Prof.Dr Taufik Abdullah
Ketua Masyarakat Sejarawan
Lebih dulu saya mengucapkan terima kasih atas undangan kepada saya, sebagai Ketua MSI, untuk menghadiri seminar yang penting ini. Saya anggap undangan ini adalah sebuah kehormatan bagi MSI sebagai sebuah organisasi sejarawan. Sebagai tanda kesungguhan saya untuk ikut serta dalam penentuan hari jadi Kabupaten Majalengka ini izinkanlah saya mengajukan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan.
Tetapi lebih dulu saya harus mengakui bahwa secara akademis dan kultural saya tidak mempunyai kompetensi apapun dalam usaha penentuan "hari jadi" kabupaten ini. Secara akademis tidak banyak yang saya ketahui tentang sejarah Majalengka, bahkan tentang sejarah Jawa Barat sebagai keseluruhan pun. Jika saja saya dianggap mempunyai pengetahuan, maka pengetahuan itu lebih bersifat umum saja, tanpa kedalaman yang akrab tentang daerah ini. Kedua, hari jadi dari sebuah daerah atau lokasi, tidaklah semata-mata tergantung pada tanggal dan tahun yang pasti--" pada tanggal inilah tempat ini mulai dihuni" dan sebagainya-- tetapi juga pada nilai simbolik dari hari jadi itu. Apalah gunanya peringatan hari jadi suatu lokasi kalau kejadiannya membayangkan sesuatu yang memalukan. Bukankah hari jadi sesuatu yang dirayakan? Dan sesuatu yang dirayakan itu semestinyalah memancarkan nilai-nilai luhur dan abadi. Jadi peristiwa apakah yang secara simbolik memancarkan nilai-nilai luhur itu? Makna simbolik itu hanya bisa ditentukan oleh mereka yang akrab secara kultural dengan daerah ini. Dalam hal inipun kompetensi saya jauh daripada memadai.
Meskipun demikian ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagai bahan perbandingan. Semoga bahan perbandingan ini ada manfaatnya dalam proses penentuan atau mungkin juga, revisi dari hari jadi Kabupaten Majalengka...
Sebagai ancang-ancang baiklah saya berbicara lebih dulu tentang
Kasus kedua malah sangat bertentangan dengan yang pertama itu. Makna simboliknyalah yang lebih dulu dipentingkan, tetapi sialnya peristiwa yang sesuai bisa saja tidak ada, maka dengan begini hari jadi pun didapatkan saja berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa tertentu ( seperti benteng didirikan) sedangkan tanggal dan bulan berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi. Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang ingin dilekatkan pada hari jadi itu.
Kasus. ketiga paling sering terjadi dengan kota-kota di Jawa dan sebagian
Yang paling menarik ialah kasus keempat. Sebuah peristiwa yang membanggakan yang terjadi di daerah atau sekitar daerah perkotaan diambil sebagai hari jadi
Contoh-contoh di atas memberi kesan akan adanya kebebasan dalam menentukan hari jadi. Semua bisa diatur asal saja kita sama-sama setuju, tetapi harus disadari bahwa
Kebebasan relatif yang dipunyai kota/kotapraja untuk menentukan hari jadi ini tidak dipunyai oleh propinsi. Sebab besar atau kecil, otonom atau tidak, propinsi tak lebih daripada kesatuan wilayah administratif yang kehadiran dan batas-batasnya ditentukan oleh keputusan politik pemerintah pusat.
Propinsi tidak bisa mempunyai claim sejarah apa –apa dari masa sebelum kekuasaan kolonial. Propinsi adalah pembagian wilayah yang modern, bermula ketika kekuasaan kolonial telah bercokol dan sistem birokrasi modern telah diperkenalkan. Propinsi murni merupakan kesatuan administratif yang ditentukan oleh kebijaksanaan pusat pemerintahan. Bahwa dalam menentukan batas-batas itu pemerintah pusat memperhitungkan faktor-faktor sejarah, kebudayaan, dan sebagainya adalah suatu kebijaksanaan belaka. Propinsi bagaimanapun juga adalah sebuah unit administratif yang kehadirannya dan batas-batasnya ditentukan oleh sistem kekuasaan negara.
Jika demikian halnya sudah bisa dipastikan bahwa umur propinsi masih sangat muda, Umurnya tak mungkin, bahkan sangat tak masuk akal, sampai ratusan tahun. Juga sangat tak mungkin kalau tanggal dan tahun berdirinya sebuah dinasti atau kerajaan dipakai sebagai hari jadi. Mana mungkin hari jadi dari sebuah kesatuan politik kekuasaan tradisional, dengan klaim tradisional pula dipakai sebagai hari jadi dari daerah yang merupakan bagian dari negara-bangsa yang modern. Jika saja hal ini terjadi maka kita bukan saja berhadapan dengan anakronisme dalam sistem pemikiran tetapi juga memperkenalkan klaim tradisional yang primordial dalam konteks negara modern yang nasional. Akibat selanjutnya bisa diperkirakan, yaitu disintegrasi pemikiran dalam konteks integrasi nasional tak terelakkan.
Akan tetapi, bagaimana kalau dihilangkan kata "propinsi"? Kalau demikian halnya kita tak lagi berhadapan dengan sejarah yang menyangkut manusia, tetapi sejarah geologis. Maka tanggalnya tidak akan pernah diketahui, meskipun umurnya telah bisa diperkirakan sekian ribu tahun yang lalu. Sayangnya pula umur itu bersifat proses yang panjang. Bukankah garis pantai sampai sekarang masih berubah?
Kalau argumen ini dilanjutkan maka hari jadi propinsi hanya mungkin berdasarkan pada tanggal penetapan daerah tertentu itu sebagai propinsi oleh pemerintah pusat atau, kalau sekadar kebebasan ingin dipakai, tanggal ketika gubernur pertama dilantik oleh pemerintah pusat. Memang selalu ada discrepancy waktu antara keputusan pemerintah pusat dengan realitas di lapangan. ( Sekarang malah kita bisa melihat adanya perbedaan waktu antara keputusan DPR, penandangan undang-undang oleh Presiden, dan pelantikan gubernur pertama dari propinsi baru).
Jika masalah umum ini dikenakan pada Jawa Barat,umpamanya, hanya ada empat pilihan yang bisa dipertanggungjawabkan. Pertama, tanggal ketika pemerintah kolonial meresmikan terbentuknya Provincie van West Java. Kedua, penunjukan penguasa yang baru di zaman pemerintahan Jepang. Ketiga, tanggal ketika Republik
Jika dibanding-banding bahkan kabupaten pun bisa mempunyai kebebasan simbolik yang lebih besar dari propinsi dalam penentuan hari jadi ini. Tentu kemungkinan pertama, hari jadi bisa saja diambil berdasarkan keputusan pemerintah pusat. Tetapi kemungkinan kedua lebih beragam dan tentu saja masalahnya lebih pelik. Di Jawa banyak kabupaten yang telah ada sejak kekuasaan pusat berada di tangan penguasa yang berada di kraton. Dalam konteks sistem politik tradisional Jawa yang bersifat multi-kraton, kabupaten bukan saja bawahan dari kraton-pusat, tetapi secara potensial adalah juga pesaingnya. Bukankah sejarah masa pra-kolonial Jawa—khususnya Jawa Tengah dan Timur—bisa juga dilihat sebagai kisah perpindahan pusat-pusat kekuasaan? Tetapi dengan berpindah kontinuitas legitimasi di jaga juga. Lihat saja kisah Kadiri- Singahasari-Majapahit- Demak- Pajang-dan akhirnya Mataram, yang kemudian pecah dua, sampai akhirnya pecahan Surakarta mempunyai pecahan baru Mangkunegaran dan pecahan Yogyakarta mempunyai pecahan Pakulaman. Maka bisa saja dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten, yang merupakan bawahan/taklukan kraton, tetapi sekaligus calon pengganti kraton-pusat, yang kini telah merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan kraton-kecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu diberi raja/ sultan kepada bangsawan yang dipercayainya sebagai tanah lungguh. Jika Bupati dan DPRD mau tanggal kejadian ini bisa dipakai. Hal ini tentu dimungkinkan juga oleh fakta bahwa Bupati-bupati pada masa awal pemerintahan kolonial biasanya adalah keturunan bupati dari masa kerajaan tradisional.
Di Sulawesi Selatan (sebelum terjadi berbagai pemekaran) sebagian besar kabupaten mempunyai batas yang sama dengan wilayah kerajaan tradisional, yang dibiarkan terus hidup pada masa kolonial, yang memang tidak terlalu dialami. Sebagai catatan boleh dikatakan juga bahwa pedalaman Sulawesi Selatan barulah pada awal abad 20 masuk Hindia Belanda. Beberapa kabupaten Sumatra Timur dan Riau daratan, kerajaan-kerajaan lama juga adalah unit kabupaten dalam konstelasi negara kolonial dan kemudian nasional.
Kemungkinan ketiga ialah kalau pemerintah/ DPRD kabupaten memilih tanggal atau perkiraan tanggal terjadinya peristiwa yang membanggakan yang dianggap sebagai simbol yang sesuai bagi eksistensi kabupaten. Biasanya yang terjadi ialah kabupaten tidak akan mengambil, umpamanya, kisah kepahlawanan waktu revolusi, meskipun membanggakan, juga pasti bukan tanggal kelahiran seorang pahlawan dan sebagainya, jika kejadian itu masih berada dalam ingatan kolektif. Para tokoh Kabupaten biasanya cenderung untuk memilih bukan peristiwa atau kejadian yang teringat dan tercatat tetapi yang masih hidup dalam tradisi lisan—ingatan yang turun temurun tentang sesuatu yang terjadi “kira-kira abad sekian”. Semakin tua kejadian itu diperkirakan terjadinya maka semakin mungkin akan dipilih—seakan-akan ketuaan adalah ukuran dari kebesaran. Tentu saja hal ini boleh-boleh saja, tetapi masalahnya kepastian sejarahnya akan selalu diperdebatkan. Benarkah hal itu betul-betul terjadi dan kalau begitu kapan terjadinya. Jika kredibilitas kejadian dan tanggal dimasalahkan nilai hari jadi itu hanya akan dianggap sebagai keperluan seremoni saja.
Setiap ikatan sosial—apakah yang diikat oleh ideologi, kepentingan, keluarga atau apa saja dan tentu saja daerah—tentu memerlukan mitos, yang telah menggabungkan sejarah dengan praduga dan hasrat kultural. Masalah baru muncul kalau mitos itu disyahkan sebagai “sejarah”, yang secara teoretis harus bisa dipertanggungjawabkan kehadirannya. Kalau telah begini keabsyahan “sejarah” itu akan selalu diuji. Jika saja dianggap gagal dalam ujian , nilainya sebagai sejarah, bahkan sebagai mitos pun jadi merosot. Dan masyarakat pun akan kehilangan sebuah mitos yang selama ini telah berfungsi sebagai alat pengikat dan alat pengingat akan nilai-nilai luhur yang dipancarkannya.
Selanjutnya terserahlah kepada para sejarawan lokal dan para pemuka masyarakat setempat untuk menentukan hari jadi kabupaten mereka.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam "Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka" di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005.