Banyak tokoh Sumpah Pemuda 1928 yang pastinya belum banyak dikenal oleh generasi muda kita. Salah satunya bernama Emma Poeradiredja. Ia merupakan perempuan pejuang dari Jawa Barat. Adiknya, Adil Poeradiredja, pernah menjadi Perdana Menteri Negara Pasundan.
Untuk mengenal lebih jauh tentang tokoh ini, Museum Sumpah Pemuda menyelenggarakan diskusi pada Senin, 20 Maret 2017. Dua pembicara yang dihadirkan adalah Lasmiyati, dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat dan Amarawati Poeradiredja Soesmono, anak angkat Emma Poeradiredja.
Berbagai organisasi
Emma, dengan nama asli Raden Rachmat’ulhadiah Poeradiredja, lahir pada 13 Agustus 1902. Ia mengenyam pendidikan di HIS (1910-1917). Setelah tamat ia melanjutkan ke MULO. Selepas MULO, Emma mengikuti ujian dinas di SSVS (Staatsspoor Wegen Vereenigde Spoorwegen). Lulusan SSVS ini sejajar dengan HBS atau AMS. Pada 1921 Emma diterima menjadi pegawai di Staatsspoor atau Djawatan Kereta Api. Ia pensiun pada 1958.
Emma juga mengikuti berbagai organisasi. Ia aktif di Kepanduan Putri. Juga di Jong Islamietend Bond cabang Bandung (1925-1940). Pada 1926, ia aktif dalam Kongres Pemuda I di Jakarta. Setahun kemudian ia aktif di organisasi kewanitaan dengan mendirikan Dameskring. Namanya semakin dikenal ketika pada 1928 ia aktif pada Kongres Pemuda II, bahkan ikut menghadiri Kongres Perempuan Indonesia I. Pada 1929 ia mengikuti lagi Kongres Perempuan II di Jakarta.
Mulai 1930 ia aktif di organisasi Pasundan Bagian Istri. Selanjutnya karena masih berada dalam naungan Paguyuban Pasundan, Emma mengusulkan agar Pasundan Bagian Istri terpisah dari Paguyuban Pasundan. Akhirnya berdasarkan konferensi pada 27 Juni 1931 Paguyuban Bagian Istri diubah menjadi Pasundan Istri (PASI). Emma Poeradiredja ditetapkan sebagai ketua.
Namun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), PASI dibubarkan. Kemudian Emma masuk dalam barisan Fujinkai, bentukan Jepang. Anggota Fujinkaidipandang merupakan barisan istimewa yang disebut Barisan Srikandi.
Karena itu setelah Proklamasi 1945 Emma ikut mendaftarkan diri menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat). Bahkan ia juga tergabung ke dalam BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang).
Selanjutnya Emma menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1959-1965), Sekber Golkar (1965), dan anggota DPR-RI mewakili Fraksi Karya Pembangunan (1971-1976).
Jujur
Menurut Amarawati, Emma pernah menjadi anggota palang merah. Ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, Emma turun membantu para korban. “Ibu Emma adalah orang yang tulus. Apa yang dia kerjakan, akan dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak pernah mengeluh. Jika ada kesulitan, ia hadapi dengan penyelesaian yang baik dengan cara-cara sederhana. Ia tidak pernah meminta tolong, apalagi soal keuangan,” begitu cerita Amarawati.
Masalah kedisiplinan Emma Poeradiredja juga diungkapkan Amarawati. Ketika itu, 1976, Emma sudah menjadi anggota DPR. Suatu hari Emma menderita sakit cukup berat. Karena mempunyai Askes DPR di RS Hasan Sadikin, Emma tidak mau dibawa ke RS Boromeus. Padahal obat-obatan yang dibutuhkan hanya ada di RS Boromeus.
Menjelang meninggal pada 19 April 1976, Emma memanggil Amarawati untuk membayar utang di Bank Wanita, yaitu utang untuk bekal perjalanan ke Singapura. “Ibu Emma menunjukkan uangnya yang disimpan di lemari,” kata Amarawati. Begitu juga, lanjut Amarawati, utang kepada Ibu Adam Malik untuk pembelian gelang dan utang kepada Ibu Ibnu Saleh untuk pembelian kain batik.
Kata Amarawati banyak pelajaran yang bisa dipetik dari didikan beliau, yaitu jujur, disiplin, amanah, menolong orang dengan ikhlas, mandiri, bertanggung jawab, dan santun.
Sebagai anggota DPR, Amarawati menambahkan, Emma tidak pernah bolos. “Saya harus kerja sungguh-sungguh sebagai wakil rakyat karena gaji saya dibayar oleh uang rakyat,” begitu kata Amarawati menirukan ucapan Emma.***
Sumber: http://www.kompasiana.com