Arief Dwinanto, Rini S. Soemarwoto, Miranda Risang Ayu Palar
ABSTRACT
Sirih pinang dalam tulisan ini mengacu pada sirih (Piper betle L), pinang (Areca catechu L) dan kapur; serta praktik mengunyahnya. Di berbagai daerah di Indonesia, budaya sirih pinang dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya mulai pudar. Namun di Sumba, masyarakatnya masih menanam sirih – pinang dan memanfaatkan sirih pinang dalam kesehariannya, menggunakannya pada praktik ritual, dan acara seremonial. Penelitian ini membahas budaya sirih pinang di Sumba Barat. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan kajian pustaka. Kajian ini menemukan bahwa sirih pinang di Sumba Barat memiliki beragam fungsi sosial, budaya, ekonomi dan pengobatan. Sirih pinang menjadi simbol penting dalam budaya Sumba. Hal ini terkait erat dengan tatanan yang memengaruhi kehidupan orang Sumba, yaitu kepercayaan Marapu, tempat tinggal (rumah: uma ; dan kampung: wano), serta ikatan kekerabatan (kabisu). Sirih pinang sebagai sumber daya budaya tak benda berpotensi untuk dapat dilindungi dalam kerangka pelestarian budaya melalui sistem perlindungan hukum sumber daya budaya takbenda, yaitu melalui ranah warisan budaya takbenda (WBTB) di Indonesia.
Sirih pinang refers to the material (betel nut, areca nut, lime) and its practice of chewing it. Sumbanese, plant and use sirih pinang in their daily lives, and use it in ritual practices and ceremonial events. In various regions in Indonesia, sirih pinang tradition and it’s cultural values began to fade, therefore efforts to preserve sirih pinang tradition are needed. This study uses a qualitative approach. Data collection is carried out through observation, interviews, and literature studies. The results found that sirih pinang has a variety of social, cultural, economic, and medicinal functions. It has become an essential symbol in sumbanese culture. The symbol is related to the system that affects the lives of sumbanese, namely Marapu's beliefs, kampung (village) or uma (rumah) and kabisu (kinship system). In the intellectual property rights system, sirih pinang can be categorized as an intangible cultural resource that can be protected, utilized and developed within the framework of cultural preservation. One of the opportunities of the effort to preserve the intangible cultural resources is through the recognition and acknowledgement of sirih pinang as a shared intangible cultural heritage (ICH) in Indonesia.
KEYWORDS
sirih pinang; sumba; sumber daya budaya takbenda; warisan budaya takbenda
FULL TEXT:PDF
REFERENCES
Jurnal, Teisi, dan Disertasi
Basundoro, Purnawan. “Industrialisasi, Ayu, M. R., Permata, R. R. & Rafanti, L. “Sistem Perlindungan Sumber Daya Budaya Takbenda Di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia” dalam Mimbar Hukum Volume 29, Nomor 2, Juni 2017. Halaman 205-220.
Barokah, S. 2016. An Ethnographic Investigation of Master Slave Relation in Sumba, Indonesia. Tesis. International Institute of Social Studies.
Ellen, R. “Nuaulu Betel Chewing: Ethnobotany, Technique and Cultural Significance” dalam Cakalele Vol.2, Nomor 2 tahun 1991. Halaman 97-122.
Iskandar, J., Iskandar, B. S., & Partasasmita, R. “Review: The Impact of Social and Economic Change on Domesticated Plant Diversity With Special Reference To Wet Rice Field and Home-Garden Farming of West Java, Indonesia” dalam Jurnal Biodiversitas Volume 19, Nomor 2 March 2018. Halaman 565-577.
Nugroho, A. R. Dinamika Budaya Konsumsi Pinang Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari. Tesis. Yogyakarta: Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Reid, A. “From Betel-Chewing To Tobacco-Smoking In Indonesia“ dalam The Journal of Asian Studies Volume XLIV, Nomor 3, May 1985. Halaman 529-47.
Rooney, F.D. 1995. Betel Chewing In South East Asia. Makalah dipresentasikan dalama The Centre National De La Recherce Scientifigue. Lyon, France.
Rothe, E. 2004. Wulla Poddu: Bitterer Monat, Monat der Tabus, Monat des Heiligen, Monat des Neuen Jahres in Loli in der Siedlung Tarung-Waitabar, Amtsbezirk der Stadt Waikabubak in Loli, Regierungsbezirk Westsumba, Provinz Nusa Tenggara Timur, Indonesien (Wulla Poddu: Bulan Pahit, Bulan Larangan, Bulan Pemali Keramat, Bulan Tahun Baru Loli di Kampung Tarung-Waitabar, Kecamatan Kota Waikabubak/Loli, Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur–Indonesia). Disertasi. Munich: Ludwig-Maximilians-Universität München.
Saka, N. T. 2001. Etnobotani Sirih-Pinang dalam Kehidupan Suku Ruteng di Kabupaten Manggarai. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soeriadiredja, P. “Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT” dalam Jurnal Antropologi Indonesia Volume 34, Nomor 1, Januari-Juni 2013. Halaman 59-74.
Buku
Ayu Palar, M. R. 2018.
“The Protection of Intangible Cultural Resources in the Indonesian Legal System” dalam Christoph Antons & William Logan (Ed), Intellectual Property, Cultural Property and Intangible Cultural Heritage. Routledge: New York.
Bamualim, A. U. 2017.
Mengenal Sumba Barat: The Next Travel Destination. Waikabubak: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumba Barat.
BPS Kabupaten Sumba Barat. 2018.
Kecamatan Loli Dalam Angka 2018.
BPS Kabupaten Sumba Barat. 2018.
Kabupaten Sumba Barat Dalam Angka 2018.
Burkill, I.H. 1935.
A Dictionary Of The Economic Products Of The Malay Peninsula, Vol. I dan II. London: Governments of the Straits of Settlements and Federated Malay States by the Crown Agents for Colonies.
Forth, G. L. 1981.
Rindi: An Ethnographic Study of a Traditional Domain in Eastern Sumba. The Hague: Martinus Nijhoff.
Foster, G.M., & Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Diterjemahkan dari buku Medical Anthropology oleh Priyanti Pakan Suryadarma dan Meuitia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI-Press.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I dan II. Terjemahan. Jakarta: Badan litbang Kehutanan Indonesia.
Huberman, A. M., & Miles, M. B. 2009. “Manajemen Data Dan Metode Analisis” dalam Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Halaman 591 – 612.
Onvlee, L. 1933.
Na huri hapa. In Cultuur Als Antwoord. Verhadenlingen van het KTLV, 66. The Hague: Martinus Nijhoff.
________. 1983.
“The Construction Of The Mangili Dam: Notes On The Social Organization Of Eastern Sumba” dalam P.E. de Josselin de Jong (ed), Structural Anthropology In The Netherlands. Dordrecht: Foris Publications Holand. Halaman 151-163.
Reid, A. 2014.
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rudgley, R. 2005.
“Psychoactive Plants” dalam Ghillean Prance & Mark Nesbit (ed). The Cultural History of Plants. New York: Routledge. Halaman 191-204.
Sedyawati, E. 2014.
Prinsip-Prinsip Manajemen Sumber Daya Budaya dalam Kebudayaan di Nusantara – Dari Tortor sampai Industri Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Solihin, L. 2018.
“Sirih Pinang dalam Kebudayaan Melayu” dalam Afthonul Afif, Khidir Marsanto, dan Lukman Solihin (Ed), Dari Melayu Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Basabasi.
Vel, J. 2010.
Ekonomi-Uma: Penerapan Adat dalam Dinamika Ekonomi Berbasis Kekerabatan. Terjemahan. Jakarta: HuMa; Van Vollenhoven Institute; KITLV.
Waluyo, Harry dkk. (Tim Penyusun). 2009. Buku Panduan Praktis Pencatatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Kantor UNESCO Jakarta.