Oleh Drs. Toto Sucipto
Akhir-akhir ini, masyarakat cenderung memiliki persep¬si bahwa tindakan membalas kejahatan dengan kejahatan (kekerasan) merupakan sesuatu yang benar. Tampaknya, secara perlahan namun pasti, tindakan melakukan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan tersebut mengalami proses ke arah legalitas.
Kebiadaban kolektif, relatif menjadi 'trend' di tengah masyarakat. Sangat sulit untuk melacak : di mana awal gejala kebrutalan massa ini. Yang pasti, apabila dicermati, berita-berita mengenai 'pengadilan brutal' di tengah masyarakat yang dilansir surat kabar atau media massa lain, mulai terlihat sejak dua tahun terakhir.
Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap basah oleh masyarakat, hampir bisa dipastikan ia akan babak belur. Masyarakat seolah tidak perduli betapa pun kecilnya kejaha¬tan yang dilakukan tersangka. Mereka juga tidak berusaha bertanya telah berapa kali seseorang mencuri, dan untuk apa melakukan tindak kriminal seperti itu. Massa juga seolah tidak pernah menyesal ketika korban yang 'diadili secara brutal' tersebut ternyata bukan pencuri.
Mencermati 'korban' kebrutalan massa, tampaknya tidak ada klasifikasi yang jelas mengenai status penjahat bagi masyarakat. Semuanya dianggap sama, baik pengutil, pencuri, maupun pelaku tindak kriminal kelas kakap. Masyarakat tidak memerlukan pembuktian atau bahkan saksi mata. Ketika terdengar teriakan 'maling' dan seseorang menunjuk pelaku, massa dengan cepat mengejar, menangkap, dan memukulinya. Telinga massa seolah tertutup untuk mendengar erang kesakitan, rintih minta ampun, atau penyangkalan tersangka.
Republika (21 Mei 2000) mengungkapkan sebuah berita mengenaskan. Di Desa Kalinowo, Kecamatan Badang, Kebumen, Jawa Tengah, Dasimun (53) dihakimi massa hingga tewas sete¬lah kedapatan mencuri seekor ayam. Prosesinya cukup menarik. Ia sempat dibawa ke balai desa dan diinterogasi.
Kepada petugas kepolisian dan aparat desa, Dasimun mengatakan ia terpaksa mencuri karena anak satu-satunya merengek terus ingin makan daging ayam di malam lebaran. Masyarakat tidak mau percaya. Dasimun diseret keluar balai desa dan dipukuli beramai-ramai. Ritus pembataian baru berhenti setelah Dasimun roboh, dan tidak bisa lagi mengerang kesakitan. Seluruh tubuhnya, termasuk muka dan kepala, penuh luka memar. Ia tewas dalam perjalanan ke RSU Kebumen. Masyarakat bersorak.
Kisah tragis di atas adalah satu dari sekian puluh tindak kriminal kolektif masyarakat terhadap pelaku pencurian. Beberapa peristiwa memilukan yang sempat penulis himpun dari berbagai media massa menyebutkan bahwa selama tahun 2000 tercatat sekitar 30 kasus tindak kriminal kolektif warga terhadap pelaku kejahatan. Mungkin bisa lebih banyak lagi apabila ditambah dengan peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian penulis.
Tidak hanya masyarakat, pelajar pun mulai kejangkitan virus kebiadaban ini. Satu dari beberapa peristiwa sepanjang tahun 2000, tepatnya pada bulan Maret, dilakukan pelajar. Mereka mengeroyok Khairul Sagita, sopir Metromini B-92, di Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Khairul, menurut sejumlah pelajar, bersalah karena menabrak hingga tewas seorang rekan mereka. Namun, cerita lengkap dari sejumlah saksi matayang dihimpun aparat kepolisian mengatakan Khairul tidak sepenuhnya bersalah. Siang itu, mobil yang dikemudikan Khairul dihentikan sejumlah pelajar. Khairul memperlambat mobilnya, dan puluhan pelajar naik serabutan. Sebagian bergelantungan. Seorang pelajar terjatuh dan tergilas ban belakang mobil Metromini itu.
Aksi pelajar lainnya, terjadi tanggal 1 Mei 2000. Metromini T-506 trayek Kampung Melayu - Pondok Kopi dirampok di Jalan I Gusti Ngurah Rai. Pelakunya 6 orang menggunakan seragam sekolah menengah umum (SMU). Mereka menguras habis isi kantong penumpang senilai Rp. 4,7 juta. Para pelajar itu seperti mengetahui kalau di awal bulan tersebut, pengguna jasa angkutan sedang berduit. “Saya tidak menyangka ada pelajar senekad itu. Semua gaji yang saya terima (Rp. 700 ribu) diminta. Saya mau bilang apa kalau mereka memaksa dengan golok,“ tutur Aprianto, salah seorang karyawan swasta yang menjadi korban.
Untungnya, polisi bertindak cepat dan berhasil menangkap mereka. Hanya sebagian dari barang bukti yang dapat diselamatkan, sebagian lainnya sudah dihabiskan pelajar. Alasannya macam-macam. Membeli minuman, mentraktir teman dan diduga ada pula yang menggunakannya untuk membeli narkoba.
Aksi anak-anak yang menjelang dewasa itu tidak hanya dilakukan dalam kelompok kecil. Seperti kejadian 23 Mei 2000, sekitar 30 orang yang kumisnya belum tumbuh menyetop Mayasari Bakti 904 di Jalan Hasyim Ashari Jakarta Pusat. Mereka memerintahkan supir bus berhenti dengan cara menghadang di tengah jalan. Seperti semut yang sudah mengetahui tempat gula, secara serempak puluhan orang bergerak. Ada yang mengacungkan golok, clurit, pisau lipat, dan mengayun-ayunkan tongkat penggebuk.
Sebagian lainnya beraksi merampas perhiasan yang dikenakan penumpang. “Ayo keluarkan uangnya kalau tidak ingin mati!” ancam mereka. Ibu-ibu dan kebanyakan karyawati, hanya bisa menangis sewaktu dompetnya diambil (Media Indonesi, 29 Mei 2000).
Tabiat pelajar yang semakin brutal tersebut merupakan satu di antara berbagai contoh maraknya kekerasan massa. Kebrutalan massa seolah mencapai puncaknya ketika 4 tersangka pencuri sepeda motor tewas dibakar massa. Namun, itu bukan satu-satunya kasus dipertengahan tahun 2000. Masih ada beberapa kasus lainnya yang terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Tidak tersedia angka pasti berapa persen peningkatan angka kejahatan sepanjang krisis ekonomi. Yang jelas, masyarakat kehilangan rasa aman, karena tidak satu pun dari sekian banyak sudut kota-kota besar, terbebas dari kejahatan.
Apabila dicermati, trend kebiadan kolektif di tengah masyarakat, mulai terlihat antara lain ketika budaya kekerasan aparat mendapat perlawanan di hampir semua lapisan masyarakat. Menurut beberapa warga masyarakat, ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan telah terakumulasi sekian lama. Buktinya, tidak satu pun korban pencurian sepeda motor misalnya, yang berharap miliknya kembali setelah melapor ke polisi. Begitu banyak kasus pencurian sepeda motor, tetapi terlalu sedikit pelaku yang dibekuk aparat. Oleh karena itu, apabila salah seorang pencuri tertangkap basah, siapa pun – apalagi dalam bentuk kerumunan massa – akan melampiaskan kejengkelannya dengan berbagai cara : sekadar ikut memukul dengan benda keras, sampai mencari ban-ban bekas untuk membakar si pelaku.
Salah seorang pelaku pembakaran mengungkapkan bahwa dirinya dan mungkin individu-individu lainnya -- sebetulnya -- tidak menginginkan pembunuhan. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika yang bersangkutan berada di tengah massa yang sedang dibakar emosi Setiap orang akan larut ke dalam kehendak massa, dan pembunuhan sesadis apa pun bisa terjadi.
Senada dengan pernyataan di atas, salah seorang pakar kriminologi FISIP-UI mengatakan emosi massa membuat setiap individu tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindak kriminal. Dengan demikian, sebuah tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif (dengan cara pengeroyokan), bisa saja terjadi tanpa mereka sadari.
Terdapat kesan, seolah aparat membiarkan setiap aksi kebrutalan massa terhadap pelaku kejahatan. Sepertinya, hukum tidak menjangkau massa yang melakukan tindak kriminal terhadap penjahat, sesadis apapun. Seharusnya, tidakan itu terkena sanksi hukum. Namum, ketidakmampuan aparat untuk menangkap sedemikian banyak massa menyebabkan masyarakat seolah memperoleh legitimasi untuk melanggar hukum secara kolektif.
Tampaknya, tokoh-tokoh masyarakat di lokasi terjadinya pengeroyokan, tidak berupaya mengadakan pencegahan secara dini. Ulama, Ketua RT, Ketua RW, atau siapapun yang dijadikan tokoh/sesepuh, nyaris tidak berfungsi. Kalaupun ada upaya itu, tokoh masyarakat biasanya menyerah kepada tekanan massa. Atau, si tokoh pun ikut larut dalam kehendak biadab orang sekitarnya. Sering pula, pelaku pengeroyokan bukan dari masyarakat sekitar sehingga mereka mengabaikan himbauan tokoh setempat dan bertindak sekehendaknya.
Di sisi lain, sasaran keberingasan massa bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya penjahat yang tertangkap basah, tetapi juga aparat kepolisian yang membuat kesalahan kecil. Inilah yang dialami Sersan Kepala Sofyan dan Sersan Satu Muchyarudin, awal Mei 2000 lalu di Desa Rawaselapan, Lampung Selatan.
Awalnya kedua polisi hendak pulang dari menyaksikan pertunjukkan wayang kulit di Desa Rawaselapan. Di perjalanan keduanya bertemu Junainah (16), yang juga hendak pulang ke Dusun V Rawaselapan. Junainah bersedia berboncengan bertiga.
Di tengah perjalanan, ban sepeda motor kempes. Ketiganya duduk-duduk di gardu ronda. Tiba-tiba warga dikejutkan teriakan minta tolong dari arah gardu. Warga keluar dan mendapatkan Junainah dalam keadaan mengenaskan dengan darah mengalir dari kedua pangkal pahanya. Ia mengaku diperkosa. Warga melakukan pengejaran, dan mendapatkan kedua polisi sedang menuntun sepeda motor. Junainah menunjuk salah satunya. Terjadilah penghakiman massa.
Mulyadi, Kepala desa Rawaselapan, berusaha mencegah dengan mengontak Polsek Sidomulyo. Ia meminta Polsek mengirim polisi militer untuk menangani kasus ini. Namun yang datang empat anggota Polsek Sidomulyo. Warga, menurut Forum, berjumlah hampir 1.000 orang kecewa, dan segera menyeret keduanya dari rumah Mulyadi. Keduanya dihajar hingga tewas, dan sepeda motornya dibakar.
Belakangan, Junainah mengubah pengakuannya. Menurutnya, ia tidak diperkosa, tetapi sedang menstruasi. Visum dokter membuktikan tidak ada luka apa pun di vagina Junainah. Masyarakat tidak mau tahu. Junainah juga tidak merasa berdosa telah membuat tewas kedua polisi itu.
Lalu, siapa lagi esok yang akan menjadi korban kebrutalan massa ?
***
Sosiolog, Dr Imam B. Prasodjo, melihat maraknya kekerasan akhir-akhir ini dipengaruhi oleh banyaknya orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis berkepanjangan. Aksi itu juga dipicu oleh lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakkan hukum. Ini, kata Imam, ditanggapi secara keliru oleh para pelaku tindak kejahatan. Kesan tersebut seolah message (tanda) yang diterjemahkan bahwa hal yang terjadi akhir-akhir ini, lebih membolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut.
Sementara itu pada saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan. Aparat yang harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak pelanggaran. Masyarakat pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat yang sama masyarakat belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari aparat keamanan sendiri untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.
Sosiolog lain, Sardjono Djatiman memperkirakan masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang selama ini diam, tiba-tiba memberontak.
“Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih kendali hukum. Tentunya dengan cara mereka sendiri,“ ungkap Sardjono kepada Republika (17 Mei 2000). Saat ini, menurut Sardjono, seluruh sistem hukum di Indonesia sudah tidak jelas lagi. Banyak yang tidak jalan sebagaimana mestinya. Misalnya, orang besar seringkali tidak tersentuh hukum. Namun orang kecil mendapat perlakuan berlebihan.
Kalaupun si besar dihukum, di penjara selalu mendapat hak dan perlakuan istimewa. “Kalau orang kecil yang di penjara, mendapat makan saja sudah merasa bersyukur,“ lanjutnya lagi. Hal tersebut memang tidak berkaitan secara langsung dengan kekerasan massa. Tetapi, menurutnya, lambat laun ‘pendidikan’ hukum seperti itu menumbuhkan rasa ketidakpercayaan masyarakat. Begitu pula terhadap aparat hukumnya.
Berbicara mengenai ‘pendidikan hukum’, Imam B. Prasodjo mengungkapkan bahwa fenomena kerusuhan massal atau berbagai tindak kekerasan yang melanda Indonesia sekarang ini, harus difahami memiliki (kemungkinan) kaitan erat dengan proses sosialisasi tindak kekerasan yang sebenarnya telah lama tumbuh dalam keluarga. Hasil sosialisasi tersebut kemudian dilanjutkan individu dalam berbagai kelompok-kelompok sosial, yang kemudian dilanjutkan lagi dalam lingkup yang lebih luas, negara.
Lebih lanjut, Imam dalam Media Indonesia (Mei 2000), mengatakan bahwa pelajaran pertama tentang hubungan manusia (human relation), termasuk di dalamnya tentang hak-hak asasi manusia maupun pelanggarannya, diperoleh bukan pada ruang publik (public sphere), melainkan pada ruang private (private sphere). Ruang private seperti hubungan yang terjalin dalam keluarga adalah tempat awal manusia belajar menghormati hak-hak orang lain, seperti hak untuk bebas dari violence (tindak kekerasan), cruelty (kekejaman), oppression (penindasan), dan diskriminasi atau sebaliknya, menjadikan ruang private adalah tempat awal mereka belajar hal sebaliknya.
Melalui aksi-aksi teror (rule of terror) yang tumbuh dalam keluarga, anak manusia belajar menerima tindak teror sebagai hal normal (Riane Eisler, 1997). Lingkungan sosialisasi brutal yang terjadi dalam institusi berpola dominasi yang dialami anak-anak saat masa pertumbuhan, sebagaimana terjadi pada Adolf Hitler (Alice Miller, 1983), cenderung menumbuhkan institusi berpola dominasi yang didukung berbagai tindak kekerasan dalam kelompok maupun negara. Proses sosialisasi yang sangat menekankan pada sanksi-sanksi tindakan kekerasan fisik maupun verbal dalam lingkungan keluarga, pada gilirannya akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya budaya kekerasan, baik dicontohkan media (film-film kekerasan), organisasi ‘preman’, maupun institusi militer, yang secara rutin diperlihatkan.
Terdapat sebuah proposisi, bila dalam masyarakat terjadi peningkatan kesadaran politik, maka akan terjadi peningkatan kohesi sosial dalam masyarakat yang berkomposisi penduduk homogen. Sebaliknya masyarakat yang memiliki penduduk heterogen, bila terjadi peningkatan kesadaran politik, kohesi sosial akan melemah, atau bahkan hancur (Karl W. Deutsch dalam Donald L. Horowitz, 1985).
Apa yang kini terjadi dalam masyarakat kita ? Sulit untuk mengatakan bahwa saat ini telah terjadi peningkatan kesadaran politik dalam arti sebenarnya. Namun., tidak dapat disangkal bahwa saat ini dirasakan terjadi ledakan partisipasi politik akibat bobolnya pembatasan dan penekanan ofresif rezim Orde Baru selama 32 tahun dengan kekuatan paksa mengintegrasikan masyarakat (imposed integration).
Saat ini terbuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat -- yang marah pada struktur lama -- untuk ikut terlibat/berpartisipasi mengubah berbagai kebijakan publik yang selama ini dirasakan penuh ketidakadilan. Konflik-konflik sosial yang sebelumnya bersifat latent, kemudian tampak secara sporadis manifest (muncul), akibat adanya dan luasnya warisan kesenjangan, ketimpangan, serta berbagai ketidakadilan yang selama ini dirasakan masyarakat. Konflik-konflik sosial seringkali berubah menjadi brutal karena kelompok-kelompok yang bertikai adalah communal groups yang dasarnya ikatan-ikatan tradisional, seperti kesamaan kultur, ras, atau agama.
Intensitas konflik antarkelompok cenderung semakin tinggi karena ternyata pembangunan yang terjadi selama Orde Baru telah menciptakan semakin tegasnya garis-garis batas antarkelompok sosial. Saat ini, misalnya, telah tumbuh permukiman yang tidak saja membelah kelompok kaya dan miskin, tetapi juga membelah masyarakat berdasarkan etnis (kultur), ras (ciri-ciri fisik), dan juga agamanya.
Energi yang menggugat ketidakadilan menjadi besar tatkala kelompok yang sebelumnya dominan semakin terfragmentasi dan kekuatan kontrolnya melemah. Memudarnya gurita kekuasaan yang mencengkeram melalui birokrasi, baik sipil maupun militer, diikuti dengan menguatnya perlawanan yang seringkali berbentuk emosional aggresion.
Dalam keadaan seperti ini, situasi menjadi sangat kritis. Sebagaimana zaman reformasi sekarang ini, secara fungsional peran kepemimpinan birokratis digugat. Bila terjadi konflik, mekanisme kontrol untuk meredamnya sulit dilakukan karena tidak tersedia struktur kepemimpinan (baik institusi formal maupun tradisional) yang dapat mengendalikannya secara efektif.
Berbagai faktor sosial sebagaimana disebutkan sebelumnya mudah mendorong individu-individu dalam suatu kelompok untuk bergabung melakukan aksi-aksi kolektif (collective behavior). Baik dalam bentuk expressive control (kerumunan untuk menyatakan ketidakpuasan) maupun acting crowd (kerumunan yang aktif bertindak bersama-sama melakukan berbagai aksi).
Menurut Erlangga Masdiana, Staf Pengajar Jurusan Kriminologi FISIP-UI, keroyokan massa yang membuncah sekarang ini adalah cerminan masyarakat yang sedang stress. Yang penting, menurutnya, ‘pengadilan brutal’ atau ‘pengadilan jalanan’ atau apa pun namanya, tidak bisa dibiarkan terus menerus. Ia menandaskan sangat berbahaya bagi perjalanan bangsa ini karena kekerasan akan melembaga dalam masyarakat.
Apabila masyarakat sudah menganggap wajar dan tidak memiliki perasaan bersalah tatkala melakukan tindakan penghukuman meski tanpa proses pengadilan, maka nilai-nilai budaya yang bisa membangkitkan suatu kebersamaan dan antisipasi terhadap berbagai gangguan sosial, akan luntur. Akibatnya, perasaan kasih sayang akan hilang, dan setiap penyimpangan disamaratakan dengan memberikan suatu reaksi (tindakan balasan). Lebih jauh lagi, akan menimbulkan kekacauan (chaos) karena pihak yang menjadi korban pengadilan massa melakukan balasan. Saling serang antarkelompok meletus.
***
Pola pencegahan dan penanggulangan terhadap aksi kekerasan massa ini. menurut Erlangga (Media Indonesia, Mei 2000), berkaitan dengan beberapa faktor signifikan. Pertama, mengefektifkan dan menumbuhkan kembali peran lembaga-lembaga sosial tradisional yang bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum.
Kedua, pihak aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) meningkatkan kinerjanya yang bisa meyakinkan masyarakat bahwa hukum itu harus tegak demi keadilan, bukan tegak untuk kepentingan suatu kelompok. Selama ini masyarakat merasakan lembaga-lembaga peradilan bercitra negatif. Masyarakat terkesan tidak mau berurusan dengan setiap unsur sistem peradilan pidana (SPP).
Ketiga, pemerintah harus melakukan proses transparansi penegakan hukum, agar berbagai kasus kejahatan besar di masa lalu yang diharapkan selesai oleh masyarakat dapat terwujud.
Keempat, pemerintah harus memiliki keinginan politik (polityical will) untuk memberdayakan lembaga-lembaga penegakan hukum agar lebih berdaya. Selama ini, lembaga-lembaga penegakan hukum dibiarkan mengurus dirinya yang tidak berdaya, karena keterbatasan menghadapi berbagai masalah.
Berbicara solusi, kriminolog UI lainnya, Dr. Tubagus Ronny Nitibaskara melihat perlunya pemberdayaan kontrol sosial masyarakat. Di samping itu juga, penegakan hukum harus ditingkatkan diiringi partisipasi aktif masyarakat dalam menetralisasi adanya kejahatan. Secara khusus, sistem organisasi kepolisian yang baik juga harus ditingkatkan dan sistem peradilan pidana harus disempurnakan.
Untuk menanggulangi kejahatan, menurut salah seorang pakar kriminologi FISIP-UI dalam Republika (5 Maret 2000), semua pihak harus melakukan rekonsiliasi untuk memulihkan ekonomi. “Terutama dengan masyarakat kelas bawah,” ungkapnya. Harus diingat bahwa kemerosotan ekonomi mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.
Selain itu, perlu juga mempolisikan masyarakat. Artinya, ada fungsi pengamanan dan pencegahan kejahatan yang dijalankan oleh masyarakat. Kondisi sekarang sangat memprihatinkan; masyarakat seolah tidak peduli apabila terjadi kejahatan di sekelilingnya, bahkan di depan matanya. Menurut pakar tersebut di atas, sikap tak acuh masyarakat itu dalam kerangka psikologi sosial dapat dipahami. “Dalam masyarakat modern telah ada semacam share of responsibility. Tugas keamanan telah diambil alih oleh agen-agen formal, yakni polisi itu sendiri.” Dalam kerangka itu juga dapat difahami jika kita tidak lagi bisa berharap pada lembaga informal – seperti tokoh masyarakat – untuk mengendalikan keamanan karena peran-peran institusi informal telah diruntuhkan oleh pemerintah.
Solusi untuk menekan bahkan mungkin menghilangkan terjadinya ‘pengadilan brutal’ seperti terurai di muka, pada intinya mengharapkan adanya peningkatan kesadaran politik masyarakat dan kepastian hukum. Kedua hal tersebut merupakan prasyarat majunya ekonomi (tingkat kesejahteraan) masyarakat yang seringkali menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan/kriminal. Faktor ekonomi memang menjadi ujung tombak yang kita percayai tidak mungkin maju sendiri apabila tidak ada kesadaran politik dan kepastian hukum. Intinya, semua berjalan bersama-sama.
Sumber Bacaan
Harian Umum Republika, 5 Maret 2000
Harian Umum Republika, 21 Mei 2000
Harian Umum Media Indonesia, 29 Mei 2000
Subang, Februari 2001*****
Buddhiracana ◙ Vol. 2\No. 12\ Maret 2001 BKSNT Bandung