Studi Kasus pada Masyarakat Bugis di Kecamatan Palabuhanratu, Kab. Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
oleh Irvan Setiawan
Masyarakat Bugis yang diidentikkan sebagai masyarakat pelaut kerap ditemukan di berbagai wilayah pantai di Indonesia. Dan, salah satunya berada di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Interaksi antara masyarakat Bugis dan masyarakat Palabuhanratu menghasilkan banyak hal menarik untuk dikaji baik dari segi pengetahuan kelautan maupun kemasyarakatan. Penelitian yang menggunakan metode deskriptif dengan mengambil sampel secara nonrandom dan dianalisis dengan mengandalkan teori ataupun kajian-kajian ilmiah yang pernah dilakukan menghasilkan beberapa temuan. Segi kebahasaan dan adat istiadat masyarakat Bugis ternyata bersifat terbuka terhadap budaya lain. Mereka juga tidak segan untuk membagi pengetahuan kelautan kepada penduduk lokal. Di lain pihak, masyarakat di Palabuhanratu, yang mayoritas adalah masyarakat Sunda juga bersifat terbuka terhadap masyarakat (suku bangsa) lain. Masyarakat Sunda bersifat egaliter dan memandang orang (masyarakat) adalah sederajat. Oleh karena itu, masyarakat Bugis tidak memerlukan interaksi atau komunikasi yang terlalu lama untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat Sunda.
A. PENDAHULUAN
Menurut Yudohusodo (dalam Mantra, 1997 : 7) bahwa pembauran masyarakat Indonesia memang layak terjadi karena Indonesia terdiri atas negara kepulauan yang memiliki banyak suku bangsa. Kantong utama wilayah pembauran berada di Pulau Jawa yang banyak dihuni oleh suku bangsa di antaranya berasal dari masyarakat Papua, Maluku, Manado, Dayak, dan Bugis. Pendapat tersebut diungkapkan 19 tahun yang lalu yang pada kondisi kekinian diprediksi akan lebih banyak suku bangsa yang hadir dan menetap di Pulau Jawa. Faktor daya dorong dan daya tarik (push and pull factor) dari Pulau Jawa menjadi penyebab utama dinamika perpindahan penduduk ke Pulau Jawa.
Pertumbuhan ekonomi sebagai faktor penarik (pull factor) yang memang cukup pesat di Pulau Jawa telah mengundang banyak suku bangsa dari pulau lainnya di Indonesia merasa tertarik untuk datang dan ikut menikmati manisnya madu pembangunan. Sementara di pihak mereka, daya dorong (push factor) dapat dilihat dari berbagai sebab. Selain faktor kemiskinan dan minimnya lapangan kerja, ada faktor lain yang cukup dominan yang dilatarbelakangi oleh budaya yang mereka anut, yaitu budaya merantau dengan diiringi oleh budaya malu. Malu apabila mereka masih terus berada di lingkungan budaya mereka, sementara kerabat dan teman-teman mereka sudah banyak yang merantau.
Latar belakang ekonomi merupakan sebuah pendorong yang bersifat umum dengan tidak memandang jenis pekerjaan beserta budaya kerja sang perantau itu sendiri. Mereka (perantau) akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru yang belum tentu sesuai dengan budaya kerja yang selama ini mereka geluti. Persaingan, ketepatan, dan kecepatan menjadi unsur utama dalam sebuah lingkungan kerja. Oleh karena itu, seleksi alami akan membuat para pencari kerja mencari jenis pekerjaan yang sedikit banyak ada kesesuaian dengan budaya kerja mereka sebelumnya.
Lain halnya dengan latar belakang ekonomi sebagai daya dorong, latar belakang budaya memberikan keleluasaan bagi perantau untuk mencari jenis pekerjaan yang sesuai dengan budaya kerja mereka. Salah satunya adalah suku bangsa Bugis yang sudah dikenal sejak dahulu sebagai “penguasa samudera” yang dikenal dengan kapal pinisinya. Secara umum telah diketahui bahwa suku bangsa Bugis telah menyebar di seantero Indonesia dan membentuk komunitas yang akrab dengan laut sebagai bidang kerjanya.
Palabuhanratu, salah satu kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah yang memiliki pantai indah dan adanya pelabuhan perikanan. Banyak masyarakat nelayan beraktivitas menangkap ikan dengan berbagai macam peralatan. Dan, di antara masyarakat nelayan yang menetap, terdapat komunitas masyarakat Bugis yang ada dan telah lama menetap di Palabuhanratu. Jangka waktu yang cukup lama untuk menetap di Palabuhanratu menandakan adanya upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat Bugis terhadap masyarakat lokal, dan nyatanya berhasil. Mereka dapat tetap menjalankan aktivitas masing-masing tanpa adanya gangguan keetnisan. Bahkan sudah banyak di antara kedua masyarakat tersebut yang menikah sehingga keakraban antara kedua masyarakat tersebut semakin kental.
Beranjak dari masyarakat Bugis sebagai subjek, beberapa hal yang akan dibahas atau dikaji mengarah pada upaya adaptasi dari masyarakat Bugis terhadap masyarakat lokal yang notabene adalah masyarakat Sunda di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
– Akulturasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 33), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih. Selain itu dapat juga diartikan sebagai proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat dengan penyerapan sebagian (kecil sekali), penyerapan yang agak banyak atau penolakan sama sekali terhadap kebudayaan asing itu. Dan, akulturasi dapat juga diartikan sebagai proses pertemuan kebudayaan yang tampak dalam penggunaan bahasa yang ditandai dengan penyerapan atau peminjaman kata-kata, bahkan timbulnya bilingualisme.
– Masyarakat
Sebenarnya terlalu luas dalam mendefinisikan masyarakat karena asumsi umum yang sering ada dalam benak kita tentang masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling bergaul dan berinteraksi. Mengenai jumlah dan pola pengelompokan tidak tercantum dalam definisi ini. Hal demikian pada akhirnya mengarah pada perluasan definisi masyarakat yang dapat saja terdiri atas sekompok kecil hingga kelompok yang sangat besar yang dalam hal ini adalah sebuah negara. Belum lagi tata cara atau kebiasaan yang menjadi pedoman dari perilaku berinteraksi yang memang harus dijabarkan secara jelas.
Merujuk pada bias-nya pengertian masyarakat dalam judul penelitian ini, tampaknya arah yang akan menjadi ruang lingkup dari definisi masyarakat akan ditujukan pada sekelompok orang yang mempunyai suatu ikatan khusus dalam bentuk pola perilaku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan tertentu (Koentjaraningrat, tt: 145).
– Bugis
Bugis merupakan nama suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Fokus utama dalam penelitian ini adalah masyarakat Bugis di Palabuhanratu dari berbagai latar belakang pekerjaan. Adapun penelitian ini juga akan meluas pada pencarian informasi kepada sanak saudara dari masyarakat Bugis yang tinggal di Palabuhanratu, yang dapat saja berasal dari hasil perkawinan dengan penduduk setempat.
– Palabuhanratu
Palabuhanratu merupakan sebuah Kecamatan yang masuk dalam wilayah Administratif Kabupaten Sukabumi. Secara khusus, lokasi yang akan menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah di Kelurahan Palabuhan Ratu yang terdiri atas beberapa kampung. Sentra masyarakat Bugis di kelurahan Palabuhan Ratu berada di Kampung Cipatuguran. Meskipun fokus utama berada di kampung tersebut, penelitian ini juga akan mencari informasi mengenai adaptasi masyarakat Bugis di wilayah lainnya, tidak hanya di Kelurahan Palabuhan Ratu saja tetapi juga di kelurahan lainnya yang masih dalam wilayah Kecamatan Palabuhanratu.
B. METODE PENELITIAN
Dalam sebuah penelitian ilmiah sangat diperlukan sebuah metode penelitian yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengacu pada pendalaman informasi baik melalui sumber tertulis maupun lisan.
Metode kualitatif yang menjadi pilihan dalam penelitian ini berkutat dalam jenis data yang dibentuk dari kata-kata dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dengan informan. Metode kualitatif bergerak dengan objek yang bersifat fenomenologis yang dilakukan melalui observasi tidak terkontrol. Dengan demikian, objek yang dimaksud haruslah bersifat holistik dengan mementingkan realitas dinamis dari hasil penelitian. Kedinamisan ini sangat mengutamakan proses perolehan informasi melalui pendekatan dengan objek atau informan secara mendalam. Oleh karena itu logika induktif menjadi pilihan dalam proses penganalisisan sebuah data kualitatif.
Analisis yang digunakan berpedoman pada teori atau paradigma tentang fenomena dari sebuah budaya yang ditambahkan dengan teori yang masuk dalam kategori interaksionisme simbolik. Tidak menutup kemungkinan bahwa data yang masuk akan dipilah dalam sebuah tabel kuantitatif namun dengan penjelasan kualitatif tentunya.
Sumber data adalah seperti yang disebutkan di atas yaitu data tidak tertulis dan tertulis. Data tidak tertulis dapat diperoleh dengan mencari data primer melalui proses wawancara dengan informan ataupun tokoh masyarakat. Sementara data tertulis dicari dengan merujuk pada sumber data sekunder baik dalam bentuk hasil penelitian, jurnal, dan gambar serta data visual (video). Data sekunder dapat diperoleh dengan melakukan pencarian baik di lokasi penelitian, perpustakaan, ataupun di e-library.
C. HASIL DAN BAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Palabuhanratu merupakan salah satu dari 45 kecamatan yang berada dalam lingkup wilayah Kabupaten Sukabumi.
Adapun Perbatasan kecamatan Sukabumi dengan wilayah lainnya adalah sebagai berikut:
– Utara berbatasan dengan Kecamatan Cikakak;
– Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpenan;
– Timur berbatasan dengan Kecamatan Bantargadung;
– Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Sementara itu, desa/kelurahan di Kecamatan Palabuhanratu berjumlah 10 desa/kelurahan. Sembilan di antaranya masih berstatus desa sementara 1 wilayah, yaitu Palabuhanratu sudah berstatus Kelurahan. Perubahan status wilayah dari desa menjadi kelurahan Palabuhanratu adalah untuk memudahkan prioritas pembangunan di wilayah tersebut dari segi administrasi.
Kecamatan Sukabumi merupakan ibukota dari Kabupaten Sukabumi. Status tersebut memang beralasan karena pusat kegiatan perekonomian Kabupaten Sukabumi berada di wilayah tersebut. Hal ini ditunjang oleh adanya pelabuhan perikanan.
Selain Pelabuhan Perikanan, di lokasi yang berdekatan akan dibangun pelabuhan peti kemas. Kondisi ini akan semakin menunjang atau memperkuat posisi kecamatan Sukabumi sebagai ibukota Kabupaten Sukabumi, meskipun jarak dengan ibukota provinsi (Jawa Barat) lebih jauh (159 km) jika dibandingkan dengan jarak dengan ibukota negara (119 km).
Kondisi geografis Kecamatan Sukabumi memang sangat menguntungkan untuk dijadikan sebagai Pelabuhan, berada di wilayah pantai yang berbentuk cekungan, sehingga kondisi ombak yang tertahan di luar cekungan akan menyisakan ombak yang tenang begitu sampai di pantai. Keuntungan lainnya adalah wilayah cekungan identik dengan jumlah ikan yang lumayan banyak sehingga wajar jika komunitas nelayan banyak berkumpul di Kecamatan Palabuhanratu.
Dengan ketinggian antara 0 – 800 mdpl, wilayah pemukiman banyak terkonsentrasi di daerah sekitar pantai dengan jumlah lahan seluas 1.467 ha dari 8,260 luas keseluruhan wilayah Kecamatan. Sisanya adalah wilayah pertanian sawah (1.230 ha), dan pertanian bukan sawah (5.563 ha).
Sarana umum yang tampak sangat menonjol dan dapat dikatakan sebagai ikon Kecamatan Palabuhanratu adalah Pelabuhan Ikan. Hilir mudik perahu yang membawa hasil tangkapan disertai dengan aneka ragam kegiatan nelayan kerap mewarnai keseharian sarana umum tersebut.
Keramaian dan tingkat aktivitas masyarakat akan semakin meninggi di Pelabuhan Perikanan tatkala musim ikan sudah tiba. Berlimpahnya hasil tangkapan kerap menimbulkan kemacetan baik di tempat sandar perahu nelayan maupun di lokasi penjualan hasil laut.
2. Akulturasi Masyarakat Bugis di Palabuhanratu
“Masyarakat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 924) adalah sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu. Dapat juga diartikan sebagai segolongan orang-orang yang mempunyai kesamaan tertentu. Definisi tersebut merupakan definisi umum yang dapat dipergunakan dalam berbagai kondisi geografi, sosial, dan budaya. Arah definisi akan mengerucut apabila ditambahkan satu atau dua kata di belakangnya. Apalagi ada unsur etnisitas yang menjadi tambahan kata di belakangnya, seperti halnya dengan masyarakat Bugis yang menjadi objek penelitian ini. Unsur mobilitas yang sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat Bugis kemudian dipadukan dengan lokasi mereka menetap menjadi sebuah kajian yang sangat menarik karena di dalamnya ada unsur pertemuan antara dua budaya yang saling berinteraksi dan berakulturasi. Ruang lingkup ekologi menjadi sebuah penentu berhasil atau tidaknya kedua belah pihak melakukan interaksi tersebut. Ekologi yang dimaksud dapat dilihat dari sisi sosial, budaya, ataupun kondisi alamnya.
Proses tawar menawar yang terjadi serta lokasi tujuan “merantau” masyarakat Bugis setidaknya dapat dilihat dari karakter dan budaya masyarakat Bugis itu sendiri. Terkait dengan kondisi ekologi antara masyarakat Bugis dengan lokasi tujuan perantauan, adalah bergantung pada sisi budaya kedua belah pihak. Oleh karena itu, sudut ekologi budaya menjadi bagian terpenting dalam penelitian ini. Steward dalam Putra (1994: 4) mengatakan bahwa ekologi budaya memiliki tiga karakter studi yang patut untuk diteliti dan dianalisis, yaitu:
Melakukan analisis atas hubungan antara lingkungan dan teknologi pemanfaatan dan produksi.
Melakukan analisis atas pola-pola perilaku dalam eksploitasi suatu kawasan tertentu yang menggunakan teknologi tertentu.
Melakukan analisis atas tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam pemanfaatan lingkungan terhadap aspek-aspek lain dari kebudayaan (Steward, 1955: 40-41).
Pola-pola yang tercantum dalam ekologi budaya menjadi penting artinya karena sekelompok masyarakat perantau yang hendak merantau tentu akan memfokuskan diri pada lokasi perantauan yang memiliki karakteristik ekologi budaya yang sesuai dengan pola dan jenis pekerjaannya. Karakter masyarakat Bugis yang “dekat” dengan laut tentunya akan berimbas pada lokasi tujuan perantauan yang tidak jauh dengan laut. Setelah itu, mereka juga akan merasa nyaman apabila masyarakat di lokasi perantauan memiliki karakteristik sifat dan pola perilaku kelautan yang relatif sama dengan masyarakat Bugis itu sendiri. Sisi pemanfaatan lingkungan yang ada di lokasi perantauan kemudian menjadi pertimbangan apakah sesuai dengan kebiasaan masyarakat Bugis dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya.
Selain Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan sebagai wilayah asal mereka sebenarnya memiliki dua etnis lainnya, yaitu Makassar dan Toraja. Menurut Mantra, Suku Bugis merupakan suku terbesar yang menghuni Sulawesi Selatan yaitu kurang lebih sebesar 52 %, sementara suku Makassar sebesar 25 %, dan Toraja sebesar 10%. Suku Bugis memiliki jiwa perantau yang cukup tinggi dibandingkan dengan dua suku lainnya yaitu Makassar dan Toraja (1997: 11). Perspektif perantau yang menjadi karakter masyarakat Bugis disebabkan oleh berbagai hal namun mengarah pada satu hal pokok, yaitu sektor kebaharian. Dengan kata lain, bahwa Masyarakat Bugis amat dekat dengan kehidupan kelautan sehingga wajar saja apabila mereka memandang bahwa laut merupakan tempat tinggal mereka dan mereka selalu ingin mengikuti “arus laut” sampai akhirnya berhenti pada sebuah daratan untuk disinggahi dan didiami.
Sektor kelautan yang tergolong sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Bugis nampaknya menjadi sektor yang sangat mendukung untuk dijadikan ikon bahwa masyarakat Bugis memang identik sebagai nelayan. Asumsi atau pengertian nelayan pada umumnya adalah seorang atau beberapa orang nelayan yang menggunakan perahu (besar atau kecil) menuju lautan untuk menangkap ikan dengan menggunakan jaring atau kail. Kenyataan yang nampak bahwa tidaklah melulu bahwa masyarakat Bugis menggunakan jenis mata pencaharian “nelayan” sebagai andalan mereka dalam mencari nafkah di lokasi perantauan. Akan tetapi, pekerjaan yang masih berbau kelautan, seperti berjualan ikan, pemilik pagang, pembuat pagang, dan lain-lain, dapat menjadi alternatif pekerjaan masyarakat Bugis baik di kampung halaman maupun di lokasi perantauan.
Merantau, atau dalam bahasa Bugis diistilahkan dengan kata sopeng (merantau ke daerah lain) ternyata dapat dilatarbelakangi oleh berbagai sebab namun tetap mengerucut pada lokasi perantauan yang minimal berada di wilayah pantai. Beberapa alasan merantau dari masyarakat Bugis adalah ketika mereka merasa bahwa kehidupan di kampung atau daerah asalnya pas-pasan atau bahkan kekurangan. Selain itu, faktor kondisi sosial politik pada era pemberontakan Kahar Muzakar dapat menjadi penyebab alasan merantau. Dengan demikian, tujuan dari “sompe” tak lain adalah untuk mendapatkan kehidupan yang aman, tentram, dan sejahtera.
a. Sistem Kepercayaan
Masyarakat Sunda yang menempati wilayah di pesisir utara dan selatan provinsi Jawa Barat memiliki karakter kenelayanan yang secara umum hampir sama dengan karakter masyarakat nelayan di berbagai wilayah khususnya di Indonesia. Kekompakan, persaingan, dan daya tahan terhadap kondisi cuaca di laut membawa pengaruh yang dapat dikatakan sama, baik pada masyarakat nelayan sunda maupun nelayan dari etnis lainnya. Oleh karena itu, setiap wilayah pantai yang berpotensi menjadi sebuah komunitas nelayan akan didatangi oleh nelayan baik dari masyarakat lokal maupun nelayan dari wilayah lainnya. Di Palabuhanratu khususnya, setidaknya ada beberapa etnis sunda di luar masyarakat lokal yang ikut berperan serta untuk berbagi hasil dalam mencari rezeki di laut, mulai dari nelayan dari pantai utara jawa seperti Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, dan Bekasi, dan juga di pantai selatan (Pangandaran) ada yang berdiam dan menetap dan bergabung menjadi masyarakat nelayan Palabuhanratu. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa wilayah Palabuhanratu, merupakan salah satu lokasi favorit yang digandrungi untuk dijadikan tempat terutama untuk mencari nafkah.
Nelayan Sunda di Palabuhanratu tentunya telah mengenal seluk beluk dan asal mula nama Palabuhanratu utamanya dari segi mitos dan kepercayaan yang memang telah juga diketahui oleh masyarakat luas di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa. Kata “Ratu” dalam “Palabuhanratu”, diambil dari legenda Nyi Ratu Kidul sebagai sosok gaib penguasa pantai Selatan Pulau Jawa yang diyakini ada dalam sistem kepercayaan masyarakat Sunda. Sebagai penguasa, setidaknya, Nyi Ratu Kidul memiliki aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia mengenai pengelolaan kekayaan laut di pantai selatan. Begitu pula dengan konsep penghormatan manusia terhadap penguasa laut selatan yang harus dilaksanakan baik dalam wujud perilaku maupun upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari atau musim yang telah ditentukan.
Lalu bagaimana pandangan masyarakat Bugis mengenai konsep penghormatan terhadap sosok gaib Nyi Ratu Kidul? Latar belakang kehidupan masyarakat Bugis di daerah asal juga tidak lepas dari konsep penghormatan terhadap sosok gaib yang telah ada sebelum Islam masuk sebagai agama resmi mereka. Dan, bagaimana wujud atau nama bentuk penghormatan mereka? Masyarakat Bugis dan Makassar, sebelum agama Islam masuk dan menyebar, telah mengenal bentuk kepercayaan yang dinamakan attorioloang. Sebuah bentuk penghormatan kepada sosok gaib yang hampir sama dengan konsep kepercayaan dalam masyarakat Sunda yang dikenal dengan kepercayaan Sunda Wiwitan. Attorioloang dan Sunda Wiwitan merupakan sebuah bentuk kepercayaan akan adanya Sang Maha Gaib yang merupakan pencipta alam semesta berikut isinya. Sang Maha Gaib tidak dapat digambarkan baik dalam bentuk sosok, pemikiran, maupun, perilakunya. Oleh karena itu, masyarakat Sunda dan Bugis, sesuai dengan kepercayaan mereka, hanya dapat menghormati, dan menaati segala aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Sang Maha Gaib. Kedua masyarakat (Sunda dan Bugis) tersebut saat ini tidak dapat mengatakan bentuk kepercayaan tersebut secara terbuka. Mereka menyebut bentuk kepercayaan yang mereka laksanakan sebagai bagian dari adat istiadat, dan bentuk penghormatan mereka kepada Sang Maha Gaib dilakukan dalam bentuk upacara-upacara tradisional. Beberapa wujud perilaku dalam konsep penghormatan kepada sosok gaib pada masyarakat Bugis di antaranya dikenal dengan nama mappanre galung, yaitu memberi makan sawah atau tanah, dan maccera tasi yaitu memberi makan sosok gaib di laut (Pabbajah, 2012: 398-399).
Terkait dengan kepercayaan mengenai maccera tasi pada masyarakat Bugis, perihal datang dan bermukimnya mereka di Palabuhanratu setidaknya akan memberikan definisi serta pengertian yang tidak terlalu kontra dalam menanggapi keberadaan mitos atau legenda mengenai Ratu Kidul karena dalam imajinasi masyarakat Bugis sudah tersimpan memori yang dilatarbelakangi oleh pola kehidupan pra-Islam yang meyakini adanya Sang Maha Gaib.
Berbicara tentang Sang Maha Gaib, apabila dilihat dari perspektif keagamaan akan tertuju kepada Sang Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semenjak penyebaran agama (Islam) di Indonesia, mayoritas masyarakat Bugis termasuk dalam kelompok yang sudah menerima Islam sebagai agama mereka. Begitu juga halnya dengan masyarakat Sunda. Berawal dari sistem kepercayaan yang sama, kemudian mayoritas menganut agama yang sama (Islam) semakin menambah nilai positif dalam proses akulturasi di antara kedua masyarakat tersebut. Meski tidak memiliki pengaruh kuat dari upaya akulturasi, namun data statistik jumlah pemeluk agama (Islam) di Kecamatan Palabuhanratu dapat menjadi gambaran bahwa di antara alternatif pemilihan lokasi perantauan juga turut mempertimbangkan sisi kesamaan religi (agama).
Slogan memakmurkan masjid (termasuk surau) dalam Islam dapat menjadi salah satu upaya memperkuat silaturrahmi antar sesama pemeluk Islam dari berbagai macam kalangan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah masyarakat Sunda dan Bugis. Mereka kerap melakukan kegiatan bernuansa Islam (selain shalat wajib) bersama, seperti berzikir, tahlil, selamatan, dan kenduri.
Ihwal cara hidup (way of life) masyarakat Bugis yang berpedoman pada sistem kepercayaan tidak hanya tertumpu pada religiusitas individu ataupun kelompok. Cara hidup tersebut berlaku tidak hanya di intern kelompok tetapi juga harus mengampu tentang tata cara hidup di luar kelompok. Ada banyak pedoman baik lisan maupun tulisan tentang kearifan lokal dalam tata cara hidup masyarakat Bugis di antaranya adalah apa yang dinamakan sebagai Pappaseng. Sebuah buku yang diketemukan dalam lontaraq attoriolong. Adapun isi dari Pappaseng berkisar tentang petunjuk perbuatan baik yang harus diikuti dan perbuatan buruk yang harus dihindari. Uraian dalam tulisan yang tertera dalam Pappaseng akan dilantunkan dalam bentuk sastra lisan. Hingga kini, Pappaseng tetap hidup dan tersebar di tengah-tengah masyarakat Bugis (Mustafa, 2014: 455-456). Dengan bermodalkan pada kearifan lokal mengenai tata cara hidup tersebut, di perantauan, masyarakat Bugis berupaya berakulturasi dengan masyarakat lokal.
Begitu halnya pada masyarakat Bugis dan sama pula halnya dengan masyarakat Sunda, tidak hanya di Palabuhanratu saja, juga mengenal tata cara hidup dalam sastra lisan yang berisi tentang nilai kearifan, nilai tanggung jawab, kedisiplinan, serta kemandirian, dan sebagainya (Kodariah, 2015: 116-128).
Unsur baik dan buruk adalah universal namun diterjemahkan secara beragam di seluruh dunia. Latar belakang sistem kepercayaan masyarakat Bugis dan masyarakat Sunda yang hampir mirip memunculkan sebuah ide untuk sepakat berinteraksi secara damai. Dan, hasilnya adalah sebuah keharmonisan dan keindahan dari sebuah akulturasi yang ada di Kecamatan Palabuhanratu Provinsi Jawa Barat.
b. Sistem Perekonomian
Palabuhanratu sebagai salah satu lokasi perantauan masyarakat Bugis memiliki karakteristik geografis yang khas yaitu berada pada posisi cekungan sehingga banyak ikan di wilayah tersebut akibat terdorong ombak ataupun sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis ikan. Posisi geografis tersebut tentulah sangat menguntungkan bagi para nelayan untuk datang dan menangkap ikan sebanyak mungkin. Dengan berlimpahnya ikan di wilayah tersebut membuat para nelayan tidaklah mungkin setiap hari datang dari tempat yang jauh. Mereka kemudian pindah ke daerah itu dan membentuk perkampungan yang semakin meluas, yang saat ini dinamakan Palabuhanratu.
Nama Palabuhanratu sebagai wilayah teluk merupakan sebuah wilayah yang cukup menjanjikan apabila dilihat dari perspektif pengetahuan kenelayanan, dimana daerah tersebut sering diidentikkan dengan sumber daya ikan yang cukup berlimpah. Oleh karena itu, segala hal yang terkait dengan sektor kelautan, baik dari segi aktivitas pokok maupun dari segi aktivitas penunjang sektor kelautan kerap mewarnai kehidupan keseharian masyarakat Palabuhanratu.
Masyarakat Bugis sebagai salah satu bagian masyarakat Palabuhanratu juga turut mengisi warna kehidupan keseharian walaupun tidak ada data resmi mengenai berapa jumlah masyarakat Bugis di Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Patokan atau tanda-tanda mengenai keberadaan masyarakat Bugis di Palabuhanratu hanya dapat dilihat dari keberadaan pagang yang memang cukup banyak tersebar di sepanjang wilayah pantai Kecamatan Palabuhanratu. Melihat dari cukup banyaknya pagang tersebut dapat diasumsikan bahwa jumlah masyarakat Bugis di wilayah ini tergolong cukup banyak dengan durasi waktu menetap yang telah cukup lama. Asumsi ini senada dengan beberapa orang informan yang menyatakan bahwa dirinya telah menetap di Palabuhanratu dari dekade 60-an hingga sekarang.
Pagang merupakan sebuah alat tangkap khas masyarakat Bugis yang dibawa dan diterapkan di wilayah Palabuhanratu. Sebelumnya, masyarakat setempat tidak mengenal kata ataupun bentuk pagang. Sedikit demi sedikit, masyarakat Bugis mengenalkan dan mengajarkan cara membuat dan mengoperasikan pagang kepada masyarakat setempat.
Pola kerja dan cara mengoperasikan pagang memang cukup berat. Dan, hal ini sudah lumrah bahwa ranah laki-laki memang sudah ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan ini. Ternyata, bukan dalam hal pembuatan pagang saja. Sisi mata pencaharian sebagai penangkap ikan memang sudah mentradisi bagi masyarakat Bugis untuk memilih laki-laki sebagai bagian dalam pekerjaan ini, sementara kaum wanita hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga. Apabila hendak melakukan pekerjaan, para perempuan dari kalangan masyarakat Bugis lebih memilih untuk bekerja pada bidang di luar sektor kenelayanan. Hal mana yang juga dapat disandingkan dengan perempuan dari masyarakat Sunda, yang juga lebih memilih bekerja di luar sektor kenelayanan.
Pekerjaan sebagai pengurus rumah tangga, baik pada masyarakat Bugis maupun Sunda bukanlah pekerjaan mudah. Memang, dalam hal melaksanakan pekerjaan sehari-hari seperti memasak, membersihkan rumah, ataupun mengurus anak adalah hal lumrah yang setidaknya dapat dikerjakan tanpa harus berpikir keras. Ada sisi lain yang membuat pekerjaan mengurus rumah tangga menjadi sangat dominan bagi keberlangsungan sebuah keluarga nelayan, yaitu mengelola sumber keuangan yang diperoleh dari hasil jerih payah suami sebagai nelayan.
Betapa tidak, pekerjaan sebagai nelayan (pagang dan penangkap ikan) adalah sebuah jenis pekerjaan yang dapat dikatakan untung-untungan. Istilah ini tidak dapat diartikan sebagai sebuah pekerjaan yang dilakukan tanpa perhitungan sama sekali. Meskipun perhitungan sudah dilakukan secara cermat saat hendak menaruh dan memasang pagang di suatu tempat, namun apabila musim ikan sudah berlalu maka hasil yang diperoleh adalah jauh dari harapan. Bahkan dapat saja mereka pulang dengan tangan hampa. Istilah untung-untungan mungkin dapat ditempatkan pada satu kejadian dimana mereka mendapatkan ikan dalam jumlah yang cukup banyak padahal musim ikan sebenarnya telah berlalu.
Di sela-sela musim paceklik biasanya nelayan Bugis memeriksa dan mereparasi pagang apabila ada yang rusak. Di antara tingkat kerusakan yang banyak terjadi adalah pada bagian jaring yang sering mengalami kerusakan. Penyebab dari kerusakan jaring pagang biasanya karena adanya benda-benda yang mengapung, arus laut yang kuat, serta beberapa jenis ikan yang mampu untuk mengoyak jaring pagang. Selain jaring, tali-tali yang menjadi kekuatan sebuah pagang juga harus dirawat agar jangan sampai longgar atau putus.
Selain pagang, perahu yang menjadi andalan nelayan juga akan diperbaiki di sela-sela musim paceklik. Perawatan yang biasa dilakukan adalah memperbaiki sisi luar lambung perahu yang biasanya rentan terkena benda-benda terapung sehingga dempul yang terkena hantaman benda tersebut akan koyak dan perlu ditambal serta dicat kembali agar tidak bocor.
Imbas dari ketidakpastian dalam memperoleh hasil ikan yang tidak menentu tentu akan mengarah pada keberlangsungan “asap dapur” para nelayan pagang. Situasi perekonomian yang tidak menentu tersebut tentu harus diantisipasi dengan cara menghemat pengeluaran dari hasil yang diperoleh saat musim ikan tiba. Hasil dari upaya penghematan tersebut nantinya akan digunakan untuk “menambal” kekurangan penghasilan di saat musim paceklik ikan. Dan, siapa yang bertugas untuk mengurusi hal ini? Peran isteri kemudian mendominasi dalam urusan keuangan rumah tangga, karena sang suami sudah sangat lelah setelah pulang dari laut sehingga sulit berpikir untuk mencari alternatif sumber ekonomi lain guna mengasapi dapur keluarganya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peran isteri – perempuan – sangat dominan dalam kehidupan nelayan Bugis. Dengan kata lain, pembagian kerja berdasarkan sistem gender pada masyarakat nelayan, seperti halnya yang dinyatakan juga oleh Kusnadi (2010: 2) akan membuat kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya.
Meskipun tidak menjadi faktor utama, namun dapat dijadikan sebagai salah satu data yang turut mendukung posisi perempuan dalam rumah tangga di Kecamatan Palabuhanratu adalah jumlah yang hampir berimbang dengan jumlah laki-laki. Berdasarkan data statistik terlihat pada sepuluh desa/kelurahan hampir ada keberimbangan jumlah, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
Perihal pembagian tugas berdasarkan gender juga telah memposisikan perempuan utamanya, berperan dalam keputusan rumah tangga. Menilik ke belakang, dalam legenda masyarakat Sunda dikenal sosok “Sunan Ambu”. Beliau merupakan satu “sosok” yang “melahirkan manusia”. Dan, kata “ambu” sendiri dalam bahasa Sunda berarti “ibu”. Oleh karena itu, perempuan sebagai sosok ibu, menjadi sosok yang berperan penting dalam sebuah rumah tangga. Tidak dalam pengertian menguasai, tetapi lebih bersifat “mepende” (mengayomi) sehingga sangat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh pihak laki-laki. Dengan adanya unsur kesepahaman dalam hal gender antara masyarakat Sunda dengan masyarakat Bugis di Palabuhanratu, maka tatanan sosial di antara kedua suku bangsa tersebut dapat berjalan seiring.
c. Sistem Kebahasaan
Sebagai suku bangsa pendatang, masyarakat Bugis mau tidak mau akan berinteraksi dan berakulturasi dengan penduduk setempat yang dalam hal ini adalah masyarakat Sunda. Interaksi pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat Bugis adalah bahasa. Dengan menyandang bahasa dan logat ke-Bugis-annya, masyarakat Bugis tentu memiliki bahasa dan logat yang sudah tentu berbeda dengan logat yang biasa dituturkan oleh masyarakat Palabuhanratu. Adaptasi dan komunikasi yang intens membuat masyarakat Bugis sedikit demi sedikit mulai mengenal bahasa daerah (Sunda). Dari hasil wawancara dengan beberapa informan memang sekilas tidak nampak adanya identitas Bugis dalam diri mereka. Baik bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda dapat dilafalkan dengan lancar tanpa kendala apa pun.
Masyarakat Bugis dalam berkomunikasi di Palabuhanratu saat ini memang sudah dapat dikatakan membaur dengan penduduk setempat. Walaupun demikian, ada satu bagian dalam komunikasi yang nampaknya paling sulit untuk beradaptasi dengan bahasa setempat yaitu logat/dialek/intonasi/nada bahasa. Kebiasaan masyarakat Bugis menggunakan bahasa dan dialek Bugis di daerah asalnya yang sudah berjalan sekian lama nampaknya masih agak sulit untuk dihilangkan dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat. Walaupun ada beberapa informan yang mampu berdialek bahasa Sunda hampir sempurna, ada juga yang masih belum dapat menghilangkan sepenuhnya dialek Bugis. Ada lagi informan yang mampu berdialek Sunda hampir sempurna, namun ketika temannya dari Bugis datang dan berbicara dengan bahasa Bugis, seketika itu juga sang informan mampu berbicara dan berdialek Bugis secara sempurna.
Upaya akulturasi dari sudut kebahasaan pada masyarakat Bugis di Palabuhanratu kemudian dikembangkan pula pada penamaan diri. Masyarakat Bugis sangat terbuka untuk menggunakan nama-nama yang sudah meng-Indonesia untuk dipakai dalam pemberian nama anak-anak mereka. Nama-nama seperti Siti, Sri, Fajar, Wahyu, dan lain-lain yang secara umum sudah sering dipakai dalam sistem pemberian nama di Indonesia menjadi acuan untuk diberikan kepada anak-anak mereka. Latar belakang dari keterbukaan dalam sistem pemberian nama tersebut dapat merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rijal. Dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa bahasa yang menjadi alat komunikasi pada masyarakat Bugis sudah sedemikian tercampur dengan bahasa Indonesia sehingga nama-nama Indonesia adalah sangat wajar diterapkan pada keluarga mereka. Adapun jenis nama-nama yang dipilih merupakan nama-nama dari jenis bahasa Indonesia hasil serapan dari bahasa Arab, Sansekerta, atau bahasa-bahasa dari Eropa seperti bahasa Inggris (Rijal, 2011: 45).
d. Rindu Kampung Halaman
Sebagai masyarakat perantau, masyarakat Bugis, dan masyarakat perantau lainnya di Indonesia secara umum kerap ada rasa untuk melihat, menjenguk, dan berinteraksi dengan sanak saudara dan teman-teman di kampung halaman. Niat “pulang kampung” pada masyarakat Bugis di Palabuhanratu secara umum tetap tersimpan di benak mereka, utamanya pada hari raya Idul Fitri. Di saat Shalat Ied dilaksanakan, akan terasa dalam hati mereka sebuah kerinduan untuk Shalat Ied bersama dengan sanak saudara di kampung halaman.
Didasarkan atas data kualitatif dari beberapa informan, pulang kampung bagi mereka bukan sebuah keharusan yang memaksa mereka untuk pulang kampung sambil membawa sejumlah uang dan oleh-oleh untuk dibagikan kepada sanak saudara dan teman-teman mereka di kampung halaman. Ada unsur logika yang “bermain” dalam urusan pulang kampung. Kendala ekonomi dan jauhnya jarak antara Palabuhanratu dengan kampung halaman menjadi penyebab banyak di antara mereka memilih untuk tidak pulang kampung. Walaupun demikian, ada beberapa alasan yang akan memaksa mereka untuk pulang kampung, di antaranya menjenguk orangtua atau kerabat yang sakit/meninggal, dan ada sanak saudara yang menikah. Itupun didasarkan atas prioritas siapa yang hendak berangkat. Biasanya skala prioritas tersebut didasarkan atas kondisi perekonomian mereka. Apabila harus meminjam sejumlah uang untuk berangkat maka hanya dari pihak saudara kandung saja yang berangkat. Misalnya, orangtua suami yang sedang sakit di kampung halaman, maka hanya suaminya saja yang berangkat. Sementara isteri dan anak-anak tetap di rumah karena ketidakcukupan biaya apabila berangkat bersama keluarga. Dan, informasi mengenai berita duka tersebut biasanya akan menyebar di lingkungan sekitar. Perhatian dan belasungkawa akan datang mengalir dari para tetangga dengan tidak memandang etnisitas.
D. PENUTUP
Kedinamisan sebuah kebudayaan diwujudkan dalam sebuah proses tawar menawar yang pada ujungnya menghasilkan sebuah solusi yang berbuah manis, berbentuk keharmonisan antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda. Harmonis dalam pengertian adanya kesepahaman antara dua kebudayaan untuk saling berinteraksi tanpa adanya hambatan kultural. Dan, konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan damai.
Masyarakat Bugis yang memiliki budaya kelautan cukup kental secara tidak langsung akan menuju lokasi “perantauan” minimal berada dekat dengan pantai. Entah jenis pekerjaan apa yang nantinya akan dilakukan namun akan mengerucut pada sektor kelautan sebagaimana yang biasa dilakukan di kampung halamannya. Dengan bermodalkan unsur Kedinamisan dalam perilaku budaya masyarakat Bugis selanjutnya dapat menjadi landasan untuk berinteraksi dengan masyarakat di lokasi perantauan merupakan modal utama untuk dapat tetap bertahan hidup dalam membina rumah tangga dan perekonomian mereka.
Masyarakat lokal di Palabuhanratu yang mayoritas berasal dari masyarakat Sunda, tentunya akan memberi penilaian terhadap perilaku budaya masyarakat pendatang yang dalam hal ini adalah masyarakat Bugis. Unsur penilaian tersebut didasarkan pada latar belakang budaya masyarakat Sunda itu sendiri. Posisi budaya masyarakat Sunda yang – di antaranya – dibentuk dari upaya menjalin keharmonisan dengan kondisi lingkungan alam (yang subur) menghasilkan karakter masyarakat Sunda yang terbuka dan dapat bergaul dengan masyarakat lainnya termasuk masyarakat Bugis yang bermukim di Palabuhanratu. Walaupun demikian, inisiasi dari masyarakat lokal (Sunda) tetap dilakukan agar upaya interaksi yang hendak dijalankan oleh masyarakat Bugis dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR SUMBER
1. Buku
Koordinator Statistik Kecamatan Palabuhanratu. 2014. Kecamatan Palabuhanratu dalam Angka 2014. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi.
Koentjaraningrat. tt. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi. Jakarta: Mizan Publika.
Subagyo. 2004. Nyai Ratu Kidul Hanya Rekayasa Politik. Surabaya: Mulyosari.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
2. Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian
Darmawati, M.R. 2015. “Profil Kebahasaan Nelayan Bugis di Tinobu, Sulawesi Tenggara: Pola-Pola Penggunaan Bahasa”, dalam Kandai Vol. 11, No. 2, November 2015; 176—188.
Kodariah, Siti. 2015. “Nilai Kearifan Lokal dalam Peribahasa Sunda: Kajian Semiotika”, dalam Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret 2015.
Kusnadi. 2010. “Kebudayaan Masyarakat Nelayan”, Makalah dalam kegiatan Jelajah Budaya Tahun 2010, dengan tema “Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa”, yang Diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, di Yogyakarta, tanggal 12-15 Juli 2010.
Mustafa. 2014. “Refleksi Kejujuran Masyarakat Bugis dalam Pappasengna To Maccae Ri Luwu Sibawa Kajao Laliqdong Ri Bone”, dalam Jurnal Sawerigading Vol. 20 No. 3 Tahun 2014.
Pabbajah, Mustaqim. 2012. “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis – Makassar”, Jurnal Al-Ulum Volume. 12, Nomor 2, Desember 2012 Hal. 397-418.
Putra, Heddy Sri Ahimsa. 1994. “Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya”, Jurnal Masyarakat Indonesia Tahun XX, No. 4.
Rijal, Syamsul. 2011. “Pemilihan Nama Diri pada Masyarakat Bugis: Analisis Semantik”, Tesis Program Studi Bahasa Indonesia, Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.