Oleh Drs. Toto Sucipto
Masyarakat Sunda merupakan etnik dominan di Jawa Barat. Oleh karena itu, fokus bahasan paparan ini tertuju pada arsitektur tradisional rumah masyarakat Sunda, terutama bentuk-bentuk dasarnya. Uraian akan diawali dengan pengertian mengenai arsitektur, arsitektur tradisional, rumah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur tradisional rumah dengan contoh paparan mengenai arsitektur tradisional rumah masyarakat Kampung Dukuh.
Arsitektur menurut Banhart C.L. dan Jess Stein yang dikutip oleh Irawan Maryono adalah:
1. Seni dalam mendirikan bangunan termasuk di dalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; 2. Sifat dan bentuk bangunan; 3. Proses membangun bangunan; 4. Bangunan; dan 5. Kumpulan bangunan (Irwan Maryono, 1985: 18)
Lebih lanjut, Van Ramondt, dalam bagian buku yang sama mengajukan definisi konsepsional mengenai arsitektur yaitu sebagai ruang hidup manusia. Definisi arsitektur ini sudah mencakup pengertian secara luas. Kata ruang meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia atau juga ruang yang terjadi karena suatu proses alam seperti gua dan naungan pohon. Tetapi pada prinsipnya, jelas bahwa arsitektur terdiri atas unsur ruang, keindahan, dan kebahagiaan. Ruang merupakan tempat manusia bernaung dari pansa matahari, angin dan hujan, gangguan-gangguan, serta melakukan segala bentuk kegiatan. Keindahan dan kebahagiaan adalah unsur kenyamanan bagi yang melihat ruang tersebut atau yang berada di dalamnya. Keindahan dirasakan oleh panca indera, sedangkan kebahagiaan dirasakan oleh jiwa atau perasaan (Irawan Maryono, 1985: 18-19).
Pemilikan teknik bangunan, teknologi membangun, bahan bangunan produk industri, serta standar pendidikan arsitektur/teknisi yang sama, terpakai dan berlaku di mana-mana pada saat sekarang. Hal tersebut memperkuat kecenderungan wajah arsitektur di kota-kota dan kota-kota besar di dunia menjadi senada. Asal-usul
Di pihak lain, walaupun belum (atau tidak) dimasukkan dalam bagian pengetahuan tentang sejarah arsitektur dunia tersebut di atas, terdapat arsitektur yang memiliki corak sangat berbeda dengan corak modern. Arsitektur deikian belum mempunyai nama yang tetap, dikenal misalnya arsitekru dialek (vernacular), arsitektur tanpa nama (anonymus), arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous), atau arsitektur alamiah (spontaneous). Yang jelas, ia adalah arsitektur lokal, setempat, sangat khas, yang dibangun menurut tradisi budaya masyarakat yang bersangkutan (Adhi Moersid, 1980: 258).
Arsitektur lokal seperti dimaksud di atas, dalam tulisan ini akan disebut arsitektur tradisional, karena pernyataan bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui bersama atau masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi yang turun temurun. Batasan tentang arsitektur tradisional dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Bangunan yang berarsitektur tradisional adalah bangunan yang bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya (depdikbud, 1981/1982: 2).
Dalam pengertian tersebut, terdapat komponen-komponen yang menjadikan suatu bangunan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan aktivitas kehidupan yang ditampungnya, arsitektur tradisional dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis bangunan, yaitu bangunan tempat tinggal (rumah), tempat ibadah, tempat musyawarah, dan tempat menyimpan (depdikbud, 1981/1982: 3).
Dari segi bentuk, bangunan yang berarsitektur tradisional merupakan bangunan sederhana yang tampaknya menyatu dengan alam, baik ditinjau dari penempatan atau lokasi bangunan maupun bahan-bahan bangunan yang digunakan yaitu bahan alam yang terdapat di sekitar manusia yang bersangkutan hidup dengan penggunaan yang arif. Oleh karena itu, konsepsi yang dianut dalam arsitektur tradisional diyakini sebagai konsepsi yang benar karena berpijak pada keserasian dan penghargaan lingkungan.
Robi Sularto dalam tulisannya menganjurkan perlunya menalarkan nilai tradisional dalam bidang arsitektur, karena bukan saja soal latar belakang filsafat, sosial, dan budaya, tetapi dalam soal-soal teknologi pun memiliki logika struktur yang kuat. Dikemukakan contoh bahwa rumus untuk gedung pencakar langit tertinggi di Jepang ditemukan dengan penyelidikan Pagoda Nara, bangunan tradisional yang tahan gempa (Irawan Maryono, 1985: 2).
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka pemaparan difokuskan pada bangunan tempat tinggal (rumah). Rumah adalah tempat bermukim atau kesatuan pemukiman terkecil. Rumah merupakan salah satu tempat penting bagi sebagian besar aktivitas kehidupan dan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang hakiki bagi manusia. Menurut Judistira Garna, rumah adalah:
Sebagian, seluruh bangunan atau sekelompok bangunan yang didirikan, dirombak atau dilengkapi khusus agar dapat dihuni sebagai tempat kediaman untuk satu orang atau lebih dan yang mempunyai pintu bebas dari jalan umum (Judistira Garna dalam E.S. Ekadjati, 1984: 225).
Rumah dalam bahasa Sunda disebut imah. Menurut kepercayaan masyarakat Sunda rumah merupakan wilayah anatara bumi dan langit, artinya rumah dianggap sebagai titik pusat antara langit dan bumi dalam satu kesatuan di alam semesta. Demikian aspek sakral dari rumah dalam tradisi Sunda, yang pula merupakan pusat kehidupan manusia atau keluarga sebagai pemelihara keseimbangan kehidupan di alam raya. Oleh karena itu, rumah bukan hanya merupakan tempat tinggal, tempat berlindung dari panas matahari, binatang buas dan hujan, tetapi memiliki fungsi sosial, ekonomis, dan kultural. Membangun rumah harus disesuaikan dengan kepercayaan dan adat istiadat yang berlaku, diantaranya adalah penentuan tempat di mana rumah akan dibangun, arah menghadap, kapan mulai membangunnya atau aturan lain yang sebenarnya tidak hanya berhubungan dengan soal teknis belaka.
Bangunan rumah masyarakat Sunda memiliki nama-nama yang berbeda didasarkan atas bentuk atap dan pintu rumah. Beberapa nama bangunan tempat tinggal, jika dilihat dari bentuk atapnya adalah: suhunan jolopong, tagog anjing, badak heuay, perahu kumureb, jubleg nangkub, dan julang ngapak. Sedangkan kaau dilihat dari pintu masuknya dikenal rumah buka palayu dan buka pongpok.
Bagian-bagian rumah sebelum terjadi perubahan akibat penggunaan bahan bangunan, terdiri atas: golodog, kolong, tatapakan, tihang, dinding, palupuh, panto, jendela, lalangit/paparaan, suhunan, pananggeuy, lincar, darurung, paneer, saroja/garde, balandar, kuda-kuda, usuk/layeus, ereng, pamikul/panglari, pangheret, dan sisiku.
Adapun pembagian ruangan rumah secara umum, adalah:
- Ruangan depan: emper/tepas dan balandongan (dianggap daerah laki-laki).
- Ruangan tengah: tengah imah/patengahan dan pangkeng/kamar (dianggap sebagai daerah netral).
- Ruangan belakang: pawon dan padaringan/goah (dianggap daerah wanita).
Fungsi ruangan tersebut di atas antara lain: emper/tepas berfungsi untuk menerima tamu; balandongan yang terletak paling depan dari ruangan lain, berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah; ruangan yang disebut pangkeng dipergunakan sebagai tempat tidur; tengah imah merupakan bagian ruangan yang berukuran cukup luas dibanding ruangan lain, digunakan untuk tempat berkumpul keluarga dan untuk menyelenggarakan upacara/selamatan; pada bagian belakang terdapat pawon (dapur) dan padaringan/goah (tempat beras).
Untuk memperjelas pemaparan, berikut ini diuraikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional rumah, dengan contoh rumah masyarakat Kampung Dukuh.
Sepanjang sejarah berdirinya, Kampung Dukuh telah mengalami dua kali kebakaran, yaitu pada masa penjajahan Belanda dan saat terjadinya pemberontakan DI/TII. Walaupun demikian, karena berusaha taat terhadap ketentuan warisan karuhun, bentuk bangunan tempat tinggal (rumah) penduduknya tidak berubah.
Rumah-rumah atau bangunan tempat tinggal penduduk Kampung Dukuh berbentuk panggung, membujur dari Barat ke Timur, menggunakan bahan pembangun rumah yang sama dan tidak menghadap ke makam keramat. Secara sepintas, tampaknya tidak ada perbedaan antara rumah yang satu dengan lainnya. Batas antarrumah hampir tidak ada sehingga letaknya berdempetan. Rumah-rumah tersebut tersusun membentuk deretan yang membujur dari Timur ke Barat secara bertingkat-tingkat mengikuti kontur yang tidak rata.
Untuk membangun sebuah rumah, mereka mengikuti pola-pola yang telah berlaku turun temurun karena rumah menurut mereka bukan hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari terik matahari, binatang buas, dan hujan. Rumah dianggap sebagai pakaian yang keberadaannya bisa mencerminkan keluarga yang menghuninya.
Rumah yang baik menurut mereka, adalah yang sederhana (berbentuk sesuai dengan ketentuan yang digariskan karuhun). Ketentuan-ketentuan warisan karuhun yang menjadi tradisi pada masyarakat Kampung Dukuh, tampak dalam tabu atau aturan-aturan membangun rumah yang unik.
Beberapa tabu seperti tidak boleh membuat rumah lebih bagus daripada tetangga; dinding tidak boleh dicat atau dikapur; tidak boleh menggunakan kaca; lantai rumah harus dari bambu (palupuh); dinding tidak boleh di tembok; dan lain-lain; sebenarnya mempunyai makna agar kebersamaan tetap terjaga. Tidak ada sikap ingin berlomba dalam mengejar kemewahan. Tabu-tabu tersebut mengandung implikasi lebih lanjut, bila kebersamaan tetap terjaga, maka ketenteraman akan tercipta dan menimbulkan suasana pergaulan yang mesra dan harmonis. Tidak ada yang merasa di bawah atau miskin dan sebaliknya tidak ada yang merasa di atas, lebih dari yang lain karena merasa kaya.
Tabu yang berbunyi rumah tidak boleh menghadap ke arah makam keramat, bermakna agar tetap menghormati yang sudah meninggal, tunduk terhadap kekuasaan yang lebih tinggi, serta menghormati roh-roh karuhun. Dalam kehidupan sehari-hari pun, harus menghormati yang lebih tua dan sebaliknya, yang tua menyayangi yang muda. Dengan adanya tabu ini, masyarakat diharapkan tidak melupakan Yang Maha Tinggi, karuhun, dan juga menghormati kaum tua (sesepuh) serta penguasa (pemerintah).
Tabu menggunakan gergaji besar pada waktu membuat rumah, mengandung makna agar tidak mengeksploitasi lingkungan alam secara besar-besaran atau semena-mena. Mereka menyadari bahwa lingkungan alam memegang peranan sangat penting hampir pada semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, bentuk interaksi antara masyarakat dan lingkungan alam memegang peranan sangat penting hampir pada semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, bentuk interaksi antara masyarakat dan lingkungan alamnya berdasarkan atas anggapan bahwa lingkungan alam harus diperlakukan seperti mereka memperlakukan diri sendiri dan sesama manusia. Juga, ada anggapan bahwa lingkungan alam tersebut tidaklah sepenuhnya milik mereka, ada makhluk lain yang juga merasa memiliki, yaitu makhluk-makhluk halus. Dalam memanfaatkan lingkungan alam tidak terlepas dari berbagai upacara yang pada dasarnya merupakan permintaan ijin kepada makhluk-makhluk halus tersebut. Hal ini pada akhirnya akan menahan hasrat dari masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan alamnya secara semena-mena.
Arsitektur tradisional memiliki logika struktur yang kuat. A. Siswanto (1987) menegaskan : arsitektur tradisional memang bereaksi secara nalar dan cerdas terhadap ekologi setempat. Hal tersebut tercermin dalam beberapa tabu yang berbunyi : arah rumah membujur harus dari Timur ke Barat, suhunan berbentuk suhunan panjang, rumah harus berkolong (panggung), tidak boleh menggunakan pohon yang tumbang, dan tidak boleh memasang kayu secara terbalik. Makna dari aturan suhunan harus berbentuk panjang, menyiratkan soal kepraktisan yang memungkinkan pembuatan rumah tidak sulit dan berbelit-belit. Demikian juga dengan keharusan membujur dari Timur ke Barat. Selain berpijak pada unsur kepraktisan agar tidak terlalu sukar untuk meratakan tanah karena kontur tanah miring ke selatan (terletak di lereng Gunung Dukuh), juga terdapat unsur kepercayaan yaitu akan datang malapetaka dan kesulitan apabila bentuk suhunan rumah menentang perjalanan matahari. Hal itu juga menyiratkan keselarasan dengan gerak kerhidupan yang dilambangkan dengan perjalanan matahari : terbit (dari Timur) dan tenggelam (di Barat).
Sifat arsitektur tradisional yang cerdas, tercermin pula dalam aturan yang berbunyi tidak boleh menggunakan pohon yang tumbang untuk bahan bangunan rumah. Pohon bisa tumbang karena lapuk atau terserang badai dan apabila dijadikan bahan bangunan, kemungkinan cepat rusak atau rapuh, sangat besar. Demikian juga dengan larangan untuk memasang kayu secara terbalik karena secara logika, kekuatan kayu makin kuat ke pangkalnya dan sebaliknya makin kecil atau makin berkurang kekuatannya ke bagian ujungnya.
Keharusan rumah berkolong mempunyai konotasi yang luas karena selain berkaitan erat dengan sistem pengetahuan praktis (pada mulanya untuk menjaga diri dari bahaya atau serangan binatang bias, iklim, dan tempat sirkulasi udara dari dalam keluar rumah melalui lubang-lubang palupuh), juga ada kaitannya dengan sistem kepercayaan bahwa dunia ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu dunia bawah, tengah, dan dunia atas. Dunia bawah adalah bumi dan dunia atas adalah langit. Dunia tengah adalah pusat alam semesta, tempat segala makhluk berkembang dan mempertahankan kehidupannya harus terletak di tengah-tengah, tidak di dunia bawah (bumi) maupun di dunia atas (langit). Dengan demikian rumah tersebut harus mempunyai kolong yang berfungsi sebagai pemisah antar rumah secara keseluruhan dengan dunia bawah dan dunia atas.
Dengan adanya tabu atau aturan-aturan membuat rumah seperti tersebut di atas, pemukiman penduduk Kampung Dukuh tersusun atas bentuk-bentuk bangunan rumah yang seragam, teratur dan rapi. Walaupun bentuk kontruksinya sederhana, rumah-rumah di Kampung Dukuh nampak kuat dan kokoh dengan bertumpu pada batu alam. Bangunan yang mempunyai konstruksi demikian merupakan bangunan yang tahan gempa karena seluruh bagian yang merupakan kesatuan diletakkan di atas batu, akan bergeser seluruhnya bila ada gempa.
Organisasi rumah secara tipikal terbagi atas tiga bagian utama yaitu bagian depan, tengah dan belakang. Pada bagian depan terletak ruang tamu yang digunakan untuk menerima tamu (biasanya) laki-laki. Ruang tamu (bagian depan), hanya dilengkapi dengan sehelai tikar karena tabu menggunakan kursi atau peralatan lainnya. Demikian juga dengan perlengkapan yang terdapat pada ruang tengah yang disebut tengah imah, hanya dihampari sehelai tikar. Adakalanya tengah imah bersatu dengan ruang tamu dan kamar tidur terletak berderet di sebelahnya. Tengah imah merupakan ruangan luas yang digunakan untuk berkumpulnya keluarga, tempat selamatan atau upacara-upacara. Selamatan seperti upacara sepanjang lingkaran hidup dan dalam bidang pertanian dilakukan di tengah imah dengan anggapan ruangan tersebut merupakan daerah netral yaitu ruangan yang bisa ditempati oleh laki-laki dan perempuan (peserta upacara tidak dibatasi oleh satu jenis kelamin), selain karena satu-satunya ruangan yang paling luas. Enggon (kamar tidur) digunakan untuk orang tua, anak-anak perempuan atau anak yang sudah kawin (belum bisa membuat rumah sendiri). Bagi anak laki-laki yang belum kawin, tengah imah bisa digunakan sebagai ruang tidur. Pada bagian belakang terletak pawon (dapur) dan goah atau padaringan (tempat menyimpan padi atau beras). Daerah goah adalah khusus wanita, kalau tidak terpaksa sekali laki-laki dilarang masuk. Dapur, selain tempat memasak, digunakan juga untuk menerima tamu wanita (tempat ngobrol wanita). Selain itu, dapur kadang-kadang dipakai untuk berkumpul keluarga saat sarapan dan tempat menghangatkan badan pada saat udara dingin.
Dilihat dari segi kepercayaan, pembagian tiga dalam organisasi rumah tersebut didasarkan kepada difat-sfat wanita, laki-lai, dan daerah netral. Daerah netral terletak antara daerah khusus laki-laki dan wanita, antara lain tengah imah dan ruang tidur. Daerah netral dapat digunakan bersama-sama baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bagian depan (ruang tamu) merupakan manifestasi dari daerah wanita (Kusnaka Adimihardja, 1981 : 56). Setiap bagian rumah dipisahkan bilik (dinding bambu). Kecuali pintu menghadap keluar, pintu-pintu kamar hanya ditutup kain yang disebut hordeng (gorden) atau tirai.
Pembagian menjadi tiga seperti tersebut di atas, dijumpai pula apabila meninjau bangunan rumah dari sistem strukturnya, yaitu : bagian kaki (kolong), badan rumah, dan bagian atas (atap). Pada bagian kaki terletak tiang dengan pondasi batu alam. Bagian badan terdiri atas dinding, pintu, jendela, dan lantai. Di atas bagian badan terletak atap. Maksud pemisahan bagian-bagian rumah seperti di atas adalah karena masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan tersendiri tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kaku yang keseluruhan elemennya saling mengkait (berhubungan) dan berdiri di atas tiang-tiang yang bertumpu pada pondasi batu alam. Penggunaan pondasi batu alam menunjukkan bahwa mereka telah beruaha melindungi tiang-tiang kayu dari air tanah, rinyuh (rayap) yang mempercepat pelapukan kayu, dan mencegah turunnya bangunan karena berubahnya kondisi tanah.
Konsep pengudaraan (ventilasi) dikenal pula, berfungsi untuk mencegah panas dan mengatasi kelembaban ruangan. Udara yang mengalir bergantian menyebabkan pertukaran udara di dalam ruangan berjalan baik. Konsep ruang terbuka di bawah atap (yang hanya tertutup abig setengahnya), digunakan untuk pengudaraan silang (cross ventilasi), mengganti udara dari dalam ruangan dengan udara segar dari luar. Selain itu, konsep dinding bernafas juga digunakan (diatur) dengan tabu untuk mengecat atau mengapur dinding. Jendela dan pintu, serta lantai bambu (palupuh yaitu bambu yang dicabik-cabik sehingga ada bagian yang berlubang-lubang) berfungsi juga sebagai tempat pertukaran udara. Dengan demikian, unsur kenyamanan thermal tidak terabaikan dalam pembentukan rumah.
Konsepsi yang tersirat dalam rumah masyarakat Kampung Dukuh merupakan konsepsi yang bijaksana karena berpijak pada keserasian dan penghargaan terhadap lingkungan. Bahan-bahan pembentuk rumah, di dapat dari alam sekeliling dengan penggunaan seperlunya dan tidak semena-mena karena dibatasi dengan tabu atau larangan yang secara tidak langsung mengatur masyarakat untuk bersikap arif terhadap lingkungan alamnya.
Keserasian dengan alam tampak dari bahan-bahan bangunan yang alamiah; dinding dari bambu, atap dari alang-alang dan ijuk, tiang dan bagian rumah lainnya yang terbuat dari kayu dan bambu, serta penyesuaian letak dan bentuk rumah dengan kondisi geografis alam setempat; menyebabkan seolah-oleh bangunan rumah menyatu dengan alam.
Penghargaan terhadap alam yang menyebabkan penggunaan sumber alam dengan bijaksana, membuat kondisi kampung berudara sejuk walaupun terletak hampir di pesisir laut selatan. Kenyataan tersebut telah mempertebal keyakinan mereka bahwa di samping kegunaan yang bersifat sakral (dengan mentaati tabu atau aturan-aturan warisan nenek moyang yang berlaku turun temurun), lingkungan alam juga mempunyai kegunaan yang bersifat profan atau nyata. Kondisi pemukiman yang nyaman dan sejuk, membuat masyarakat kerasan dan mencintai kampungnya walaupun pemukiman mereka merupakan sekelompok rumah dengan jarak antar rumah yang sangat rapat. Kondisi demikian ditunjang oleh rasa tenteram yang timbul karena pergaulan yang harmonis dan akrab dia ntara para warganya.
Interaksi sosial yang harmonis bisa tercipta karena prinsip kebersamaan tetap menjadi wawasan yang mempunyai peran penting dalam setiap gerak kehidupan. Hal itu terlihat baik dalam pengerjaan bangunan itu sendiri maupun kesamaan dalam arti tidak terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok baik dari segi bentuk maupun bahan bangunan rumah.
Kesamaan dalam bentuk maupun bahan bangunan rumah, membuat gejolak sosial seperti iri karena merasa rumah tetangga lebih bagus dari rumah sendiri, serta perasaan sakit hati karena tidak mampu menyamai; menjadi teredam dan menimbulkan kesan menghargai serta saling menghormati tetangganya yang dirasakan sederajat, sama rasa, dan senasib. Dengan demikian, secara tidak langsung tercipta solidaritas yang kuat di antara para warga masyarakatnya.
Dari ulasan-ulasan di atas, dapat diketahui bahwa tabu atau aturan-aturan dalam membangun rumah yang merupakan warisan para karuhun, sebenarnya mempunyai makna atau fungsi yang sangat luas. Selain berfungsi untuk membuat rumah-rumah penduduk sama bentuk, struktur, dan bahan bangunan rumahnya, juga menghindarkan masyarakat dari bahaya perpecahan, konflik, pertentangan, dan krisis moral. Lebih jauh lagi, tabu berfungsi juga sebagai mekanisme kontrol dalam kebudayaan yang menahan dilakukannya eksploitasi alam secara semena-mena. Mekanisme ini diselimuti dengan sanksi-sanksi moral dan keagamaan, sehingga keadaan lingkungan alam dan fisik relatif stabil dalam jangka waktu yang cukup lama. Otomatis, jika mekanisme itu dipertahankan maka arsitektur tradisional rumah-rumah warga masyarakat relatif tetap dan stabil.
Terakhir, perlu diungkapkan juga bahwa di beberapa daerah Jawa Barat, terutama bagian tengah atau Priangan, terdapat suatu kebiasaan untuk menguburkan orang tua atau anggota keluarga yang meninggal dunia di pekarangan sekitar rumah. Kuburan itu biasanya terdapat di pekarangan samping atau belakang rumah yang jaraknya kira-kira 10-25 m, tergantung dari sempit dan luasnya halaman rumah. Kebiasaan untuk menguburkan anggota keluarga yang meninggal di pekarangan rumah itu, rupanya karena rasa keteratarikan seseorang pada rumah atau bumi sebagai tempat asal dan dibesarkan hingga akhir hayatnya. Roh dapat mengawasi, menjaga atau ngaping anggota keluarga yang masih hidup. Sebaliknya, keluarga yang ditinggalkan dan masih hidup akan dengan mudah mengingat segala kebaikan yang telah diberikan selama hidupnya pada keluarga dan masyarakatnya. Keluarga yang ditinggalkan akan dapat pula dengan mudah memelihara terus kuburannya, sedangkan jika letaknya jauh dari rumah perhatian untuk memelihara kuburan tersebut, dikhawatirkan akan berkurang.
Dengan demikian pengertian rumah bagi masyarakat Sunda, atau mungkin bagi etnik lainnya yang ada di Indonesia, tidaklah semata-mata sebagai tempat tinggal dan tempat berteduh, tetapi sebagai tempar asal seseorang, tempat sosialisasi, dan enkulturasi atau secara luas sebagai tempat kegiatan jasmani dan rohaniah seseorang bersama anggota rumah tangga lainnya. Hakikat rumah bagi masyarakat setiap etnik di
Buddhiracana ◙ Vol. 1\No. 1\ September 1996 BKSNT Bandung