Kuningan - Ratusan ciri khas kesenian dan kebudayaan kota Kuningan, Jawa Barat, terancam punah. Hal itu dikarenakan kurangnya pemerintah setempat dalam mempromosikan pariwisata daerah tersebut.
Maka dalam memperingati hari jadi Kota Kuningan, Jawa Barat, yang ke-513, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) mendukung langkah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, menggelar Pekan Budaya, Seni dan Film di Kuningan mulai 22-24 September 2011.
Lingkup kegiatan ini secara garis besar meliputi empat bidang substansi yaitu pameran, lomba, pagelaran dan dialog. Menurut Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF) Kemenbudpar Ukus Kuswara, rangkaian acara ini bertujuan mengenalkan kembali kekayaan budaya Kuningan pada masyarakat.
“Saat ini ada 150 kesenian, yang sebagian terancam punah. Kalau dibiarkan begitu saja. Maka Kuningan akan kehilangan jati dirinya,” ujar Ukus saat dialog Pekan Budaya, Seni dan Film di pendopo Kabupaten Kuningan, akhir pekan lalu.
Menurutnya, ada 3 faktor kunci melestarikan seni tradisi yakni inventarisasi, dokumentasi dan publikasi. Inventarisasi dan dokumentasi, bisa dikerjakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadis Budpar) atau Badan Pelestarian Seni dan Nilai Tradisional (BPSNT) setempat.
Sementara publikasi, pemerintah bisa menjalin hubungan baik dengan media massa. Dan yang tak kalah penting untuk regenerasi, kurikulum pendidikan harus memperbanyak ruang berekspresi dan berkesenian. Dikatakan, jika masyarakat Kuningan aktif mengembangkan kesenian daerah, efek positifnya akan dirasakan dengan terciptanya industri pariwisata.
Jika masyarakat Kuningan aktif mengembangkan kesenian daerah, efek positifnya akan dirasakan dengan terciptanya industri pariwisata. Satu daerah tak akan maju jika budaya setempat tidak berkembang. Karena itu, seni tradisinya harus diperkuat sebagai daya tarik.
Selain juga daya tarik alam yang sudah dimiliki Kuningan. Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda, mennuturkan Kuningan memiliki harta karun kebudayaan angklung diatonis yang dikembangkan Daeng Soetigna. Pada saat perjanjian Linggarjati, tahun 1946, Daeng Soetigna mengembangkan angklung pentatonis (do, re, mi, so, la) menjadi diatonis (do, re, mi, fa, sol, la, si, do).
“Cikal bakal angklung diatonis dikembangkan di Kuningan. Secara historis, Kuningan punya semangat berkesenian. Saya punya misi menjadikan Kuningan menjadi Kabupaten Angklung, dengan mendirikan museum angklung. Saya memiliki keoptimisan yang tinggi bahwa Kuningan akan besar. Selain potensi alamnya, dari segi sumber daya manusianya dengan cepat bisa beradaptasi,” ucap dia. [H-15]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com