Oleh Dra. Yanti Nisfiyanti
PENDAHULUAN
Masuknya globalisasi tidak harus ditolak, namun perlu dijaga kepentingannya dan pandai memilah serta memilih agar dampak negatif dari globalisasi bisa dihindari. Salah satunya adalah dengan penyelamatan Benda Cagar Budaya (BCB) dalam upaya pelestarian nilai budaya, agar BCB tersebut terhindar dari kerusakan atau kepunahan. Hal ini penting bagi pembentukan jati diri bangsa terutama generasi muda. Kegiatan penyelamatan BCB tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk pelestarian nilai budaya bangsa. Pelestarian nilai tersebut adalah untuk dikembangkan dan dimanfaatkan di kemudian hari. Pengembangan dilakukan dengan meningkatkan mutu dan mempersiapkan masyarakat sebagai pendukung kebudayaan agar tanggap, tangguh, dan bertangung jawab dalam menghadapi tantangan jaman dengan upaya menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, pemikiran, gagasan sesui dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Atas dasar tersebut, maka upaya pengembangan dan pemanfaatan nila-nilai tradisi perlu dilakukan, antara lain melalui penyelamatan BCB yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi. Salah satu yang perlu dilakukan dalam upaya penyelamatan BCB adalah benda bersejarah milik Inggit Garnasih, yakni salah seorang istri (istri pertama) proklamator RI yakni Soekarno. Inggit Garnasih adalah sosok perempuan Sunda yang dengan kesedehanaannya mampu menjadi pemicu semangat Soekarno. Ia membaktikan hidupnya dalam kancah perjuangan pergerakan, mendampingi dan mengantarkan Soekarno menuju kesuksesannya. Dengan keikhlasan, Bu Inggit membantu memberikan dukungan moral, semangat, dan material yang tidak sedikit. Setelah menghantarkan Soekarno mencapai kemerdekaan dan memasuki Istana kepresidenan, Bu Inggit meminta cerai karena Soekarno menikah lagi dengan Fatmawati. Lalu Bu Inggit tinggal di Bandung, tepatnya di Jalan Ciateul, yang kemudian setelah beliau meninggal, rumah tersebut dibeli oleh Pemda Jabar yang akan dijadikan museum Inggit Garnasih. Sampai sekarang keinginan tersebut belum terwujud, karena cukup banyak benda koleksi Bu Inggit dan Soekarno yang belum terkumpul dan masih tersebar atau milik pribadi ahli waris Bu Inggit.
Permasalahan akan timbul jika koleksi benda-benda Bu Inggit tidak segera diselamatkan, karena dikhawatirkan akan hilang atau rusak, padahal benda ini memiliki nilai historis tinggi bagi bangsa Indonesia. Untuk itulah, perlu adanya penyelamatan benda-benda koleksi pribadi Inggit Garnasih dan Soekarno yang dikhawatirkan akan rusak atau punah jika tidak dikelola dengan baik. Adapun tujuan penyelamatan BCB ini adalah meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan nilai-nilai tradisi sebagai identitas jati diri bangsa dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman generasi muda terhadap aspek kepurbakalaan, sejarah dan nilai tradisi. Selain itu juga untuk menyelamatkan beda cagar budaya koleksi Inggit Garnasih dari kerusakan, kepunahan ataupun dari penadah barang antik yang selalu memburu dan diharapkan museum Inggit Garnasih akan semakin cepat terwujud untuk menumbuhkembangkan jatidiri kejuangan dan nasionalisme pada generasi penerus.
PENYELAMATAN BENDA CAGAR BUDAYA
Penyelamatan BCB koleksi Inggit Garnasih dilakukan dengan cara menghimpun kembali dan menyelamatkan benda-benda yang sekarang berada di ahli waris almarhumah Ibu Inggit Garnasih. Koleksi tersebut berupa meja dan kursi tamu, meja kerja, serta batu pipisan. Koleksi tersebut setelah diganti rugi oleh pihak pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat akan ditata kembali di rumah tinggal tempat kediaman Ibu Inggit Garnasih yang terletak di jalan Ciateul Bandung yang kini masih terawat dengan baik. Untuk itu maka akan dilakukan inventarisasi dan identifikasi barang, sehingga bisa diperoleh deskripsi dan muatan nilai yang jelas. Berikut ini terlebih dahulu akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan siapa Inggit Garnasih.
Inggit Garnasih : Apa dan Siapa
Di kota Bandung, tepatnya di ujung Jalan Ciateul no. 8, ada sebuah rumah kecil sederhana yang sekarang jalan itu berubah nama menjadi Jalan Ibu Inggit Garnasih, sejak bulan November 1997. Pekarangan dan keadaan rumah itu memberi kesan, bahwa penghuninya suka akan kebersihan dan kerapian. Hampir semua orang Bandung mengetahui penghuni yang pernah tinggal di rumah tersebut, mereka menyebutnya dengan nama Ibu Inggit yang nama lengkapnya Inggit Garnasih.
Menurut cerita, “Inggit” adalah nama tambahan, ayahnya Mbah Arjipan memberi nama bayinya yang lahir pada tanggal 17 Februari 1888 di desa Kamasan Banjaran Kabupaten Bandung dengan nama Garnasih. Kata itu merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, yaitu Hegar yang berarti segar menghidupkan, Asih yang berarti kasih sayang. Mbah Arjipan sangat disegani, karena dia adalah seorang ahli silat. Menurut cerita orang, Beliau mempunyai ilmu aji yang memberi kehebatan, karena setiap orang yang mempunyai maksud jahat bila berhadapan dengannya akan menjadi lemah seperti lumpuh. Mbah Arjipan memberi nama Garnasih dengan harapan supaya anak itu memiliki sifat kasih sayang yang menyegarkan dan menghidupkan.
Waktu gadis, Garnasih adalah gadis tercantik di antara teman-temannya, di daerah lingkungan Bandung. Kecantikannya tidak ada yang menyamainya, dan para pemuda mengitari dia seperti lebah mengitari setangkai bunga yang indah dan wangi. Diantara mereka beredar kata-kata : “Mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit”. Itulah asal sebutan “Inggit”. Orang-orang yang mengenal Ibu Inggit disekitar tahun 1923, akan berpendapat dia adalah seorang “Beauty”, dan waktu itu Ibu Inggit sedang menuju usia 38 tahun.
Maka tidaklah mengherankan bila pada tahun itu seorang pemuda dan mahasiswa Soekarno menyuruk bumi melangkahi langit berupaya untuk mendapatkannya. Di usia tua menjelang wafatnya, di bawah wajah yang telah keriput itu, samar-samar masih membayang kecantikannya di masa muda. Biasanya rumah di Jalan Ciateul itu setiap hari ada saja tamu, mereka datang selain bersilaturahmi, juga untuk membeli bedak dingin kasai atau lulur ningrum maupun jamu. Membuat obat tradisional adalah kerja Ibu Inggit sehari-hari yang telah dilakukannya sejak dahulu dan menjadi sumber penghasilannya.
Selain itu banyak juga yang datang padanya untuk meminta nasihat dalam kesulitan hidup. Kalau musim naik kelas dan ujian sudah dekat, banyak murid (SMP dan SMA) datang untuk meminta air yang telah diberi doa. Ibu Inggit pun mengabulkan permintaan mereka dengan memberi air yang telah diberi doa, tetapi selalu dengan penegasan : “Doa itu hanya membantu. Anak-anak sendiri yang harus memohon kepada Tuhan, Tetapi Tuhan pun hanya akan mengabulkan permohonan kita, kalau kita berusaha belajar keras”.
Ibu Inggit adalah anak rakyat jelata, tidak pernah dia menduduki bangku sekolah selain dari pesantren. Namun membaca buku masih lancar, meskipun di usia tua masih suka membaca seperti misalnya Hikayat Seribu Satu Malam, cerita berbahasa Sunda atau kisah petualangan Old Shuterhand karangan Karl May. Akan tetapi untuk menulis tidak bisa, dengan susah payah dia hanya pandai mengguratkan namanya.
Dalam hal rasa, Ibu Inggit bisa disamakan dengan Theresa istrinya Rousseau atau dengan Kasturbay istrinya Mahatma Gandhi. Theresa tidaklah memberikan sumbangan pikiran atau teori kepada Revolusi Perancis, dan Kasturbay tidak juga memberikan sumbangan pikiran atau teori kepada Revolusi India, demikian pula dengan Ibu Inggit tidak juga memberikan sumbangan pikiran dan teori kepada Revolusi Indonesia. Tetapi dengan memberikan kasih sayang kepada suami, dengan menunjukkan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan mereka, Theresa, Kasturbay dan Ibu Inggit mempunyai kesamaan yaitu berbakti kepada bangsanya.
Suaminya, Bung Karno mengakui sangat berhutang budi padanya , hutang budi yang tak terlunaskan seumur hidupnya. Ada beberapa kali Bung Karno mengakui hal ini di depan umum, pertama kali tanggal 31 Desember 1931, dalam suatu resepsi menyambut kebebasannya dari penjara Sukamiskin. Kedua kali, pada tanggal 2 Januari 1932, pada rapat Kongres Indonesia Raya di Surabaya. Ketiga kali dalam otobiografinya, antara lain pada halaman 193, Bung Karno mengakuinya bahwa Ibu Inggit sebagai tulang punggung dan tangan kanannya selama separuh dari umurnya. Ucapan hutang budi itu bukan hanya sekedar buah bibir atau basa-basi, memang demikian sesungguhnya. Nahkoda dalam mengemudikan rumah tangga, waktu Bung Karno menjadi pemimpin rakyat adalah Ibu Inggit dan ini bukanlah pekerjaan yang mudah, kalau diingat pada waktu itu Bung Karno tidak punya waktu untuk mencari nafkah.
Honorariumnya dari partai, sebagian besar dipergunakan Bung Karno untuk membeli buku dan menyumbang pada kadernya. Pintu rumah dan meja makan keluarga Bung Karno terbuka bagi setiap orang, dari kota dan daerah lain selalu berdatangan para pemimpin partai untuk berdiskusi. Mereka tidur dan makan di rumah itu dan memandang hal itu sebagai suatu hal yang biasa.
Ibu Inggit waktu itu memiliki beberapa perhiasan pemberian Haji Sanusi ketika mereka masih suami istri. Perhiasan itu mempunyai dua fungsi, yang pertama untuk dipakai sebagai perhiasan, yang kedua untuk digadaikan bila kantong sudah kosong sama sekali. Jadi kawan akrab keluarga itu adalah rumah gadai dan penjara.
Ibu Inggit dan Bung Karno bertemu untuk pertama kalinya pada bulan Juni 1921, ketika Bung Karno datang sebagai seorang pemuda memasuki rumah Haji Sanusi untuk indekost selama menjadi mahasiswa pada Sekolah Teknik Tinggi (THS). Ibu Inggit pada waktu itu adalah istri dari Haji Sanusi, seorang tokoh PSII dan juga seorang saudagar kaya bertempat tinggal di Kebon Jati. Pada waktu itu Bung Karno, mempunyai ikatan kawin gantung dengan Utari, puteri dari Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pertemuan antara mereka seperti bertemunya dua awan yang mengandung listrik, menerbitkan kilat dan guntur di dalam dada masing-masing.
Jiwa mereka menyala dengan api cinta birahi setelah Ibu Inggit bercerai dari H. Sanusi dan Bung Karno dari Utari. Pada tanggal 24 Maret 1923 mereka menikah. Setelah menikah mereka menyewa rumah tinggal di Gang Jaksa, di situlah Ratna Juami yang baru berusia beberapa bulan diangkatnya sebagai anak yang juga masih keponakan Ibu Inggit, Ibu Ratna Juami bernama Murtasih yakni kakak kandung dari Ibu Inggit. Tidak lama mereka tinggal di situ, kemudian pindah ke Jalan Pungkur No. 6 (sebelah barat terminal Kebon Kelapa), orang menamakan tempat itu dengan sebutan Gedong Dalapan. Di situpun mereka tidak tinggal lama, pindah lagi ke Regentsweg (sekarang jalan itu bernama jalan Dewi Sartika). Di tempat itu berdiri sebuah bangunan Gereja Rehoboth. Baru sekitar tahun 1926, mereka menetap di Jalan Ciateul Asatana Anyar sampai pertengahan tahun 1934, sebelum dikirim ke tempat pembuangan di Flores, di Kota Ende.
Pada tanggal 25 Mei 1926 setelah Bung Karno lulus dari THS dan menjadi Insiyur, bersama dengan Ir. Anwari yang masih sepupunya mendirikan Biro Arsitek. Meskipun Ibu Inggit tahu bahwa minat Bung Karno pada politik sangat besar, menguasai alam pikirannya, Mula-mula ada juga harapannya, dengan ke-insinyurannya itu akan dapat mencari dan mengumpulkan uang, sehingga mereka bisa memiliki rumah dan pekarangan. Kalau Insinyur lain bisa, mengapa Bung Karno tidak.
Antara Banjaran dan Pangalengan, di desa Cimaung Ibu Inggit memiliki sebidang tanah pemberian H. Sanusi, luasnya kurang lebih 400 Meter persegi. “Disana kita nanti akan mendirikan sebuah rumah tempat istirahat”, demikianlah Bung Karno sering menghibur Ibu Inggit. Begitu pula waktu dalam pengasingan di Ende, masih sering mereka melamun, “Kelak kalau kita sudah kembali ke Bandung, kita akan membangun rumah di Cimaung”. Tanah itu, hingga masa tuanya masih milik Ibu Inggit, tapi mimpi tentang rumah itu tidak menjadi kenyataan.
Pada tanggal 4 Juli 1927, PNI yang didirikan Bung Karno menjadi motor utamanya, seluruh jiwanya diserahkan pada perjuangan. Hanya sisa waktu dan sisa tenaga yang dapat diberikannya pada biro arsiteknya. Hampir pada setiap rapat dan perjalanana propaganda, Bu Inggit menemani Bung Karno. Semakin besar pergerakkan itu semakin kecil pula harapan Ibu Inggit untuk memiliki harta benda, karena Ir. Anwari pun aktif di dalam partai, maka usaha Biro Arsitek itu semakin lama menjadi mundur dan akhirnya mati. Untuk mendapatkan penghasilan Ibu Inggit menerima orang untuk indekos, menerima jahitan kutang dan kebaya di samping membuat bedak dingin kasai, lulur dan beras kencur.
Pada tanggal 29 Desember 1929 Bung Karno dan beberapa temannya ditangkap polisi Belanda, karena setiap langkah dan gerak aktifitasnya selalu diawasi oleh Komisaris Polisi Albreght dan Djanakoem, yang kemudian dalam pengadilan dijatuhi hukuman penjara. Berkaitan dengan kejadian tersebut, beberapa pandai besi di Ciwidey memberikan sebagian dari hasil kerjanya kepada Ibu Inggit untuk dijual, dengan hasil keuntungan dibagi dua. Dari hasil keuntungan itu oleh Ibu Inggit dijadikan modal usaha membeli daun kawung (enau) dan tembakau, yang kemudian dibuatnya rokok lintingan dalam bungkusan. Setiap bungkus berisi 10 batang, dan pada bungkusan itu diberi tulisan “Rokok Kawung Ratna Juami bikinan Ibu Inggit”. Ratna Juami adalah anak angkat mereka, di kalangan rakyat, rokok tersebut sangat laku, karena rakyat tahu dengan membeli rokok itu berarti mereka membantu rumah tangga pemimpinnya yang sedang mengalami prihatin.
Selain usaha tersebut, bantuan juga datang dari Mr. Sartono, Thamrin, Sukartono (kakak dari Ibu Kartini) dan Ibu Werdoyo kakak kandung Bung Karno, Tan Tjoei Gien seorang pemilik toko kain di Jalan Raya Barat. Sering dalam menjenguk Bung Karno, karena tidak mempunyai ongkos mereka terpaksa harus berjalan kaki, Ibu Inggit dan Ratna Juami yang saat itu masih berusia 6 tahun belum mengetahui akan kesulitan hidup ibunya, Ratna kecil terus merengek bila melihat delman yang lewat. Dengan hati yang sedih melihat anaknya kelelahan, terpaksa Ibu Inggit membuat alasan dengan mengatakan : “Entong Nyai, karunya kudana keur gering, tuh ku kusirna ge rek dibawa mulang ka kandangna” (Jangan, kasihan kudanya sedang sakit, oleh kusirnya akan dibawa pulang ke kandangnya).
Begitu pula untuk membantu Bung Karno yang membutuhkan buku dari Mr. Sartono, Bu Inggit menyuruh Encon pembantunya untuk mengambilnya. Untuk bisa menyelundupkan buku tersebut ke dalam penjara, Ibu Inggit harus berpuasa selama 3 (tiga) hari, agar buku yang ditaruh diperutnya dibalik kain kebayanya itu tidak mencurigakan dan ketahuan oleh sipir penjara. Buku itu sangat diperlukan Bung Karno dalam pembelaannya menyusun tulisan “Indonesia Menggugat”. Keluar dari penjara, Bung Karno mendirikan partai. Sibuk mengurusi partai, dari segi keuangan makin menipis. Ibu Inggit harus lebih giat lagi mencari rejeki, karena dengan kembalinya Bung Karno dari penjara berarti kegiatan pergerakan politik bukan hanya dilakukan di rumah tapi juga di luar rumah, itu semua membutuhkan biaya. Dengan keikhlasan hati, perhiasan Ibu Inggit keluar dan masuk rumah gadai, bahkan sebidang tanah miliknya harus dijualnya, untuk menutupi kebutuhan rumah tangga dan membantu suami melakukan kegiatan politik. Seringkali Ibu Inggit mendampingi Bung Karno melakukan perjalanan ke daerah mengadakan rapat partai atau kursus politik dengan memakai mobil pinjaman dan yang mengemudikan adalah seorang kenalan. Seringnya kenalan tersebut mengantar, oleh Ibu Inggit namanya diganti menjadi Sagir kependekan dari kata “sagigireun” yang berarti selalu berada di samping.
Semua itu ia lakukan atas dasar kasih dan sayangnya pada Bung Karno, dan ia pun tahu apa dan untuk siapa Bung Karno melakukan itu semua, semua itu bersumber cintanya Bung Karno kepada rakyat, apalah artinya pengorbanan itu bila dibandingkan dengan kemerdekaan. Pada bulan Agustus 1933, Bung Karno ditangkap dan diasingkan oleh Belanda, Pada pertengahan tahun 1934, . keluarga Bung Karno diberangkatkan ke Ende, Flores, diangkut dengan kapal laut “Van Riebeeck” dari pelabuhan Surabaya. Rombongan terdiri atas Bung Karno, Ibu Inggit, Ratna Juami, Ibu Amsi (Ibunya Ibu Inggit), Encon seorang pembantu yang sangat setia, dan Karmini adik Encon. Beberapa bulan kemudian, menyusul Asmara Hadi murid Bung Karno yang kemudian hari menjadi suami Ratna Juami.
Dari pemerintah Belanda, Bung Karno menerima tunjangan sebesar Rp. 75,- jumlah ini sangat jauh dari mencukupi. Kepandaian Ibu Inggit mencari uang dipengasingan kurang bisa membantu, sekali-kali datang juga sedikit bantuan dari Ibu Werdoyo. Untunglah di Endeh itu ada beberapa orang kawan yang agak mampu menolong..Untuk menghilangkan rasa sepi dan kejenuhan, Bung Karno mendirikan group tonil (sandiwara) yang diberi nama Kelimutu yang diambil dari nama sebuah danau yang airnya bisa berubah warna. Salah seorang pemainnya adalah Palindih yang dikemudian hari menjadi wartawan dan pemimpin redaksi HU Pikiran Rakyat di Bandung menggantikan Asmara Hadi.
Di tempat pengasingan itu pula Ibu Amsi meninggal dunia, pada hari Jum’at tanggal 11 Oktober 1935. Dengan tangannya sendiri Bung Karno membangun dan menembok makam, sebagai ungkapan rasa sayang terhadap mertuanya. Awan kesedihan menggantung di pengasingan, tapi Bung Karno dapat melupakan semua itu ke dalam buku-buku yang dibacanya, dan Ibu Inggit mendapat kekuatan dari cinta dan setia dari suami. Dalam kesunyian dan keheningan malam, Soekarni mempelajari semua agama terutama agama Islam, terlihat dari surat-suratnya yang ditujukan kepada A. Hasan pemimpin Pesantren Persatuan Islam di Bandung. Semangat religi telah merasuki dan dirumah penganjur Islam yang besar HOS Tjokroaminoto kembali bangkit dengan dahsyat yang kemudian menjadi jiwa bagi keyakinan politiknya.
Pada tahun 1939 atas desakan berbagai pihak, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu bersama keluarga yang terdiri dari Ibu Inggit, Ratna, Sukarti (Puteri dari Manteri Ukur Atmo, untuk teman bagi Ratna) dan seorang pembantu bernama Riwu, pemuda kelahiran Sabu.Di Bengkulu, Ratna mendapatkan beberapa kawan anak-anak gadis, di antaranya adalah Fatmawati.
Fatmawati sering datang ke rumah keluarga Bung Karno dan kadang-kadang menginap, karena itu Ratna meminta supaya dia tinggal saja di rumah itu sebagai temannya dan atas persetujuan orang tuanya Fatmawati menerima tawaran itu. Waktu itu Ibu Inggit telah berusia 52 tahun dan Bung Karno sendiri berusia 40 tahun. Setelah beberapa lamanya Fatmawati tinggal di rumah itu, Ibu Inggit merasa bahwa antara Bung Karno dan gadis itu ada sesuatu yang lain. Perasaan itu kian lama kian menjadi kuat, naluri seorang istri terhadap suami.
Pada suatu malam, karena tak tertahan lagi dan harus ada penyelesaian di antara mereka, Ibu Inggit membukakan kandungan hatinya kepada Bung Karno. Bung Karno mengakui bahwa dia memang menaruh hati pada Fatmawati, dan cinta inipun berbalas. Bung Karno hendak mengawininya dengan alasan dia ingin mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri. Memang sangat wajar dan manusiawi bila seseorang ingin mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri, sedangkan Ibu Inggit setelah belasan tahun tidak mendapatkannya. Lalu dipanggilnya Asmara Hadi yang berada di Jawa untuk segera ke Bengkulu. Sambil berjalan di tepi Pantai Panjang, Bung Karno mengemukakan masalah rumah tangganya, Asmara Hadi tidak bisa menyalahkan Bung Karno yang ingin mempunyai anak kandung darah dagingnya sendiri, namun mengingatkan Bung Karno akan Ibu Inggit yang telah sekian lama mendampingi dengan setia tidak boleh dicampakkan begitu saja.
Tapi walau bagaimana pun setiap manusia akan bisa memahami perasaan apa yang menyayat hati Ibu Inggit, dia tidak sudi dimadu. Atas nasihat dari beberapa kawan, Bung Karno berjanji tidak akan menceraikan Ibu Inggit dan tidak akan kawin lagi selama berada dalam pengasingan. Suasana di dalam rumah tangga itu penuh dengan kesedihan. Semua penghuni rumah menderita, terutama sekali Ibu Inggit. Tidak mengira sama sekali kalau Fatmawati yang selama ini dianggap sebagai anak, bisa berbuat demikian dengan Bung Karno, suami yang selama ini diikutinya dengan setia. Kini dalam batin sudah terluka, mentari tergores duri mawar, langitpun memerah darah, terbitlah luka di hati Ibu Inggit. Dia menderita karena masyarakat Bengkulu masih menganggap poligami sebagai suatu hal yang sangat wajar, yang harus diterima oleh setiap wanita. Ibu Inggit menderita, sebab tidak ada tempat untuk mencurahkan perasaan hatinya, Ratna waktu itu berada di Yogya tinggal di rumah Ki Hajar Dewantoro untuk meneruskan sekolah di Taman Siswa, Sukarti masih terlalu muda untuk diajak berbicara tentang hal yang demikian. Tapi hidup harus dilakoni terus meskipun hati dan jiwa berdarah dan masa depan rumah tangga suram nampaknya.
Kemudian menyusul peristiwa meletusnya Perang Pasifik, yang sudah lama ditunggu dengan harap cemas oleh setiap patriot Indonesia. Armada Kerajaan Jepang mendekati Indonesia, Bung Hatta dan Bung Syahrir dikembalikan pemerintah Belanda ke Pulau Jawa tepatnya di Sukabumi. Begitu takutnya pemerintah kolonial akan pengaruh Bung Karno di Jawa, sehingga Gubernur Jendral Tjarda Van Straikenborg menolak permintaan Residen Bengkulu supaya Bung Karno dipindahkan ke Jawa. Setelah Palembang beberapa kali mendapat serangan Jepang dari udara, dan harapan Belanda untuk menang sudah patah. Bung Karno sekeluarga (Bung Karno, Ibu Inggit, Sukarti, Riwu) digiring ke Padang melalui Muko-muko.
Perih dan pedih hati Ibu Inggit, pikirannya kacau, nasib apalagi yang akan mereka alami. Bagaimana nasib denga Ratna dan Asmara Hadi yang baru dua bulan mereka menikah, kabar terakhir tentang anak-anaknya, mereka ditangkap Belanda dikurung di dalam kamp di Garut kemudian Cilacap termasuk diantaranya Wikana dan S.K. Trimurti dan akan diangkut ke Australia.
Bung Karno pernah mempersamakan Ibu Inggit dengan Drupadi, seorang hero di dalam Hikayat Mahabrata, yang mengisahkan Drupadi dalam mendampingi suaminya Yudistira menjalani pembuangan akibat perlakuan pihak Kurawa yang dikenal dengan cerita Pandawa Samrat. Memang sangat sedap untuk didengar persamaan itu, tetapi alangkah beratnya dan sedih bila dialaminya sendiri.Jarak antara Bengkulu – Padang itu sebagian ditempuhnya denga berjalan kaki, di Muko-Muko mereka tertahan adanya banjir besar. Di pelabuhan Padang, sudah menunggu kapal yang akan membawa Bung Karno sekeluarga menuju Australia, meskipun akhirnya dibatalkan.
Pada tahun 1942, Bung Karno menginjakkan kakinya di pasar ikan sebagai orang bebas, dijemput oleh Ibu Sudirman, Sundoro dan Asmara Hadi. Di Jakarta mereka tinggal di Pegangsaan Timur no 56. Pada tahun 1943 Bung Karno menikah dengan Fatmawati. Ibu Inggit bukanlah wanita kalau hatinya tidak merasa seperti dibakar karena mengalami nasib seperti pepatah : “Habis manis sepah dibuang”. Tetapi waktu pulalah yang akan menyembuhkan segala luka. Perpisahan pun tidak dapat dihindarkan, setelah dua puluh tahun mereka hidup bersama dan berumah tangga saling asih dan saling asuh. Walaupun dalam berumah tangga mendampingi Bung Karno, lebih banyak duka daripada suka, lebih banyak tangis daripada tawa, namun semua itu dilakoni dengan tabah dan ikhlas dan menganggapnya sebagai misi dan dharma hidupnya yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Perceraian itu dituangkan dalam surat perjanjian atas saran dan pertimbangan dari Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan Kyai Haji Mas Mansoer yang sekaligus sebagai saksi perjanjian tersebut. Didalam surat perjanjian itu, antara lain disebutkan bahwa Bung Karno akan membelikan sebuah rumah dengan pekarangan serta isinya di Kota Bandung. Kedua, Bung Karno akan memberi uang kepada Ibu Inggit sebesar Rp. 6.280,- dengan cara : memberi uang kontan sebesar Rp. 2.000,- dan sisanya dicicil. Ketiga, Bung Karno akan memberikan nafkah kepada Ibu Inggit seumur hidup sebesar Rp. 75,- (tujuh puluh lima rupiah). Keempat, barang-barang yang ditinggalkan di Bengkulu, semua buku-buku diberikan pada Bung Karno, dan selebihnya diberikan kepada Ibu Inggit.
Tapi sayang, janji tinggal janji tidak ada satupun terlaksana, tidak tahu mengapa karena Ibu Inggit sendiri tidak pernah menagih janji itu. Setelah Ibu Inggit bercerai dengan Bung Karno pada tahun 1943, dia menetap di Bandung ditampung oleh kenalannya, Haji Anda yang bertempat tinggal di Jalan Lengkong Besar. Tidak lama tinggal di sana kemudian pindah menyewa rumah di Tuindorf, yang sekarang bernama Jalan Lengkong Tengah.
Pada waktu perang kemerdekaan melawan Belanda, seperti kebanyakan penduduk Bandung, Ibu Inggit pun pergi mengungsi. Mula-mula mengungsi ke Banjaran, kemudian ke Garut . Sewaktu Garut diduduki Belanda, beliau bersembunyi di desa dekat Leles dan rakyat yang setia kepada pemerintah RI melindungi dan membantunya. Kemanapun beliau pergi, dua buah batu ceper selalu dibawanya, karena itulah alat produksi tempat beliau menggiling ramuan tradisional yang akan dijadikan bedak dingin dan lulur. Pulang dari pengungsian di Garut, Ibu Inggit harus menumpang tinggal di rumah di Jalan Gang Bapa Supi.
Sepuluh tahun kemudian setelah perpisahannya dengan Bung Karno, Bung Karno sudah menjadi Presiden Republik Indonesia dan mendiami Istana Negara. Sedangkan Ibu Inggit pada saat jaman Belanda dengan setia ikut menanggung semua derita yang menimpa Bung Karno, bertempat tinggal dengan menempati sebuah kamar yang kecil pada seorang kenalannya di Gang Bapa Supi. Pada suatu saat, datang seorang sparatis yang ingin menghancurkan Negara kesatuan RI kepada Ibu Inggit yang berusaha untuk membuat hati Ibu Inggit menjadi benci kepada Bung Karno dan Negara Kesatua RI. Namun dengan bijaksana Ibu Inggit menolak secara halus hasutan orang tersebut dengan menjawab : “ Ibu sudah lama memaafkan Bung Karno, Ibu tidak menaruh sakit hati kepada Fatmawati, Ibu merasa bangga kepada Bung Karno yang telah menjadi Presiden RI. Bung Karno adalah tanaman Ibu, dan Ibulah yang selalu mendoakan semoga Bung Karno selalu dibimbing dan dilindungi Tuhan”.
Salah satu keinginan Bu Inggit yang belum terkabul saat itu adalah kembali ke rumah di Jalan Ciateul, sebab di tempat itulah Ibu Inggit dan Bung Karno hidup bersama sebelum dibuang ke Ende. Di tempat itulah rupanya masih terdapat ikatan batin yang mendalam, penuh dengan kenangan indah, antara mereka berdua. Demikain juga banyak dari para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia mempunyai ikatan batin dengan tempat tersebut. Karena ditempat itu pernah menjadi dapurnya perjuangan untuk menuntut Indonesia merdeka, tempat berkumpulnya para pendekar kemerdekaan antara lain Suyudi, Agus Salim, Ki hajar Dewantoro, H.O.S. Cokroaminota, Kyai Mas Mansur, Sartono, Moh. Hatta, Ali Sastro amijoyo, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin dan lain-lain.
Atas Prakarsa Asmara hadi, dan dengan bantuan dari kawan-kawan seperjuangan lainnya, seperti Winoto, Supardi, Ibu SK Trimurti, Ibu Rusiah Sarjono, Gatot Mangfkupraja, A.M. Hanafi, terkumpulah dana untuk membangun sebuah rumah tempat tinggal yang pembangunannya dipercayakan kepada Sugiri seorang kawan lama.
Di masa jayanya pernah dua kali Bung Karno datang mengunjungi Ibu Inggit di rumahnya di Jalan Ciateul. Pada pertemuan mereka yang pertama setelah berpisah hampir dua puluh tahun, dengan suara lembut Bung Karno meminta maaf kepada Ibu Inggit atas sebuah kesalahan yang telah menyakiti hatinya..Ibu Inggit pun menjawab pimpinlah negara dan rakyat dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu. Kunjungan yang kedua di tahun 1960, waktu itu Ibu Inggit sedang sakit dan Bung Karno menjenguknya. Kedua orang yang pernah memadu kasih itu saling berpelukan dan tenggelam dalam air mata keharuan.
Menjelang dua minggu sebelum sidang MPRS, yang akan menanggalkan kekuasaan Bung Karno dari kursi kepresidenannya, datang rombongan yang dipimpin oleh almarhum Osa Maliki ke rumah Ibu Inggit. Mereka ingin mendengar langsung dari “akarnya” (istilah ini datang dari rombongan itu sendiri dan yang dimaksud adalah Ibu Inggit) sendiri, bagaimana sesungguhnya watak Bung Karno. Mereka ingin mengetahui kebenaran tulisan seorang wartawan luar negri (Australia) dan mendapat sambutan dari mereka yang tidak suka dengan Bung Karno. Yang isinya bahwa Bung Karno pada waktu dipenjara Sukamiskin, pernah mengajukan permohonan minta ampunan dari pemerintah kolonial Belanda untuk tidak dibuang ke Flores dengan janji akan berhenti dari semua Kegiatan politik menetang pemerintah Belanda dan akan kembali kepada kehidupan berumah tangga seperti orang biasa. Jawaban Ibu Inggit cukup singkat:” Pak karno adalah lelaki langit lalanang jagat, tidak mungkin menghianati perjuangan bangsanya sendiri”. Hanya Tuhan yang sempurna, bersih dari kesalahan, kalau hendak mencari kesalahan dan keburukan Bung Karno jangan datang pada Ibu. Sambil menatap Osa Maliki, Ibu Inggit kembali berkata:” Bukankah anda sendiri tahu perjuangan dan pengorbanan Bung Karno?”.
Di hadapan wanita tua yang tidak punya pengetahuan politik, bahkan untuk menulis namanya sendiri sudah sangat sulit, para politisi yang akan menjatuhkan presiden pertama Republik Indonesia itu hanya bisa menundukan kepala, dan tidak mampu menjawab. Pada tanggal 21 Juni 1970, Bung Karno meninggal dunia dan baru jam 3 sore berita meninggalnya Bung Karno diterima oleh Ibu Inggit beserta anaknya. Saat itu pula dengan diantar oleh anaknya Ibu Inggit berangkat ke Jakarta. Saat itu perjalanan ke Jakarta sangat jauh dan cukup melelahkan, namun kondisi itu tidak membuat Ibu Inggit patah semangat, karena yang berpulang bukan saja bekas suami, tapi bekas kawan sejalan dan seperjuangan selam dua puluh tahun dalam suka dan duka dan juga seorang pemimpin dan pemerdeka bangsa.
Ketika sampai dan melihat jenazah Bung karno yang telah berbaring di dalam peti, terdengar suara lembut dan sayu dari Ibu Inggit:”Ngkus geuning Ngkus the mihelaan, Ku Nggit di do’akeun …. (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, sama Nggit didoakan…), sampai disini suaranya terputus, kerongkongannya terasa tersumbat, badan yang sudah tua dan lemah itu terhuyung diguncang perasaan sedih. Ibu Wardoyo yang ketika itu berada di samping Ibu Inggit memeluknya, dua orang yang telah kehilangan suami, akhirnya saling berpelukan dan menangis tanpa mengeluarkan suara.
Sehari setelah Ibu Inggit kembali ke Bandung, berdatanganlah orang-orang ke rumah Ibu Inggit untuk menyatakan bela sungkawa. Kebanyakan dari mereka adalah kawan seperjuangan di masa penjajahan, mereka datang dari desa-desa di sekitar Kota Bandung. Beberapa hari kemudian datang pula beberapa orang wartawan dan majalah yang menulis tentang harta peninggalan Bung Karno. Salah seorang wartawan bertanya kepada Ibu Inggit : “apa yang ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak”. Ibu Inggit menjawab “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat dan untuk semua bangsa kita”. Sejenak wartawan itu terdiam, dan kemudian bertanya :” Yang saya maksudkan adalah harta pusaka untuk ibu pribadi”. Ibu Inggit kembali menjawab: “harta pusaka dari Bung Karno adalah kenangan yang tak terlupakan yang ibu simpan di dalam hati, yang akan menemani ibu masuk ke dalam kubur”.
Ibu Inggitlah yang berjalan di samping Bung Karno sebagai satria muda masuk ke dalam gelanggang untuk membela rakyat. Mereka berdua, Bung Karno dan Ibu Inggit semasa penjajahan Belanda dapat dipersamakan dengan Rama dan Sinta yang berkorban untuk keadilan. Ketika puncak cita-cita hampir tercapai nasib menakdirkan kedua anak manusia itu harus berpisah. Para pemimpin dan pujangga nasional dan dunia memberi penilaian, Ibu Inggitlah yang menempa Soekarno menjadi pemimpin dan menemani dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya menuju Indonesia merdeka.
Pada awal tahun 1980 datanglah Ali Sadikin membawa misi “perdamaian”, untuk mempertemukan Ibu Inggit dengan Fatmawati , yang hampir 38 tahun mereka tidak pernah bertemu. Bang Ali menjajagi dan menanyakan apakah Ibu Inggit masih sakit hati, dan mau menerima kunjungan Fatmawati. Ibu Inggit menjawab : “Ibu sudah lama melupakan peristiwa itu kalau Fatmawati mau datang Ibu akan menerima dengan hati terbuka”. Beberapa hari kemudian datanglah rombongan dari Jakarta, yang terdiri dari Ibu Patmawati, Guntur bersama isterinya, Bang Ali Sadikin dan Isterinya. Pertemuan kedua orang tersebut penuh dengan rasa haru, Ibu Fatmawati bersujud dan mencium kaki Ibu Inggit memohon maaf atas tindakannya dahulu mengambil Bung Karno dari sisi Ibu Inggit. Sambil memegang pundak Ibu Fatmawti Ibu Inggit berkata : “Ibu maafkan semua kesalahanmu, dari dulu sampai sekarang kamu masih tetap anak Ibu”.
Berawal di bulan September 1982, bermula dari sakit bronchitis biasa namun karena tubuh sudah aus dimakan usia terjadilah komplikasi dengan penyakit tua. Selama dua tahun Ibu Inggit ke luar masuk rumah sakit. Pada tanggal 13 April 1984, setelah berkumandang Adzan Magrib Ibu Inggit meninggal dunia kembali ke Rahmatullah.
Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, Ibu Inggit menerima penganugerahan tanda kehormatan “Setyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan” pada tanggal 17 Agustus 1961. Kemudian setelah wafatnya, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 037/TK/Tahun 1997, tertanggal 11 Agustus 1997, pemerintah Indonesia menganugerahkan Tanda kehormatan “Bintang Mahaputra Utama”, yang penyerahannya dilaksanakan pada tanggal 10 Nopember 1977 di Istana Negara.
Peninggalan Ibu Inggit Garnasih
Koleksi yang dijadikan sebagai upaya penyelamatan dari benda cagar budaya peninggalan Ibu Inggit Garnasih adalah ::
1. 2 (dua) batu pipisan
2. 2 (dua) batu gandik pelengkap/pasangan dari batu pipisan
3. 1 (satu) unit kursi tamu
4. 1 (satu) unit meja belajar
Masing-masing benda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Batu pipisan
Batu pipisan merupakan salah satu bentuk peralatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat masa lalu untuk keperluan rumah tangga. Tinggalan ini sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat sejak masa prasejarah dan kemudian penggunaannya masih berlanjut pada masa sejarah bahkan hingga masa sekarang. Batu pipisan peninggalan Ibu Inggit Garnasih terbuat dari bahan batu andesit, berbentuk persegi. Batu pipisan pertama memiliki ukuran panjang 31,5 cm, lebar 15 cm, tebal 5,5 cm. Memiliki bidang permukaan yang agak halus dan rata. Batu pipisan kedua memiliki ukuran panjang 39 cm, lebar 35,5 cm, dan tebal 8 cm, memiliki bentuk permukaan yang tidak rata penuh dengan tatakan. Mungkin hal ini terkait erat dengan fungsi kedua batu tersebut dalam penggunaannya di masa lalu. Kedua batu pipisan ini saat sekarang masih dalam keadaan utuh dan terawat dengan baik.
Batu Gandik
Batu gandik merupakan bongkahan batu yang kadangkala berbentuk sederhana (tanpa pengolahan bentuk) dan juga ada yang sudah dibentuk sedemikian rupa, diantaranya ada yang berbentuk bulat, persegi dan lain sebagainya. 2 batu gantik sebegai pelengkap dari batu pipisan peninggalan ibu Inggit Garnasih, berbentuk persegi, masing-masingnya memiliki ukuran sebagai berikut. Batu gandik 1 memiliki ukuran panjang 18,5 cm, lebar 6 cm, tebal 5 cm. Batu gandik 2 memiliki ukuran panjang 17 cm, lebar 6 cm, tebal 6 cm.
Kedua peralatan batu ini di masa lalu dari hasil wawancara dengan Bapak Tito Asmara Hadi (salah seorang pewaris keluarga Ibu Inggit Garnasih) disebutkan bahwa batu gandik dan batun pipisan ini semasa hidup Ibu Inggit Garnasih dan Bung Karno dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga mampu mengantarkan Bung Karno menyelesaikan pendidikannya sampai menjadi insinyur bahkan sampai merebut kemerdekaan, Bu Inggit adalah pemerhati kesehatan perempuan (menghaluskan dan memutihkan kulit), tiap hari sejak masih gadis membuat lulur dan bedak wangi untuk dijual. Selain itu juga untuk membuat obat atau jamu dari dedaunan dan rempah untuk kesehatan organ wanita, keputihan, dan sariawan. Hasil penjualan ini lalu untuk membiayai Bung Karno sekolah, makan sehari-hari, dan membiayai perjuangan Bung Karno. Diperkirakan batu pipisan ini ada sejak Bu Inggit berumur 17 tahun, yang dibuat dari batu yang ada di Sungai Cikapundung, Jadi usianya kira-kira sudah mencapai sekitar 104 tahun.
Jam meja kuno.
Jam meja kuno ini terbuat dari kayu jati dengan bidang permukaannya dilapisi dengan lapisan imitasi berwarna coklat dengan bentuk serat kayu. Jam berbentuk bulat dengan diameter 19 cm. Jam ini dilengkapi dengan jarung penunjuk jam dan menit, saat sekarang sudah dalam keadaan rusak. Berdasarkan informasi yang diterima dari Bapak Tito asmara Hadi, diketahui bahwa jam itu dimasa lalu di Ibu Inggit dari Bengkulu kira-kira tahun 1938, saat Bung Karno dan Bu Inggit diasingkan di sana. Jadi usia jam duduk ini diperkirakan 71 tahun. Dari cara penempatannya, kemungkinan di masa lalu jam ini dapat diperkirakan merupakan pelengkap dari meja belajar milik Bung Karno.
Meja belajar
Meja belajar terbuat dari kayu Jati yang diperkirakan dari Jawa Tengah dan masih bagus kondisinya, Meja ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, karena sebagai tempat Bung Karno yang digunakan untuk bembaca buku dan menulis konsep-konsep politik dan menghasilkan buah pemikiran yang hebat. Tempat ini pula yang melahirkan semangat perjuangan dan buah pikiran Bung Karno. Meja ini ada sejak Bung Karno indekos di rumah H. Sanusi. Jadi usianya diperkirakan sudah lebih 90 tahun. Dari teknik pembuatannya, meja ini dapat dikatan sudah dilakukan dengan begitu rapi, bagian bawah meja belajar dilengkapi dengan dua laci panjang yang tersusun secara horizontal sebanyak tiga susunan, dan di bagian atas dari tiga susunan laci tersebut diakhiri dengan dua laci lagi yang terpisah. Laci-laci ini, masing-masingnya memiliki pegangan tunggal dan dilengkapi dengan kunci pengaman. Bagian atas dipergunakan sebagai bagian untuk kegiatan menulis, bagian ini dilengkapi dengan bagian yang dapat dibuka dan berfungsi sebagai meja. Di bagian tengah bagian ini ditempatkan hiasan pahatan dengan motif tumbuhan yang dibuat secara natural. Di bagian atas meja ini juga dilengkapi oleh laci-laci kecil dan sekat-sekat kecil yang yang berfungsi untuk menempatkan alat-alat tulis dan buku.
Meja tamu
Meja tamu terbuat dari kayu jati, dengan 4 kursi masih terawat dengan baik. Bagian anyaman dari bahan rotan sudah rusak , kemudian diganti dengan bahan dan motif yang sama sekitar 5 tahun yang lalu. Menilik fungsinya di masa lalu, berdasarkan dokumentasi foto yang dimiliki oleh Bapak Tito Asmara Hadi, dapat diketahui bahwa meja ini digunakan oleh para tamu penting serta teman-teman seperjuangann Bung Karno di masa lalu. Dapat disimpulkan meja tamu ini memiliki nilai sejarah yang tinggi karena merupakan saksi sejarah perjuangan Bung Karno, karena sering sebagai tempat duduk para tamu penting seperti Ki Hajar Dewantoto, HOS Cokroaminoto, Hatta, Thamrin, dan lain sebagainya. Sebagai tempat diskusi, tentu saja menghasilkan pemikiran-pemikiran penting untuk perjuangan bangsa, Mungkin meja ini di masa lalu bukan hasil pemberian Bung Karno kepada Ibu Inggit Garnasih, tetapi merupakan pemberian dari H. Sanusi, saat Bu Inggit menikah lagi dengan Bung Karno. Jadi usia dari meja tamu ini diperkirakan 90 tahun.
Harapan Ahli Waris Inggit Garnasih
Bu Inggit selama mengarungi pernikahan dengan Bung Karno mengangkat seorang anak bernama Ratna Juami. Ratna Juami kemudian menikah dengan Asmara Hadi dan memiliki 6 anak, yakni Iskandar, Rizal, Kemal, Tito, Rosa, dan Nina. Salah satu ahli waris yang bernama Tito inilah yang sangat aktif memperjuangkan keinginan atau harapan Bu Inggit untuk memiliki sebuah Klinik Bersalin.
Semasa hidupnya, Bu Inggit mempunyai keinginan besar untuk membuat klinik bersalin dengan alasan untuk menolong kaum perempuan dalam melahirkan anak. Suatu misi yang sangat mulia jika keinginan ini terwujud. Cita-cita luhur Bu Inggit ini sangat disadari oleh Bapak Tito, dan perjuangan keras pun dilakukan untuk mewujudkan keinginan tersebut yakni dengan menghubungi pejabat pemerintah seperti Bapeda, dan Diknas, namun tidak membuahkan hasil. Namun demikian, perjuangan tetap dilakukan yakni dengan membeli sebidang tanah di Desa Citalitik (Soreang- Banjaran) pada tahun 2002, tapi baru dibayar dimuka (DP) 20 juta. Tanah tersebut kelak akan didirikan klinik bersalin, karena letaknya cukup strategis dan ramai. Akan tetapi karena tidak kunjung dilunasi, akhirnya tanah tersebut dijual kembali pada pemiliknya.
Pak Tito yang menikah dengan Etty Thahariah dan memiliki 3 anak yakni Tiara Yoga Pranata, Aditya Loka Mahesvara, dan Galuh Mahesa, terus berjuang untuk mewujudkan cita-cita Bu Inggit. Tak jarang harus berhadapan dengan saudara kandungnya sendiri yang berbeda pemikiran. Sebagai contoh saat 5 saudara kandungnya hendak menjual rumah Bu Inggit, oleh Bapak Tito dilarang dengan alasan bangunan yang bersejarah tersebut akan hilang berganti dengan Mall. Akhirnya, dengan upaya keras rumah tersebut dibeli oleh pemerintah, meskipun harga tersebut dirasa masih rendah. Menurut Bp, Tito, rumah tersebut akhirnya bisa diselamatkan dan kemudian menjadi BCB, warisan bagi bangsa Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang RI No. 5 tahun 1992. BCB harus dilindungi dan dilestarikan karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi bangsa dan negara Indonesia. Berfungsi bagi pemahaman, pengembangan dan pemanfaatan sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata, demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Rumah ini kelak ingin dijadikan sebagai museum Bu Inggit.
Keinginan Pemerintah untuk menjadikan sebagai museum inilah yang kemudian disambut gembira oleh keluarga ahli waris Bu Inggit, dalam hal ini Bapak Tito. Ada beberapa peninggalan Bu Inggit yang masih dimiliki, antara lain :
- Surat pernikahan Bung Karno dengan Ibu Inggit Garnasih
- Surat Perceraian Bungkarno dengan Ibu Inggit Garnasih
- 2 (dua) Lemari kuno dari bahan kayu jati
- 1 satu) bufet dari bahan kayu jati
Benda-benda ini memiliki nilai sejarah tinggi yang mengikuti perjuangan Bung Karno saat masih mahasiswa sampai merebut kemerdekaan. Benda-benda ini saat sekarang masih disimpan di rumah salah satu ahli waris Bu Inggit yakni Bapak Tito Asmara Hadi. .
PENUTUP
Berasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan terhadap tinggalan Benda Cagar Budaya peninggalan Ibu Inggit Garnasih yang terdiri dari 2 batu gandik, 2 batu pipisan, 1 unit meja belajar dan jam meja, dan 1 unit kursi tamu, dapat disimpulkan bahwa benda-benda tersebut merupakan peninggalan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata.
Dikarenakan benda-benda tersebut memiliki nilai sejarah yang terkait erat dengan perjuangan Ir. Soekarno semasa hidup dengan Ibu Inggit Garnasih, perlu disegerakan penyelamatan dengan penyatuan tinggalan tersebut di Museum Ibu Inggit Garnasih. Dengan demikian nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang terkandung dalam masing-masing tinggalan tersebut dapat tersampaikan kepada masyarakat generasi penerus bangsa. Di samping itu, terdapat tinggalan lain yang perlu diselamatkan, antara lain surat nikah, surat perceraian antara Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno, serta dua unit lemari kuno yang tentunya memiliki kaitan sejarah dengan kedua tokoh bangsa ini. Dalam gerak langkah penyelamatan peninggalan Ibu Inggit Garnasih ini, ada secercah harapan dari para ahli waris untuk mewujudkan sumbangsih keluarga kepada masayarakat Bandung khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya, berupa klinik bersalin yang akan dibangun di Kabupaten Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kansil dan Yulianto SA, 1982, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Erlangga, Jakarta.
2. Kosoh, S, 1979, Sejarah Daerah Jawa Barat. Depdikbud : Jakarta
Sumber: Makalah disampaikan pada acara Temu Tokoh yang diadakan oleh BPNB Jawa Barat di Soreang tahun 2012