A. Pendahuluan
Kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa dibayangi oleh masalah disintegrasi bangsa. Persoalan disintegrasi bangsa sudah ada sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia diplokamirkan dan sampai sekarang masalah itu tidak kunjung selesai. Para ahli telah melontarkan pendapatnya bahwa untuk mengatasi masalah disintegrasi itu perlulah dibangun kesadaran sejarah untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan kesadaran sejarah bangsa Indonesia akan memiliki pondasi yang kuat sebagai landasan berdiri bagi eksistensinya.
Kesadaran sejarah akan memberikan ikatan yang kokoh bagi semua komponen bangsa Indonesia karena tiga alasan utama, yaitu: pertama, kesadaran sejarah menyadarkan bahwa sebagai bangsa Indonesia kita memiliki masa lalu yang sama. Masa pahit getirnya dijajah oleh bangsa Asing begitu sengsaranya sehingga mendorong munculnya semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan dan membentuk Negara Indonesia yang merdeka. Kedua, dengan kesadaran sejarah kita memiliki masa kini yang sama. Masa sekarang yang penuh dengan tantangan untuk tetap setia memegang teguh semangat dan jiwa “Sumpah Pemuda”. Bukan hal yang mudah memelihara semangat nasionalisme di era globalisasi ini. Dengan kesadaran sejarah, sebagai bangsa kita akan merasa seia sekata di dalam menghadapi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa kita. Ketiga, dengan kesadaran sejarah kita juga memiliki masa depan yang sama. Kondisi masa kini yang masih jauh dari harapan dan cita-cita kemerdekaan bahkan melenceng telah menimbulkan keraguan tentang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan rasa hayat histories kita yakin bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur akan menggelora.
Dengan demikian, sudah semestinya sejarah dijadikan mata pelajaran yang harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Perlu ditekankan bahwa tujuan mempelajari sejarah ialah untuk menumbuhkan kesadaran sejarah di dalam diri setiap bangsa Indonesia. Ungkapan kesadaran sejarah dapat diartikan sebagai keadaan mengetahui akan berbagai persistiwa sejarah dan menghayati makna dari berbagai peristiwa sejarah tersebut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, dunia pendidikan kita telah membentuk manusia-manusia elite yang ambivalen, menjadikan anak didik sebagai “orang Barat di Timur” atau “orang Timur yang ke-Barat-Baratan”, yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya. Kurikulum pendidikan kita cenderung mendiktekan bahwa pelajaran sejarah Indonesia tak perlu benar-benar diajarkan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila anak didik kita kurang mengenal suatu nationhood yang dalam dimensi utuhnya mengemban doktrin selfdetermination, sovereignity, dan territorial intergrity.
Mengajar sejarah seharusnya sejalan dengan guna ilmu sejarah yang meliputi guna edukasi, rekreasi, dan inspirasi. Janganlah karena ketidaklengkapan metode dalam proses mengajar sejarah, lantas mata pelajaran sejarah dianggap tidak penting dan dikurangi jam belajarnya, bahkan untuk jurusan tertentu malah tidak diajarkan. Berangkat dari kenyataan di atas, maka Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Bandung merasa perlu untuk melengkapi proses belajar sejarah dengan menyelenggarakan “Lawatan Sejarah”, yaitu suatu kegiatan berupa kunjungan ke tempat-tempat bersejarah guna rekreasi dan inspirasi.
B. Tujuan
Adapun tujuan penyelenggaraan kegiatan Lawatan Sejarah adalah sebagai berikut:
C. Tema
Tema : “Melalui Lawatan Sejarah Kita Tingkatkan Kesadaran Sejarah”
D. Ruang Lingkup
Pelaksanaan Lawatan Sejarah pada tahun anggaran 2006 meliputi tempat-tempat bersejarah di Kota/Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi dan Kota/Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
E. Peserta
Kegiatan Lawatan Sejarah ini akan diikuti oleh 150 orang peserta. Adapun peserta yang menjadi sasaran kegiatan Lawatan Sejarah adalah siswa-siswi SMU/sederajat dan guru sejarah se-Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Undangan berupa surat dan leaflet dikirimkan ke sekolah-sekolah di setiap propinsi.
F. Pembimbing
Pembimbing adalah pegawai BKSNT Bandung yang ditunjuk untuk mendampingi peserta dalam kegiatan lawatan sejarah.
G. Peliput
Peliput adalah wartawan/kru media massa yang meliput/ men-dokumentasikan kegiatan Lawatan Sejarah secara tertulis maupun melalui audio visual.
H. Manfaat Kunjungan
Tujuan kegiatan ini adalah: (a) Meningkatkan keterampilan pengamatan, (b) Meningkatkan keterampilan deskriptif, (c) Meningkatkan keterampilan analisis, (c) Mendorong belajar secara mandiri, (e) Mendorong keberanian untuk mengambil keputusan , dan (f) Meningkatkan keterampilan bekerjasama.
I. PROFIL
Istana Bogor
Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau San Souci. Fungsi awal bangunan ini hanya merupakan sebuah tempat pesanggrahan dari Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff. Luas halaman Istana Bogor mencapai 28,4 hektar dan luas bangunannya 14.892 meter persegi.
Van Imhoff membuat sketsa bangunan dengan mengambil model Istana Blenheim, tempat kediaman Duke of Marlborough dekat Oxford Inggris. Perombakan besar-besaran dilakukan setelah bangunan hancur akibat gempa bumi hebat pada tahun 1834. Perombakan ini selesai pada tahun 1835 pada pemerintahan Gubernur Jenderal Pahud de Montenger. Gubernur Jenderal yang terakhir kali menggunakan Istana Buitenzorg adalah Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang kemudian menyerahkan pada pemerintahan Jepang. Pada perkembangan selanjutnya, mengalami berbagai perubahan bentuk karena adanya perpindahan kekuasaan sejak zaman pendudukan Inggris sampai kependudukan Jepang. Pada akhir tahun 1949 Istana Buitenzorg yang sekarang lebih dikenal sebagai Istana Bogor Diserahkan pada Pemerintahan Republik Indonesia oleh Belanda.
Bangunan Induk Istana Bogor terdiri dari 3 bagian, yaitu bangunan utama yang terdiri dari serambi depan, ruang teratai, ruang kaca seribu, dan ruang garuda. Bangunan Sayap Kanan yang terdiri dari ruang makan dan ruang tidur. Dan bangunan Sayap Kiri yang terdiri dari perpustakaan, ruang makan, ruang sidang menteri-menteri, dan ruang pemutaran film. Dilihat dari segi arsitekturnya, Istana Bogor merupakan gaya Eropa Barat. Di halaman tumbuh pohon-pohon beringin besar diselingi dan kolam ikan dengan bunga teratai dari daerah Amazone (Brazilia).
Istana Bogor sering digunakan sebagai tempat pertemuan besar seperti :
Rumah Tahanan Moh. Hatta
Setelah diasingkan di Bandara Neira, Maluku dan sebelum dipindahkan ke Jakarta, Mohammad Hatta mengalami masa transit 3,5 bulan di Sukabumi. Masa itu menjadi saat terindah dalam hidup Hatta karena ia bisa menikmati alam yang asri.
Sukabumi mengesankan bagi Hatta dan Sjahrir. Setidaknya itulah yang terekam dari pengakuan Bung Hatta dalam Buku Memoar Mohammad Hatta yang ditulis oleh anaknya, Meutia Hatta dalam rangka satu abad mengenang Bung Hatta.
Di Sukabumi, Hatta dan Sjahrir ditahan di rumah Jalan Bhayangkara No. 158 A, Kota Sukabumi, tahun 1942. Di sana keduanya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr. Tjipto, Soejitno, dan Sjarifudin. Mereka merumuskan maklumat untuk rakyat Indonesia saat tentara Jepang mendarat di Banten.
Tokoh-tokoh pergerakan itu mendeklarasikan komite nasional yang wajib didirikan oleh rakyat di setiap regional dengan seorang pemimpin. Para pemimpin Komite Nasional bernegosiasi dan memberitahukan tujuan pergerakan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan pada pemimpin tentara Jepang yang datang ke wilayah mereka.
Dalam maklumat yang dicetak 10.000 lembar itu, para pemimpin Komite Nasional juga diminta memberitahukan bahwa rakyat Indonesia tidak akan menghalangi gerakan tentara Jepang, tetapi rakyat tidak akan terlibat dalam perang Asia Timur Raya antara Jepang dan Belanda.
Rumah tempat pergerakan tersebut masih dalam satu Kompleks Sekolah Calon Perwira (Secapa) Polri yang saat itu sudah digunakan untuk mendidik calon-calon polisi.
Rumah khas Belanda yang dibangun pada tahun 1926 itu unik dan sudah didesain khusus sebagai rumah tahanan. Rumah dibagi dua dengan penyekat permanen dari tembok. Deretan dapur yang berada di belakang rumah menjadi penghubung dua bagian rumah itu. Masing-masing bagian yang dipisahkan sekat itu ditempati oleh Hatta dan Sjahrir bersama ketiga anak angkatnya (dikutip dari Kompas, Sabtu 22 April 2006 hlm. A.)
Monumen Palagan Bojongkokosan
Letak monumen berada di wilayah Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Desa ini dilalui oleh jalan Protokol Sukabumi – Bogor dan berjarak kurang lebih 26 km dari Sukabumi arah Bogor.
Tujuan pembangunan monumen adalah untuk memperingati perjuangan rakyat Sukabumi dalam rangka upaya menahan (baca: menghadang) serangan pasukan Sekutu yang ingin menguasai kota Sukabumi.
Penghadangan konvoi Sekutu di Desa Bojongkokosan bukan tanpa sebab. Hal ini berkaitan dengan kondisi jalan pada saat itu (dan sekarang) yang berkelok-kelok menyerupai huruf S. Di samping itu, kondisi bukit yang terjal dengan kemiringan kira-kira 10 derajat disertai ketinggian sekitar 15 – 20 meter di kanan-kirinya serta ditumbuhi berbagai tumbuhan liar mulai dari yang perdu sampai pohon-pohon yang tinggi; sangat tepat untuk dijadikan medan penghadangan. Satu lagi saksi bisu peristiwa Bojongkokosan adalah adanya talang air yang melintas jalan menghubungkan dua bukit.
Peristiwa penghadangan terhadap pasukan Belanda di daerah ini tidak hanya terjadi satu kali, melainkan beberapa kali.
Peristiwa Bojongkokosan pada tanggal 9 Desember 1945 adalah awal dari serangan-serangan yang disusun oleh TKR pimpinan Letnan Kolonel Eddie Sukardi. Serangan ini kemudian menjadi serangkaian peristiwa yang kita kenal dengan PERANG KONVOY, dan merupakan Perang Konvoy Pertama (The First Convoy Battle) tanggal 9 s.d. 12 Desember 1945, sepanjang 81 km dari Cigombong (Bogor) sampai Ciranjang (Cianjur). Perang Konvoy yang dimaksud telah mengakibatkan banyak korban dari kedua belah pihak. Tercatat dari pihak Sekutu sebanyak 50 orang meninggal, 100 orang luka berat dan 30 orang menyerah. Sementara dari pihak TKR adalah 73 orang meninggal.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di daerah Ciaruteun, Ciampea. Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran Ciaruteun, 100 M dari pertemuan Sungai Cisadane. Tahun 1981 prasasti ini merupakan salah satu dari tujuh prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara (358-669 Masehi). Prasasti yang diperkirakan dibuat tahun 450 masehi tersebut berwujud batu seberat 8 ton, pada batu tersebut dipahat sepasang telapak kaki manusia serta tulisan dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansekerta.
Di daerah Ciampea selain Prasasti Ciaruteun terdapat pula Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Muara dan Batu Dakon.
Prasasti Batutulis
Situs peninggalan sejarah di daerah Batutulis terletak di tepi jalan Batutulis berhadapan dengan Istana “Hing Putri Bima Sakti” peninggalan Bung Karno. Lokasinya termasuk daerah kelurahan Batutulis, Kecamatan Kota Bogor. Situs ini sangat mudah dikunjungi karena terletak di tepi jalan aspal yang menghubungkan Kota Bogor dengan Stasiun Kereta Api dan daerah Cipaku, kemudian ke Rancamaya dengan arus lalulintas yang cukup padat.
Luas situs keseluruhan adalah 22 x 16,50 m persegi. Menurut hasil pengukuran tahun 1975 oleh kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bogor, luas situs seluruhnya adalah 23 x 17 m persegi. Perubahan tersebut disebabkan pelebaran jalan Batutulis dan pergeseran batas saat dilakukan pemugaran oleh Dinas Pariwisata.
Bagian selatan situs Batutulis telah ditempati sebuah rumah yang sederhana. Tanah pada bagian ini pernah dijual oleh seorang keluarga kuncen tanpa persetujuan kuncen tersebut. Sebelah barat situs diberi pagar dan deretan pohon pakujajar sekaligus sebagai pembatas dengan jalan Batutulis. Bagian Utara dan timur situs dibatasi pagar tembok yang dibangun oleh Dinas Pariwisata.
Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Pajajaran terdapat dalam kompleks ini. Pada batu ini terukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi. Diukir oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 Masehi (1455 – Saka) dengan maksud memperingati jasa ayahandanya, Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti. Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran terbesar yang memerintah tahun 1482 – 1521 Masehi (1404 – 1443 Saka). Prasasti Batutulis ini adalah tempat untuk melakukan upacara penobatan raja-raja Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi (1482 – 1521).
Museum PETA
Museum Pembela Tanah Air (PETA) di Jalan Jendral Sudirman Nomor 36 Bogor merupakan lokasi Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Tanah Air pada tahun 1943. Di dalam museum ini terdapat 14 diorama mengenai perjalanan perjuangan para pahlawan pembela tanah air dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa dibayangi oleh masalah disintegrasi bangsa. Persoalan disintegrasi bangsa sudah ada sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia diplokamirkan dan sampai sekarang masalah itu tidak kunjung selesai. Para ahli telah melontarkan pendapatnya bahwa untuk mengatasi masalah disintegrasi itu perlulah dibangun kesadaran sejarah untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan kesadaran sejarah bangsa Indonesia akan memiliki pondasi yang kuat sebagai landasan berdiri bagi eksistensinya.
Kesadaran sejarah akan memberikan ikatan yang kokoh bagi semua komponen bangsa Indonesia karena tiga alasan utama, yaitu: pertama, kesadaran sejarah menyadarkan bahwa sebagai bangsa Indonesia kita memiliki masa lalu yang sama. Masa pahit getirnya dijajah oleh bangsa Asing begitu sengsaranya sehingga mendorong munculnya semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan dan membentuk Negara Indonesia yang merdeka. Kedua, dengan kesadaran sejarah kita memiliki masa kini yang sama. Masa sekarang yang penuh dengan tantangan untuk tetap setia memegang teguh semangat dan jiwa “Sumpah Pemuda”. Bukan hal yang mudah memelihara semangat nasionalisme di era globalisasi ini. Dengan kesadaran sejarah, sebagai bangsa kita akan merasa seia sekata di dalam menghadapi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa kita. Ketiga, dengan kesadaran sejarah kita juga memiliki masa depan yang sama. Kondisi masa kini yang masih jauh dari harapan dan cita-cita kemerdekaan bahkan melenceng telah menimbulkan keraguan tentang eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan rasa hayat histories kita yakin bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur akan menggelora.
Dengan demikian, sudah semestinya sejarah dijadikan mata pelajaran yang harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia. Perlu ditekankan bahwa tujuan mempelajari sejarah ialah untuk menumbuhkan kesadaran sejarah di dalam diri setiap bangsa Indonesia. Ungkapan kesadaran sejarah dapat diartikan sebagai keadaan mengetahui akan berbagai persistiwa sejarah dan menghayati makna dari berbagai peristiwa sejarah tersebut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, dunia pendidikan kita telah membentuk manusia-manusia elite yang ambivalen, menjadikan anak didik sebagai “orang Barat di Timur” atau “orang Timur yang ke-Barat-Baratan”, yang lengah akan ideologi dan kesadaran nasionalnya. Kurikulum pendidikan kita cenderung mendiktekan bahwa pelajaran sejarah Indonesia tak perlu benar-benar diajarkan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila anak didik kita kurang mengenal suatu nationhood yang dalam dimensi utuhnya mengemban doktrin selfdetermination, sovereignity, dan territorial intergrity.
Mengajar sejarah seharusnya sejalan dengan guna ilmu sejarah yang meliputi guna edukasi, rekreasi, dan inspirasi. Janganlah karena ketidaklengkapan metode dalam proses mengajar sejarah, lantas mata pelajaran sejarah dianggap tidak penting dan dikurangi jam belajarnya, bahkan untuk jurusan tertentu malah tidak diajarkan. Berangkat dari kenyataan di atas, maka Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) Bandung merasa perlu untuk melengkapi proses belajar sejarah dengan menyelenggarakan “Lawatan Sejarah”, yaitu suatu kegiatan berupa kunjungan ke tempat-tempat bersejarah guna rekreasi dan inspirasi.
B. Tujuan
Adapun tujuan penyelenggaraan kegiatan Lawatan Sejarah adalah sebagai berikut:
- Menumbuhkan kesadaran sejarah bagi generasi muda.
- Melengkapi metode belajar sejarah agar tujuan belajar sejarah dapat tercapai sesuai dengan guna ilmu sejarah itu sendiri.
- Memperkenalkan tempat-tempat bersejarah di Kabupaten Sukabumi.
- Memperkenalkan tempat-tempat bersejarah di Kota dan Kabupaten Bogor.
C. Tema
Tema : “Melalui Lawatan Sejarah Kita Tingkatkan Kesadaran Sejarah”
D. Ruang Lingkup
Pelaksanaan Lawatan Sejarah pada tahun anggaran 2006 meliputi tempat-tempat bersejarah di Kota/Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi dan Kota/Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
E. Peserta
Kegiatan Lawatan Sejarah ini akan diikuti oleh 150 orang peserta. Adapun peserta yang menjadi sasaran kegiatan Lawatan Sejarah adalah siswa-siswi SMU/sederajat dan guru sejarah se-Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Undangan berupa surat dan leaflet dikirimkan ke sekolah-sekolah di setiap propinsi.
F. Pembimbing
Pembimbing adalah pegawai BKSNT Bandung yang ditunjuk untuk mendampingi peserta dalam kegiatan lawatan sejarah.
G. Peliput
Peliput adalah wartawan/kru media massa yang meliput/ men-dokumentasikan kegiatan Lawatan Sejarah secara tertulis maupun melalui audio visual.
H. Manfaat Kunjungan
Tujuan kegiatan ini adalah: (a) Meningkatkan keterampilan pengamatan, (b) Meningkatkan keterampilan deskriptif, (c) Meningkatkan keterampilan analisis, (c) Mendorong belajar secara mandiri, (e) Mendorong keberanian untuk mengambil keputusan , dan (f) Meningkatkan keterampilan bekerjasama.
I. PROFIL
Istana Bogor
Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau San Souci. Fungsi awal bangunan ini hanya merupakan sebuah tempat pesanggrahan dari Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff. Luas halaman Istana Bogor mencapai 28,4 hektar dan luas bangunannya 14.892 meter persegi.
Van Imhoff membuat sketsa bangunan dengan mengambil model Istana Blenheim, tempat kediaman Duke of Marlborough dekat Oxford Inggris. Perombakan besar-besaran dilakukan setelah bangunan hancur akibat gempa bumi hebat pada tahun 1834. Perombakan ini selesai pada tahun 1835 pada pemerintahan Gubernur Jenderal Pahud de Montenger. Gubernur Jenderal yang terakhir kali menggunakan Istana Buitenzorg adalah Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang kemudian menyerahkan pada pemerintahan Jepang. Pada perkembangan selanjutnya, mengalami berbagai perubahan bentuk karena adanya perpindahan kekuasaan sejak zaman pendudukan Inggris sampai kependudukan Jepang. Pada akhir tahun 1949 Istana Buitenzorg yang sekarang lebih dikenal sebagai Istana Bogor Diserahkan pada Pemerintahan Republik Indonesia oleh Belanda.
Bangunan Induk Istana Bogor terdiri dari 3 bagian, yaitu bangunan utama yang terdiri dari serambi depan, ruang teratai, ruang kaca seribu, dan ruang garuda. Bangunan Sayap Kanan yang terdiri dari ruang makan dan ruang tidur. Dan bangunan Sayap Kiri yang terdiri dari perpustakaan, ruang makan, ruang sidang menteri-menteri, dan ruang pemutaran film. Dilihat dari segi arsitekturnya, Istana Bogor merupakan gaya Eropa Barat. Di halaman tumbuh pohon-pohon beringin besar diselingi dan kolam ikan dengan bunga teratai dari daerah Amazone (Brazilia).
Istana Bogor sering digunakan sebagai tempat pertemuan besar seperti :
- Pada tanggal 28-29 Desember 1954 digunakan untuk pertemuan panca negara yang dihadiri oleh lima negara yaitu Birma, Srilanka, India, Pakistan dan Indonesia. Pertemuan ini membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung.
- Penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966.
- Pada tahun 1979, Presiden Soeharto mengumpulkan sema pejabat eselon I dari seluruh lembaga departemen dan lembaga tinggi negara untuk mendapatkan penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) untuk pertamakalinya.
- Pada tanggal 25 – 30 Juli 1988 digunakan untuk Jakarta Informal Meeting yang membahas masalah Kamboja.
- Pada tanggal 15 Desember 1994 diadakan pertemuan para pemimpin Ekonomi APEC.
Rumah Tahanan Moh. Hatta
Setelah diasingkan di Bandara Neira, Maluku dan sebelum dipindahkan ke Jakarta, Mohammad Hatta mengalami masa transit 3,5 bulan di Sukabumi. Masa itu menjadi saat terindah dalam hidup Hatta karena ia bisa menikmati alam yang asri.
Sukabumi mengesankan bagi Hatta dan Sjahrir. Setidaknya itulah yang terekam dari pengakuan Bung Hatta dalam Buku Memoar Mohammad Hatta yang ditulis oleh anaknya, Meutia Hatta dalam rangka satu abad mengenang Bung Hatta.
Di Sukabumi, Hatta dan Sjahrir ditahan di rumah Jalan Bhayangkara No. 158 A, Kota Sukabumi, tahun 1942. Di sana keduanya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr. Tjipto, Soejitno, dan Sjarifudin. Mereka merumuskan maklumat untuk rakyat Indonesia saat tentara Jepang mendarat di Banten.
Tokoh-tokoh pergerakan itu mendeklarasikan komite nasional yang wajib didirikan oleh rakyat di setiap regional dengan seorang pemimpin. Para pemimpin Komite Nasional bernegosiasi dan memberitahukan tujuan pergerakan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan pada pemimpin tentara Jepang yang datang ke wilayah mereka.
Dalam maklumat yang dicetak 10.000 lembar itu, para pemimpin Komite Nasional juga diminta memberitahukan bahwa rakyat Indonesia tidak akan menghalangi gerakan tentara Jepang, tetapi rakyat tidak akan terlibat dalam perang Asia Timur Raya antara Jepang dan Belanda.
Rumah tempat pergerakan tersebut masih dalam satu Kompleks Sekolah Calon Perwira (Secapa) Polri yang saat itu sudah digunakan untuk mendidik calon-calon polisi.
Rumah khas Belanda yang dibangun pada tahun 1926 itu unik dan sudah didesain khusus sebagai rumah tahanan. Rumah dibagi dua dengan penyekat permanen dari tembok. Deretan dapur yang berada di belakang rumah menjadi penghubung dua bagian rumah itu. Masing-masing bagian yang dipisahkan sekat itu ditempati oleh Hatta dan Sjahrir bersama ketiga anak angkatnya (dikutip dari Kompas, Sabtu 22 April 2006 hlm. A.)
Monumen Palagan Bojongkokosan
Letak monumen berada di wilayah Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Desa ini dilalui oleh jalan Protokol Sukabumi – Bogor dan berjarak kurang lebih 26 km dari Sukabumi arah Bogor.
Tujuan pembangunan monumen adalah untuk memperingati perjuangan rakyat Sukabumi dalam rangka upaya menahan (baca: menghadang) serangan pasukan Sekutu yang ingin menguasai kota Sukabumi.
Penghadangan konvoi Sekutu di Desa Bojongkokosan bukan tanpa sebab. Hal ini berkaitan dengan kondisi jalan pada saat itu (dan sekarang) yang berkelok-kelok menyerupai huruf S. Di samping itu, kondisi bukit yang terjal dengan kemiringan kira-kira 10 derajat disertai ketinggian sekitar 15 – 20 meter di kanan-kirinya serta ditumbuhi berbagai tumbuhan liar mulai dari yang perdu sampai pohon-pohon yang tinggi; sangat tepat untuk dijadikan medan penghadangan. Satu lagi saksi bisu peristiwa Bojongkokosan adalah adanya talang air yang melintas jalan menghubungkan dua bukit.
Peristiwa penghadangan terhadap pasukan Belanda di daerah ini tidak hanya terjadi satu kali, melainkan beberapa kali.
Peristiwa Bojongkokosan pada tanggal 9 Desember 1945 adalah awal dari serangan-serangan yang disusun oleh TKR pimpinan Letnan Kolonel Eddie Sukardi. Serangan ini kemudian menjadi serangkaian peristiwa yang kita kenal dengan PERANG KONVOY, dan merupakan Perang Konvoy Pertama (The First Convoy Battle) tanggal 9 s.d. 12 Desember 1945, sepanjang 81 km dari Cigombong (Bogor) sampai Ciranjang (Cianjur). Perang Konvoy yang dimaksud telah mengakibatkan banyak korban dari kedua belah pihak. Tercatat dari pihak Sekutu sebanyak 50 orang meninggal, 100 orang luka berat dan 30 orang menyerah. Sementara dari pihak TKR adalah 73 orang meninggal.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di daerah Ciaruteun, Ciampea. Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran Ciaruteun, 100 M dari pertemuan Sungai Cisadane. Tahun 1981 prasasti ini merupakan salah satu dari tujuh prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara (358-669 Masehi). Prasasti yang diperkirakan dibuat tahun 450 masehi tersebut berwujud batu seberat 8 ton, pada batu tersebut dipahat sepasang telapak kaki manusia serta tulisan dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansekerta.
Di daerah Ciampea selain Prasasti Ciaruteun terdapat pula Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Muara dan Batu Dakon.
Prasasti Batutulis
Situs peninggalan sejarah di daerah Batutulis terletak di tepi jalan Batutulis berhadapan dengan Istana “Hing Putri Bima Sakti” peninggalan Bung Karno. Lokasinya termasuk daerah kelurahan Batutulis, Kecamatan Kota Bogor. Situs ini sangat mudah dikunjungi karena terletak di tepi jalan aspal yang menghubungkan Kota Bogor dengan Stasiun Kereta Api dan daerah Cipaku, kemudian ke Rancamaya dengan arus lalulintas yang cukup padat.
Luas situs keseluruhan adalah 22 x 16,50 m persegi. Menurut hasil pengukuran tahun 1975 oleh kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bogor, luas situs seluruhnya adalah 23 x 17 m persegi. Perubahan tersebut disebabkan pelebaran jalan Batutulis dan pergeseran batas saat dilakukan pemugaran oleh Dinas Pariwisata.
Bagian selatan situs Batutulis telah ditempati sebuah rumah yang sederhana. Tanah pada bagian ini pernah dijual oleh seorang keluarga kuncen tanpa persetujuan kuncen tersebut. Sebelah barat situs diberi pagar dan deretan pohon pakujajar sekaligus sebagai pembatas dengan jalan Batutulis. Bagian Utara dan timur situs dibatasi pagar tembok yang dibangun oleh Dinas Pariwisata.
Batu Prasasti dan benda-benda lain peninggalan Kerajaan Pajajaran terdapat dalam kompleks ini. Pada batu ini terukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi. Diukir oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 Masehi (1455 – Saka) dengan maksud memperingati jasa ayahandanya, Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang sakti. Sri Baduga Maharaja adalah Raja Pajajaran terbesar yang memerintah tahun 1482 – 1521 Masehi (1404 – 1443 Saka). Prasasti Batutulis ini adalah tempat untuk melakukan upacara penobatan raja-raja Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi (1482 – 1521).
Museum PETA
Museum Pembela Tanah Air (PETA) di Jalan Jendral Sudirman Nomor 36 Bogor merupakan lokasi Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Tanah Air pada tahun 1943. Di dalam museum ini terdapat 14 diorama mengenai perjalanan perjuangan para pahlawan pembela tanah air dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia.