WILAYAH KERJA: PROVINSI JAWA BARAT, DKI JAKARTA, BANTEN, DAN LAMPUNG

Local Community

Oleh T. Dibyo Harsono


Masyarakat Lio keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan kawasan Kelimutu, ikatan batin keduanya sudah terjalin saat mereka ada. Masyarakat Lio yang keberadaannya sudah ratusan tahun (bahkan mungkin ribuan tahun) itu, selalu bisa hidup dengan harmonis dengan alam di sekitarnya. Berdasarkan analisa geologis daerah ini (di sekitar daerah Sokoria), merupakan tempat hunian semenjak masa purba/pra sejarah. Namun hal ini perlu adanya kajian arkeologis yang lebih mendalam, untuk membuktikannya apakah terdapat artefak yang mendukung pernyataan tersebut. Namun dari istilah lokal masyarakat Lio juga mengenal daerah yang disebut Lio Nian Gun, yang berarti Lio Dunia Purba, sehingga kemungkinan memang ada pemukiman purba, bahwa daerah ini sudah dihuni semenjak dahulu kala.


Sehingga sangat wajar apabila masyarakat Lio mempunyai kepercayaan atau keyakinan, bahwa di kawasan Kelimutu (di puncak dan di danaunya) merupakan tempat tinggal arwah nenek moyang mereka, tempat tinggal para arwah nantinya. Karena adanya keterikatan batin dan keterikatan wilayah yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut, menyebabkan masyarakat Lio sangat tergantung pada kawasan ini (Taman Nasional Kelimutu). Sehingga sangatlah mustahil apabila mereka akan merusak kawasan ini, sebaliknya mereka akan menjaga, merawat, dan mempertahankannya secara mati-matian, apabila ada yang berani merusak kawasan ini. Jadi tinggal bagaimana pihak Taman Nasioanal Kelimutu merangkul masyarakat Lio, untuk diajak mengelola kawasan ini. Bagaimana memanfaatkan kearifan tradisional mereka, untuk meningkatkan potensi kawasan Taman Nasional Kelimutu agar lebih dikenal, lebih banyak dikunjungi, dan lebih dikenal dunia. Sehingga secara tidak langsung juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio, yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kelimutu. Saat ini masyarakat Lio berada pada masa transisi, masa perubahan, masa peralihan, sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Lio adalah masyarakat transisional. Kondisi dimana sebuah masyarakat di satu sisi telah menginjak dunia atau alam modern/kemajuan, namun di sisi lain mereka juga belum sepenuhnya meninggalkan alam tradisional, dunia adat mereka. Masyarakat Lio sudah mengenal produk teknologi tinggi seperti handphone, telivisi, sepeda motor, parabola, serta barang-barang elektronik lainnya. Namun mereka juga tetap melaksanakan tradisi, ritual adat dalam berbagai aspek kehidupannya seperti penentuan hari baik, ritual yang berkaitan dengan kematian, kelahiran, dan lain-lain.


Disamping bekerja sebagai penggarap ladang/kebun sebagian dari mereka ada juga yang memelihara ternak dengan skala kecil dan masih bersifat tradisional. Ternak yang mereka pelihara antara lain sapi, babi, kerbau, kambing dan ayam. Seperti umumnya masyarakat lain suku Lio dalam pergaulan sehari-hari berbahasa suku Lio. Mereka memiliki adat istiadat yang masih melekat dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya, seperti dalam hal upacara perkawinan, upacara waktu tanam dan panen, membuat/memperbaiki rumah adat (keda) dan lain-lain. Mereka juga mengenal waktu-waktu tertentu yang menurut mereka tidak boleh ada aktivitas atau pekerjaan (Joka Ju) seperti berkebun, berladang dan lain-lain yang apabila dilanggar terkena sanksi adat (Poi).


Keberadaan kepala desa yang rata-rata juga merupakan seorang ketua adat (mosalaki), memberikan keuntungan ganda baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat Lio sendiri. Karena masyarakat Lio masih taat dengan ketentuan-ketentuan adat, dengan peraturan-peraturan adat, dengan pimpinan adat mereka, maka jabatan rangkap tersebut sangat tepat dilaksanakan. Program-program pemerintah akan banyak mendapatkan dukungan, mendapatkan sambutan yang baik, berhasil dilaksanakan berkat peranan kepala desa yang juga seorang mosalaki. Sebab masyarakat akan lebih mau mendengarkan perintah-perintah pimpinan adat mereka, dibandingkan dengan pihak luar yang belum mengerti serta mendalami adat mereka. Sehingga pihak TNKL bisa lebih mengintensifkan hubungan dengan para kepala desa yang berada di sekitar kawasan taman nasional, agar masyarakat Lio bisa benar-benar ikut menjaga, mengamankan, melestarikan aset nasional yang sangat berharga ini. Karena tidak menutup kemungkinan kawasan Taman Nasional Kelimutu, beserta potensi alam serta budayanya akan menjadi milik dunia, menjadi warisan dunia (world heritage), seperti halnya batik, keris, gamelan, angklung, dan Borobudur.Kehidupan beragama masyarakat Lio bisa sejalan dengan kehidupan adat mereka. Hal ini terlihat seperti halnya dalam acara keagamaan Katolik yaitu komuni suci pertama/ sambut baru, kegiatan ini biasanya disejalankan dengan ritual dalam menyambut seorang anak menjelang masa akil baliq (inisiasi). Kegiatan tersebut dilaksanakan secara adat, dengan acara pembunuhan babi yang ditusuk dengan sebatang besi yang membara, agar darah tidak banyak keluar sehingga rasa dagingnya lebih enak. Padahal kegiatan keagamaan (Katolik) tidak ada acara seperti itu, namun masyarakat masih tetap melaksanakan tradisi mereka/kepercayaan dalam mengungkapkan rasa syukur kepada penguasa langit dan bumi (Du’a Ngga’e), seperti dalam ungkapan adat Du’a Ghale, Lulu Wula, Gha’e Ghale dan Wana Tana.


Sumber
: http://www.tnkelimutu.com

Popular Posts