Oleh Drs. Toto Sucipto
Sunda sebagai sebuah kasus
Keanekaragaman budaya seringkali dipandang sebagai rahmat bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi akhir-akhir ini dipertanyakan kembali mengingat konflik yang bersifat komunal banyak bermunculan di berbagai daerah. Sejumlah solusi diupayakan untuk mengetahui akar konflik dan meredam situasi agar proses reformasi yang terkesan menggelinding tanpa arah ini bisa berjalan kembali pada rel yang semestinya.
Tidak lama setelah rejim Orde Baru berkuasa, upaya untuk memelihara hal yang begitu membanggakan, yaitu terdapatnya keanekaragaman budaya di bumi nusantara, ingin segera diwujudkan secara konkrit, mudah dicapai, dan mudah dipahami. Mucullah kemudian proyek “Taman Mini Indonesia Indah”, dan terlepas dari soal perdebatan tentang manfaat proyek tersebut bagi masyarakat banyak, serta berbagai reaksi negatif yang muncul ketika proyek tersebut dicanangkan, Taman Mini Indonesia Indah tersebut kini telah menyedot banyak pengunjung dan berhasil memberikan manfaat yang tidak sedikit kepada orang Indonesia.
“Keanekaragaman budaya adalah rahmat bagi bangsa Indonesia” begitulah kira-kira pendapat banyak orang Indonesia beberapa tahun yang lalu, sebelum gerakan Reformasi lahir.
Pada tahun 1996, berbagai kerusuhan mulai merebak di tanah air. Konflik yang bersifat komunal mulai bermunculan di berbagai daerah seperti di Tasikmalaya, Rengasdengklok, Purwakarta, dan berbagai daerah lainnya. Kemudian, setelah menyaksikan kematian warga Madura dan penduduk asli di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat yang bertikai, kita dihadapkan pula pada tragedi Ambon yang menewaskan ribuan nyawa. Sungguh, ini adalah cobaan yang maha berat bagi bangsa dan negara yang tengah menghadapi gejala disintegrasi.
Berbagai daerah dengan peristiwa memilukan tersebut, selama bertahun-tahun sebelumnya sama sekali tidak memperlihatkan gejala-gejala mengidap semacam “penyakit sosial” yang akan melahirkan kerusuhan massal. Ketika, “kesenjangan” dianggap tidak dapat lagi menjelaskan berbagai kerusuhan yang muncul kemudian, yang seolah-olah merupakan konflik antar suku dan pemeluk agama yang berbeda, maka telunjukpun diarahkan ke “kesukubangsaan” dan “perbedaan agama”. Kesukuan dan fanatisme agama lantas dianggap sebagai faktor penyebab berbagai konflik yang terjadi. Pada saat itulah, banyak orang Indonesia mulai berfikir kembali : betulkah keanekaragaman adalah rahmat jika keanekaragaman tersebut telah menyebabkan ribuan keluarga mengungsi, ratusan sanak-kerabat meninggal, ratusan anak-anak menjadi yatim-piatu serta memendam trauma yang sangat dalam; dendam dan ketakutan yang tak kunjung padam setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Bukankah itu lebih tepat dikatakan sebagai laknat?
Lantas apa yang harus kita perbuat dengan keanekaragaman tersebut? Akankah kita pelihara, ataukah kita tinggalkan dan gantikan dengan keseragaman? Tampaknya, tidak akan banyak yang rela untuk meninggalkan keanekaragaman budaya yang begitu dibanggakan. “Apalagi yang tinggal pada kita jika keanekaragaman tersebut kita ganti dengan keseragaman? Bukankah semboyan kita Bhineka Tunggal Ika?”
Pemerintah sebetulnya telah berupaya keras mengatasi berbagai masalah. Ini bisa dilihat misalnya dari pengiriman aparat keamanan ke lokasi kejadian, yang dalam tingkat minimal, mampu meredam situasi menjadi normal. Meskipun demikian, pemerintah seharusnya sadar diri; Ada apa dengan negeri ini sehingga rakyatnya mudah emosi dan melakukan kerusuhan?
Sejumlah solusi, pendapat, saran, bahkan kecaman, bermunculan di berbagai media. Kurniawaty (1999 : 8), mengungkapkan terdapatnya 2 penyebab kerusuhan. Kesatu memang karena persoalan SARA. Kedua karena faktor kesenjangan sosial ekonomi. Dalam kasus di Sambas, misalnya, kerusuhan terjadi karena penduduk asli (warga Dayak) relatif hidupnya kurang beruntung dibandingkan dengan warga pendatang (Madura). Ini mengakibatkan kecemburuan di antara mereka.
Demikian pula halnya di Ambon. Selain persoalan perseteruan agama, para wargapun yang rata-rata beragama Kristen tidak suka terhadap orang Bugis yang berdagang di Ambon. Mereka yang non-Ambon itu dianggap hidup lebih mewah dibandingkan dengan warga asli, padahal mereka (warga Ambon) hidup di “tanah air”nya sendiri.
S. Dloyana Kusumah dalam Buddhiracana (1999 : 19 - 55) mengungkapkan beberapa faktor penyebab disorganisasi masyarakat, yaitu faktor kemiskinan, komunikasi yang tidak jalan, penegakkan hukum yang lemah, kependudukan, dan kemunduran moral bangsa.
Selain akar konflik yang diungkapkan seperti terurai di atas, banyak juga pemerhati yang mengetengahkan kajian dan evaluasinya tentang nilai-nilai budaya setiap etnik di nusantara. Hasilnya cukup kondusif untuk mengakomodasikan tuntutan reformasi sekaligus memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Berikut ini, penulis berupaya mengangkat sebuah asumsi bahwa pemahaman mengenai keanekaragaman budaya adalah salah satu perekat persatuan-kesatuan bangsa yang selama ini terkoyak. Selain itu, dengan mengkaji dan mengevaluasi sebuah budaya secara mendalam, kemudian menempatkan entitas tersebut secara proporsional melalui pemberian hidup berdaulat untuk mengembangkan dirinya, maka disintegrasi bangsa relatif bisa dihilangkan dan format kebudayaan nasional pun dapat terumuskan.
Paparan akan dimulai dengan pengertian dan fungsi “kebudayaan”, idealisasi kesundaan sebagai sebuah kasus, perumusan format kebudayaan, eksistensi dan dinamika kemajemukan budaya, serta saran dan rekomendasi untuk merekat persatuan-kesatuan bangsa.
Kebudayaan “ditampilkan” akhir-akhir ini bukan hanya sekadar alat tanpa kaitannya dengan kemungkinan yang terjadi di hari depan, melainkan dipergunakan untuk “merekat kembali” Indonesia sebagai bangsa-negara. Konsep dan teori beberapa pakar mengungkapkan, bahwa apabila masyarakat dimengerti sebagai suatu kelompok individu yang terorganisasikan menurut suatu cara hidup, dan apabila masyarakat dimengerti sebagai suatu agregat hubungan-hubungan sosial, kebudayaan adalah isi dari hubungan-hubungan itu. Pengertian kebudayaan menekankan pada komponen sumber-sumber yang terakumulasikan, baik yang bersifat material maupun immaterial, yang diwarisi, dipergunakan, diubah, ditambah, dan dikembangkan oleh sekelompok manusia.
Konsep kebudayaan merupakan “pembeda” yang sangat jelas antara makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Tanpa kebudayaan, sosok manusia tak ada bedanya dengan “binatang”. Karena kebudayaan, manusia mampu bernalar, berrasa, bertindak, berrelasi, berinteraksi dan berperadaban. Melalui kebudayaan, setiap bersitan hati, pemikiran dan bermasyarakat, senantiasa dilandasi oleh sebuah kesadaran; bukan berdasarkan semata intuisi atau instink.
Tidaklah berlebihan, jika pada konteks sosiologis-antropologis, kebudayaan sering dianggap “ruh” dalam kemanusiaan dan kemasyarakatan. Tanpa “ruh” kebudayaan, manusia bergerak seperti “robot” atau “mayat-mayat” hidup saja. Ia berbicara atau bertindak kalau ada yang menggerakkan. Di luar itu, sosok manusia tak berbudaya, menjelma menjadi “binatang” kekuasaan, ekonomi, hukum, atau apapun saja yang akan senantiasa mengancam martabat dirinya dan diri orang lain.
Berbicara mengenai kebudayaan, berarti memperbincangkan tentang manusia itu sendiri. Demikian juga, manakala mendiskusikan potensi budaya lokal Sunda, maka ia sesungguhnya sedang mengelaborasi manusia-manusia Sunda dengan segala produk nalarnya, rasanya, jiwanya dan harapan-harapannya, yang kadang-kadang amat naif. Jadi, apabila manusia Sunda hari ini masih “ada” (atau harus “diadakan”), hakikatnya karena ia masih memiliki hubungan simbiotik dengan tata kosmos yang melingkupinya.
Dengan kata lain, kedirian manusia Sunda dan aktualisasi dari potensi budayanya tersebut, selain berada pada kondisi saling mempengaruhi, juga senantiasa dihadapkan pada keharusan mempertahankan kelangsungan manusiawinya. Keseyogiaan ini bersifat internal dan eksternal. Dinamika internalnya terus menerus berdialektika dengan intervensi dan tarikan kuat dari luar dirinya. Ujungnya adalah : bagaimana manusia Sunda tetap eksis?
Entah dilandasi oleh sebuah kesadaran atau karena menghindar dari kenyataan, setidaknya terasa adanya kecenderungan untuk mencari hal-hal yang ideal dalam sosok manusia Sunda. Proses pencarian ini justru menyeruak, pada saat ditempatkan pada pluralisme entitas lokal di Indonesia, ketika satu dengan yang lainnya “berebut” tempat di atas bangunan Indonesia. Sedangkan, persaingan itu sendiri, mau tidak mau, membutuhkan ayunan langkah yang pragmatis dan rasional. Artinya, jika terlalu mengandalkan hal-hal yang ideal, bisa dipastikan akan banyak ketinggalan langkah.
Fenomena terakhir lebih banyak menunjukkan entitas lokal Sunda dengan segala idealitasnya, lebih berputar-putar pada pelamis bibir. Dengan mudah dapat dikatakan : manusia Sunda memiliki setumpuk sistem nilai yang bagus, dan untuk itu amat dicintai pendukungnya. Kemudian, orang-orang Sunda merasa menjadi orang “Sunda”, hanya karena pandai menggunakan simbol-simbol bahasa yang mengukuhi undak-usuknya. Namun, semuanya berhenti sampai di situ. Tidak ada tindak lanjut bagaimana mewujudkan format idealitasnya secara konkret. Singkatnya, idealisasi kesundaan tidak memunculkan kaitan horisontal dengan upaya membangkitkan elan-vital ma-nusia Sunda.
Jadi, secara ideologis, manusia-manusia Sunda sebenarnya masih fasih berbicara tentang dirinya. Meskipun, secara faktual harus diakui bahwa pada saat berinteraksi dalam suasana kompetitif dengan entitas lokal lainnya di Indonesia, nilai-nilai kesundaan seperti minder untuk mengaktualisasikannya. Padahal, keniscayaan pluralisme entitas lokal, mensyaratkan adanya kesiapan untuk berani “bersaing” ketat. Sangat mungkin, mengentalnya inferiority complex kesundaan inilah, yang kemudian mendorong para pemegang budaya lokal Sunda mencari katarsis lewat idealisasi.
Hal yang memprihatinkan sebagai akibat idealisasi ini terutama ketika konsep Sunda hanya melahirkan orientasi simbolik. Bahkan lebih dari itu, di tengah munculnya kedahagaan generasi baru Sunda, yang sering tampil dalam bentuk-bentuk gugatan atau hujatan tentang kediriannya, kini malah sering terdengar pernyataan-pernyataan bernada “altruistik”. Yakni, mendahulukan kepentingan-kepentingan entitas lokal lain, meski peluang untuk itu terbuka sama, sehingga manusia Sunda tidak mendapatkan apa-apa, makin berada di pinggiran. Inilah barangkali, kelemahan dari sebuah idealisasi yang mengabaikan dimensi sosialisasinya.
Menyimak pernyataan-pernyataan di muka; mestikah konsep idealisasi di kedepankan, sementara potensi entitas lokal dikaburkan untuk mewujudkan integrasi/kesatuan-persatuan bangsa dalam format kebudayaan nasional?
Seperti telah disinggung di muka, diskursus budaya senantiasa berada dalam kekuatan tarik-ulur yang bersifat kosamakna. Ia berada dalam kekuatan yang kadang-kadang menukik tetapi kemudian melambung, diwarnai kepentingan internal-eksternal, vertikal-horizontal, lokalitas-nasionalitas, dan nasionalitas-mondialitas, bahkan di antara tuntutan moralitas dengan sekularitas. Pendek kata, dialektika budaya (di mana pun), tidak pernah berada dalam ruang yang hampa.
Demikian juga, ketika muncul kepentingan merumuskan format kebudayaan nasional Indonesia, niscaya berada pada kondisi tersebut di atas. Persoalannya kemudian, apakah harus ber-henti dan cukup puas untuk sekadar diperdebatkan ? Lalu, terus-terusan terlibat dalam pengurasan enerji yang tidak produktif ? Tentu saja tidak. Namun, untuk menjawab itu, setidaknya semua pihak harus mulai berpikir prioritas garapan budaya. Dengan kata lain, prioritas mana dewasa ini yang paling mendesak untuk didahulukan. Apakah menyelesaikan dahulu persoalan dan posisi budaya lokal, atau mencari kesepakatan format kebudayaan nasional?
Salah satu solusi yang layak diungkapkan, barangkali sepakat dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib, bahwa seseorang akan menjadi nasional ketika ia sudah khatam lokalnya. Khatamkan dulu Sundanya baru ia menjadi nasional, kemudian khatamkan dulu nasionalnya agar ia bisa go internasional. Berbanding lurus dengan hipotetik tadi, “Khatamkan dulu kebudayaan daerah maka kebudayaan nasional pun akan terbentuk.” Ini tidak berbicara tentang kesukuan, atau kedaerahan yang chauvinistik, tetapi sedang menjelajahi secara bening makna lokal (daerah) pada bingkai keindonesiaan.
Menyimak makna paragraf di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu upaya untuk memulai langkah menuju terbentuknya format kebudayaan nasional yang disepakati adalah dengan secara sadar mendirikan pusat-pusat kebudayaan daerah. Melalui pengajegan dan pendirian pusat-pusat kebudayaan Sunda, Jawa, Makassar, Dayak, Ambon, Padang, dan seterusnya, maka pusat kebudayaan nasional seyogianya ada dan tersepakati. Benarkah proposisi tersebut? Bisa ya, bisa tidak ! Tetapi minimal kita telah berbuat. Sebab, bagi kita, seperti juga vibrasi Emha dalam hal kelokalan, gagal bukanlah sebuah dosa, karena berhasil pun bukan sebuah kemestian. Dosa itu kalau kita tidak melakukan apa pun.
Pada akhirnya, eksistensi kemajemukan budaya Indonesia, sepatutnya diperlakukan dan dikelola berdasarkan teori mozaik, yakni memberikan ruang hidup yang berdaulat kepada setiap sosok budaya, untuk menjadi “pusat budaya” bagi dirinya secara bermartabat tanpa dicekoki rasa takut atau “kesadaran palsu” yang artifisial. Jangan sekali-kali mengelola budaya dengan teori fusi! Karena ia akan memberikan perlawanan dengan ongkos sejarah yang mahal.
Demikian pula halnya dengan dinamika kemajemukan budaya Indonesia, sepatutnya dikelola berdasarkan sebuah kesadaran dan keterbukaan bahwa, setiap sosok budaya memiliki hak untuk hidup sepanjang ia berpijak pada prinsip ”memanusiakan” manusia. Hak hidup ini tidak dibatasi apakah ia produk lokal atau bukan. Tetapi jelas, parameternya harus mengacu kepada kedaulatan budaya yang melahirkan peradaban.
Seyogyanyalah, setiap sosok budaya kita jadikan bunga yang beranekaragam dengan keharuman khasnya masing-masing, dan ia kita biarkan hidup tumbuh subur di taman Indonesia, sehingga kita dapat melihatnya dengan senyum yang mengembang, untuk kemudian senyuman itu kita jadikan kekuatan nasional guna menghadapi kemungkinan budaya lain yang tidak membawa nilai kemanusiaan, yang setiap saat, bisa saja menghadang dan menelikung Indonesia.
Pemahaman diri sebagai bangsa-negara yang beranekaragam tidak berhenti pada pemberian ruang hidup yang berdaulat kepada setiap sosok budaya untuk membangun harga diri masing-masing, tetapi tentu saja terletak pada bagaimana menempatkan pemahaman keanekaragaman itu di dalam kerangka penguatan perekat bangsa, yang hidup bersama, bersatu di dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Yang pertama, yang harus dilakukan ialah menanamkan keyakinan bahwa keanekaragaman, dengan segala perbedaan dan persamaan yang terkandung di dalamnya, merupakan satu kekayaan-kekuatan sebagai bangsa-negara. Kalau ini dapat dilakukan, maka hal kedua yang harus dilakukan selanjutnya ialah membangun saling menghargai di antara satu dengan yang lainnya.
Salah satu upaya agar setiap sukubangsa dapat saling mengenal serta saling menghargai ialah dengan mengembangkan berbagai media komunikasi antaretnik atau forum-forum terbuka. Perkenalan tersebut dapat juga dengan mengadakan kontak antaretnik melalui pertukaran misi-misi pendidikan, perdagangan, kesenian, dan olah raga dalam frekuensi yang relatif sering dan berkesinambungan. Juga, sebaiknya diadakan dialog antaretnik yang bertemakan masalah publik. Dengan berkembangnya komunikasi, setiap etnik/sukubangsa diharapkan bersikap lebih terbuka, merasa empati, berpikir positif, memberikan dukungan, dan memelihara keseimbangan suasana kebatinan intraetnik dan antaretnik sebagai syarat efektivitas komunikasi antaretnik. Dengan demikian, diharapkan pula dapat mengubah persepsi stereotif menjadi lebih positif terhadap etnik lainnya.
Potensi konflik yang menjurus pada gejala disintegrasi pada masyarakat yang majemuk, dapat juga diminimalkan antara lain dengan menata kembali ruang untuk pemukiman, terutama untuk mencegah segregasi dan konsentrasi pemukiman berdasarkan kelompok etnik.
Secara umum, setiap etnik memiliki potensi yang menunjang persatuan dan kesatuan dalam mekanisme yang mengatur hubungan sosial berupa seperangkat nilai, antara lain berupa sikap saling menghormati, saling menghargai, ramah tamah, gotong royong, tenggang rasa, musyawarah untuk mufakat, rasa setia kawan, toleransi, jujur, adil dan bijaksana. Di samping nilai-nilai positif tersebut, ikatan primordial yang relatif masih sangat kuat pada berbagai etnik tetap menjadi sumber konflik yang cukup potensial. Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam rekruitmen pegawai, unsur-unsur etnik dan kekerabatan sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan. Kondisi tersebut kian memperbesar kesenjangan sosial antaretnik, sehingga kecemburuan sosial senantiasa hadir dan merupakan kendala yang harus secepatnya diatasi. Sudah selayaknyalah apabila pihak-pihak terkait, utamanya para pembuat kebijakan memelopori penerapan sistem perekrutan pimpinan dan anggota lembaga sesuai dengan tatanan umum dan khusus lembaga, tanpa memandang asal usul etnik.
Bahan Bacaan
Kurniawaty, Kita Tidak Belajar pada Masa lalu, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, 29 Maret 1999.
S. Dloyana Kusumah, Bingkai Kerukunan yang Terusik, dalam Buddhiracana Edisi 9, Bandung : BKSNT Bandung, 1999.
Setia Permana, Penanan Kebudayaan Daerah bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional, Makalah dalam Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah, Bandung : Bagpro P2NB Jawa Barat, Oktober 1997.
-------------------, Eksistensi dan Dinamika Kemajemukan Budaya Indonesia, Makalah dalam Seminar Budaya, Bandung : BKSNT Bandung, 18 November 1999.
Sumber:
Buddhiracana ◙ Vol. 2\No. 10\ Januari 2000 BKSNT Bandung
Sunda sebagai sebuah kasus
Keanekaragaman budaya seringkali dipandang sebagai rahmat bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi akhir-akhir ini dipertanyakan kembali mengingat konflik yang bersifat komunal banyak bermunculan di berbagai daerah. Sejumlah solusi diupayakan untuk mengetahui akar konflik dan meredam situasi agar proses reformasi yang terkesan menggelinding tanpa arah ini bisa berjalan kembali pada rel yang semestinya.
Tidak lama setelah rejim Orde Baru berkuasa, upaya untuk memelihara hal yang begitu membanggakan, yaitu terdapatnya keanekaragaman budaya di bumi nusantara, ingin segera diwujudkan secara konkrit, mudah dicapai, dan mudah dipahami. Mucullah kemudian proyek “Taman Mini Indonesia Indah”, dan terlepas dari soal perdebatan tentang manfaat proyek tersebut bagi masyarakat banyak, serta berbagai reaksi negatif yang muncul ketika proyek tersebut dicanangkan, Taman Mini Indonesia Indah tersebut kini telah menyedot banyak pengunjung dan berhasil memberikan manfaat yang tidak sedikit kepada orang Indonesia.
“Keanekaragaman budaya adalah rahmat bagi bangsa Indonesia” begitulah kira-kira pendapat banyak orang Indonesia beberapa tahun yang lalu, sebelum gerakan Reformasi lahir.
Pada tahun 1996, berbagai kerusuhan mulai merebak di tanah air. Konflik yang bersifat komunal mulai bermunculan di berbagai daerah seperti di Tasikmalaya, Rengasdengklok, Purwakarta, dan berbagai daerah lainnya. Kemudian, setelah menyaksikan kematian warga Madura dan penduduk asli di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat yang bertikai, kita dihadapkan pula pada tragedi Ambon yang menewaskan ribuan nyawa. Sungguh, ini adalah cobaan yang maha berat bagi bangsa dan negara yang tengah menghadapi gejala disintegrasi.
Berbagai daerah dengan peristiwa memilukan tersebut, selama bertahun-tahun sebelumnya sama sekali tidak memperlihatkan gejala-gejala mengidap semacam “penyakit sosial” yang akan melahirkan kerusuhan massal. Ketika, “kesenjangan” dianggap tidak dapat lagi menjelaskan berbagai kerusuhan yang muncul kemudian, yang seolah-olah merupakan konflik antar suku dan pemeluk agama yang berbeda, maka telunjukpun diarahkan ke “kesukubangsaan” dan “perbedaan agama”. Kesukuan dan fanatisme agama lantas dianggap sebagai faktor penyebab berbagai konflik yang terjadi. Pada saat itulah, banyak orang Indonesia mulai berfikir kembali : betulkah keanekaragaman adalah rahmat jika keanekaragaman tersebut telah menyebabkan ribuan keluarga mengungsi, ratusan sanak-kerabat meninggal, ratusan anak-anak menjadi yatim-piatu serta memendam trauma yang sangat dalam; dendam dan ketakutan yang tak kunjung padam setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Bukankah itu lebih tepat dikatakan sebagai laknat?
Lantas apa yang harus kita perbuat dengan keanekaragaman tersebut? Akankah kita pelihara, ataukah kita tinggalkan dan gantikan dengan keseragaman? Tampaknya, tidak akan banyak yang rela untuk meninggalkan keanekaragaman budaya yang begitu dibanggakan. “Apalagi yang tinggal pada kita jika keanekaragaman tersebut kita ganti dengan keseragaman? Bukankah semboyan kita Bhineka Tunggal Ika?”
Pemerintah sebetulnya telah berupaya keras mengatasi berbagai masalah. Ini bisa dilihat misalnya dari pengiriman aparat keamanan ke lokasi kejadian, yang dalam tingkat minimal, mampu meredam situasi menjadi normal. Meskipun demikian, pemerintah seharusnya sadar diri; Ada apa dengan negeri ini sehingga rakyatnya mudah emosi dan melakukan kerusuhan?
Sejumlah solusi, pendapat, saran, bahkan kecaman, bermunculan di berbagai media. Kurniawaty (1999 : 8), mengungkapkan terdapatnya 2 penyebab kerusuhan. Kesatu memang karena persoalan SARA. Kedua karena faktor kesenjangan sosial ekonomi. Dalam kasus di Sambas, misalnya, kerusuhan terjadi karena penduduk asli (warga Dayak) relatif hidupnya kurang beruntung dibandingkan dengan warga pendatang (Madura). Ini mengakibatkan kecemburuan di antara mereka.
Demikian pula halnya di Ambon. Selain persoalan perseteruan agama, para wargapun yang rata-rata beragama Kristen tidak suka terhadap orang Bugis yang berdagang di Ambon. Mereka yang non-Ambon itu dianggap hidup lebih mewah dibandingkan dengan warga asli, padahal mereka (warga Ambon) hidup di “tanah air”nya sendiri.
S. Dloyana Kusumah dalam Buddhiracana (1999 : 19 - 55) mengungkapkan beberapa faktor penyebab disorganisasi masyarakat, yaitu faktor kemiskinan, komunikasi yang tidak jalan, penegakkan hukum yang lemah, kependudukan, dan kemunduran moral bangsa.
Selain akar konflik yang diungkapkan seperti terurai di atas, banyak juga pemerhati yang mengetengahkan kajian dan evaluasinya tentang nilai-nilai budaya setiap etnik di nusantara. Hasilnya cukup kondusif untuk mengakomodasikan tuntutan reformasi sekaligus memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Berikut ini, penulis berupaya mengangkat sebuah asumsi bahwa pemahaman mengenai keanekaragaman budaya adalah salah satu perekat persatuan-kesatuan bangsa yang selama ini terkoyak. Selain itu, dengan mengkaji dan mengevaluasi sebuah budaya secara mendalam, kemudian menempatkan entitas tersebut secara proporsional melalui pemberian hidup berdaulat untuk mengembangkan dirinya, maka disintegrasi bangsa relatif bisa dihilangkan dan format kebudayaan nasional pun dapat terumuskan.
Paparan akan dimulai dengan pengertian dan fungsi “kebudayaan”, idealisasi kesundaan sebagai sebuah kasus, perumusan format kebudayaan, eksistensi dan dinamika kemajemukan budaya, serta saran dan rekomendasi untuk merekat persatuan-kesatuan bangsa.
***
Kebudayaan “ditampilkan” akhir-akhir ini bukan hanya sekadar alat tanpa kaitannya dengan kemungkinan yang terjadi di hari depan, melainkan dipergunakan untuk “merekat kembali” Indonesia sebagai bangsa-negara. Konsep dan teori beberapa pakar mengungkapkan, bahwa apabila masyarakat dimengerti sebagai suatu kelompok individu yang terorganisasikan menurut suatu cara hidup, dan apabila masyarakat dimengerti sebagai suatu agregat hubungan-hubungan sosial, kebudayaan adalah isi dari hubungan-hubungan itu. Pengertian kebudayaan menekankan pada komponen sumber-sumber yang terakumulasikan, baik yang bersifat material maupun immaterial, yang diwarisi, dipergunakan, diubah, ditambah, dan dikembangkan oleh sekelompok manusia.
Konsep kebudayaan merupakan “pembeda” yang sangat jelas antara makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Tanpa kebudayaan, sosok manusia tak ada bedanya dengan “binatang”. Karena kebudayaan, manusia mampu bernalar, berrasa, bertindak, berrelasi, berinteraksi dan berperadaban. Melalui kebudayaan, setiap bersitan hati, pemikiran dan bermasyarakat, senantiasa dilandasi oleh sebuah kesadaran; bukan berdasarkan semata intuisi atau instink.
Tidaklah berlebihan, jika pada konteks sosiologis-antropologis, kebudayaan sering dianggap “ruh” dalam kemanusiaan dan kemasyarakatan. Tanpa “ruh” kebudayaan, manusia bergerak seperti “robot” atau “mayat-mayat” hidup saja. Ia berbicara atau bertindak kalau ada yang menggerakkan. Di luar itu, sosok manusia tak berbudaya, menjelma menjadi “binatang” kekuasaan, ekonomi, hukum, atau apapun saja yang akan senantiasa mengancam martabat dirinya dan diri orang lain.
Berbicara mengenai kebudayaan, berarti memperbincangkan tentang manusia itu sendiri. Demikian juga, manakala mendiskusikan potensi budaya lokal Sunda, maka ia sesungguhnya sedang mengelaborasi manusia-manusia Sunda dengan segala produk nalarnya, rasanya, jiwanya dan harapan-harapannya, yang kadang-kadang amat naif. Jadi, apabila manusia Sunda hari ini masih “ada” (atau harus “diadakan”), hakikatnya karena ia masih memiliki hubungan simbiotik dengan tata kosmos yang melingkupinya.
Dengan kata lain, kedirian manusia Sunda dan aktualisasi dari potensi budayanya tersebut, selain berada pada kondisi saling mempengaruhi, juga senantiasa dihadapkan pada keharusan mempertahankan kelangsungan manusiawinya. Keseyogiaan ini bersifat internal dan eksternal. Dinamika internalnya terus menerus berdialektika dengan intervensi dan tarikan kuat dari luar dirinya. Ujungnya adalah : bagaimana manusia Sunda tetap eksis?
Entah dilandasi oleh sebuah kesadaran atau karena menghindar dari kenyataan, setidaknya terasa adanya kecenderungan untuk mencari hal-hal yang ideal dalam sosok manusia Sunda. Proses pencarian ini justru menyeruak, pada saat ditempatkan pada pluralisme entitas lokal di Indonesia, ketika satu dengan yang lainnya “berebut” tempat di atas bangunan Indonesia. Sedangkan, persaingan itu sendiri, mau tidak mau, membutuhkan ayunan langkah yang pragmatis dan rasional. Artinya, jika terlalu mengandalkan hal-hal yang ideal, bisa dipastikan akan banyak ketinggalan langkah.
Fenomena terakhir lebih banyak menunjukkan entitas lokal Sunda dengan segala idealitasnya, lebih berputar-putar pada pelamis bibir. Dengan mudah dapat dikatakan : manusia Sunda memiliki setumpuk sistem nilai yang bagus, dan untuk itu amat dicintai pendukungnya. Kemudian, orang-orang Sunda merasa menjadi orang “Sunda”, hanya karena pandai menggunakan simbol-simbol bahasa yang mengukuhi undak-usuknya. Namun, semuanya berhenti sampai di situ. Tidak ada tindak lanjut bagaimana mewujudkan format idealitasnya secara konkret. Singkatnya, idealisasi kesundaan tidak memunculkan kaitan horisontal dengan upaya membangkitkan elan-vital ma-nusia Sunda.
Jadi, secara ideologis, manusia-manusia Sunda sebenarnya masih fasih berbicara tentang dirinya. Meskipun, secara faktual harus diakui bahwa pada saat berinteraksi dalam suasana kompetitif dengan entitas lokal lainnya di Indonesia, nilai-nilai kesundaan seperti minder untuk mengaktualisasikannya. Padahal, keniscayaan pluralisme entitas lokal, mensyaratkan adanya kesiapan untuk berani “bersaing” ketat. Sangat mungkin, mengentalnya inferiority complex kesundaan inilah, yang kemudian mendorong para pemegang budaya lokal Sunda mencari katarsis lewat idealisasi.
Hal yang memprihatinkan sebagai akibat idealisasi ini terutama ketika konsep Sunda hanya melahirkan orientasi simbolik. Bahkan lebih dari itu, di tengah munculnya kedahagaan generasi baru Sunda, yang sering tampil dalam bentuk-bentuk gugatan atau hujatan tentang kediriannya, kini malah sering terdengar pernyataan-pernyataan bernada “altruistik”. Yakni, mendahulukan kepentingan-kepentingan entitas lokal lain, meski peluang untuk itu terbuka sama, sehingga manusia Sunda tidak mendapatkan apa-apa, makin berada di pinggiran. Inilah barangkali, kelemahan dari sebuah idealisasi yang mengabaikan dimensi sosialisasinya.
Menyimak pernyataan-pernyataan di muka; mestikah konsep idealisasi di kedepankan, sementara potensi entitas lokal dikaburkan untuk mewujudkan integrasi/kesatuan-persatuan bangsa dalam format kebudayaan nasional?
Seperti telah disinggung di muka, diskursus budaya senantiasa berada dalam kekuatan tarik-ulur yang bersifat kosamakna. Ia berada dalam kekuatan yang kadang-kadang menukik tetapi kemudian melambung, diwarnai kepentingan internal-eksternal, vertikal-horizontal, lokalitas-nasionalitas, dan nasionalitas-mondialitas, bahkan di antara tuntutan moralitas dengan sekularitas. Pendek kata, dialektika budaya (di mana pun), tidak pernah berada dalam ruang yang hampa.
Demikian juga, ketika muncul kepentingan merumuskan format kebudayaan nasional Indonesia, niscaya berada pada kondisi tersebut di atas. Persoalannya kemudian, apakah harus ber-henti dan cukup puas untuk sekadar diperdebatkan ? Lalu, terus-terusan terlibat dalam pengurasan enerji yang tidak produktif ? Tentu saja tidak. Namun, untuk menjawab itu, setidaknya semua pihak harus mulai berpikir prioritas garapan budaya. Dengan kata lain, prioritas mana dewasa ini yang paling mendesak untuk didahulukan. Apakah menyelesaikan dahulu persoalan dan posisi budaya lokal, atau mencari kesepakatan format kebudayaan nasional?
Salah satu solusi yang layak diungkapkan, barangkali sepakat dengan pernyataan Emha Ainun Nadjib, bahwa seseorang akan menjadi nasional ketika ia sudah khatam lokalnya. Khatamkan dulu Sundanya baru ia menjadi nasional, kemudian khatamkan dulu nasionalnya agar ia bisa go internasional. Berbanding lurus dengan hipotetik tadi, “Khatamkan dulu kebudayaan daerah maka kebudayaan nasional pun akan terbentuk.” Ini tidak berbicara tentang kesukuan, atau kedaerahan yang chauvinistik, tetapi sedang menjelajahi secara bening makna lokal (daerah) pada bingkai keindonesiaan.
Menyimak makna paragraf di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu upaya untuk memulai langkah menuju terbentuknya format kebudayaan nasional yang disepakati adalah dengan secara sadar mendirikan pusat-pusat kebudayaan daerah. Melalui pengajegan dan pendirian pusat-pusat kebudayaan Sunda, Jawa, Makassar, Dayak, Ambon, Padang, dan seterusnya, maka pusat kebudayaan nasional seyogianya ada dan tersepakati. Benarkah proposisi tersebut? Bisa ya, bisa tidak ! Tetapi minimal kita telah berbuat. Sebab, bagi kita, seperti juga vibrasi Emha dalam hal kelokalan, gagal bukanlah sebuah dosa, karena berhasil pun bukan sebuah kemestian. Dosa itu kalau kita tidak melakukan apa pun.
Pada akhirnya, eksistensi kemajemukan budaya Indonesia, sepatutnya diperlakukan dan dikelola berdasarkan teori mozaik, yakni memberikan ruang hidup yang berdaulat kepada setiap sosok budaya, untuk menjadi “pusat budaya” bagi dirinya secara bermartabat tanpa dicekoki rasa takut atau “kesadaran palsu” yang artifisial. Jangan sekali-kali mengelola budaya dengan teori fusi! Karena ia akan memberikan perlawanan dengan ongkos sejarah yang mahal.
Demikian pula halnya dengan dinamika kemajemukan budaya Indonesia, sepatutnya dikelola berdasarkan sebuah kesadaran dan keterbukaan bahwa, setiap sosok budaya memiliki hak untuk hidup sepanjang ia berpijak pada prinsip ”memanusiakan” manusia. Hak hidup ini tidak dibatasi apakah ia produk lokal atau bukan. Tetapi jelas, parameternya harus mengacu kepada kedaulatan budaya yang melahirkan peradaban.
Seyogyanyalah, setiap sosok budaya kita jadikan bunga yang beranekaragam dengan keharuman khasnya masing-masing, dan ia kita biarkan hidup tumbuh subur di taman Indonesia, sehingga kita dapat melihatnya dengan senyum yang mengembang, untuk kemudian senyuman itu kita jadikan kekuatan nasional guna menghadapi kemungkinan budaya lain yang tidak membawa nilai kemanusiaan, yang setiap saat, bisa saja menghadang dan menelikung Indonesia.
***
Pemahaman diri sebagai bangsa-negara yang beranekaragam tidak berhenti pada pemberian ruang hidup yang berdaulat kepada setiap sosok budaya untuk membangun harga diri masing-masing, tetapi tentu saja terletak pada bagaimana menempatkan pemahaman keanekaragaman itu di dalam kerangka penguatan perekat bangsa, yang hidup bersama, bersatu di dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Yang pertama, yang harus dilakukan ialah menanamkan keyakinan bahwa keanekaragaman, dengan segala perbedaan dan persamaan yang terkandung di dalamnya, merupakan satu kekayaan-kekuatan sebagai bangsa-negara. Kalau ini dapat dilakukan, maka hal kedua yang harus dilakukan selanjutnya ialah membangun saling menghargai di antara satu dengan yang lainnya.
Salah satu upaya agar setiap sukubangsa dapat saling mengenal serta saling menghargai ialah dengan mengembangkan berbagai media komunikasi antaretnik atau forum-forum terbuka. Perkenalan tersebut dapat juga dengan mengadakan kontak antaretnik melalui pertukaran misi-misi pendidikan, perdagangan, kesenian, dan olah raga dalam frekuensi yang relatif sering dan berkesinambungan. Juga, sebaiknya diadakan dialog antaretnik yang bertemakan masalah publik. Dengan berkembangnya komunikasi, setiap etnik/sukubangsa diharapkan bersikap lebih terbuka, merasa empati, berpikir positif, memberikan dukungan, dan memelihara keseimbangan suasana kebatinan intraetnik dan antaretnik sebagai syarat efektivitas komunikasi antaretnik. Dengan demikian, diharapkan pula dapat mengubah persepsi stereotif menjadi lebih positif terhadap etnik lainnya.
Potensi konflik yang menjurus pada gejala disintegrasi pada masyarakat yang majemuk, dapat juga diminimalkan antara lain dengan menata kembali ruang untuk pemukiman, terutama untuk mencegah segregasi dan konsentrasi pemukiman berdasarkan kelompok etnik.
Secara umum, setiap etnik memiliki potensi yang menunjang persatuan dan kesatuan dalam mekanisme yang mengatur hubungan sosial berupa seperangkat nilai, antara lain berupa sikap saling menghormati, saling menghargai, ramah tamah, gotong royong, tenggang rasa, musyawarah untuk mufakat, rasa setia kawan, toleransi, jujur, adil dan bijaksana. Di samping nilai-nilai positif tersebut, ikatan primordial yang relatif masih sangat kuat pada berbagai etnik tetap menjadi sumber konflik yang cukup potensial. Misalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam rekruitmen pegawai, unsur-unsur etnik dan kekerabatan sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan. Kondisi tersebut kian memperbesar kesenjangan sosial antaretnik, sehingga kecemburuan sosial senantiasa hadir dan merupakan kendala yang harus secepatnya diatasi. Sudah selayaknyalah apabila pihak-pihak terkait, utamanya para pembuat kebijakan memelopori penerapan sistem perekrutan pimpinan dan anggota lembaga sesuai dengan tatanan umum dan khusus lembaga, tanpa memandang asal usul etnik.
Bahan Bacaan
Kurniawaty, Kita Tidak Belajar pada Masa lalu, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, 29 Maret 1999.
S. Dloyana Kusumah, Bingkai Kerukunan yang Terusik, dalam Buddhiracana Edisi 9, Bandung : BKSNT Bandung, 1999.
Setia Permana, Penanan Kebudayaan Daerah bagi Pengembangan Kebudayaan Nasional, Makalah dalam Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah, Bandung : Bagpro P2NB Jawa Barat, Oktober 1997.
-------------------, Eksistensi dan Dinamika Kemajemukan Budaya Indonesia, Makalah dalam Seminar Budaya, Bandung : BKSNT Bandung, 18 November 1999.
Sumber:
Buddhiracana ◙ Vol. 2\No. 10\ Januari 2000 BKSNT Bandung