Oleh Herry Wiryono
Abstrak
Perjuangan masyarakat Cilegon Banten dalam menghadapi kaum penjajah dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang dianggap paling efektif untuk menghadapinya adalah melalui pendidikan. K.H Syam’un sebagai salah seorang ulama di Cilegon mempunyai harapan dan idealisme yang tinggi untuk mengembangkan potensi masyarakat Cilegon dan sekitarnya melalui pendidikan. Ia mendirikan sebuah pesantren dengan nama Pesantren Al-Khairiyah dengan mengambil tempat di daerah asalnya, yaitu Citangkil. Kiai Syam’un berkeinginan agar keberadaan Pesantren Al-Khairiyah menjadi suatu lembaga yang bermanfaat bagi perkembangan dan kesejahteraan umat manusia khususnya daerah Cilegon dan Banten. Keinginan dan harapan Kiai Syam’un menjadi kenyataan. Pesantren Al-Khairiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak tahun 1916 sampai tahun 1930 Pesantren Al-Khairiyah Citangkil berhasil memasuki masa keemasan. Pesantren Al-Khairiyah dapat mengimbangi sekolah Pemerintah Belanda di Wilayah Cilegon. Pada masa perang kemerdekaan, ulama Banten di samping sebagai tokoh agama, juga mampu memegang jabatan di pemerintahan. Jabatan yang dipegang adalah jabatan residen, bupati, wedana, sampai birokrasi di bawahnya. Ulama Banten yang memegang jabatan di pemerintahan, antara lain; KH. Ali Jaya di Delingseng (Pulomerak-Cilegon); dan KH. Abdul Haq di Padarincang (Ciomas-Serang).
Abstract
Education is considered to be affecting in fighting colonialism in Cilegon, Banten. K.H. Syam’un built a pesantren called Pesantren Al-Khairiyah in Citangkil to fulfill the need, with the hope that it could be beneficial to the development and prosperity of humankind especially in Cilegon and Banten. The pesantren reached its golden age between 1916-1930. It could compete with school administered by the Dutch.
Keywords: Al-khairiyah, pesantren, Cilegon, Al-Khairiyah, pesantren, Cilegon.
Diterbitkan dalam Patanjala Vol. 4, No 1, Maret 2012