WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Masyarakat Adat Lampung Saibatin dalam Arus Perkembangan Zaman

Oleh Drs. T. Dibyo Harsono, M. Hum.

A. PENDAHULUAN
Falsafah hidup masyarakat hukum adat Lampung Saibatin adalah piil pesenggiri dengan elemen budaya juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan. Piil pesenggiri berfungsi sebagai pedoman perilaku pribadi dan masyarakat dalam kehidupan mereka. Sebagai warga masyarakat berkewajiban untuk menjaga nama baik dan perilakunya agar terhindar dari sikap serta perbuatan tercela. Kesatuan hidup masyarakat hukum adat Lampung Saibatin tercermin dalam ikatan kekerabatan yang menganut sistem keluarga luas (extended family). Ikatan kekerabatan didasarkan pada hubungan keturunan (ikatan darah), ikatan perkawinan, ikatan mewarei (pengangkatan saudara), dan ikatan berdasarkan pengangkatan anak (adopsi). Masyarakat adat Lampung Saibatin termasuk kelompok masyarakat yang dinamis, dengan tetap mengacu kepada norma kesusilaan dan sosial berdasarkan pada prinsip keserasian dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Masyarakat adat Saibatin pada umumnya memiliki hubungan sosial yang terbuka terhadap sesama warga, tanpa membedakan etnis maupun keturunan.

Secara kultural kehidupan, masyarakat Lampung Saibatin terdiri dari kesatuan-kesatuan hidup yang diatur oleh hukum adat yang berasal dari norma-norma sosial yang hidup, dan berkembang dari masyarakat yang bersangkutan. Kesatuan-kesatuan hidup masyarakat ini tidak hanya terdiri dari keragaman kultural dari penduduk Lampung asli, melainkan tersiri dari berbagai suku bangsa, asal-usul, agama, budaya, dan golongan. Secara teritorial kesatuan hidup ini bersatu dalam wilayah yang sama. Sebagai masyarakat hukum adat mereka hidup dan berusaha dalam wilayah yang sama, maka segala urusan budaya dan tata laku dalam pergaulan hidup, senantiasa diatur oleh para tokoh masyarakat adat setempat. Tokoh adat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan hasil musyawarah, ia merupakan tokoh panutan masyarakat dalam proses pergaulan hidup sehari-hari. Kewenangan dan kebijakannya secara internal dipatuhi sebagai kebutuhan dasar yang dianggap dapat mengatur serta melindungi stabilitas hubungan sosial antarwarga, termasuk keserasian hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya.

Profil budaya masyarakat hukum adat Lampung Saibatin berkaitan erat dengan peranan tokoh adat, khususnya dalam penanganan masalah sosial budaya. Oleh sebab itu potensi budaya dan hukum adat setempat perlu dipahami serta dikenali, untuk kemudian dapat dikembangkan menjadi aset daerah sebagai kerangka dasar pola pembangunan, baik dalam rangka pelestarian hukum adat dan budaya, maupun sebagai sumber motivasi dalam kegiatan pembangunan. Bahwa secara ideal kebudayaan dapat disebut sebagai adat tata kelakuan atau adat istiadat (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan serta perbuatan manusia dalam masyarakat. Namun demikian dalam kenyataan perkembangannya sehubungan dengan awal bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah, eksistensi budaya setempat sebagian belum dijadikan dasar pertimbangan dalam segala kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan keputusan program pembangunan daerah. Kenyataan ini dimungkinkan karena rendahnya efektivitas sosialisasi pewarisan nilai budaya, penyimpangan kreasi dan disintrepretasi pemaknaan terhadap hukum adat setempat. Akibatnya masyarakat kehilangan pedoman dalam mengenal idealisme budayanya sendiri. Perubahan-perubahan makna kebudayaan asli/setempat pada umumnya sebagai akibat dari proses adopsi kebudayaan luar secara besar-besaran tanpa filter yang adaptif. Kondisi kehidupan sosial budaya yang demikian, menyebabkan sumber daya budaya masyarakat yang berhubungan dengan upaya penggalian potensi daerah belum dapat dimanfaatkan secara optimal, sebagai sumber motivasi dalam upaya menggali potensi sosial ekonomi daerah. Kekhawatiran yang timbul sekarang adalah kenyataan ragam persepsi masyarakat terhadap nilai dan fungsi adat budaya Lampung, khususnya yang berhubungan dengan sikap perilaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai budaya yang semakin jauh dari bingkai ideal piil pesenggiri, sebagai falsafah hidup masyarakat Lampung. Hal ini dapat menimbulkan benturan budaya dan kesenjangan visi tentang makna serta fungsi budaya Lampung, sehingga rencana strategis pembangunan daerah yang berwawasan budaya menjadi relatif terhambat.

Untuk mempermudah penyaluran partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka perlu adanya pemberdayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang secara internal terpelihara (institusi-institusi lokal) dengan segenap atribut budayanya. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan teknis pendekatan sosial budaya, dengan cara beradaptasi dan mengikutsertakan para tokoh adat ke dalam gerak langkah kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dengan demikian sosialisasi program pembangunan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, nyata, serta mudah dipahami masyarakat, dan tidak berseberangan dengan adat istiadat yang berlaku. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan adat budaya tidak boleh ditangani atas kemauan sendiri, melainkan melalui institusi adat dalam proses musyawarah untuk memperoleh keputusan bersama. Hal ini memungkinkan untuk dapat memperkuat apresiasi adat budaya masyarakat di daerah, baik sebagai aset kekayaan kultural yang strategis dalam aspek pembangunan, khususnya di bidang perekonomian daerah di Propinsi Lampung. Mengingat tersedianya potensi budaya masyarakat adat setempat dan eksistensi hukum adat yang masih tersimpan dalam kehidupan masyarakat, maka perlu adanya penggalian dan revitalisasi budaya secara seksama. Hal ini diharapkan dapat memberikan solusi strategis dalam upaya memotivasi masyarakat, agar dapat berpartisipasi aktif dalam mendukung pembangunan daerah yang berwawasan budaya tersebut.

B. FALSAFAH HIDUP
Masyarakat Lampung Saibatin yang dijadikan sampel adalah mereka yang berdomisili di daerah Kabupaten Lampung Selatan antara lain di Kecamatan Penengahan (desa/pekon/tiyuh Pisang, Kelau, marga/kebuwaiyan Dantaran), Kecamatan Kalianda (desa/pekon/tiyuh Kuripan marga Keratuan, Way Urang marga Legun), Kecamatan Raja Basa (desa/pekon/tiyuh Raja Basa, marga Raja Basa), Kecamatan Ketibung (desa/pekon/tiyuh Babatan, marga Menyata), Kecamatan Padang Cermin (desa/pekon/tiyuh Pekon Ampai, marga Pidada), Kecamatan Cukuh Balak (desa/pekon/tiyuh Pertiwi, marga Pertiwi). Dasar pengambilan sampel karena di daerah tersebut di atas masih ada nara sumber yang banyak mengetahui informasi data yang relevan, masih ada tokoh adat yang tetap memelihara dan mempertahankan nilai-nilai adat budaya khas masyarakat Lampung Saibatin, yang tersebar di daerah Lampung Selatan.

Falsafah hidup orang Lampung semenjak terbentuk dan tertatanya masyarakat adat Saibatin adalah piil pesenggiri. Piil (dari kata fiil bahasa Arab) artinya perilaku, dan pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban. Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah yang memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat, dan dihargai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai konsekuensinya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat Lampung berkewajiban untuk menjaga nama baik dan perilakunya agar terhindar dari sikap dan perbuatan yang tidak terpuji. Piil pesenggiri merupakan suatu keutuhan dari unsur-unsur yang mencakup juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan, yang berpedoman pada hukum adat yang berisi keharusan, kebolehan serta larangan (cempala) untuk berbuat. Apabila unsur ini dapat dipenuhi, maka masyarakat Lampung dapat dikatakan telah memiliki piil pesenggiri. Piil pesenggiri pada hakekatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk mempunyai hati nurani yang positif (bermoral tinggi dan berjiwa besar), sehingga senantiasa dapat hidup secara logis, etis, dan estetis. Secara ringkas unsur-unsur piil pesenggiri ini dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Juluk adek, pada dasarnya semua anggota masyarakat Lampung mempunyai gelar adat (juluk adek). Pemberian gelar kepada seseorang ditetapkan berdasarkan kesepakatan keluarga satu kebuwaiyan (seketurunan) dengan pertimbangan antara lain, status atau kedudukan yang bersangkutan dalam keluarga batih, mengacu pada gelar atau nama dalam keturunan dua atau tiga tingkat ke atas (secara genealogis). Juluk adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Karena juluk adek melekat pada pribadi, maka sebaiknya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam bentuk perilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk adek merupakan azas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat berkarya lebih produktif.
  2. Nemui nyimah, secara harafiah diartikan sebagai sikap pemurah, terbuka, suka memberi, dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui nyimah merupakan ungkapan azas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dan masyarakat Lampung pada umumnya, dan khususnya masyarakat hukum adat Lampung Saibatin untuk tetap menjaga silaturahmi, di mana ikatan keluarga secara genealogis selalu tetap terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan, dan kewajaran. Unsur nemui nyimah pada hakekatnya didasari rasa keikhlasan dari lubuk hati terdalam, untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga serta bermasyarakat. Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini, lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap keperdulian sosial dan rasa kesetiakawanan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya akan berpandangan luas, berpandangan jauh ke depan, dengan motivasi kerja keras, jujur, dan tidak merugikan orang lain.
  3. Nengah nyappur, menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul serta bersahabat dengan siapa saja, tanpa membedakan suku bangsa, agama, status sosial, asal-usul, dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerja sama, tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu kesimpulan dari sikap nengah nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib, dan sekaligus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung Selatan yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah nyappur secara wajar dan positif. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yakni dalam arti sopan dalam sikap perbuatan serta santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
  4. Sakai sambayan, berarti tolong menolong dan gotong royong, yakni memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi dan solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan sosial pada umumnya. Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang, apabila tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian tersebut memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Mengenai hukum adat yang berisi keharusan, kebolehan, dan larangan (cempala), dalam pergaulan sehari-hari senantiasa dituangkan dalam perilaku sopan santun, berdasarkan kelaziman dan kebiasaan secara turun temurun. Kelaziman dan kebiasaan ini pada hakekatnya menggambarkan bahwa masyarakat adat Lampung Saibatin mempunyai tatanan kehidupan sosial yang teratur. Prinsip hidup yang terkandung dalam cempala merupakan pedoman dalam pelaksanaan pengawasan terhadap sikap perilaku, yang melahirkan nilai kebaikan konkrit dan terbentuknya tatanan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat. Tata nilai budaya masyarakat hukum adat Lampung Saibatin sebagaimana diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan kebutuhan hidup dasar bagi seluruh anggota masyarakat setempat, agar tetap survive secara wajar dalam membina kehidupan dan penghidupannya, yang tercermin dalam tata kelakuan sehari-hari baik secara pribadi, ataupun bersama dengan anggota kelompok masyarakat maupun bermasyarakat secara luas.

C. KESATUAN HIDUP MASYARAKAT HUKUM ADAT
Dari segi ikatan kekerabatan masyarakat adat Lampung Saibatin, dapat dibedakan menjadi tiga (3) kategori yakni atas dasar hubungan darah/keturunan (ikatan darah), ikatan perkawinan, ikatan persaudaraan (kemuarian atau ikatan batin), dan ikatan keluarga berdasarkan pengangkatan anak (adopsi). Pada sistem perkawinan diutamakan atas dasar satu kelompok keturunan (lineage), yakni keturunan yang saling berkaitan dari nenek moyang yang sama. Selain itu perkawinan didasarkan atas satu garis keturunan (descent), dengan prinsip patrilineal (garis keturunan ayah). Prinsip garis keturunan ini memiliki konsekuensi bahwa bagi anak perempuan yang menikah harus masuk ke dalam keluarga atau marga suaminya, dan meninggalkan marga asalnya. Harta warisan dalam kelompok kekerabatan ini hanya pihak laki-laki yang berhak, sedangkan pihak perempuan tidak memiliki hak.

Hukum waris adat masyarakat Lampung Saibatin menganut hukum waris mayorat laki-laki, yakni hanya anak laki-laki tertua yang mendapat hak penguasaan waris dari isteri permaisuri yang telah diadatkan. Dalam hal ini anak laki-laki tertua berhak untuk mengelola dan memelihara harta warisan, dengan peruntukan menghidupi seluruh keluarganya. Apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki (mupus), maka dalam hukum adat masyarakat bersangkutan diperbolehkan untuk mengadopsi anak sebagai penerus keturunan. Ketentuan adopsi ini bisa dari anak kerabat sendiri, namun jika tidak ada maka bisa mengadopsi anak orang lain di luar keturunan kerabatnya. Pada perkembangan sistem kekerabatan kehidupan masyarakat setempat saat ini, ternyata telah banyak mengalami perubahan. Perubahan di mana hubungan tidak semata tergantung pada satu keturunan darah dan asal-usul suku bangsa, kondisi hubungan perkawinan telah terbuka bagi semua suku bangsa (karena masyarakat di sini telah begitu beragam/majemuk). Perbedaan hak waris secara adat antara anak laki-laki dan perempuan semakin tidak jelas. Masyarakat setempat cenderung memilih pembagian waris menurut hukum-hukum agama dan negara, yakni pihak anak perempuan memiliki hak atas harta warisan orang tuanya. Semenjak terjadinya banyak hubungan perkawinan antarsuku, maka ketergantungan terhadap prinsip garis penerus keturunan dari anak laki-laki cenderung semakin berkurang. Sistem perkawinan pada masyarakat hukum adat saibatin di Lampung Selatan yang menganut prinsip keturunan patrilineal, secara ideal menggunakan adat kawin jujur (dimana seorang isteri memiliki hak adat dan menjadi warga adat penuh yang ditetapkan melalui perwatin adat). Hak-hak ini diantaranya adalah berkedudukan sejajar dengan suaminya, hak bergaul dengan perempuan-perempuan yang memiliki kewargaan adat, hak mendampingi suami dalam segala kegiatan adat dan rumah tangga. Dalam prinsip kekerabatan melalui perkawinan adat ini, kedudukan seseorang dapat dinilai dari garis keturunan anak ke berapa, laki-laki atau perempuan, dari isteri ke berapa, dan sudah diadatkan atau belum.

Sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat adat saibatin, pada umumnya menganut prinsip patrilineal dan patrilokal. Pada prinsip patrilineal berarti pihak laki-laki yang melamar perempuan, dan kemudian menetap di rumah pihak keluarga atau kerabat laki-laki. Bagi perempuan (isteri) yang telah menikah secara patrilokal menetap di rumah keluarga luas suaminya (mengiyannya). Apabila sebuah keluarga hanya mempunyai anak perempuan, maka untuk meneruskan keturunannya dapat diatasi dengan cara ngakuk ragah (mengambil suami). Namun dengan ketentuan bahwa suami ini bukan anak pertama dari keluarga asalnya, sebab anak pertama merupakan penerus keturunan di keluarganya sendiri. Suami yang diambil (menantu) tersebut dalam proses adatnya secara langsung diangkat anak oleh mertuanya. Bentuk perkawinan semacam ini tidak menggunakan jujur, akan tetapi hak suami dalam hal waris sejajar dengan isterinya. Sebaliknya jika dalam perkawinan ini pihak suami tidak diangkat anak oleh mertuanya, maka kedudukannya dalam keluarga lebih rendah dari isterinya. Bentuk perkawinan yang terakhir ini pihak laki-laki (suami) hanya berfungsi untuk meneruskan keturunan saja. Pada dasarnya hukum adat setempat tidak mengenal perceraian dari suatu perkawinan adat, bahkan apabila mengiyannya meninggal, maka jandanya (mantan isteri) tidak boleh pulang ke rumah orang tuanya semula, melainkan harus menetap bersama mertuanya. Prinsip adat yang dianut adalah menganggap anak menantu sama dengan anak kandung. Sistem perkawinan bagi masyarakat adat Lampung Saibatin (di Lampung Selatan), menganut prinsip kesetaraan strata kepenyimbangan (kedudukan adat) antara kedua belah pihak muli meranai (bujang gadis) yang bekahaga atau yang akan meneruskan ke jenjang perkawinan, sangat ketat diberlakukan. Seorang anak penyimbang asal (marga) harus mendapat jodoh dari anak penyimbang asal (marga) juga. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan atau kekacauan bentuk, kedudukan, dan tingkat proses adat perkawinan. Namun dalam perkembangannya saat ini telah banyak terjadi hubungan cinta antara muli meranai yang tidak seimbang kedudukan adatnya, dan untuk mengatasi ketimpangan serta kekacauan yang dikhawatirkan, maka pihak yang lebih rendah kedudukannya itu perlu diangkat dulu oleh pamannya, atau pihak kerabatnya yang memiliki kedudukan yang setara.

Menurut keterangan beberapa tokoh adat (penyimbang), bahwa pembatasan jodoh yang diperlunak semacam ini bukan berarti hukum adat sudah tidak berlaku (mati) dalam kehidupan masyarakat hukum adat setempat. Namun karena dalam masyarakat adat setempat berlaku kebiasaan merabung (mengganti) dengan uang atas kesalahan-kesalahan tertentu, maka termasuk ketimpangan strata kepenyimbangan ini dapat diganti dengan sejumlah uang, khususnya dalam proses pengangkatan kedudukan yang lebih rendah menjadi setara. Apabila terjadi perkawinan antara pihak orang Lampung beradat saibatin dengan orang lain dari pihak luar (bukan dari keturunan Lampung), maka sebelumnya orang tersebut harus “dilampungkan” terlebih dahulu, dengan membayar denda adat dan kerbau sesuai dengan strata kepenyimbangan pihak keluarga yang beradat saibatin tadi. Apabila hal itu tidak dilaksanakan, maka anak-anak atau keturunan dari perkawinan tadi tidak berhak mendapatkan warisan dan hak adat pada umumnya. Perihal kekerabatan dalam sistem pengangkatan anak (adopsi) atau pengangkatan saudara (warei) yang diangkat melalui proses adat, diakui sebagai anak dan mempunyai hak atas warisan. Sementara itu anak akuan, hanya diakui sebagai anak namun tidak mempunyai hak atas warisan. Mengenai saudara kandung adalah saudara satu ibu, satu ayah dan mereka yang satu ayah lain ibu. Saudara berlainan ayah dianggap sebagai saudara tiri, hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip patrilineal yang dianut oleh masyarakat adat Lampung saibatin. Bagi anak bersaudara berlainan ayah ini dalam hal warisan, mereka hanya berhak mendapat warisan dari ayah masing-masing. Sistem kekerabatan masyarakat adat saibatin di Lampung Selatan, pada umumnya menganut sistem keluarga luas (extended family), seperti terlihat dalam satu rumah terdiri dari kakek nenek, ayah ibu, paman bibi, keponakan, anak, dan cucu. Kendatipun dalam satu rumah hanya ada satu keluarga, namun keluarga yang tinggal di rumah-rumah lain dalam pengertiannya tetap sebagai bagian dari keluarga besar (dari lamban balak atau rumah besar). Hal ini dapat dilihat dari setiap kegiatan yang berkaitan dengan keluarga atau kerabat, semuanya akan kembali ke pusat rumah besarnya.

Mengenai adat mewarei (mengangkat saudara) dalam kehidupan masyarakat Lampung merupakan penerapan dari tatanan moral, yang berlandaskan pada falsafah hidup piil pesenggiri (khususnya pada unsur nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Lampung saibatin termasuk dalam kelompok masyarakat yang dinamis, dengan tetap mengacu pada norma kesusilaan dan sosial, berdasarkan prinsip keserasian dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Mengacu pada prinsip tersebut, maka masyarakat adat Lampung selalu terbuka untuk berhubungan dengan sesama warga, baik dengan berbagai suku bangsa yang ada di Lampung maupun dengan masyarakat setempat (masyarakat Lampung pepadun). Hubungan mewarei ini pada umumnya didasari oleh tiga hal yakni: karena atas dasar hubungan yang sangat baik, karena alasan telah terjadi suatu peristiwa yang kurang baik (misalnya pertikaian atau karena kecelakaan lalu lintas dimana seseorang/beberapa orang terbunuh atau cidera), karena hubungan perkawinan keluarga Lampung dengan keluarga yang berasal dari masyarakat luar Lampung. Perkembangan zaman yang begitu dinamis mengakibatkan pergaulan muda mudi sudah sangat terbuka, namun masih dalam kendali adat serta agama. Telah banyak perkawinan antarsuku bangsa, karena hal ini pada kenyataannya tidak bisa dibendung lagi, oleh karena itu secara adat harus diselesaikan. Proses penyelesaian perkawinan yang demikian ini dilakukan melalui kegiatan adat, yakni dengan mewarei dan dapat pula dengan adopsi (pengangkatan anak). Pada umumnya warga asing ini diwareikan dengan salah satu keluarga sekampung dan sekebuwaiyan, yang biasanya masih ada hubungan darah (berkerabat) dan kedudukannya sebanding/setingkat.

D. MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN DALAM ARUS PERKEMBANGAN ZAMAN
Pada dasarnya masyarakat adat Lampung sangat terbuka terhadap pengaruh dari luar, terbuka pada perkembangan dan menerimanya untuk memajukan dirinya. Dengan demikian mereka tetap bisa eksis dan sejajar dengan suku bangsa lain yang ada di
Indonesia. Hal ini terlihat dari dukungan mereka terhadap program-program pemerintah yang diluncurkan, karena tujuannya juga untuk kesejahteraan masyarakat, dan ini sudah mereka rasakan hasilnya.

Sebagai contoh program pemerintah yang berkaitan dengan pertanian sawah, meskipun masyarakat Lampung adalah peladang yang tidak biasa mengolah sawah atau bertani menanam padi. Meskipun demikian masyarakat adat Lampung Saibatin tetap memberikan dukungan, membantu terlaksananya program ini. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Lampung bersikap sangat toleran, tidak egois.Sikap ini merupakan kecenderungan untuk menerima suatu hal tertentu, berdasarkan penilaiannya terhadap hal atau program tersebut, karena dianggap sebagai sesuatu yang berharga atau bermanfaat. Sikap ini juga merupakan faktor yang menentukan perilaku seseorang/masyarakat adat Lampung, karena sikap berhubungan dengan persepsi, kepribadian, proses belajar, dan motivasi. Sehingga kepribadian, persepsi, dan motivasi dari kelompok masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat Lampung akan menentukan sikapnya terhadap suatu pembaharuan, pengaruh dari luar, untuk menerima suatu program pembangunan. Sikap merupakan kesiapan mental yang diorganisir melalui pengalaman yang mempunyai pengaruh terhadap tanggapan masyarakat, dalam menilai suatu program, pengaruh dari luar yang berkaitan dengan kelangsungan masyarakat adat tersebut.

Unsur kejiwaan (afeksi, kognisi, konasi) juga menentukan masyarakat adat, dalam menanggapi suatu perkembangan zaman agar mereka tetap eksis dan bisa mengikuti program pembangunan. Dalam hal ini masyarakat adat Lampung saibatin dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga semua program pembangunan dari pemerintah, maupun pengaruh dari luar selama hal tersebut positif, bisa mereka terima tanpa harus mengorbankan tatanan adat. Afeksi merupakan komponen emosional atau perasaan. Kognisi merupakan komponen yang merangkum persepsi dan kepercayaan evaluatif dari masyarakat adat Lampung. Kepercayaan evaluatif diwujudkan dalam bentuk kesan baik atau tidak baik dari masyarakat, terhadap suatu program pembangunan, pengaruh luar. Pembentukan sikap tidak terjadi dengan sendirinya, hal ini terjadi melalui proses interaksi manusia/masyarakat, baik interaksi sosial yang terjadi di dalam maupun di luar masyarakat tersebut. Interaksi di luar kelompok merupakan interaksi dengan hasil kebudayaan manusia yang sampai kepadanya. Kebudayaan dalam masyarakat tercermin dalam perilaku khas kelompok-kelompok kesukuan/etnik (seperti halnya masyarakat adat Lampung saibatin). Sehingga latar belakang budaya akan berpengaruh dalam proses pembentukan sikap suatu masyarakat terhadap suatu program pembangunan, atau terhadap pengaruh dari luar.

Sementara itu suatu proses perubahan sikap pada masyarakat adat, dimulai dari adanya perhatian, pemahaman, penyesuaian terhadap masalah, menyerap masalah dalam ingatan, dan kemudian melakukan tindakan melalui perilaku verbal ataupun non verbal. Sikap masyarakat adat memiliki keterkaitan dengan perilaku, sebab sikap mencakup sesuatu yang dipikirkan dan dirasakan kelompok tersebut, serta bagaimana mereka bertindak terhadap suatu program pembangunan, pengaruh dari luar. Seperti halnya program pembangunan jaringan irigasi dan pencetakan lahan sawah berpengairan. Meskipun program tersebut tidak secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat adat lampung saibatin, namun mereka setuju dan mendukung karena mereka berpandangan jauh ke depan. Karena masyarakat adat tidak berpikiran sempit yang hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, namun mereka juga berpikiran untuk orang lain dan yang nantinya juga akan mengangkat harkat hidup mereka.

E. PENUTUP
Pandangan hidup masyarakat hukum adat saibatin di Lampung Selatan, sama dengan falsafah masyarakat Lampung pada umumnya yakni piil pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan sumber motivasi agar setiap orang Lampung dinamis dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai yang luhur, hidup terhormat, dan dihargai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat adat Lampung saibatin, piil pesenggiri merupakan pandangan hidup yang berfungsi sebagai pedoman bagi perilaku pribadi dan masyarakat dalam pembangunan dewasa ini. Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan dan mempertahankan kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka sebagai warga masyarakat berkewajiban untuk menjaga nama baik dan perilakunya, agar terhindar dari sikap dan perbuatan tercela. Piil pesenggiri sebagai lambang kehormatan harus dipertahankan dan dijiwai oleh kebesaran juluk adek (gelar) yang disandang, semangat nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sambayan, yang didasarkan pada hukum adat leluhur. Sikap dan perilaku penyimbang adat dalam menggerakkan masyarakat untuk menjalani hidup yang lebih baik, dan terhormat senantiasa berpedoman pada norma hukum adat yang berlaku.

Ikatan kekerabatan pada masyarakat Lampung saibatin dibedakan atas tiga kategori: atas hubungan darah/keturunan/ikatan darah, ikatan perkawinan, ikatan persaudaraan (kemuarian/ikatan batin), dan ikatan keluarga berdasarkan pengangkatan anak (adopsi). Dalam sistem perkawinan diutamakan atas dasar satu kelompok keturunan (lineage), yakni keturunan yang saling berkaitan dari nenek moyang yang sama. Kecuali itu perkawinan didasarkan atas satu garis keturunan (descent) dengan prinsip patrilineal (garis keturunan ayah).

Struktur kepenyimbangan dapat diketahui dari strata hirarki gelar adat yang berlaku dalam kebuwaiyan masing-masing. Penobatan seseorang yang berasal dari kerabat penyimbang menjadi penyimbang resmi beserta pemberian gelar sesuai dengan kedudukannya dalam adat menurut adat masyarakat saibatin, pada umumnya saat proses upacara perkawinan adat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, HS. Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya. Makalah dalam Ceramah Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002.

Ahimsa-Putra, HS. Kearifan Tradisional dan Lingkungan Fisik. Makalah dalam workshop Inventarisasi Aspek-Aspek Tradisi, diselenggarakan oleh Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta. 2005.

Anwar, Syaiful. Naskah Seni Tari Lampung Pesisir Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Lampung. Bandar Lampung. 1979.

Djausal, Anshori. Reorientasi Budaya dalam Pembangunan (naskah orasi Kebudayaan Dewan Kesenian Lampung, di Taman Budaya Lampung. Bandar Lampung. 1995.

Hadikusuma, Hilman, dkk. Adat Istiadat Daerah Lampung. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Lampung. Bandar Lampung. 1996.

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II, Pokok-pokok Etnografi. PT Rineksa Cipta. Jakarta. 1998.

Mayong, P. (penyunting). Geografi Budaya Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Bandar Lampung. 1978.

Puspawidjaja, Rizani. Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Lampung. Bandar Lampung. 1978.

Syani, Abdul. Sosiologi, Skematika Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 1994.

Syani, Abdul. Kebudayaan Daerah Setempat Sangat berarti Bagi Pembentukan Jatidiri Bangsa. Makalah, disampaikan dalam forum Penyuluhan Kebudayaan Daerah Lampung dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Kebudayan Daerah Lampung, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1996.

Syani, Abdul. Peranan Pemimpin Formal dan Nonformal bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional. Makalah, Penyuluhan Budaya, di Balai Penataran Guru. Bandar Lampung. 1997.

Syani, Abdul. Kontribusi Pelestarian Nilai-nilai Budaya Tradisional dalam Pembentukan Jatidiri Generasi Muda. Makalah, Penyuluhan Permuseuman, di Museum Negeri Ruwa Jurai. Bandar Lampung. 1998.

Sanusi, A. Effendi. Sastra Lisan LampungDialek Abung. Gunung Pesagi. Bandar Lampung. 1994.

Safei, Ahmad. Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai (Tulisan tentang asal-usul Suku Lampung dan adat istiadatnya). Kotabumi. Propinsi Lampung. 1972.

Udin, Nazaruddin, dkk. Sastra Lisan Lampung Dialek Pubiyan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 1998.

Popular Posts