat kebudayaan menekankan pada pertumbuhanya dan definisinya sebagai warisan sosial, maka lain soal dengan ahli antropologi yang melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life atau kelakuan (Filsafat Kebudayaan, hal. 27). Nah, sebelum beranjak lebih jauh untuk memberikan sebuah gagasan, sintesis atau solusi dari sebuah permasalahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, ahli antropologi biasanya dituntut untuk membedah dulu budaya masyarakat tersebut. Maka ada istilah wujud kebudayaan dan unsur kebudayaan yang ditawarkan untuk memudahkan kegiatan memilah dan memahami budaya sebuah masyarakat.

Wujud kebudayaan ada 3 kata J.J. Hoenigman (Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 186) yaitu ide, aktivitas dan benda. Norma sosial berupa etika dalam penampilan seni abangreng misalnya, merupakan wujud kebudayaan berupa ide yang sifatnya abstrak, tidak bisa diraba dan terdapat dalam alam pikiran individunya. Ngibit dalam seni abangreng misalnya, merupakan wujud kebudayaan berupa aktivitas yang sifatnya konkret, bisa dilihat dan berpola. Terbang dan gendang dalam seni abangreng misalnya, merupakan wujud kebudayaan berupa benda yang sifatnya konkret, dapat dilihat dan diraba oleh pancaindra— lebih lanjut bisa dianggap pula sebagai hasil kebudayaan masyarakat dari perpaduan ide dan aktivitas. Menyelami film tersebut dengan ini semakin asik, bisa lebih mudah dalam mendapati dan menelaah.

Setelah abangreng, ditampilkan kesenian reog yang memiliki perbedaan dengan seni reog Ponorogo. Reog yang dimaksud lebih ke arah penampilan komedi musikal, perpaduan gerak tari dan sketsa komedi pemain yang diiringi alat musik dogdog serta calung. Baik perempuan maupun laki-laki, bisa menjadi pemain dalam kesenian ini. Pada scene-scene mendekati akhir, ditampilkan kesenian gambang yang alat musiknya bernama saron, menggunakan sepenuhnya bahan dari bambu. Kesenian ini diadakan ketika ada acara besar seperti upacara adat dan hajatan. Selanjutnya ada kesenian angklung buhun dengan karakteristik khas semisal tinggi bendanya dan diferensi lagu. Pun, ada terbang sejak yang juga khas menggunakan lagu dan ibing buhun.

Dari hal-hal yang telah tersebut—mana kebudayaan berwujud ide, mana kebudayaan berwujud aktivitas dan mana kebudayaan berwujud benda bisa didapati. Lalu, apakah hanya kesenian yang bisa disebut sebagai kebudayaan? Tentu tidak, ada lebih banyak lagi yang disebut sebagai kebudayaan. Kata Koentjaraningrat (2011, hal. 190-202) Unsur kebudayaan ada 7, yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi. Di sini kita diingatkan lagi bahwa yang disebut sebagai tujuh unsur kebudayan, ternyata juga merupakan hasil cipta karya karsa manusia. Sehingga bila ada pertanyaan kebudayaan apa yang dilestarikan masyarakat Kampung Naga? Jawabanya, ya, itu hehe..

Mulai scene awal sampai akhir film, banyak cuplikan-cuplikan kebudayaan yang ditampilkan secara visual, baik sebagai wujud maupun unsur. Di scene bagian tengah sampai ke akhir yang belum kita singgung misalnya, ada pertemuan dengan Pak Kuwu, Sobirin yang sedang berkebun dan meminjamkan motornya dengan sukarela. Berikutnya aksesoris, fisik dan baju masyarakat, sawah terasering di bebukitan, rumah dan letak kampung di tengah lembah bisa dilihat. Ada salah seorang warga, Bu Rohilah membersihkan rumput di sawah sebulan minimal sekali, padinya sebagian dijual dan digunakan sebagai biaya mencangkul serta pemupukan. Dari keteranganya didapati bahwa hampir semua masyarakat Kampung Naga bertani, disamping membuat kerajinan bila lenggang.

Belum sampai bertemu Gouide Tour, Pak Tatang Sutisna dan Pemangku Adat, Pak Ade—nyatanya sudah banyak hal yang belum bisa didetailkan dan dijabarkan satu-persatu dalam tulisan pendek ini. Hampir kesemua aspek tidak lepas dari warisan budaya leluhur yang dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Kampung Naga. Masyarakatnya mempunyai cara tersendiri bagaimana menjaga dan melestarikan budaya warisan leluhur, begitu juga bagaimana cara mewariskanya pada generasi berikutnya. Tampak tidak ada permasalahan yang ditampilkan memberi kesan bahwa kehidupan sehari-hari di Kampung Naga berjalan dengan baik dan lancar. Akhir kata, Antropologi sebagai alternatif kacamata pandang untuk menyelami film ini bisa diandalkan!

Sumber: https://www.kompasiana.com/flutterdust/622e057380a65a6bd20ac233/kampung-naga-dari-kacamata-antropologi-review-film-warisan-indonesia-episode-2-produksi-bpnb-jawa-barat

Popular Posts