Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Jawa Barat bekerjasama dengan UPTD Setu Babakan dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menggelar acara “Temu Tokoh” di Perkampungan Betawi Setu Babakan, Selasa, 31 Juli 2018. “Temu Tokoh” kali ini mengenang sepakterjang H. Bokir, maestro Topeng Betawi.
Acara menghadirkan kerabat dekat almarhum, Karlin dan Sabar Bokir yang berkisah tentang keseharian sang komedian Betawi. Hadir juga budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, memaparkan jejak dan legacy (warisan) H. Bokir di ranah Topeng Betawi.
Karlin, putri salah satu pemain musik di grup Topeng Betawi Setia Warga mengaku mengikuti Bokir sejak 1977, sebagai penari, saat masih berusia 10 tahun. “Ternyata tidak mudah untuk menjadi penari Topeng Betawi, tapi Pak Haji Bokir dengan sabar dan semangat terus mengajari saya, sampai akhirnya saya menguasai tarian tersebut, dan mulai menari dari kampung ke kampung,” kenang Karlin.
Setelah menguasai tari Topeng Betawi, Bokir mengajarkan Karlin “Lipet Gandes” (tarian dan lawakan khas Betawi). Menari dan melawak jelas hal yang jauh berbeda, tak heran Karlin mengalami kesulitan pada awalnya. Namun sekali lagi, dengan gigih dan dan penuh semangat, Bokir mengajari Karlin sekaligus menanamkan rasa percaya diri. “Bagi Pak Haji Bokir, melawak bukan hanya sekadar membuat orang tertawa, tapi juga menanamkan nilai moral dan budaya Betawi. Mulai dari penggunaan bahasa, intonasi, dan bagaimana berimprovisasi.”
Haji Bokir bukan hanya dikenal sebagai pelaku seni, tapi layak disebut sebagai maestro, di era ’70-an,’80-an, dan 90’an aktif melestarikan dan mengembangkan Topeng Betawi. Di masa awal kemerdekaan, saat Jakarta dipimpin oleh Walikota (saat itu belum Gubernur) Sudiro, seniman-seniman tradisional di ibukota sempat dilarang “ngamen” di perhelatan-perhelatan besar berbau asing, seperti Tahun Baru Belande (Masehi) dan Tahun Baru Cine. Padahal, dari situlah mereka mendapat penghasilan lumayan.
Alhasil, para seniman tradisional kudu memaksimalkan “ngamen” dari kampung ke kampung demi mempertahankan hidup. Tak terkecuali Topeng Betawi Setia Warga tempat Bokir bernaung. Baru pada tahun 1968, ketika Djajakusuma memimpin Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beragam kesenian Betawi diboyong dan dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Sejak itu, Bokir dan Topeng Betawi-nya bukan hanya mentas di TIM, namun juga mendapat tawaran muncul di TVRI, bahkan rekaman dalam bentuk kaset yang diputar secara luas di berbagai radio.
“Waktu Topeng Betawi Setia Warga muncul pertama kali di TVRI, saya yang menjadi penarinya,” terang Karlin, dengan mata berbinar. Setelah itu, Bokir yang kocak kian terkenal, sehingga ditawari main film layar lebar. “Betty Bencong Slebor” menjadi film pertama Bokir, disusul tawaran-tawaran film lainnya (tercatat total ada 17 film pernah ia bintangi) yang membuat nama Bokir kian populer dan lengket dengan image lelaki Betawi kocak dan panjang akal.
Bergelut dengan Topeng Betawi sejak usia 13 tahun (lahir 1925 – meninggal tahun 2002), berarti Bokir menghabiskan 60 tahun untuk menekuni, melestarikan, dan mengembangkan Topeng Betawi. Dengan rentang dedikasi sepanjang itu, amat layak jika Bokir didapuk sebagai maestro Topeng Betawi, sitir budayawan Betawi Yahya Andi Saputra. Apalagi, “Sebagai seniman yang mewariskan keahliannya secara alamiah, Bokir benar-benar menggeluti kesenian dari bawah,” tambah Yahya, yang juga Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi.
Di tangan Bokir, pertunjukan topeng menjadi lebih dinamis dan variatif, terutama dengan lakon-lakon besutannya. Yang paling utama dari kesungguhannya dalam menggeluti topeng, Bokir meletakkan dasar-dasar bagi struktur pertunjukan topeng yang lebih asyik dan enak ditonton. “Bukan hanya gebrakan humornya yang lebih cair, Bokir menjadi magnet bagi banyak seniman untuk menjadi epigon pola permainan dan pertunjukannya,” masih kata Yahya. Salah satu kreativitas sang maestro, memasukkan alat-alat musik elektronik seperti gitar, bas, saxophone ke dalam Topeng Betawi Setia Warga yang dipimpinnya hingga akhir hayat. (Muhammad Sulhi)
Sumber: https://satusuaraexpress.com