BANGUNAN fisik yang menunjukkan kampung adat dari ratusan tahun lalu telah lenyap ditelan api. Jejak peninggalan leluhur hanya tersisa di satu rumah adat yang disebut Bumi Adat. Dari sana, nilai-nilai kearifan hidup peninggalan leluhur terus dirawat dan diterapkan sehari-hari.
Suasana Kampung Cikondang, Minggu (10/11/2013) siang, terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa warga duduk dan bercakap-cakap.
Di kampung ini, berbicara dengan nada suara tinggi merupakan sebuah pantangan. Masih ada sejumlah pantangan dan nilai-nilai kearifan hidup yang dijunjung tinggi warga Cikondang sebagai sebuah kampung adat.
Nama Cikondang merupakan perpaduan antara sumber air (cai) dan pohon kondang. Kampung ini terletak di Kabupaten Bandung. Secara administratif, menjadi bagian Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan.
Kampung Cikondang berada di perbukitan Bandung Selatan di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut, berjarak 38 kilometer dari Bandung.
Dulu di kampung yang diperkirakan berusia 300 tahun itu ada 40 rumah berbentuk rumah adat Sunda. Rumah umumnya dibangun dari bambu, baik dinding maupun lantainya, hanya tiang penyangganya kayu.
Rumah-rumah itu lenyap saat terjadi kebakaran besar tahun 1942. Hanya tersisa satu rumah, yakni Bumi Adat.
Pembagian ruang
Bangunan itu berbentuk rumah panggung. Di dalamnya terdapat dua kamar. Satu kamar untuk juru kunci (kuncen), satu lagi untuk menyimpan beras, disebut goah.
Bagian rumah lain terdiri atas ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Dapur hanya digunakan untuk menanak nasi.
Di dalam Bumi Adat tidak banyak terdapat perlengkapan rumah tangga, kecuali lemari dan sejumlah peralatan makan dan minum untuk menjamu tamu. Seluruh peralatan terbuat dari seng, sedangkan gelas terbuat dari tanah liat.
Karena listrik tidak boleh digunakan, penerangan di Bumi Adat menggunakan cempor (lampu minyak).
Sebagai bentuk penghormatan, setiap orang yang akan masuk diharuskan melangkah lebih dulu dengan kaki kanan. Perempuan yang tengah haid tidak diperbolehkan masuk karena rumah itu dianggap sebagai tempat suci.
Di bagian luar Bumi Adat terdapat bangunan berukuran lebih kecil yang menempel pada bangunan induk. Bangunan tersebut disebut bale-bale. Fungsinya untuk menyimpan berbagai bahan makanan.
Di luar bale-bale terdapat dapur yang biasa digunakan warga untuk memasak. Para ibu menggunakan dapur itu saat mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu atau ritual khusus, seperti ritual 15 Muharam.
Tidak jauh dari bale-bale terdapat lumbung padi. Sementara kamar mandi terletak sekitar 2 meter dari Bumi Adat.
Pengelolaan Bumi Adat dilakukan kuncen yang sekaligus menjadi tetua adat kampung. Dana pengelolaan diperoleh dari hasil sawah yang digarap para perawat Bumi Adat. Luasnya 200 tumbak. Satu tumbak setara dengan 14 meter persegi.
Saat ini di Kampung Cikondang banyak dibangun rumah besar dengan dinding dari bata dan semen. Hanya beberapa rumah yang masih menggunakan bambu. Sebagian lain kombinasi bata dan bambu.
Sebagai peninggalan leluhur, Bumi Adat menjadi pusat kegiatan warga Kampung Cikondang. Di sini, seluruh kearifan hidup yang diturunkan leluhur Kampung Cikondang dihidupkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kuncen Bumi Adat, Anom Juhana (67), mengatakan, setelah kebakaran besar yang melenyapkan puluhan rumah adat Kampung Cikondang, rumah adat tidak dibangun ulang. Rumah baru dibangun secara lebih modern. ”Ini sesuai pesan leluhur,” kata Juhana.
Namun, ada aturan yang harus dipatuhi. Seluruh bangunan rumah di Kampung Cikondang harus dibangun menghadap ke utara.
”Kalau Bumi Adat tidak boleh diubah. Istilahnya panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Tata cara adat, ukuran, dan bentuk rumah tidak boleh diubah,” katanya.
Bukan berarti Bumi Adat tidak boleh direvitalisasi. Tahun 2010, rumah itu direvitalisasi oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dengan dana Rp 170 juta.
”Yang diganti adalah dinding dan atap, serta bambu-bambu yang dibelah sebagai ganti genteng,” kata Juhana. Bagian dinding rumah yang berusia 300 tahun tetapi dalam kondisi baik dipertahankan.
Perawatan rutin dilakukan lima juru rawat Bumi Adat. Salah satunya, Ajo (56), mengatakan, perawatan dilakukan setiap hari secara bergantian.
”Debu-debu dibersihkan, lantai disapu dan dipel. Kami mengurus seluruh lingkungan Bumi Adat dan menggarap sawah,” kata Ajo.
Nilai kearifan
Juhana mengatakan, tugasnya menjaga kelangsungan Bumi Adat agar tidak hilang, termasuk menjaga nilai-nilai kearifan yang diwariskan leluhur.
Nilai-nilai yang utama adalah tentang sopan santun. Nilai ini, antara lain, diimplementasikan dengan larangan berbicara keras, buang air sembarangan, hormat dan patuh kepada orang tua dan sesama.
Warga sangat menjunjung tinggi gotong royong. Hal ini dapat dilihat saat Bumi Adat menerima tamu atau melaksanakan ritual seperti syukuran seleh tahun mapag tahun atau menyambut 15 Muharam.
”Warga tanpa diundang sukarela membantu. Untuk menyambut 15 Muharam nanti, para ibu memasak nasi kuning dan tumpeng untuk dibagikan ke warga,” kata Juhana.
Ritual tersebut juga melibatkan warga di luar Kampung Cikondang. Mereka biasa mengirim berbagai jenis makanan dan bahan baku makanan saat ritual 15 Muharam digelar.
Namun, Juhana menyatakan, sebagaimana pesan leluhur, upaya duplikasi Bumi Adat dan upaya mengembalikan Kampung Cikondang seperti ratusan tahun lalu tidak akan dilakukan. Dia yakin, meski dari sisi fisik bangunan hanya tersisa Bumi Adat, nilai-nilai kearifan yang diwariskan leluhur Cikondang akan terus dijaga.
Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Yuzar Purnama, dalam penelitian berjudul Kepercayaan (Religi) Masyarakat Adat Kampung Cikondang Kabupaten Bandung yang dipublikasikan di situs BPNB Bandung menyatakan, pelestarian dan pengembangan kepercayaan di Kampung Cikondang perlu terus dipelihara. Hal itu karena upaya tersebut berdampak positif. (Dwi As Setianingsih)