WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Analisis Hubungan Antara Lama Bermukim Dengan Persepsi


A. PENDAHULUAN
Pandangan tradisional masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kepemimpinan yang baik tidak bisa terlepas dari unsur mistis atau yang bersifat mistis. Kekuasaan politik bagi orang Jawa merupakan pemusatan kekuatan kosmis paling padat yang meresapi segala-galanya (Suseno, 1985: 98). Masih menurut Frans Magnis Suseno, besarnya tenaga atau kekuatan kosmis yang berhasil dihimpun oleh seorang penguasa akan menjadikannya pribadi yang tenang. Ia akan menjadi orang yang bersifat alus yang berarti lembut, luwes, sopan, beradab dan peka serta akan menjadikannya pribadi yang berwibawa. Dalam pandangan masyarakat tradisional Jawa, banyak sifat-sifat kebajikan yang harus dimiliki dan dijauhi oleh seorang pemimpin.

Menyoroti persepsi masyarakat Jawa tentang kepemimpinan yang ideal tidak dapat dilakukan tanpa melihat aspek kehidupan orang Jawa secara keseluruhan. Berbicara tentang kepemimpinan berarti membicarakan masalah kekuasaan, yakni kekuasaan politik. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengutip pendapat ROG. Anderson mengatakan bahwa: “Kekuasaan menurut paham Jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam dan juga merupakan ungkapan energi Tuhan tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmis”(Alfian, 1991: 202). Dalam pandangan yang seperti itu konsep kekuasaan Jawa mengandung tiga gejala yakni:
1. Kekuasaan kongkrit.
2. Kekuasaan itu homogen, bersifat satu dan sama, karena jumlah kekuasaan di alam
semesta selalu tetap.
3. Kekuasaan tidak mempersoalkan dari mana ia berasal dan menyerap berbagai gumpalan
kekuasaan, baik kawan maupun lawan.

Penerapan konsep kekuasaan ini didukung oleh kualitas penguasa dalam suatu ajaran yang disebut ajaran raja yang bijaksana, yakni sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja sebagai seorang penguasa.

Seiring dengan konsep perkembangan dan kemajuan masyarakat, perwujudan diri seorang penguasa tentunya mulai bergeser dari sosok seorang raja menjadi penguasa-penguasa kecil yang masih tetap mempunyai kekuasaan politik. Salah satu sosok penguasa politik yang ada sekarang adalah seorang kepala desa. Bergesernya subjek pelaku politik yang dimaksud dalam ajaran raja yang bijaksana dari seorang Raja menjadi Kepala Desa, diasumsikan tidak akan merubah sifat-sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang penguasa. Seorang Kepala Desa juga harus mempunyai sifat seperti dalam ajaran Raja yang bijaksana.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan dikemukakan adalah:

“Bagaiamanakah hubungan antara lama bermukim di luar Jawa dengan persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal seorang Kepala Desa, dan adakah hubungan yang positif, erat dan signifikan antara lama bermukim di luar Jawa dengan persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal Kepala Desa”.

1. Bertujuan untuk mengetahui persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal
seorang Kepala Desa.
2. Bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama bermukim dengan persepsi
transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal seorang Kepala Desa.

Persepsi menurut Jack C. Plano, dkk (1982: 148) adalah proses atau hasil yang melahirkan kesadaran atas sesuatu hal melalui perantaraan pikiran sehat. Selanjutnya dikatakan bahwa persepsi mencakup dua proses kerja yang saling berkaitan, pertama menerima kesan melalui penglihatan, sentuhan dan inderawi lainnya, kedua penafsiran atau penetapan arti atas kesan-kesan inderawi tadi. Arti ditetapkan melalui interaksi kesan-kesan inderawi dengan struktur pengertian (keyakinan relevan yang muncul dari pengalaman masa lalu) seseorang dengan struktur evaluatif (nilai-nilai yang dipegang seseorang).

Hasil-hasil yang diperoleh dari kesan-kesan yang ditangkap oleh indera ditafsirkan melalui proses berpikir. Untuk menetapkan arti dari kesan-kesan yang ditangkap, maka proses berpikir dipengaruhi oleh dua faktor yakni pertama, pengalaman masa lalu dan kedua, nilai-nilai yang diyakini seseorang. Pengalaman masa lalu akan memberikan banyak pengertian pada pemahaman tentang suatu objek, baik pengalaman pendidikan, pengalaman sosialisasi maupun pengalaman dalam hidup bermasyarakat. Pengalaman sosialisasi dapat terjadi di berbagai tempat dan lingkungan. Sosialisasi nilai-nilai budaya akan lebih terasa di lingkungan asal budaya tersebut sendiri. Artinya akan terdapat perbedaan persepsi antara orang yang tinggal di luar lingkungan budaya dengan mereka yang tinggal di dalam lingkungan budaya tentang suatu objek. Dapat diasumsikan bahwa semakin lama seseorang tinggal di lingkungan budayanya akan semakin kuat pemahamannya tentang nilai-nilai budayanya, dan sebaliknya mereka yang lama tinggal di luar lingkungan budayanya akan memiliki pemahaman yang tipis tentang nilai-nilai budayanya.

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan transmigran adalah orang yang berpindah ke daerah (pulau) lain. Sedangkan Jawa yang dimaksud adalah seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1984: 4) yakni orang yang mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau Jawa. Dan menurut Franz Magnis Suseno (1985: 11) adalah mereka yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Dengan demikian transmigran Jawa adalah orang yang berasal dari bagian tengah dan timur pulau Jawa dan bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang berpindah ke luar bagian tengah dan timur pulau Jawa.

Para ahli di bidang administrasi dan manajemen telah banyak merumuskan ciri dan sifat dari sebuah kepemimpinan yang baik. Namun mereka sepakat bahwa kepemimpinan itu bersifat situasional. Artinya sebuah kepemimpinan yang baik belum tentu ideal untuk berbagai situasi. Lebih kongkrit lagi kepemimpinan ideal bagi suku bangsa Jawa akan berbeda dengan suku bangsa lainnya.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, kepemimpinan bagi orang Jawa bersifat mistis dan mengandung kekuatan-kekuatan supranatural. Dalam pandangan Jawa, kehidupan dunia tidak terlepas dari kehidupan alam gaib yang serba mistis. Dalam pandangan yang serba mistik ini, segala sesuatu yang terjadi di alam realita mempunyai hubungan yang erat dengan kejadian-kejadian di alam gaib. Dengan demikian, kekuasaan sebagai suatu fakta sosial juga dipandang sebagai suatu fakta yang mengandung nilai-nilai mistik. Kekuasaan adalah ungkapan energi Illahi tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos (Suseno, 1985: 99).

Dengan berpegang pada pandangan di atas, maka wajar apabila sifat-sifat pemimpin yang ideal yang dimaksud oleh masyarakat Jawa mengacu pada sifat-sifat kebaikan yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sebagai suatu ajaran raja yang bijaksana. Di antara ajaran-ajaran tersebut adalah seperti yang diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Alfian, 1991: 197 – 199) sebagai berikut:

Pada zaman Tumapel/Singasari, dibangun satu monumen simbolis berupa patung Joko Dolog, perwujudan Prabu Kertanegara sebagai Syiwa-Budha yang mensintesiskan sikap bhairawa-anoraga, perkasa di luar, lembut di dalam. Yang menarik adalah polosnya Joko Dolog yang menunjukkan kejiwaan aruphadatu. Akan tetapi sikap duduknya atau silanya (mudranya) ternyata masih menunjuk ke bumi (bumi sparsa mudra) yang berarti setia pada janji, berwatak tabah dan toleran, selalu berbuat baik. Joko Dolog berarti pribadi yang jantan yang bertekad kokoh, tak tergoyahkan (maligining rasa) dan tidak takut (pangrasa/panging rasa/kedher).

Pada masa itulah, Sang Praduyaparamita yang dipersonifikasikan oleh Ken Dedes, nenek moyang Kertanegara, menerima ajaran Mpu Purwo seorang pendeta Budha, berupa Hasta Karma Pratama, sebagai contoh subjektivikasi suatu ajaran yakni pandangan yang benar, pikiran yang benar, bicara yang benar, tingkah laku yang benar, kehidupan yang benar, ingatan yang benar, Samadhi. Sedangkan untuk mendukung kualitas seorang raja, Ken Dedes mengajarkan kepada anak-anaknya ajaran Dasa Paramita yakni dhana atau kemurahan hati, sila atau laku utama, ksanti atau ketenangan dan kesabaran, virya atau keberanian, prajna atau kewaspadaan, pranidhana atau ketetapan hati, bala atau kekuasaan, juana atau pengetahuan.

Ajaran ini pada zaman Panembahan Senopati, terserap ke dalam konsep Tantrayana, sebagai koordinat Mahayana dan Hinayana. Lakunya dalam dua tingkatan pertama, negasi total, dan kedua, integrasi total (Kawula-Gusti) yang disimbolkan oleh perpaduan gunung dan samudra. Gunung adalah lambing paraning dumadi, samudra adalah lambing kerakyatan, merakyat (menampung segala kepentingan dan keinginan rakyat). Oleh karena itu, atas dasar hakekat kekuasaan dan kekuasaan yang didapatkan, raja harus melaksanakan ajaran Hasta Karma Pratama, Dasa Paramita dan cinta kasih (dasar Ketuhanan Yang Maha Esa). Selain itu dari serat Asthabrata dapat dipetik delapan laku utama yang bersumber dari epos Ramayana dan ditulis dalam serat Rama Jarwa yang memuat sifat kebajikan delapan Dewa yakni Bathara Indra, Yana, Surya, Chandra, Bayu, Wisnu, Brama, dan Baruna. Selanjutnya Soejono Soekanto (1987: 267) mengatakan “kepemimpinan yang akan berhasil, adalah kepemimpinan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Indra-brata, yang memberi kesenangan dalam jasmani.
2. Yama-brata, yang menunjukkan pada keahlian dan kepastian hukum.
3. Surya-brata, yang menggerakkan bawahan dengan mengajak mereka untuk bekerja
secara persuasif.
4. Caci-brata, yang memberi kesenangan rohaniah.
5. Bayu-brata, yang menunjukkan keteguhan pendidikan dan rasa tidak segan-segan untuk
turut merasakan kesukaran-kesukaran dari pengikut-pengikutnya.
6. Dhana-brata, menunjukkan suatu sikap yang patut dihormati.
7. Paca-brata, yang menunjukkan kelebihan di dalam ilmu pengetahuan, kepandaian dan
ketrampilan.
8. Agni-brata, yaitu sifat yang memberikan semangat kepada anak buah.
Selanjutnya Sri Sultan Hamengku Buwana IX mengutip ungkapan Ki Dhalang, yang berbunyi: “Gung binathara, bau dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta”, artinya raja yang mempunyai nilai lebih/raja yang seperti dewa, mempunyai kekuasaan yang sangat besar/sangat kuat, selalu menepati janji/bijaksana, adil terhadap sesama/rakyatnya.

Bahwa tidak ada hubungan yang positif, erat dan signifikan antara lama bermukim di luar Jawa dengan persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal Kepala Desa.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan teknis analisis kualitatif-kuantitatif. Analisis kualitatif dipergunakan untuk mengetahui persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan yang ideal seorang Kepala Desa, dan analisis kuantitatif dipergunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara lama bermukim di luar Jawa dengan persepsi transmigran Jawa.

B. PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa masyarakat transmigran Jawa masih terikat pada pandangan tradisional bahwa seorang Kepala Desa sebagai pemimpin harus memiliki sifat dan perilaku seperti raja-raja Jawa di masa lalu. Sifat dan kualitas yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa adalah sebagai berikut:

1. Ajaran Dasa Paramita
Ajaran Dasa Paramita yang pertama adalah kemurahan hati. Masyarakat transmigran sangat mendukung bila Kepala Desa mempunyai sifat murah hati. Kemurahan hati ini diperlihatkan dengan memberikan pertolongan pada masyarakat yang membutuhkan. Secara persentase diketahui bahwa mayoritas transmigran Jawa sangat setuju dengan sifat ini. Dengan demikian Kepala Desa yang mempunyai kemurahan hati adalah dambaan para transmigran Jawa.

Ajaran kedua adalah laku utama. Laku utama seorang Kepala Desa adalah kewibawaan dan pengaruhnya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin yang berwibawa adalah pemimpin yang dihormati rakyatnya.

Ajaran ketiga adalah ketenangan. Ketenangan menunjukkan kematangan pribadi dan jiwa seorang Kepala Desa.

Ajaran keempat adalah kesabaran. Kesabaran dan ketenangan adalah sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa.

Ajaran kelima adalah keberanian. Pada zaman raja-raja Jawa masih berkuasa, keberanian bagi seorang raja merupakan salah satu syarat mutlak, Kepala Desa yang berani adalah yang mau dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Kepala Desa yang dengan sifat keberaniannya mau dan rela berkorban untuk kepentingan seluruh rakyatnya.

Ajaran keenam adalah kewaspadaan. Kewaspadaan adalah sifat yang sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa.

Ajaran ketujuh adalah usaha dan sarana. Pembangunan yang akan dilaksanakan di desa tidak hanya membutuhkan dana yang besar, namun juga seorang Kepala Desa yang energik. Oleh karena itu sangat tepat bila transmigran Jawa mengharapkan seorang Kepala Desa yang suka bekerja keras dan memiliki harta yang banyak untuk mendukung tugasnya.

Ajaran kedelapan adalah ketetapan hati. Sifat ini ditunjukkan melalui sikap tegas dan tidak ragu-ragu dalam bertindak.

Ajaran kesembilan adalah kekuasaan. Menurut pandangan Jawa, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan besar.

Ajaran kesepuluh adalah pengetahuan. Orang yang berpengetahuan adalah yang orang yang berpendidikan, bisa pendidikan formal maupun non formal.

2. Ajaran Asthabrata, terdiri dari:
a. Indra atau kesenangan. Secara umum masyarakat transmigran Jawa mengharapkan agar
Kepala Desa, yang telah mereka pilih dapat memberikan kesenangan pada mereka.
Antara lain memberikan kemudahan dalam mengurus berbagai urusan, penyediaan
lapangan kerja yang layak dan berbagai fasilitas kehidupan lainnya.
b. Yama atau keadilan. Kepala Desa diharapkan bisa berlaku adil kepada semua warga
masyarakat. Pertama, keadilan itu bersifat komutatif, artinya setiap orang akan
memperoleh bagian yang sama tanpa memandang jasa atau apapun yang telah ia berikan.
Kedua, keadilan bersifat distributif, artinya setiap orang akan memperoleh bagian sesuai
dengan jasa yang telah diberikan.
c. Surya atau ajakan. Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh Kepala Desa adalah sifat
yang penuh dengan ajakan. Untuk menggerakkan masyarakat, Kepala Desa dapat
melakukannya dengan dua cara yakni secara ajakan (persuasif) dan dengan cara
memerintah (legal formal).
d. Caci atau kesenangan rohani. Tidak berbeda dengan masyarakat dari suku bangsa lain,
suku bangsa Jawa/transmigran Jawa berharap agar Kepala Desa bisa memberikan
kesenangan pada mereka. Kesenangan dalam bentuk rasa aman.
e. Bayu atau simpati. Seorang Kepala Desa harus memiliki sifat bayu, yang diwujudkan
dengan keperdulian terhadap kesulitan masyarakat, akan bisa menggerakkan Kepala Desa
untuk mengambil kebijakan dan tindakan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
f. Dhana atau sifat yang terpuji. Baik buruk penilaian terhadap seorang pemimpin sangat
tergantung dari sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam konteks kepemimpinan seorang
Kepala Desa, maka masyarakat transmigran Jawa menuntut agar Kepala Desa juga
memiliki sifat dhana ini, yakni berjiwa besar, mau mengalah, dan mau mengakui
kesalahan.
g. Paca atau keunggulan dalam ilmu pengetahuan, kepandaian dan ketrampilan. Seorang
Kepala Desa yang ideal adalah seorang yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
anggota masyarakat lainnya. Kelebihan dalam ilmu pengetahuan, kepandaian dan
ketrampilan.
h. Agni atau memberi semangat. Masyarakat sebagai subjek pembangunan memerlukan
dorongan semangat dari aparat yang memimpin mereka. Dorongan semangat ini menjadi
motivasi bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan mereka sehari-hari.

3. SIFAT KERAKYATAN
Secara struktural formal Kepala Desa menempati kedudukan yang paling tinggi di desa. Namun dalam kedudukan yang demikian Kepala Desa hendaknya mempunyai jiwa sosial. Jiwa sosial ini ditunjukkan dengan membaur dengan seluruh golongan masyarakat. Sifat merakyat ini akan menuntun Kepala Desa untuk mengunjungi semua golongan yang ada dalam masyarakat desa. Melalui kunjungan-kunjungan inilah keperdulian Kepala Desa sebagai seorang pemimpin diasah. Dalam setiap kunjungan ada beberapa harapan yang disampaikan oleh masyarakat transmigran Jawa sebagai wujud sifat kerakyatan dari Kepala Desa yakni:

1. Apa yang dibutuhkan masyarakat dapat segera terpenuhi.
2. Kepala Desa mendengar keluhan-keluhan masyarakat.
3. Kepala Desa bersama dengan masyarakat mencari jalan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi.

4. PEMIMPIN YANG TAMPIL SEBAGAI GUNG BINATHARA, BAU DHENDA NYAKRAWATI, BERBUDI BAWA LEKSANA, AMBEG ADIL PARAMARTA
Dalam pandangan Jawa, pemimpin yang baik adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan. Salah satu kelebihan itu adalah dalam bidang ilmu dan pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat dibagi atas dua hal, yakni pertama ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari, nyata empiris. Kedua, ilmu yang bersifat batin, gaib dan non empiris. Ilmu batin dipelajari secara gaib dan mengikutsertakan kekuatan lain yang bersumber dari alam.

Meskipun ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, dengan berbagai penemuan baru, namun pandangan transmigran Jawa tentang kepemimpinan yang ideal masih belum banyak bergeser. Maksudnya, meskipun keunggulan dalam ilmu pengetahuan yang empiris sangat penting dan harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa, namun ilmu yang metaempiris juga dibutuhkan sebagai bukti kekuatan supranatural yang berhasil dihimpun oleh seorang Kepala Desa di dalam dirinya.

Besarnya pengaruh Kepala Desa dalam masyarakat adalah bukti besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Desa. Kekuasaan yang besar ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap lamanya masa jabatan yang bisa dipegang oleh seorang Kepala Desa. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa mayoritas warga berpendapat bahwa dengan pengaruh yang dimilikinya, seseorang bisa menjabat sebagai Kepala Desa dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, sebagai pemimpin Kepala Desa harus bertindak bijaksana dan selalu menepati janji, bersikap adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Sebagai pemimpin yang baik keputusan-keputusan Kepala Desa tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri atau segolongan kecil anggota masyarakat saja. Namun Kepala Desa harus rela berkorban untuk memperjuangkan nasib rakyat banyak. Kepala Desa dipilih untuk memayu hayuningrat, untuk kesejahteraan rakyat dan bukan untuk kemakmuran diri sendiri.

Ada dua kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa, yakni kekuatan batin yang tinggi dan kemampuan dalam manajemen pemerintahan desa. Dalam pandangan Jawa terdapat korelasi yang positif antara kekuatan batin pemimpin dengan besarnya pengaruhnya dalam masyarakat. namun dalam konteks kepemimpinan Kepala Desa, tidak semua masyarakat transmigran Jawa mempunyai pandangan seperti di atas. Sebagian dapat menerima Kepala Desa yang mempunyai kekuatan batin yang tinggi (49,37%), sedangkan sebagiannya lagi menolak pendapat di atas. Dari kenyataan ini dapat dikemukakan bahwa bagi transmigran Jawa, kekuatan batin tidak lagi menjadi faktor penentu untuk memilih seorang Kepala Desa. Namun demikian mereka juga tidak menolak apabila orang yang dipilih menjadi Kepala Desa memiliki kekuatan supranatural tersebut. Bahkan terdapat responden (24,05%) yang lebih menghormati Kepala Desa yang memiliki kekuatan batin. Transmigran Jawa juga berpendapat bahwa apabila seorang Kepala Desa memiliki kekuatan batin, maka kekuatannya itu menjadi nilai lebih dalam menjalankan kepemimpinannya.

Berkurangnya perhatian transmigran Jawa pada masalah-masalah yang bersifat metaempiris, menyebabkan bertambahnya perhatian pada masalah-masalah yang lebih nyata. Masalah-masalah yang lebih nyata tersebut adalah kemampuan Kepala Desa dalam menjalankan manajemen pemerintahan desa. Masyarakat transmigran Jawa menganggap bahwa kemampuan dalam menjalankan pemerintahan desa, lebih penting daripada kekuatan batin yang tinggi, yang dimiliki oleh seorang Kepala Desa. Kemampuan tadi antara lain kemampuan dalam merencanakan berbagai program pekerjaan/kegiatan dan tugas pemerintahan desa, mengorganisir pekerjaan dan orang-orang yang terlibat di pekerjaan tersebut, kemampuan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dan kemampuan dalam melakukan pengawasan terhadap semua pekerjaan serta tugas yang telah dilimpahkan.

Transmigran Jawa akan bersikap positif apabila seorang Kepala Desa menunjukkan kualitas pribadi yang baik. Sebaliknya mereka juga akan bersikap negatif apabila seorang Kepala Desa tidak memenuhi criteria yang mereka inginkan. Sebagai reaksi atas rendahnya kualitas Kepala Desa, maka masyarakat transmigran Jawa akan memperlihatkan sikap penolakan terhadap kepemimpinan Kepala Desa tersebut, dalam bentuk ketidaksopanan dan ketidaktaatan kepada Kepala Desa. Sikap yang tidak sopan dapat ditunjukkan secara sembunyi-sembunyi (pura-pura sopan), dan juga bisa secara terang-terangan. Sikap pura-pura ini tidak hanya diperlihatkan dalam bentuk sopan santun yang semu, namun juga dalam bentuk ketaatan yang semuanya pura-pura. Sikap ini diambil karena sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, transmigran Jawa tidak ingin berkonfrontasi secara terbuka dengan Kepala Desa, yang tidak mereka senangi. Agar tidak terjadi konflik dan ketidakharmonisan masyarakat dapat dipertahankan, maka sikap pura-pura taat terhadap perintah seorang Kepala Desa, adalah jalan yang dianggap paling baik.

5. HUBUNGAN ANTARA LAMA BERMUKIM DI LUAR JAWA DENGAN PERSEPSI TRANSMIGRAN JAWA TENTANG KEPEMIMPINAN IDEAL KEPALA DESA
Ada atau tidaknya hubungan antara lama bermukim atau lama tinggal di luar Jawa, dengan persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan yang ideal seorang Kepala Desa, dapat diketahui dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat melalui tabel berikut:

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, terdapat hubungan yang positif, erat dan signifikan antara lama seorang transmigran berada di luar Jawa, dengan persepsinya tentang kepemimpinan yang ideal seorang Kepala Desa. Adanya hubungan yang positif antara kedua variable di atas memberi makna bahwa semakin lama seorang transmigran berada di luar Jawa, akan semakin baik persepsinya tentang kepemimpinan ideal seorang Kepala Desa, sebagaimana halnya kepemimpinan di masa lalu. Artinya, transmigran yang sudah lama bermukim di luar Jawa mempunyai penerimaan yang baik terhadap kepemimpinan Kepala Desa, yang membawakan sifat asthabrata dan sifat-sifat kebajikan lainnya. Sebaliknya, transmigran yang baru bermukim di luar Jawa justru akan mempunyai penerimaan yang kurang baik terhadap sifat-sifat ini. Hal ini adalah suatu hal yang kontradiktif. Karena seharusnya transmigran yang baru bermukim di luar Jawa, akan mempunyai persepsi yang baik dan mendukung kepemimpinan sebagaimana yang ditunjukkan oleh raja-raja tanah Jawa di masa lalu. Hal ini sangat dimungkinkan karena nilai-nilai kepemimpinan yang ideal lebih tersosialisasikan di tengah-tengah masyarakat Jawa yang njawani. Disini dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran pandangan, baik pada masyarakat transmigran yang sudah lama bermukim, maupun pada masyarakat yang belum lama menetap/bermukim di luar Jawa.

Apabila ditinjau lebih jauh lagi, adanya penerimaan yang lebih baik dari masyarakat transmigran yang sudah lama bermukim di luar Jawa, terhadap nilai-nilai kepemimpinan Jawa ini terjadi karena faktor lingkungan tempat tinggal. Ada tanggungjawab moral yang harus dipikul oleh transmigran yang sudah lama bermukim di luar Jawa, untuk mempertahankan tradisi dan nilai-nilai sosial budaya masa lalu diantara tradisi dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dimana mereka bertempat tinggal. Semakin lama mereka tinggal dan bergaul dengan suku bangsa lain, semakin muncul sifat egosentris mereka. Dapat dikatakan bahwa kecenderungan untuk mempertahankan nilai-nilai sosial dan budaya sendiri, menjadi faktor utama, kenapa mereka menerima baik sifat-sifat kepemimpinan Jawa di masa lalu. Di lain pihak, transmigran yang baru menetap di luar Jawa, masih harus melakukan penyesuaian, masih dalam rangka membandingkan nilai-nilai kepemimpinan yang mereka yakini, dengan nilai-nilai kepemimpinan yang terdapat di tempat atau daerah dimana mereka bermukim atau bertempat tinggal.

Kesimpulan di atas diambil dengan melihat kenyataan bahwa hubungan antara variable lama bermukim dengan persepsi tentang kepemimpinan yang ideal seorang Kepala Desa, menunjukkan nilai korelasi yang cukup besar yakni 0,639. Angka ini bukan hanya menunjukkan adanya hubungan yang erat, namun juga signifikan antara kedua variabel tersebut. Adanya hubungan yang signifikan ini membuktikan bahwa adanya hubungan antara lama bermukim dengan persepsi transmigran Jawa, bukanlah suatu kebetulan namun dapat dipertanggungjawabkan dan dipercaya dengan taraf kepercayaan 95%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

C. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa transmigran Jawa mempunyai persepsi yang baik, apabila Kepala Desa mempunyai sifat-sifat kepemimpinan seperti yang ditunjukkan oleh raja-raja Jawa di masa lalu. Seorang Kepala Desa harus memiliki sifat-sifat seperti dalam ajaran raja yang bijaksana, yakni Dasa Paramita, sifat Asthabrata, sifat merakyat dan sosok pemimpin yang Gung binathara, bau dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta. Terdapat hubungan yang positif, erat dan signifikan antara variabel lama bermukim di luar Jawa, dengan persepsi transmigran Jawa tentang kepemimpinan ideal Kepala Desa. Ini berarti bahwa semakin lama seorang transmigran bermukim di luar Jawa, semakin baik penerimaannya terhadap nilai-nilai kepemimpinan Jawa. Namun ada satu hal yang perlu diberikan catatan, bahwa meskipun masyarakat transmigran Jawa mempunyai persepsi yang baik tentang kepemimpinan ideal seorang Kepala Desa, sifat-sifat kebajikan itu hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Dari hasil penelitian ini, disarankan agar masyarakat transmigran Jawa tetap mempertahankan nilai-nilai kepemimpinan yang telah mereka miliki, sebagai kontrol sosial terhadap kepemimpinan seorang Kepala Desa di mana mereka tinggal. Namun harus diingat bahwa penerapan nilai-nilai tersebut, harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi daerah tempat mereka tinggal. Nilai-nilai kepemimpinan ideal tersebut harus diwariskan pada generasi muda Jawa, baik yang sudah bertransmigrasi maupun yang masih tetap tinggal di Jawa. Hal ini perlu dilakukan agar nilai-nilai tersebut tidak tersingkir oleh nilai-nilai kepemimpinan yang diadopsi dari negara-negara lain, khususnya dari negara maju.

DAFTAR PUSTAKA
Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin. Profil Budaya Politik Indonesia. PT. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. 1991.

Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. LP3ES. Jakarta. 1985.

Hadi, Sutrisno. Statistik 2. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. 1986.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. PN. Balai Pustaka. Jakarta. 1984.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Bahasa Indonesia. Depdikbud. Jakarta. 1983.

Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. CV. Rajawali Pers. Jakarta. 1987.

Syamsuddin, Nazaruddin. Dimensi-dimensi Vertikal dan Horizontal Dalam Integrasi Politik. Jurnal. 1991.

Ilmu Politik Nomor VIII, halaman 40 – 43. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Widiyanti, Ninik. Masalah Penduduk Kini dan Mendatang. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 1986.

Popular Posts