Oleh : Wawan “Renggo” Herawan
Disampaikan dalam kegiatan Festival Kesenian Tradisional yang diselenggarakan BPNB Bandung pada tanggal 28 – 29 April 2014 bertempat di Wisma Karya Jl. Ade Irma Suryani Nasution No. 2. Subang
Kata transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perubahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi. Sedangkan “nilai” merupakan sesuatu yang berharga dan berguna bagi kehidupan manusia. Kehidupan dan peradaban manusia selalu berubah, dan satu sama lain saling mempengaruhi. Bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi adalah bangsa yang menguasai teknologi dan ekspansi penguasaan nilai-nilai tertentu (ekspansi ideologis, ekonomi, budaya) terhadap bangsa lain. Tranformasi nilai-nilai merupakan keniscayaan yang terus berlangsung disadari atau tidak disadari akibat dari perkembangan industrialisasi.
Transformasi nilai-nilai kehidupan manusia tidak direkayasa atau dipaksakan melainkan mengalir alamiah, sepertihalnya perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri. Transformasi nilai-nilai kehidupan manusia bergerak secara evolutif yang secara pasti dapat merubah pola fikir dan sikap dari suatu bangsa. Masyarakat agraris memiliki hubungan yang kuat antara nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai spiritual yang bermuara pada memartabatkan alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha kuasa. Ciri khas dari masyarakat agraris budaya sanduk-sanduk, mipit kudu amit ngala kudu bebeja, seperti yang terungkap dalam ruatan bumi, hajat lembur, mengawali penanaman, mitembeyan dan menuai panen. Sedangkan dalam masyarakat industri berpacu dalam pergerakan memodernisasi tingkah laku dan persaingan dunia kerja yang ketat.
Kemajuan Iptek yang begitu pesat berdampak pada perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia. Globalisasi merupakan kekuatan yang sangat deras membentuk sebuah tatanan masyarakat global yang selalu bergerak pada nilai-nilai universal. Di era teknologi komunikasi yang semakin canggih ini, bangsa yang memiliki kekuatan budaya dan ekonomi yang menguasai sentra-sentra produksi dunia maka bangsa ini akan menjadikan rujukan bagi tata nilai kehidupan manusia.
Memberi Ruang pada Nilai Tradisi
Bangsa yang kuat budayanya adalah bangsa yang tidak tercerabut dari akar tradisinya. Ada pepatah Sunda yang mengatakan : Basa ciciren bangsa. Lamun hiji bangsa basana geus tumpur tinangtu bangsana ge leungit. Bahasa adalah mencirikan bangsa. Jika suatu bangsa bahasanya tiada maka bangsanya juga akan hilang. Dalam konteks transformasi nilai-nilai, jika kita tidak mau kehilangan jati diri maka kita sebagai bangsa Indonesia harus memberikan ruang bagi nilai-nilai tradisi untuk tetap hidup dan berkembang, terutama bahasa dan sosio-kultural yang mengacu pada akar tradisi. Kita bisa melihat Jepang sebagai negara maju akan tetapi tidak meninggalkan akar tradisinya. Orang Jepang begitu kuat mempertahankan bahasa dan tulisannya sehingga memiliki ketahanan budaya yang luar biasa. Dengan modal kekuatan tradisi Jepang menjadi negara terdepan dalam era perasingan global yang sangat modern dan kapitalistik. Bagaimana dengan bangsa kita ? Sekuat jepangkah dalam upaya mempertahankan budayanya ?
Kalau kita perhatikan wujud kota-kota besar yang ada di Indonesia, melihat kontur bangunan, penataan kota, dan segi kehidupan lainnya, seakan kita hampir tercerabut dari akar budaya.. Budaya asing menjadi nampak dominan di tengah kemiskinan budaya kita. Papan-papan reklame, nama bangunan, nama kompleks perumahan dan sebagainya lebih memiliki prestise dengan mempergunakan nama/istilah asing. Bangsa kita menjadi minder, menjadi inferior di tengah gemerlap budaya orang lain.
Ketahanan bangsa bukan hanya pada aspek ketahanan teritorial dengan pendekatan keamanan militeristik, tapi yang tidak kalah penting adalah pembangunan ketahanan budaya yang berbasis kearifan lokal. Persoalannya adalah bagaimana bangsa kita ini memiliki rasa ke-Indonesia-an dalam keragaman etnis di tegah derasnya tranformasi nilai-nilai ?
Membangun Semangat Baru
Perlu adanya formulasi baru dalam menata semangat baru dalam konteks penguatan keindonesiaan. Semangat ini merupakan semangat kolektif bangsa yang tetap tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi, bisa beriringan sejalan dengan kehidupan moderenisasi. Semangat baru ini berisi kejuangan, pantang menyerah, disiplin, serta menjunjung tinggi kehormatan bangsa, sepertihalnya semangat Bushido yang dimilki oleh bangsa Jepang. Rujukan apa yang harus kita gali, kita ambil yang ada dalam produk budaya Indonesia ? Jika tidak ada dalam skala nasional, barangkali disetiap daerah di Indonesia memiliki semangat yang setara dengan semangat Bushido. Atau sebuah idiom, sebuah ungkapan khas seperti pekik “merdeka” di jaman revolusi bangsa kita, yang memberikan kekuatan magis bagi sipengucap dan juga si pendengar untuk membakar semangat menuju kesempurnaan manusia dalam meraih kehormatan, dan prestasi.
Di masyarakat Sunda mengenal ungkapan : mun keyeng, tinangtu pareng ! ( Jika ada kemauan, tentu akan berhasil), ini merupakan ajakan untuk semangat etos kerja. Jaga kabuyutan lamun henteu bakal leuwih hina batan kulit lasun di jarian ( Pelihara tanah pusaka, kalau tidak akan lebih hina daripada kulit anjing di tempat sampah). Juga banyak ungkapan-ngkapan lain yang mengajak mencintai tanah air, semangat untuk berkarya dll, akan tetapi belum menyentuh pada semangat kolektif yang memberikan kekuatan besar bagi eksistensi bangsa yang mampu bersaing di era globalisasi ini. Untuk mempertahankan dan menjaga keberadaan budaya agar tidak hilang perlu membuat gerakan-gerakan kebudayaan yang lebih kreatif-variatif, dan intens yang sesuai dengan konsep miindung ka waktu mibapa ka jaman.