Oleh : H. Edih AS
Disampaikan dalam kegiatan Festival Kesenian Tradisional yang diselenggarakan BPNB Bandung pada tanggal 28 – 29 April 2014 bertempat di Wisma Karya Jl. Ade Irma Suryani Nasution No. 2. Subang
1. Dasar Pemikiran Eksistensi dan Regenerasi
Memaknai eksistensi tentu tidak dapat dipisahkan dari cara kita menyoal kembali tentang sesuatu (realitas) atau gejala yang disebut ada, mengada (menjadi ada), sekaligus berhubungan dengan masalah-masalah mengadanya.
Cara demikian dapat dikatakan merupakan cara aktif. Memandang eksistensi sebagai sesuatu yang harus dilihat secara ke dalam sekaligus juga ke luar. Daripada memandangnya secara pasif, sekedar rekaman atau gambaran atas keadaan apa adanya. Dalam arti ke dalam, eksistensi dapat dihubungkan dengan persoalan tentang mengada di dalam dirinya sendiri maupun mengada untuk dirinya sendiri. Dalam arti ke luar, ini berhubungan dengan persoalan mengada di dalam dunia, atau mengada bersama dengan yang lain dan mengada demi yang lain.
Adapun regenerasi adalah proses alih tular atau pewarisan dari generasi pendahulu kepada generasi berikutnya yang lebih muda dan menjadi pewaris atau penerusnya. Pewarisan dimaksud bukan hanya proses mewariskan hal-hal fisik tetapi mencakup proses penularan atau alih kemampuan yang berhubungan dengan unsur pemikiran (kognitif), perilaku (motorik), dan rasa (afektif).
2. Menyoal Eksistensi Seni Tradisi (di) Subang
Saya pikir memaknai eksistensi seni tradisi di Subang, akan lebih jelas persoalannya apabila dimaknai dengan lebih aktif. Sebab, kenyataan dan gejalanya serta aneka masalahnya dapat tertangkap lebih gamblang. Kedua, sikap demikian tidak bertentangan dengan hakekat tradisi sebagai sesuatu kebudayaan yang dinamis. Tradisi atau seni tradisi adalah gambaran dinamis, dibuat dan selalu diperbaharui sebagai respon atas situasi atau jamannya.
Apakah kita bisa memastikan bahwa pantun, sisingaan, lais, kiliningan, genjring ronyok, dan toleat yang ada sekarang merupakan warisan masa lalu yang tidak pernah berubah? atau sebaliknya, selalu diubah-suaikan oleh masyarakat (seniman) Subang tempo dulu hingga sekarang?
Dalam kurun waktu penyaksian yang telah saya alami, kesenian (di) Subang, termasuk enam jenis kesenian tersebut, menampilkan dinamika kehidupan seni yang berbeda-beda. Tentu saja disertai dengan perkembangan, perubahan dan ciri-ciri yang menyertainya.
Pantun merupakan jenis seni buhun yang mengakar dalam budaya tani orang Sunda. Tanpa menanggalkan kehasannya, pantun menggunakan alat petik kecapi sebagai musik untuk mengiringi vokal bercerita. Digunakan umum untuk acara-acara yang berhubungan dengan upacara adat kelahiran, perkawinan, perayaan hasil panen, pembuatan rumah baru, pelaksanaan nazar, atau ruwatan. Di Subang, seni pantun ini sempat dipadukan dengan seni gamelan dan hasil perpaduannya dikenal sebagai pantun Beton. Antara Pantun biasa dan pantun beton ini akan sangat bergantung kepada hubungan permintaan antara penanggap dengan pemantun, maupun besar atau kecilnya biaya tanggapan.
Sisingaan yang pernah dialami generasi akhir abad 19, generasi abad 20, dan generasi abad 21 sangat berbeda teks dan konteksnya. Sisingaan di era Demang Ciherang, Ki Lurah Sayung Cigadung, Endik, Ukat “Robot”, hingga generasi terbaru sangat berbeda ekspresinya. Unsur teks karawitan, tari, dan rupa sisingaan telah berkembang sedemikian rupa hingga sekarang. Konteksnya pun melebar, dari model arak-arakan ritual dan simbolis yang mobile menuju model ruang pementasan yang statis dalam ajang festival, penyambutan tamu, media diplomasi budaya, hingga materi edukasi muatan lokal dan atraksi wisata.
Lais atau Laes merupakan jenis seni akrobat. Komunitas seni ini pernah berkembang di Parung. Pemeran beraktrasi, berjalan, berlari, dan menari di atas tali yang direntangkan di antara dua bambu gombong sambil diiringi torompet, kendang penca, atau bedhug.
Penggunaan istilah kliningan ibing kiwari tentu tidak dapat dipisahkan dari muara sejarah pertemuan aneka tradisi ronggeng (doger), ketuk tilu, ibing pencak, gamelan kiliningan, wayang golek, bajidoran, jaipongan, maupun jenis kesenian lain yang muncul berikutnya sekaligus turut mempengaruhi pula.
Genjring ronyok yang disaksikan sekarang mengakar pada pengaruh tradisi arak-arakan berinstrumen terbangan atau genjring dan adem ayem yang berkembang di pesisir utara. Kesenian tersebut sempat berkembang di Kampung Bonyok Pagaden. Kemudian teknik permainan dikembangkan lebih jauh oleh seniman Cidadap (Tarja Cs.), melalui pembagian pola-pola pukulan yang mengadopsi pola-pola pukulan kendang. Di era Tarja, genjring ronyok tidak sekedar digunakan sebagai media arak-arakan tetapi dikembangkan menjadi seni pertunjukan panggung. Digunakan sebagai musik tari.
Toleat memiliki gambaran agak berbeda. Kesenian ini bermula dari usaha eksperimen Maman (seniman Pamanukan) meniru sumber bunyi dengus kerbau dengan menggunakan bahan tamiang. Pengalaman Maman mengenal lagu-lagu Sunda melalui keikutsertaannya sebagai juru tarompet grup Sisingaan Ama Suta, menempatkan permainan toleat sebagai instrumen melodis yang memiliki karakter berbeda dengan suling maupun tarompet, baik bentuk, susunan lubang, lidah, maupun suaranya. Toleat dikembangkan pula oleh Dodo Wikanda dengan menggunakan instrumen kecapi untuk mengiringi melodi tunggal toleat, juga membuatkan lagu-lagu khusus untuk pertunjukan toleat. Lebih lanjut, Aep meneruskan pengembangan toleat, dijadikan karya ujian penyajian tugas akhir dan dilanjutkan hingga sekarang.
Apa yang telah dialami di masa lalu dan sedang dialami di masa sekarang apabila dicermati dengan lebih terbuka dan hati-hati, itu semua terjadi dalam relasi mengada secara ke dalam maupun ke luar. Dilakukan internal oleh masyarakat pemiliknya (pelaku seni) sendiri, maupun karena interaksi pelaku seni dengan orang lain.
3. Regenerasi Seniman (di) Subang
Meneruskan praktik mengada ke dalam dan ke luar membawa dampak terhadap keberlanjutan seni itu sendiri. Kesenian dapat bertahan, berkembang, atau sebaliknya tergeser dan punah. Salah satu faktor penentunya adalah regenerasi seniman di dalam komunitas seni tersebut terjadi atau tidak ? regenerasi yang berhasil dapat membawa pengaruh positif terhadap kehidupan lanjut kesenian. Sebaliknya, regenerasi yang terhambat dan gagal akan membawa pengaruh negatif terhadap daya hidup kesenian.
Beruntung, seni tradisi (di) Subang masih bertahan karena masyarakat seninya masih memiliki kemampuan adat. Berpengetahuan, berperilaku dan berempati atas adat sebagai salah satu acuan orientasi hidup. Praktik adat bermanfaat. Banyak seniman, dari generasi lama sampai sekarang, dapat bertahan dan diuntungkan dari mengolah adat.
Umumnya, proses alih kemampuan tersebut dilakukan melalui jalur kelisanan. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara-cara seperti: belajar langsung melalui panggung atau praktek pentas; berlatih dengan bimbingan dan arahan dari seniman senior atau guru seni; meniru dari tontonan atau rekaman gambar-suara. Di luar jalur kelisanan, ada juga regenerasi seniman melalui jalur tulisan. Belajar menguasai seni melalui aksara huruf dan angka dalam bentuk notasi.
Idealnya regenerasi seniman tidak terperangkap sebagai proses mewariskan kepemilikan seni. Seni bukanlah benda mati. Seni itu hidup dan bergantung kepada masyarakat seni (seniman). Oleh sebab itu, mewariskan seni adalah mewariskan kemampuan seni atau berkesenian. Kemampuan dimaksud adalah kemampuan menularkan pengetahuan, ketrampilan, dan keahlian seni (kesenimanan) dari generasi seniman senior kepada seniman yunior. Targetnya, pada jangka waktu kemudian kemampuan yang pernah dimiliki seniman senior dapat dikuasai oleh seniman yunior sebagai modal keahlian meneruskan dan mengembangkan seni tersebut, atau mencipta seni baru.
Kompetensi keahlian seni merupakan keharusan sekaligus modal dasar melakukan preservasi maupun inovasi seni. Di era sekarang yang kompetitif, kecakapan atau kemahiran mengolah tradisi sebagai sumber inspirasi kreatif sangat dibutuhkan seniman. Sumber inspirasi tradisi memberi peluang dan pengayaan posisi tawar seniman terhadap dominasi pengaruh dan keseragaman konsumsi seni popular. Hal tak kalah penting, keterbukaan dan kerjasama antar keahlian di bidang produksi, distribusi, dan mediasi seni menjadi syarat yang melengkapi proses alih kemampuan seni. Dalam arti lain, kekayaan referensi, mengolah kemasan, dan kolaborasi menjadi pilihan penting sebagai pembentukan kompetensi seniman.
4. Simpulan
Sekurangnya ada dua hal yang dapat dijadikan dua simpulan diskusi ini. Pertama, dalam dinamikanya proses mengada dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya proses alih kemampuan keahlian seni dari seniman ke seniman. Kedua, perkembangan dan perubahan yang telah dan sedang dialami seni tradisi ini dapat dijadikan pijakan strategis untuk memandang dan mensikapi seni tradisi di masa akan datang. Dengan demikian pengalaman keterpurukan seni tradisi akibat ketakmampuan masyarakat seni (seniman dan stakeholdersnya) mengelola seni, dapat menjadi pengingat sekaligus pemacu mendayakan kembali seni tradisi dalam ruang dan waktu yang terus berkembang. Sebagaimana hakekat awalnya sebuah tradisi dibuat, dicipta dan dikembangkan. Cag, Rahayu.
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/
Home »
Artikel
,
budaya
» Meretas Eksitensi dan Regenerasi Seni Tradisi (di) Subang: Sebuah Pengantar Diskusi